Anda di halaman 1dari 16

TUGAS INDIVIDU GEOLOGI TEKNIK

KAJIAN TERHADAP HASIL PENYELIDIKAN GEOLOGI


TEKNIK BENDUNG GAPIT, PULAU SUMBAWA

Disusun oleh:
SYAHENDI OKKA ARSADA
121.10.1148
Kelas A

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND
YOGYAKARTA
T.A. 2013/2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan rizki-Nya, sehingga penulis masih bisa diberi kenikmatan dan
kesehatan hingga saat ini.
Makalah yang penulis buat ini tentang Mitigasi Bencana Alam, karena Negara
Indonesia adalah negara yang terletak di daerah tropis, sehingga sangat rentan
sekali terhadap bencana alam.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ayah dan Ibu penulis yang selalu mendoakan dan mendukung, agar selalu
optimis.
2. Adek-adek tercinta yang selalu menjadi penyemangat.
3. Fivry Wellda, S.T., M.T yang telah memberikan kuliah Geologi Teknik
kepada penulis.
4. Teman-teman TPA/TKA Al-Inayah yang selalu memberi motivasi dalam
menjalani hidup.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan,
sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun, sangat diharapkan demi
kemajuan dan perbaikan.
Demikian hatur kata penulis, semoga makalah ini bermanfaat untuk penulis
pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 24 Oktober 2014

Penulis

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI

iii

DAFTAR GAMBAR

iv

BAB I PENDAHULUAN

BAB II HASIL KAJIAN

BAB III MASALAH PONDASI BENDUNG

DAFTAR PUSTAKA

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Rencana AS DAM

Gambar 2. Penampang Geologi Rencana AS DAM

Gambar 3. Sketsa penampang kondisi tanah pondasi tubuh bendung

10

iv

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.


Negara Indonesia secara geografis terletak di daerah khatulistiwa dan
merupakan negara tropis yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi,
sehingga memiliki daya tamping air yang banyak untuk membuat bendung.
Pelaksanaan peninjauan lapangan dimaksudkan untuk mengkaji hasil
penyelidikan geoteknik di lokasi rencana Bendung Gapit Pulau Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat, yang dilaksanakan oleh PT. Cita Prisma dari Bandung
(Anon, 1990). Pekerjaan ini termasuk mengkaji prosedur dan metode yang
digunakan dalam pemboran teknik, contoh hasil pemboran, dan uji kelulusan
air pada lubang bor. Data geologi dan berbagai data mengenai kondisi muka air
tanah pada saat dilakukan pemboran dikaji pula lebih dahulu.

B. Tujuan.
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui kajian terhadap hasil penyelidikan geologi teknik pada
bendung.

C. Manfaat.
Manfaat dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui manfaat dari bending terhadap masyarakat.

BAB II
HASIL KAJIAN

A. Kondisi Geologi.
Rencana lokasi As Bendungan dan daerah genangan berada pada
perbukitan landau bergelombang lemah, sedangkan yang berlereng terjal
arealnya terbatas. Singkapan batuan dasar sangat jarang dijumpai, umumnya
tertutup oleh tanah pelapukan dan endapan kolovial. Alluvium terdiri dari
lanau, pasir, dan kerikil yang diendapkan di sepanjang aliran Sungai gapit.
Seperti terlihat pada Peta Geologi Daerah Rencana As DAM (Gambar 1),
tidak terlihat perbedaan antara breksi andesit terubah dengan endapan talus. Di
sekitar lokasi rencana As Bendungan (dam site) dibangun oleh batuan andesit
dan breksi andesit yang tampak masing masing mempunyai tekstur yang
berbeda, dan dapat diamati bahwa secara umum batuan andesit di atas telah
teralterasi. Di sebelah barat dari dam site, tersingkap breksi tufa di sekitar
aliran sungai, kontak batuan ini dengan dengan breksi andesit di atas dapat
diperkirakan pada beberapa lokasi di daerah genangan pada saat pekerjaan test
pit untuk mengidentifikasi kondisi material lempung.
Batuan batuan tersebut di atas berumur Miosen berdasarkan Peta
Geologi Pulau Sumbawa, skala 1 : 250.000 (Sudradjat, 1975).

B. Pekerjaan Pemboran.
Secara umum, pemboran dilakukan dengan cara single tube core barrel
(tabung penginti tunggal) dengan mata bor tungsten carbide. Beberapa lubang
bor menggunakan double tube core barrel (tabung penginti ganda), tetapi
kualitas contoh inti lebih buruk dari pada menggunakan single tube core
barrel, tidak diperoleh alasan yang jelas. Hasil pemboran dengan single tube
core barrel cenderung menyebabkan contoh menjadi terpecah pecah dan
banyak dijumpai contoh batu tertutup oleh tanah. Sebenarnya ada
kecenderungan bahwa tanah yang menyelimuti contoh inti tersebut adalah
menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Apabila kondisi di atas benar demikian (perkiraan kondisi yang paling


buruk), akan sangat menguntungkan bagi pertimbangan faktor keamanan
dalam analisis pondasi. Pemboran semakin dalam, sering dijumpai material
loss (contoh tidak terambil), hal ini membuktikan bahwa batuan telah berubah
menjadi tanah akibat proses alterasi pada batuan tersebut.

C. Geoteknik.
1. Satuan Tanah.
Tanah penutup di sekitar lembah sungai dan dataran banjir terdiri
dari tanah lanau lempungan dengan tebal antara 1,5 2,5 meter. Tanah
lanau lempungan tersebut emnumpang di atas tanah pasir dan kerikil
dengan tebal sekitar 5 meter, data lapisan tanah tersebut dihasilkan dari
pemboran DH11, nilai N SPT bervariasi dari 30 79, yang pada masing
masing interval kedalaman 15 cm antara 5 54.
Tanah penutup seperti di atas juga menutup endapan kolovial yang
relative tipis dan tidak terkonsolidasi terdiri dari lempung lanauan
bercampur kerikil batuan beku. Ketebalan dari batuan yang melapuk
umumnya anatara 10 15 meter (diperoleh dari data pemboran),. Secara

umum terdiri dari tanah lempungan bercampur kerikil hingga berangkal


batuan (kandungan antara 10 5 %), komponene batuan tersebut melapuk
sedang hingga melapuk tinggi, dan sebagian melapuk ringan. Nilai N
SPT pada lapisan batuan yang melapuk berkisar antara 30 93, dan dari
setiap interval kedalaman 15 cm berkisar antara 5 65. Tidak diperoleh
informasi dari hasil analisis besar butir dan Atterberg limit, sehingga sukar
menetukan parameter tanah yang ada pada batuan yang melapuk tersebut.
Contoh inti dari batuan yang melapuk bervariasi dari buruk hingga
baik, dengan inti terambil 50 80 %, pada lubang pemboran miring dan
lokasinya berada di ketinggian yaitu DH10, 12, 14 dan 18.
Pada titik bor yang lainnya termasuk DH27 di bagian hampir
puncak dari Bukit Batu (rock nob) yang digunakan sebagai abutment
(sandaran) kanan bendung utama, contoh inti berkisar dari 90 100 %.
Nilai RQD rendah, karena diperkirakan ada hubungannya dengan
terjadinya Bukit Batu di atas, yaitu berupa block batuan dengan kekuatan
masa batuan rendah (low mass strength).

2. Satuan Batuan.
Batuan dasar pada lokasi rencana tubuh bendung terdiri dari batuan
andesit yang teksturnya bervariasi. Dari pengamatan terhadap contoh inti,
jenis batuan andesit hampir sama, yaitu andesit porfir berwarna abu abu
gelap terdiri dari butiran Kristal berbentuk hampir bulat hingga hampir
menyudut berukuran 1 10 cm, fenokris plagioklas yang telah melapuk
berubah berubah menjadi butiran material lempung berwarna putih, dan
sangat jarang dijumpai kristal plagioklas yang segar.
Jenis batuan andesit diatas dapat dijumpai pada lubang bor DH11
& DH12, tetapi umumnya dijumpai di setiap lubang bor yang ada. Pada
batuan yang melapuk ringan hingga segar, batuan yang bersifat keras
hingga sangat keras (berdasarkan pukulan palu). Apabila batuan telah
mulai melapuk, warna berubah menjadi kecoklatan, demikian juga
kekuatan batuannya menurun, sedangkan apabila telah melapuk menengah

hingga tinggi, batuan mudah hancur dengan pukulan palu. Hanya satu
singkapan andesit porfir yang dijumpai, yaitu di tebing sungai sebelah
timur rock nob.
Kenampakan contoh inti yang penting dari andesit porfir adalah
adanya kecenderungan untuk remuk (slake). Kecenderungan untuk remuk
terutama sekali pada contoh inti bagian bawah dari DH12, walaupun
kenampakannnya segar. Kekerasan dari contoh inti yang cenderung untuk
remuk, mulai dari sangat lunak sampai lunak dan mudah dipotong dengan
pisau. Proses ini diawali dengan retakan retakan yang tidak beraturan
pada contoh inti.
Kajian terhadap contoh inti tersebut dilaksanakan setelah kurang
lebih tiga bulan setelah dilakukan pemboran. Penyebab dari slaking,
apakah dari udara atau air, belum dapat dipastikan.
Setempat dijumpai jenis batuan andesit yang mengalami perubahan
berangsur kearah andesit porfir. Andesit ini berwarna jingga hingga abu
abu, terdiri dari butiran halus dan secara umum tidak terdapat fenokris,
batuan jenis ini dijumpai di kedalaman 12,5 m dan 14,5 m pada lubang bor
DH16 dan DH17. Juaga dijumpai jenis andesit yang berkekar rapat, yang
memanjang dan diisi oleh mineral kalsit dan kuarsa, sehingga menyerupai
batas yang membentuk komponen komponen yang berukuran 5 20 cm,
berkomposisi andesit porfir.
Breksi andesit tersingkap cukup baik, seperti pada lereng rock nob,
diantara pemboran DH25 dan DH 26 juga dari rock nob sedikit kea rah
hulu dan hilir dekat rencana As Bendungan abutment kiri. Breksi andesit
juga teramati pada contoh pemboran DH18, pada kedalaman antara 7 17
meter dan DH22 pada kedalaman 9 22 meter, dan juga pada beberapa
titik pemboran lainnya. Dari pengamatan terhadap breksi andesit dari
lubang bor di atas, batuan terkekarkan cukup intensif sehingga nilai RQD
45 71, relative lebih rendah dari andesit porfir, yang mencapai 58 96.
Namun cukup sukar untuk menentukan penyebab dari proses
pelapukan dan kerusakan struktur batuan tersebut di atas.

Di bagian bawah dari abtuan yang melapuk, inti terambil dari


bataun andesit porfir umumnya berkisar antara 90 100 %, meskipun
sering kali dijumpai lapisan dengan inti terambil yang berkisar 75 85 %.

3. Kekar dan Retakan.


Retakan retakan pada contoh inti sukar di identifikasi sebab
pemboran menggunakan single tube core barrel, atau secara umum dapat
dikatakan bahwa retakan yang ada rapat hingga sangat rapat dan banyak
dijumpai inti yang patah akibat pemboran.
Pada breksi andesit yang melapuk ringan hingga segar lebih
banyak dijumpai retakan dari pada andesit porfir dengan kondisi yang
sama (melapuk ringan).
Kekar pada batuan yang relative segar di bagian bawah dari batuan
yang sudah lapuk sering di isi oleh mineral kalsit yang bersifat agak keras.
Bukaan kekar yang terisi oleh kalsit dijumpai di DH12 pada kedalaman 35
meter, dan sedikit petunjuk bahwa di bawah kedalaman sekitar 17 meter
akan dijumpai kekar dan batuan yang telah melapuk.
Secara setempat, retakan dibuktikan dengan sebaran mineral kalsit
berwarna coklat dan gejala pelapukan pada batuan dan kadang kadang
disertai dengan perubahan batuan menjadi material lempung. Proses
tersebut di atas dijumpai pemboran DH10, 14, 25 dan 27.

4. Permeabilitas dan Airtanah


Uji permeabilitas dilaksanakan pada setiap lubang pemboran, yaitu
dengan Metode Open Hole (lubang bor terbuka) dan Packer Pressure (uji
kelulusan bertekanan), dengan interval kedalaman uji setiap 3 meter.
Nilai kelulusan hasil pengujian mempunyai kisaran yang panjang
(besar), hal ini dikarenakan oleh jenis material yang ada, dan diakibatkan
oleh ketidaksamaan atau ketidaktelitian dari metode pengujian. Seperti
telah dilaporkan bahwa nilai permeabilitas berkisar dari 5 x 10-3 2 x 10-5
cm/detik dan rata rata 5 x 10-4 cm/detik pada batuan yang telah lapuk,

sedangkan pada lapisan batuan segar nilai permeabilitas berkisar dari 7 x


10-4 3 x 10-5 cm/detik.
Nilai permeabilitas dari hasil pengujian agak terlalu tinggi,
alasannya sebagai berikut :
Pertama : Banyak pelaksanaan uji packer pressure pada batuan lapuk
tinggi, yang dapat di kategorikan sebagai tanah. Jenis pengujian
ini umumnya tidak sesuai untuk material tanah, sebab tanah tidak
akan mampu menerima dan mempertahankan tekanan air,
sehingga dinding lubang bor akan runtuh.
Kedua : Open hole test banyak dilakukan pada material yang tidak jenuh
air.
Ketiga : Tidak ada pengukuran muka airtanah selama pelaksanaan
pemboran dan selama pengujian, dan data yang diperoleh selama
peninjauan lapangan, menunjukkan tinggi muka airtanah menjadi
lebih tinggi dari pada ukuran yang diambil untuk perhitungan test
permeabilitas.
Berdasarkan dua point yang pertama, nilai permeabilitas akan
cenderung menjadi lebih rendah. Point yang terakhir akan menyebabkan
penurunan dalam nilai uji packer yang dilaksanakan di bawah muka
airtanah.
Berdasarkan keadaan di atas dan mempertimbangkan bahwa
contoh inti umumnya berupa tanah lempungan dan batuan yang sudah
melapuk, maka perkiraan nilai permeabilitas yang tinggi. Tinggi muka
airtanah yang diukur selama peninjauan lapangan diperlihatkan pada
Gambar 2, indikasi muka airtanah kedalamannya dapat diperkirakan pada
abutment dan pada bagian lain disepanjang rencana tubuh bendungan.
Secara relatif kedalaman (tinggi dan rendahnya) muka airtanah
akan menggambarkan secara umum nilai yang diperoleh dari uji
permeabilitas.

BAB III
MASALAH PONDASI BENDUNG

Berikut permasalahan geologi yang berkaitan dengan rencana pondasi bendungan:


1.

Pada profil (Gambar 3) terlihat penggalian tanah pondasi rata rata 5


meter di bawah tubuh bendungan, termasuk kondisi tanahpondasi secara
umum dan rencana perbaikan tanah pondasi (grouting). Sedangkan
berdasarkan pada pemboran DH11 di lembah sungai, dijumpai endapan lanau,
pasir dan kerikil (aluvium) yang tebalnya 7 meter, menumpang di atas batuan
yang melapuk tinggi dengan ketebalan 2,5 meter. Apabila mengacu pada
parameter tanah pondasi yang di sarankan mempunyai nilai N SPT > 40 dan
nilai K = 10-4 cm/detik dan lebih dari kedalaman 3 meter sudah dijumpai
muka airtanah, maka sebaiknya mengupas atau membuang tanah tersebut.
Dalam hal ini memang terlalu banyak menggali atau membuang tanah,
akan tetapi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya dukung tanah
pondasi. Untuk mengamati rembesan air, bagaimanapun juga pembuataan
puritan (trench) yang cukup dalam hingga batuan segar adalah alternatif yang
paling ekonomis pada tanah aluvium (Frey, 1990). Endapan aluvial di atas,
tidak dijumpai di kedua abutment bendung utama dan bendung penutup
(saddle dam) atau di bagian bawah saddle dam. Di lokasi abutment
pengupasan tanah pondasi antara 5 7 meter, sudah diperoleh lapisan tanah
pondasi yang cukup memadai. Penanggulangan rembesan tidak cukup
memadai pada kedalaman tersebut, bagaimanapun harus juga berdasarkan
pada hasil uji permeabilitas.
Secara setempat perlu dilakukan pengupasan yang lebih dalam untuk
menanggulangi rembesan di daerah ini.

2.

Hasil akhir permukaan tanah hasil pengupasan akan tidak rata, hal ini
disebabkan oleh kekerasan dan kekuatan batuan yang bervariasi. Untuk itu
slush grouting (penyemenan permukaan) pada permukaan tanah pondasi lebih
cocok, untuk perbaikan tanah pondasi, pada batuan yang mudah hancur (Frey,
1990).

10

11

Dalam penanggulangan rembesan dengan pembuatan paritan hingga


kedalaman batuan yang cukup segar juga dapat digunakan cara concrete back
fill (pembetonan atau pengisian beton).

3.

Curtain grouting (penyemenan tirai) pada lapisan batuan yang lapuk tidak
cukup sesuai (hasilnya tidak akan optimal) karena melampau tinggi
kandungan lempung (Frey, 1990). Titik pemboran di sepanjang rencana poros
bendung tidak mengindikasikan orientasi kekar pada batuan segar. Seperti
yang telah disinggung batuan lapuk yang lunak berada atas dari batuan yang
segar, mengindikasikan kondisi material yang lulus air. Kondisi ini menjadi
bahan pertimbangan adanya perbaikan, sebab kemungkinan akan terjadi
proses piping pada material, maka curtain grouting diperlukan pada
kedalaman 3 5 meter di bagian atas dari batuan segar.

4.

Pengupasan lapisan batuan lapuk untuk penumpu pondasi tubuh bendung,


akan menghadapi kesulitan sebab ketebalan lapisan yang bervariasi dan juga
berbentuk bongkah. Meskipun tebal pengupasan lebih 5 meter hingga 7

12

meter, di beberapa lokasi harus menggunakan cara blasting (peledakan)


karena dijumpai batuan yang keras. Kedalaman pengupasan tanah yang
diperlukan bergantung pada kondisi pada saat konstruksi, juga dapat
ditentukan cara penanggulangan yang lebih sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Anon. 1990. Review Design Embung Gapit, Geotechnical Report. PT. Cita
Prisma. Bandung.
Frey, D. A. 1990. Geologic Report Gapet Irrigation Project. SSIMP. West Nusa
Tenggara Irrigation Project.
Sudrajat, A. 1995. Peta Geologi Pulau Sumbawa. PPPG. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai