Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM PROYEK ANATOMI DAN FISIOLOGI HEWAN (BI-2103)

LAJU RESPIRASI PADA MENCIT DAN IKAN SERTA


HISTOLOGI SISTEM RESPIRASI
Tanggal Praktikum: 12 September 2012
Tanggal Pengumpulan: 19 September 2012
Disusun oleh :
Ludwinardo Putra
10611071
Kelompok 5

Asisten :
Ariananda H.
10608033

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2012

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita sendiri telah mengenal seperti apa makhluk hidup dan apa ciri-cirinya. Salah
satu ciri makhluk hidup yang pastinya kita kenal adalah melakukan respirasi. Apakah
respirasi itu? Singkatnya respirasi adalah proses pertukaran O2 dan CO2. Respirasi itu
sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu respirasi eksternal dan respirasi internal. Respirasi
eksternal adalah proses pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan dengan organisme,
sementara respirasi internal adalah proses pertukaran O2 dan CO2 antara darah dengan
jaringan tubuh.
Tiap makhluk hidup memiliki organ respirasi yang berbeda-beda. Jika kita melihat
ikan, kita mengetahui bahwa organ respirasi utamanya adalah insang dan begitu pula kita
temukan kulit pada reptil, kantung udara pada burung, dan lain-lain. Selain organ
respirasi yang berbeda-beda, jika kita melihat dengan mikroskop, kita juga akan
menemukan struktur jaringan respirasi yang cenderung berbeda.Untuk itu, sangat penting
bagi kita untuk mempelajari histologi sistem respirasi.
Selain menentukan struktur jaringan respirasi makhluk hidup, kita juga dapat
mempelajari serta melakukan pengukuran laju respirasi makhluk hidup. Melakukan
pengukuran laju respirasi merupakan hal yang perlu, karena dengan kita mengukur laju
respirasi, kita dapat mengetahui kecepatan metabolisme suatu organisme dalam keadaan
tertentu. Pada praktikum kali ini, kita akan melakukan pengukuran laju respirasi pada
mencit dan ikan komet.

1.2 Tujuan
1. Menentukan laju konsumsi oksigen mencit ( Mus musculus )
2. Menentukan laju konsusi oksigen ikan komet (Carassius Auratus)
3. Menentukan histologi bronkiolus pada Ratus sp. dan trakea Lepus sp.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme Respirasi Hewan Akuatik dan Terestrial


Hewan akuatik dari jenis ikan bernafas dengan insang. Sistem respirasi ikan
diibaratkan sebagai ventilasi. Istilah ventilasi digunakan untuk menggambarkan
mekanisme peningkatan arus air melalui saluran respirasi, dimana peningkatan arus ini
akan menyuplai oksigen segar, Ikan yang sedang berenang membuka mulut mereka dan
membiarkan air mengalir melewti insang mereka. Ikan juga mampu memompa aliran air
melewati insang dengan gerakan membuka dan menutup mulut mereka. Aliran air ini
berlawanan arah dengan aliran darah, sehingga oksigen dapat difiksasi oleh darah.
Mekanisme ini disebut countercurrent exchange. (Campbell, 2012).
Pada hewan terestrial, sistem respirasi telah berevolusi dari bentuk sistem respirasi
ikan, membentuk suatu struktur yang disebut paru-paru. Pada paru-paru, mekanisme
ventilasi yang terjadi adalah negative pressure breathing. Mekanisme ini terjadi karena
kontraksi otot tulang rusuk dan diafragma yang memperluas rongga dada. Hal tersebut
menyebabkan tekanan di dalam rongga dada berkurang, mengakibatkan udara dari
lingkungan luar mengisi paru-paru, sehingga terjadi inhalasi. Hal sebaliknya terjadi pada
ekshalasi. (Campbell, 2012).

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Respirasi


Setiap makhluk hidup mempunyai struktur jaringan respirasi yang berbeda-beda.
Hal ini membuat laju respirasi setiap makhluk hidup juga berbeda. Karena sudah didasari
oleh struktur yang berbeda, otomatis cara kerja sistem organ respirasi juga berbeda.
Jelasnya, kita dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan maupun
menurunkan laju respirasi. (Tortora dan Derrickson, 2011)
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan laju respirasi antara lain :
1. Peningkatan temperatur tubuh,
2. Penurunan tekanan darah,
3. Penurunan PO2 pada arteri dari 105 mmHg to 50 mmHg,

4. Peningkatan PCO2 pada arteri yang lebih dari 40 mmHg (menyebabkan peningkatan
H+),
5. Peningkatan aktivitas dari proprioceptor,
6. Terjadinya hiperventilasi (respirasi berlebih) yang disebabkan oleh korteks cerebral
dan stimulasi pada sistem pergerakan, dan
7. Rasa sakit yang berlebih. (Tortora dan Derrickson, 2011)
Faktor-faktor yang dapat menurunkan laju respirasi antara lain :
1. Terjadinya hipoventilasi yang disebabkan oleh korteks cerebral
2. Penurunan PCO2 pada arteri sampai dibawah 40 mmHg (menyebabkan penurunan
H+),
3. Penurunan PO2 sampai dibawah 50mmHg,
4. Penurunan aktivitas dari proprioceptor,
5. Penurunan temperatur tubuh,
6. Terjadinya rasa sakit yang sedikit (menimbulkan apnea), peningkatan temperatur
tubuh,
7. Peningkatan tekanan darah, dan
8. Iritasi pada faring atau laring karena disentuk atau secara kimia. (Tortora dan
Derrickson, 2011)

2.3 Metode Pengukuran Laju Respirasi Hewan


Pengukuran laju respirasi pada hewan lazim dilakukan dengan respirometer. Untuk
hewan akuatik digunakan metode botol winkler. Metode botol winkler menggunakan
sebuah botol penuh berisi air. Oksigen terlarut dalam air tersebut diperjelas eksistensinya
dengan menambahkan reagen. Dengan penambahan reagen maka akan terbentuk senyawa
asam yang akan dinetralkan oleh titrasi senyawa yang ditandai perubahan warna.
(Bruckner, 2012).

BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1

Respirasi Mencit
Alat

Bahan

Timbangan hewan

Mencit

Stopwatch

Kapas

Respirometer

Larutan KOH 20%

Pipet tetes

Larutan eosin
Vaselin

3.1.2

Respirasi Ikan
Alat

Bahan

Timbangan hewan

Ikan komet

Stopwatch

Vaselin

Labu erlenmeyer 2L

Larutan thiosulfat (Na2S2O3)

Labu erlenmeyer 250 ml

Larutan H2SO4 pekat

Botol Winkler 250 ml

Larutan KOH-KI

Sumbat karet

Larutan MnSO2.H2O

Penjepit

Larutan amilum 1%

Buret
Statif
Klemp
Pipet tetes
Selang plastik
3.1.3

Histologi bronkiolus dan trakea


Alat
Mikroskop Cahaya

Bahan
Preparat bronkiolus Ratus sp.
Preparat trakea Lepus sp.

3.2 Metode Kerja


3.2.1

Respirasi Mencit
Mula-mula kapas dimasukkan ke dalam tabung respirometer, kemudian
kepada tabung respirometer diteteskan larutan KOH 20% hingga jenuh.
Setelah itu, kepada tabung respirometer dimasukkan mencit beratnya 42,3 gr
(telah diukur). Tabung respirometer dipasangkan sebuah pipa berskala dan
celah pada tabung ditutup dengan vaselin. Kemudian tabung respirometer
diteteskan setetes eosin dengan pipet pada ujung pipa berskala. Setelah itu, kita
dapat menghitung laju respirasi yang dibutuhkan untuk mengomsumsi O2
selama 10 menit.
(

3.2.2

Respirasi Ikan Komet


Mula-mula labu erlenmeyer 2L disusun dengan dua selang. Selang yang
panjang dihubungkan dengan kran air untuk saluran masuk, sementara selang
yang pendek digunakan sebagai saluran keluar. Labu erlenmeyer kemudian
diisi dengan air secukupnya dan dimasukkan ikan yang telah ditimbang ke
dalamnya. Setelah itu, labu erlenmeyer ditutup botolnya dan dialiri air (apabila
ada gelembung, air terus dialirkan hingga menghilang). Labu erlenmeyer
didiamkan beberapa saat sampai ikan menyesuaikan diri (air terus mengalir).
Proses perhitungan respirasi dilanjutkan memasukkan air yang keluar
dari labu erlenmeyer ke dalam botol Winkler. Botol Winkler dibuka dan
ditambahkan 1ml MnSO4 dengan menggunakan pipet tetes. Kemudian ke
dalam botol Winkler ditambahkan KOH-KI dengan cara yang sama. Botol
Winkler kemudian ditutup dan hindari pembentukan gelembung. Setelah itu,
botong Winkler dibolak-balik perlahan selama kurang lebih 5 menit hingga
terbentuk endapan di dasar botol. Setelah 20 menit terbentuk endapan, botol
Winkler dibuka dan 2 ml larutan dari permukaan botol dibuang dengan pipet
(hindari masuknya endapan ke dalam pipet). Botol Winkler kemudian
ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat dengan pipet ukur. Setelah itu, botol Winkler
ditutup dan dibolak-balik hingga warnanya kuning kecoklatan dan endapan
seluruhnya larut. Jika masih terdapat endapan, tambahkan beberapa tetes

H2SO4 pekat hingga endapan larut. Setelah itu siapkan dua buah labu
erlenmeyer.
Metode Winkler dilanjutkan dengan proses terakhir, yaitu proses titrasi.
Labu erlenmeyer 250 ml diisi dengan 100ml larutan dari botol Winkler
dipindahkan ke Erlenmeyer dengan gelas ukur. Setelah itu, labu erlenmeyer
dititrasi dengan menggunakan Na2S2O3 hingga berwarna kuning muda. Labu
erlenmeyer kemudian ditambahkan amilum 1% sebanyak 4 hingga 5 tetes
sehingga larutan berwarna biru tua. Setelah itu dilanjutkan dengan titrasi
Na2S2O3 hingga warna biru pada larutan menghilang. Catat pemakaian total
larutan thiosulfat. Lakukan pengulangan perhitungan kadar oksigen setelah
ikan didiamkan selama satu jam dalam labu erlenmeyer.
Rumus perhitungan laju konsumsi oksigen :
(

Air keran + Deterjen dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 2L. Pada bagian tutup labu,
dipasang dua buah selang untuk memasukkan air dan mengeluarkan air.

Botol Winkler berisikan air keran + deterjen + 1ml MnSO4 + 1ml KOH-KI kemudian dibolakbalik selama 5 menit dan ditunggu selama 20 menit.

Setelah 20 menit, ditunggu, terbentuklah endapan di bagian dasar botol Winkler. Kemudian
2 ml dari larutan dalam botol dibuang dengan menggunakan pipet. Setelah itu, larutan
ditambahkan 1ml H2SO4 sampai endapannya menghilang.

Setelah ditambahkan 1 ml H2SO4, larutan akan berwarna merah bata dan endapannya
menghilang. Bila endapan belum menghilang, lakukan lagi penambahan 1 ml H2SO4 sampai
menghilang (catat volume penambahan). Larutan siap dititrasi.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Histologi Bronkus dan Bronkiolus
Foto Histologi

Gambar Literatur
Terminal bronchiole

Bronkus

Alveoli duct

Pembuluh darah
Respiratory Bronchiole
Alveoli duct
Alveoli
Alveoli sacs

Alveoli sacs

Visceral pleura

Sumber : Ropii, 2012

Sumber : Tortora dan Derrickson, 2011

Esofagus

Trakea

Faring
Lidah

Esofagus
Trakea

Sumber : Ropii, 2012

Sumber : Tortora dan Derrickson, 2011

Mukosa
Mukosa

Jaringan Adiposa

Kartilago
Sub-mukosa

Sumber : Ropii, 2012

Epitel berlapis semu

Sumber : Tortora dan Derrickson, 2012

Epitel berlapis semu

Lamina propia
Jaringan Adiposa
Lamina propia
Kartilago

Sumber : Ropii, 2012

Sumber : Tortora dan Derrickson, 2012

Silia

Sel Goblet

Epitel berlapis semu

Epitel berlapis semu

Sel Goblet

Mukus
Sel basal
Lamina propia

Serous gland

Sumber : Ropii, 2012

Sumber : Tortora dan Derrickson, 2012

4.1.2 Tabel Pengukuran Laju respirasi


4.1.2.1.

Mencit (Mus musculus)


Mencit jantan

Berat (gr)

Mencit Betina

Laju respirasi
(

34,7

Berat (gr)

Laju respirasi
(

1,1239

28,2

)
0,0106

Sumber: Berbagai kelompok ProAnFisWan lab Instruk Barat

4.1.2.2.

Ikan Komet (Carassius Auratus)

Variabel

Massa ikan

T0

T1

Laju respirasi
(

Air keran

6,40 gram

0,75 ml

0,625 ml

0,125 ml

4,8827 x 10-3

Akuades

5,88 gram

0,725 ml 0,875 ml

0,105 ml

6,3775 x 10-3

Air deterjen

6,48 gram

1,35 ml

0,275 ml

10,6095 x 10-3

Sumber: Kelompok Dian C.P. dkk.

1,075 ml

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan dan penghitungan laju respirasi pada ikan komet,
dapat ditemukan bahwa laju respirasi pada variabel air keran, akuades dan air deterjen
berbeda-beda. Pada variabel air deterjen, laju respirasi ikan komet sangat tinggi. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kadar O2 dalam air yang disebabkan oleh penambahan
deterjen sehingga PO2 dalam air menurun yang menyebabkan ikan bernapas sangat cepat
karena kesulitan mendapat oksigen. Di lain pihak, pada variabel air keran, laju respirasi
ikan komet sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh kadar O2 dalam air keran relatif lebih
tinggi dibanding kadar O2 pada air deterjen dan akuades.
Pada laju respirasi mencit, laju respirasi mencit jantan lebih besar dari laju respirasi
mencit betina. Hal ini disebabkan oleh mass mencit jantan lebih besar dari massa mencit
betina sehingga mencit jantan lebih membutuhkan banyak oksigen dibanding dengan
mencit betina. Hal ini menyebabkan mencit jantan bernapas lebih cepat guna mendapat
oksigen yang dibutuhkan dalam sebuah respirometer yang membuat mencit sulit
mendapat oksigen.
Faktor-faktor yang memengaruhi laju respirasi antara lain adalah perubahan
temperatur tubuh, perubahan tekanan darah, perubahan PO2 pada arteri, perubahan PCO2
pada arteri, perubahan aktivitas dari proprioceptor, terjadinya hiperventilasi atau
hipoventilasi yang disebabkan oleh korteks cerebral, dan tertangkapnya sebuah impuls
rasa sakit. Faktor-faktor tersebut dapat membuat laju respirasi semakin bertambah
ataupun berkurang dari laju respirasi normal. Berdasarkan faktor-faktor yang telah
disebutkan, dapat disimpulkan bahwa faktor homeostasis sangat memengaruhi laju
respirasi.

BAB V
KESIMPULAN

1. Berdasarkan percobaan dan pengamatan yang telah dilakukan, didapat hasil laju respirasi
ikan komet untuk media air keran adalah 4,8827 x 10-3 mL/jam x gram, untuk akuades
adalah 6,3775 x 10-3 mL/jam x gram, dan untuk air detergen 10,6095 x 10-3 mL/jam x
gram. Hasil ini menunjukkan laju respirasi meningkat ketika ketersediaan oksigen terlarut
berkurang dalam air.
2. Berdasarkan percobaan dan pengamatan yang telah dilakukan, telah didapat hasil untuk
mencit jantan adalah 1,1239 mL/detik gram, dan untuk mencit betina 0,0106 mL/detik
gram. Hasil ini menunjukkan hewan jantan memiliki laju respirasi lebih besar karaena
massa tubuhnya relatif lebih besar daripada hewan betina sehingga mencit jantan lebih
membutuhkan oksigen yang lebih banyak dari pada mencit betina yang membuat mencit
jantan bernapas lebih cepat dibandingkan mencit betina.
3. Berdasarkan praktikum dan pengamatan yang telah dilakukan, kita dapat menentukan
histologi bronkiolus pada Ratus sp. dn trakea pada Lepus sp. melalui pengamatan dengan
menggunakan alat bantuk mikroskop. Pada bronkiolus, kita dapat menemukan adanya
pembuluh darah, alveoli sacs dan alveoli ducts. Pada trakea, kita dapat melihat adanya
jaringan epitel berlapis semu yang merupakan bagian terluar dari trakea, sel goblet yang
menyerupai epitel berlapis semu tetapi tidak memiliki silia dan memiliki kemampuan
untuk mensekresikan mukus. Selain itu, jika kita telusuri lebih dalam lagi, kita dapat
menemukan lamina propina, jaringan adiposa, serta kartilago.

DAFTAR PUSTAKA
Bailey, C.B. , Kitts,W.P. , Wood, A.J. . 1956. Simple Respirometer for Small Animal.
Anadian Journal of Animal Science.
Bartholomew, Martini, Nath. 2012. Fundamentals of Anatomy and Physiology 9th. Pearson
International: New York
Bruckner, M.Z. 2012. The Winkler Method Measuring Dissolved Oxygen.
http://serc.carleton.edu/microbelife/research_methods/environ_sampling/oxygen.html
(diakses pada 18/09/2012).
Campbell, Reece, Urry, Peterson, Wasserman, Minorsky, Jackson. 2008. Biology Concept
and Connection 7th. Pearson International: New York.
Hutagalung, Horas P. , Rozak, Abdul, Lutan, Irman. 1985. Beberapa Catatan Tentang
Penentuan Kadar Oksigen Dalam Air Laut Berdasarkan Metode Winkler. Jurnal
Oseana Volume X Nomor 4: 138-149.
Tortora, Gerard J. , Bryan Derrickson. 2011. Principles of Anatomy and Physiology 13th.
John Wiley and Sons Inc: New York.
Snyder, F., J. A. Hobson, D. F. Morrison, F. Goldfrank. 1964. Changes in Respiration, Heart
Rate, and Systolic Blood Pressure in Human Sleep. Jurnal Aplikasi Fisiologi. Vol 19,
hlm 417-422.
Simmons, F. E. R. 1999. Allergic Rhinobronchitis: The AsthmaAllergic Rhinitis Link.
Jurnal Alergi dan Immunitas. Vol 104, hlm 534-540.

Anda mungkin juga menyukai