Anda di halaman 1dari 9

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Arahan Pengaturan Zonasi di Kawasan Rawan Bencana (Studi


Kasus Kawasan Bandung Utara)
Pratiwi Istiwigati

, Denny Zulkaidi

(1)

(2)

(1)

Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), ITB.

(2)

Kelompok Keilmuan Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembanan
Kebijakan (SAPPK), ITB.

Abstrak
Kawasan Bandung Utara merupakan kawasan dengan jenis dan tingkat kerawanan
bencana beragam, mulai dari bencana erupsi gunung api, bencana gerakan tanah dan
atau tanah longsor, serta bencana gempa bumi. Oleh karena itu dalam pemanfaatan
ruangnya membutuhkan aturan yang jelas mengenai standar teknis serta persyaratan
terkait pengendalian pola ruang di Kawasan Bandung Utara. Berdasarkan
pertimbangan kebencanaan, Kawasan Bandung Utara memerlukan peraturan yang
mengatur pemanfaatan ruangnya yang mempertimbangkan aspek kerawanan
bencana. Hal ini bertujuan agar dapat meminimalisir dampak yang dapat ditimbulkan
dari bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Pengaturan zonasi sebagai indikator
pengendalian pemanfaatan ruang di KBU dipilih karena dianggap cara paling tepat
untuk mengendalikan pemanfaatan ruang di KBU. Pengaturan zonasi yang diperlukan
adalah arahan pengaturan zonasi yang mempertimbangkan aspek kerawanan
bencana di masing-masing kawasan yang terdapat di KBU. Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan 27 potensi bencana dengan tingkat kerawanan rendah, sedang,
dan tinggi, serta menghasilkan empat tipologi persoalan pengendalian yaitu, rendah
(A), sedang (B), tinggi (C), dan sangat tinggi (D). Keempat tipologi persoalan tersebut
menentukan arahan pengaturan zonasi apa yang tepat dilakukan di masing-masing
kawasan sesuai dengan kondisi kerawanan bencananya, dan dari empat tipologi
tersebut dihasilkan empat arahan zonasi untuk pengendalian pemanfaatan ruang di
KBU, yaitu zonasi III (zona kerawanan rendah), II (zona kerawanan sedang), Ia (zona
kerawanan sangat tinggi), dan Ib (zona kerawanan sangat tinggi).
Kata Kunci:

Pengaturan Zonasi, Rawan Bencana, Kawasan Bandung Utar

a
Pengantar
Kawasan
Bandung
Utara
(KBU)
merupakan kawasan yang terletak
pada
empat
wilayah
kota
dan
kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung,
Kabupaten
Bandung
Barat,
Kota
Bandung, dan Kota Cimahi. Luas
wilayah KBU adalah kurang lebih
38.548,33 hektar dengan jumlah
penduduknya kurang lebih 1.489.846
jiwa.
Kerawanan
bencana
yang
terdapat di KBU dilatarbelakangi oleh
kondisi geografis wilayah tersebut
yang berada di daerah gunung api
aktif Tangkuban Perahu, merupakan
wilayah patahan aktif yaitu patahan
lembang, serta kondisi kemiringan
lerengnya yang berkisar antara 20 >40%. Kondisi tersebut menimbulkan
potensi bencana yang beragam, yaitu
bencana erupsi gunung api Tangkuban
Perahu, bencana gerakan tanah dan
atau tanah longsor, serta bencana
gempa bumi yang dapat ditimbulkan
dari erupsi gunung api (gempa

vulkanik) dan yang ditimbulkan dari


pergeseran lempeng aktif di daerah
sesar
(gempa
tektonik).
Potensi
bencana yang ditimbulkan memiliki
tingkat kerawanan bencana yang
beragam, mulai dari rendah, sedang,
tinggi,
hingga
sangat
tinggi,
tergantung pada kondisi masingmasing
wilayahnya.
Berdasarkan
kondisi geografis wilayahnya, kawasan
yang memiliki tingkat kerawanan
tinggi hingga sangat tinggi terletak di
kawasan Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Bandung Barat. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor atau kondisi
wilayahnya yang berada disekitar atau
dekat dengan Gunung Tangkuban
perahu dan berada pada wilayah
patahan Lembang.
Rawan bencana merupakan kawasan
atau wilayah yang memiliki potensi
terjadinya bencana alam maupun non
alam yang disebabkan oleh faktor
geologi, geografi, hidrologi, demografi
serta
lingkungan
hidup
sebuah

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B


SAPPK V3N1 | 175

Arahan Pengaturan Zonasi di Kawasan Rawan Bencana (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara)

kawasan dan dapat menimbulkan kerugian fisik,


materi, maupun kerugian jiwa bagi manusia yang ada
di sekitarnya (Ramli, 2010). Kawasan rawan bencana
adalah suatu wilayah yang memiliki kondisi atau
karakteristik
geologis,
biologis,
hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan teknologi yang untuk jangka waktu
tertentu tidak dapat atau tidak mampu mencegah,
meredam, mencapai kesiapan, sehingga mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk
bahaya tertentu (Tondobala, 2011).
Gempa bumi adalah gerakan mendadak dalam
lapisan bumi yang disebabkan oleh interaksi lempeng
tektonik dan menyebabkan penderitaan manusia,
hilangnya aset/barang berharga, hewan, dan lain-lain
(Ghosh, 2008:3). Tanah longsor merupakan gejala
alam yang seringkali terjadi di kawasan pegunungan
yang terjal dan tidak stabil, tanah longsor terjadi bila
ada daya pendorong (sudut lereng suatu kawasan)
pada lereng lebih besar daripada gaya penahannya
(kekuatan batuan dan kepadatan tanah), semakin
curam sudut kemiringan lereng suatu kawasan
semakin
besar
kemungkinan
terjadi
longsor
(Nugraha, 2010:2). Letusan gunung api terjadi akibat
endapan magma di dalam perut bumi yang di dorong
keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Bahaya yang
mungkin ditimbulkan dapat berupa bahaya primer
dan bahaya sekunder, di antaranya adalah awan
panas, kebakaran hutan, eksplosif, banjir lahar
dingin, penyebaran uap belerang dan longsoran
kubah lava (Sukandarrumidi, 2010:74).
Kondisi KBU dengan tingkat kerawanan bencananya
membutuhkan perangkat pengendalian pola ruang
yang sesuai dengan kondisi kerawanan di masingmasing wilayah. Pola ruang adalah distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya (UU No. 26
tahun 2007 Tentang Penataan Ruang). Oxford
Dictionaries
(2013)
menyebutkan
bahwa
pengendalian
adalah
kekuasaan
untuk
mempengaruhi
atau
mengarahkan
perilaku
masyarakat atau jalannya peristiwa. Perangkat
kendali merupakan susunan peraturan atau kebijakan
yang dibuat dan digunakan untuk membuat ruang
atau wilayah berfungsi secara baik atau sesuai
dengan peruntukannya (UU 26 Th.2007 tentang
penataan
ruang).
Menurut
Ibrahim
(1998)
pengendalian pemanfaatan ruang adalah manajemen
pengelolaan kota yang sangat diperlukan oleh
manajer kota untuk memastikan bahwa perencanaan
tata ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruangnya
telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan.
Peraturan terkait pengendalian pemanfaatan ruang di
KBU tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 01 tahun 2008 tentang
Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan
Bandung Utara, dan Peraturan Gubernur Jawa Barat
Nomor 58 tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan
176 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1

Perda Jabar Nomor 01 tahun 2008. Peraturan tersebut


mengatur ketentuan dan persayaratan dalam
memanfaatkan ruang yang ada di Kawasan Bandung
Utara. Peraturan terkait pengendalian pemanfaatan
ruang di KBU tersebut mengatur secara jelas, bahwa
dalam memanfaatkan ruang yang terdapat di KBU
memiliki aturan dan ketentuan tertentu yang harus
dipatuhi oleh pengembang dan atau pemilik lahan itu
sendiri. Peraturan daerah tersebut menggolongkan
indikator kerawanan bencana sebagai bagian dari
kawasan lindung, jadi dalam aturan pengendaliannya
kawasan lindung merupakan kawasan yang mutlak
dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya kegiatan
budidaya. Namun, Peraturan Daerah Nomor 01/2008
tersebut belum membahas secara detail indikator
kerawanan bencana sebagai pertimbangan dalam
pemanfaatan ruang di KBU.
Kawasan
lindung
merupakan
kawasan
yang
ditetapkan
dengan
fungsi
utamanya
untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada,
yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya
buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang
bisa menunjang pemanfaatan budidaya (Utomo,
1992). Mengingat kondisi KBU dengan tingkat
kerawanan
bencananya,
seharusnya
indikator
kerawanan bencana menjadi faktor penting yang
wajib dipertimbangkan dalam aturan pengendalian
pemanfaatan ruang di KBU. Hal ini bertujuan agar
pelanggaran pemanfaatan ruang yang terdapat di
KBU dapat diminimalisir.
Arahan pengaturan zonasi sangat diperlukan agar
pemerintah dapat menjadikannya sebagai bahan
pertimbangan dalam memberikan izin pembangunan
di KBU. Peraturan zonasi adalah hukum yang
ditetapkan oleh lembaga legislatif daerah yang
menggambarkan
zonasi
dari
seluruh
daerah
(kemudian
disebut
sebagai
zonasi
yang
komprehensif) dan menetapkan penggunaan yang
diperbolehkan dalam setiap zona (Leung, 1989).
Pengaturan zonasi adalah ketentuan tentang
persyaratan pemanfaatan ruang sektoral dan
ketentuan persyaratan pemanfaatan ruang untuk
setiap blok/zona peruntukan yang penetapan
zonanya dalam rencana rinci tata ruang (PP No. 15
tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang). Pengaturan zonasi dalam peraturan tersebut
memuat ketentuan yaitu a) jenis kegiatan yang
diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan
tidak diperbolehkan; b) intensitas pemanfaatan
ruang; c) prasarana dan sarana minimum; dan d)
ketentuan lain yang dibutuhkan. Peraturan zonasi
memuat hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan
ruang,
termasuk
pengaturan
koefisien
dasar
bangunan, koefisien lantai bangunan, penyediaan
ruang terbuka hijau publik, dan hal-hal lain yang
dipandang perlu untuk mewujudkan ruang yang
nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Dardak,
2005:8).

Pratiwi Istiwigati

Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis
penelitian
eksploratif,
dengan
tujuan
untuk
memperoleh keterangan, penjelasan dan data-data
yang belum diketahui. Metode penelitian yang
digunakan adalah gabungan kualitatif dan kuantitatif,
dimana terdapat persoalan yang dapat dijelaskan
secara kalimat atau deskripsi namun terdapat pula
permasalahan yang harus dijelaskan dengan atau
secara matematis, misalnya dengan penggunaan GIS
dalam pengolahan data peta. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif dan empirik. Pendekatan empirik dilakukan
dengan mengidentifikasi persoalan yang terjadi di
Kawasan
Bandung
Utara,
dikaitkan
dengan
pengendalian pembangunan yang ada untuk
Kawasan Bandung Utara. Pendekatan normatif
dilakukan dengan cara mengkaji konsep, teori dan
metoda serta peraturan perundang-undangan, baik
tingkat nasional, provinsi, maupun kota yang terkait
dalam konteks pengendalian pembangunan untuk
Kawasan Bandung Utara
Metode Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan melakukan survey langsung
ke lapangan dan juga dengan mengumpulkan datadata sekunder. Survey data primer dilakukan dengan
mendatangi dinas yang terkait dengan pengendalian
di KBU, seperti Dinas Permukiman dan Perumahan
Provinsi Jawa Barat, Badan Pertanahan Nasional,
Badan Pusat Perizinan Terpadu, Dinas Tata Ruang dan
cipta karya, Badan Geologi, Pusat Vulkanologi, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa
Barat, dan lain-lain. selain pengumpulan data primer,
pengumpulan atau survey sekunder juga dilakukan
dengan melakukan diskusi kepada pakar ahli geologi
tata lingkungan. Survey sekunder dilakukan dengan
menghimpun data-data melalui buku, jurnal, internet,
dan lain sebagainya.
Metode Analisis Data
Penelitian ini akan mendeskripsikan datadata yang
diperoleh secara dalam atau dianalisis menurut
isinya, atau lebih dikenal dengan analisis isi (content
analysis). Teknik analisis yang digunakan disesuaikan
dengan sasaran penelitian yang ada. Teknik analisis
kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan hasil
kajian
secara
mendalam,
sedangkan
teknik
kuantitatif dilakukan untuk menjelaskan atau
menganalisis data-data yang tidak dapat dijelaskan
secara kualitatif, misalnya pengolahan peta yang
harus menggunakan GIS tidak dapat dilakukan
secara kualitatif, hasil dari interpretasi peta tersebut
nantinya akan dijabarkan secara kualitatif agar
mudah dimengerti. Teknik analisis data dalam
penelitian ini secara singkatnya adalah, sasaran
penelitian 1) mengintegrasikan norma pengendalian
pembangunan kawasan rawan bencana dan kawasan
lindung, menggunakan teknik analisis konten;
sasaran penelitian ke sasaran ke 2) menyusun
tipologi persoalan pengendalian pembangunan di
Kawasan Bandung Utara, dengan cara yang pertama

adalah, mengidentifikasi tingkat kerawanan atau


besaran potensi bencana yang ditimbulkan di
wilayah yang berada di Kawasan Bandung Utara,
menggunakan teknik analisis kuantitatif dengan
metode GIS dan juga teknik analisis kualitatif. Kedua,
mengidentifikasi pemanfaatan ruang yang terdapat
di Kawasan Bandung Utara, menggunakan teknik
analisis
kuantitatif
yaitu
pengolahan
peta
menggunakan GIS dan teknik kualitatif untuk
menjelaskan kondisi seharusnya yang ada di
Kawasan Bandung Utara; dan sasaran ke 3)
menyusun solusi untuk permasalahan di KBU,
menggunakan teknik analisis kualitatif, dan sasaran
ke 4) menyusun arahan pengaturan zonasi di KBU,
dengan menggunakan teknik analisis kualitatif
berdasarkan hasil dari sasaran tiga. Hasil opsi
kebijakan tersebut dapat menentukan arahan zonasi
apa yang tepat dilakukan di KBU sesuai dengan
tingkat kerawanan bencananya.
Hasil Analisis/Hasil Studi
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat
peraturan yang membahas tentang pengendalian
pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana, baik
skala nasional maupun provinsi. Peraturan terkait
pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan
bencana yang telah ada belum membahas secara
detail kondisi kerawanan bencana di sebuah wilayah.
Peraturan
terkait
kawasan
rawan
bencana
merupakan indikator dalam menentukan kawasan
lindung, belum ada spesifikasi tersendiri yang
membahas peraturan terkait kerawanan bencana.
Secara nasional, peraturan terkait pemanfaatan
ruang di kawasan rawan bencana diatur dalam
Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dan dalam Undang-undang Nomor
24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kedua peraturan tersebut menjelaskan bahwa
wilayah yang masuk kedalam kawasan rawan
bencana memiliki syarat dan ketentuan tertentu
dalam pemanfaatan ruangnya. Namun belum ada
pemilahan antara peraturan terkait kawasan lindung
dan kawasan rawan bencana, masih menjadi satu
kesatuan dalam kebijakannya.
Peraturan skala provinsi terkait pemanfaatan ruang di
kawasan rawan bencana KBU tertuang dalam
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 01 tahun
2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang di
KBU, dan dalam Peraturan Gubernur Nomor 58 tahun
2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 01
tahun 2008. Studi kasus wilayah KBU membuktikan
adanya penggabungan peraturan, dimana indikator
kerawanan bencana masuk kedalam peraturan
kawasan lindung. Hal ini menguntungkan pemerintah
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1 | 177

Arahan Pengaturan Zonasi di Kawasan Rawan Bencana (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara)

dalam memberikan kebijakan, namun merugikan bagi


masyarakat. Karena pada kenyataannya masih
terdapat kawasan rawan bencana yang masih bisa
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya, seperti
pertanian, perkebunan, dan lain- lain. Tentunya
dengan tetap memperhatikan standar dan ketentuan
teknis yang berlaku dalam perundangan.
Perlu adanya pemilahan atau pemisahan antara
kawasan lindung dan kawasan rawan bencana, agar
masyarakat dapat memanfaatkan kawasan yang
sebenarnya
masih
diperbolehkan
untuk
dimanfaatkan, dan agar peraturan terkait syarat dan
ketentuan pemanfaatan di kawasan rawan bencana
jelas dan tegas, sehingga dapat meminimalisir
dampak dari pemanfaatan ruang yang ada.
Persoalan pola ruang di KBU terkait dengan kondisi
kerawanan bencananya sangat beragam. Ditinjau
dari kondisi kerawanan bencana yang terdapat di
KBU, terdapat tiga potensi bencana yaitu bencana
erupsi gunung api, bencana tanah longsor dan
bencana gempa bumi. Kenyataannya saat ini banyak

176 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N1

terjadi penyimpangan guna lahan dari pola ruang


yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan semakin
mendesaknya
kebutuhan
permukiman
sebagai
tempat hunian masyarakat. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 1 penyimpangan guna lahan
di KBU dibawah ini.

Berdasarkan analisis kerawanan bencana dan


pemanfaatan ruang di KBU dihasilkan 27
potensi kerawanan bencana di KBU yang
menghasilkan empat tipologi persoalan, yaitu
tipologi A, B, C dan D. Tipologi A merupakan
kawasan yang digolongkan aman dari bencana,
potensi bencana yang terjadi di kawasan
tersebut merupakan bencana dengan skala
rendah. Tipologi B merupakan kawasan dengan
tingkat kerawanan sedang. Tipologi C dan D
merupakan kawasan dengan tingkat kerawanan
tinggi, untuk tipologi C masih diperbolehkan
adanya bangunan dengan jumlah terbatas dan
harus memenuhi kriteria dan ketentuan teknis
dan vegetatif, sedangkan untu

k
tipologi D merupakan kawasan dengan potensi bencana sangat tinggi dan mutlak
Tabel 1
diperuntukkan
untuk kawasan lindung. Metode penyusunan tipologi persoalan dilakukan
Penyimpangan Guna Lahan di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Pergub Jawa Barat No.
dengan melihat kesamaan dalam bentuk
pengendalian.
Kesamaan bentuk pengendalian
58 Tahun
2011
didasarkan pada jenis bencana dan besaran kekuatan bencana yang dapat ditimbulkan
di sebuah kawasan. Semua hal dipertimbangkan, seperti jarak minimal maksimal dari
sumber bencana, kondisi geologi, klimatologi serta kondisi topografi kawasan sehingga
diperoleh klasifikasi zona rendah, sedang dan tinggi.
Empat tipologi yang teridentifikasi menentukan arahan zonasi apa yang tepat
diterapkan di masing-masing kawasan yang ada di KBU. Penentuan arahan zonasi
dianalisis berdasarkan tipologi persoalan yang telah teridentifikasi. Berdasarkan hasil
analisis, dari empat tipologi yang ada melahirkan empat arahan pengaturan zonasi
untuk kawasan rawan bencana di KBU, yaitu arahan zonasi III, II, Ia, dan Ib.
Zona III merupakan zona yang aman dari bencana dan memperbolehkan adanya
kegiatan budidaya permukiman maupun non permukiman, dengan tetap
memperhatikan peraturan yang berlaku. Zona II merupakan zona dengan tingkat
kerawanan bencana skala sedang. Pada zona II ini masih diperbolehkan adanya kegiatan
budidaya permukiman maupun non permukiman dengan menerapkan rekayasa teknis
dan vegetatif yang terdapat dalam perundangan.
Desa/Kelurahan

Guna Lahan

Luas (ha)

Eksisting

Rencana Pola Ruang


Budidaya Pertanian

Permukiman

Lahan Kering

Cilame, Pasirlangu, Tugumukti, Pasirhalang,

1.207,09

Jambudipa, Kertawangi, Pakuhaji, Cipageran,


Padaasih, Cihanjuang Rahayu, Karyawangi,
Cigugur Girang, Cihideung, Cihanjuang,
Sariwangi, Ciwaruga, Sukajaya, Langensari,
Cibeunying, Cibodas, Suntenjaya

Hutan Konservasi
Hutan Lindung

Permukiman

Ciburial, Cibodas

PermukimanCipanjalu,
Sukajaya,

Girimekar,
Cihanjuang

Cibodas,
Rahayu,

4,38
Cikahuripan,

89,34

Kertawangi,

Pasirlangu, Cipada1, Mekarjaya.


Hutan Produksi

Permukiman

Cihanjuang, Cihanjuang Rahayu, Ganjarsari,


Mekarjaya
TOTAL

149,63
1.450,44

Zona Ia merupakan zona dengan tingkat kerawanan tinggi, merupakan wilayah yang
harus dilindungi, tidak diperbolehkan adanya kegiatan budidaya apapun, kecuali
kegiatan pariwisata kehutanan dan geologi. Zona selanjutnya adalah zona Ib yang
Sumber:Dinas Permukiman dan Perumahan Prov. Jabar, 2011

merupakan zona dengan kondisi kerawanan bencana sangat tinggi. Zona Ib merupakan
wilayah yang mutlak untuk dilindungi, tidakdiperbolehkan adanya kegiatan budidaya
dan vegetatif sesuai perundangan. Untuk
apapun, kecuali pembangunan pos
di

lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2

kehutanan dan pariwisata geologi,

bawah ini:

dengan cara menerapkan rekayasa teknis


Tabel 2
Arahan Pengaturan
Kawasan

Zonasi Berdasarkan Kondisi Kerawanan

Bencana di

Bandung Utara
Tipologi

A
(rendah/aman)

Kondisi Wilayah

Terbangun

Arahan Pengaturan Zonasi

Diizinkan dilakukan kegiatan budidaya dengan tetap

(permukiman,
memperhatikan
perhotelan, villa, berlaku.
dll)

Zonasi

syarat

dan

ketentuan

yang

II

Tidak terbangun

Diarahkan untuk dilakukan kegiatan budidaya


dengan tetap memperhatikan syarat dan
ketentuan yang berlaku.

B
(sedang)

Terbangun

1. Peninjauan kembali perizinan disesuikan dengan

II

fungsi kawasan dengan memperhatikan ketentuan


(permukiman,
perhotelan, villa, teknis dan vegetatif
2. Pencabutan izin, jika dalam perizinannya terdapat
dll)
pelanggaran perundangan (Pergub 58/2011).
3. Sanksi, diberikan apabila pembangun terbukti
melakukan pelanggaran perundangan. Sanksi
diberikan
dalam
bentuk
peringatan/teguran
hingga pembongkaran bangunan (jika tidak
mengindahkan peringatan atau
pemerintah) dan sanksi pidana.

teguran

dari

4. Pemberian sanksi kepada pemberi izin, dilakukan


apabila dalam peninjauan ditemukan atau terbukti
pihak pemberi izin memberikan izin yang tidak
sesuai dengan ketentuan perundangan.

Tidak terbangun1. Perizinan disesuaikan dengan fungsi Kawasan


(Pergub 58/2011).
2. Diarahkan untuk fungsi lindung.
C
(tinggi)

Terbangun

1. Sanksi administrasi dan sanksi pidana. Dilakukan

Ia

jika terbukti pembangunan dilakukan diwilayah


perhotelan, villa, yang terlarang atau tidak diperbolehkan adanya
kawasan terbangun. Bentuk sanksinya seperti
dll)
penutupan lokasi kawasan terbangun, pidana
(permukiman,

kurungan penjara, yang disesuaikan dengan


peraturan yang berlaku. Sanksi diberikan kepada
pembangun dan juga kepada pemberi izin.
2. Rekayasa teknis dan vegetatif untuk wilayah yang
tidak bisa lagi dikembalikan ke fungsi
D
(sangat tinggi)
Tipologi

Kondisi Wilayah

Terbangun

1. Sanksi administrasi dan sanksi pidana

terutama diberikan kepada pemberi izin


perhotelan, villa, wilayah tipologi D merupakan kawas
mutlak dilindungi, tidak diperbolehkan ad
dll)
pembangunan apapun, kecuali hanya b
(permukiman,

untuk memantau kondisi kehutanan ata


penjagaan.
Sanksi
juga
diberikan
Tidak terbangun1. Perizinan disesuaikan dengan fungsi Kawasan
(Pergub 58/2011).
2. Diarahkan untuk fungsi lindung.

pembangun
apabila
terbukti
m
pelanggaran pemanfaatan ruang dengan

lokasi terbangun serta memberikan sank


yang disesuaikan dengan aturan yang ber

2. Rekayasa teknis dan vegetatif untuk wila


tidak bisa lagi dikembalikan ke fungsi lind

Tidak terbangun1. Perizinan disesuaikan


dengan fungsi
Kawasan
Prov.kerawanan
bencananya.
Arahan
(Pergub 58/2011).
zonasi yang dihasilkan adalah zona III, II,
2. Diarahkan untuk fungsi lindung.

Sumber: Hasil analisis, 2013 Kesimpulan


Kawasan Bandung Utara memiliki potensi
kerawanan
bencana,
yaitu
bencana
gunung api, gerakan tanah, tanah longsor,
dan bencana gempa bumi. Penelitian yang
telah dilakukan menghasilkan kesimpulan
bahwa
terdapat
permasalahan
ketidaksesuaian
penggunaan
lahan
eksisting di KBU dengan arahan pola
ruang yang ditentukan. Hal ini didominasi
oleh
penyalahgunaan
lahan
untuk
kawasan
permukiman,
sehingga
membutuhkan arahan pengaturan zonasi
yang sesuai dengan kondisi wilayah KBU.
Perangkat pengendalian yang mengatur
Kawasan Bandung Utara telah ada,
terwujud dalam bentuk Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 01 tahun 2008
Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang
di Kawasan Bandung Utara dan Peraturan
Gubernur Jawa Barat Nomor 58 Tahun
2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda

Ia, dan Ib.

Peraturan terkait kawasan rawan bencana


dan kawasan lindung perlu dilakukan
pemilahan, agar wilayah atau kawasan
rawan bencana yang masih diperbolehkan
untuk dilakukan kegiatan budidaya dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat atau
pemilik lahan di KBU. Ketentuan syarat
pemanfaatan lahan juga akan lebih jelas
dan tepat jika kerawanan bencana
menjadi
aturan
tersendiri
dalam
pertimbangan pemanfaatan pola ruang di
KBU.
Penelitian
ini
hanya
membahas
kerawanan bencana saja, seharusnya juga
perlu dibahas mengenai risiko bencana,
namun keterbatasan indikator untuk
menganalisis risiko terbatas maka hanya
dilakukan analisis kerawanannya saja.
Oleh
karena
itu
pada
penelitian
selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih
mendalam mengenai faktor resiko. Selain
itu, penelitian ini tidak melibatkan
masyarakat
dalam
pengambilan

Jabar No. 01 tahun 2008. Kedua


peraturan yang mengatur langsung
pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung
Utara, didasarkan pada Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dan peraturan pelaksanaanya,
tetapi belum merujuk pada UU No. 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, PP No. 58 tahun 2008 tentang
RTRWN dan lain-lain. Aturan tersebut
belum membahas secara detail KBU
sebagai kawasan rawan bencana, hanya
terfokus pada KBU sebagai kawasan
lindung resapan air.
Penelitian ini menghasilkan temuan yaitu
terdapat 27 potensi kerawanan bencana
di KBU, dan menghasilkan empat tipologi
persoalan pengendalian pemanfaatan
ruang KBU, yaitu tipologi A, B, C dan D.
Berdasarkan tipologi persoalan tersebut
dapat ditentukan arahan zonasi yang
tepat diterapkan untuk KBU sesuai
dengan tingkat

sumbernya, untuk penelitian selanjutnya


perlu adanya keterlibatan masyarakat
agar diketahui kepahaman masyarakat
tentang daerah tempat tinggalnya (KBU)
serta peraturan yang terkait dengan
pemanfaatan
ruangnya.
Indikator
perizinan sebagai salah satu perangkat
pengendalian pembangunan juga perlu
dilakukan, hal ini akan memudahkan
pemerintah dalam pengambilan kebijakan
pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung
Utara.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Denny Zulkaidi selaku pembimbing,
untuk arahan dan bimbingan selama
penelitian
Daftar Pustaka
Dardak, Hermanto. 2005. Pemanfaatan
Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang
Sebagai Upaya Perwujudan Ruang
Hidup yang Nyaman, Produktif, dan
Berkelanjutan. Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional "Save Our
Land" for Thie Better Environment,
Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor, 10 Desember 2005.
Gost, Subir. 2008. Technology Application
For Earthquake Disaster Management.
India: The Icfai University Press.
Leung, Hok Lin. 1989. Land Use Planning
Made Plain. Kingston: Ronald P. Frye &
Co.

Nugraha, Erwan. 2010. Tanggap Bencana


Alam Tanah longsor. Bandung: Penerbit
Angkasa Bandung.
Ramli,
soehatman.
2010.
Pedoman
Praktis Manajemen Bencana (disaster
management). Jakarta: Dian Rakyat.
Sukandarrumidi. 2010. Bencana Alam
dan Bencana Antropogene. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Tondobala, Linda. 2011. Pemahaman
Tentang Kawasan Rawan Bencana dan
Tinjauan
Terhadap
Kebijakan
dan
Peraturan Terkait, Jurnal Sabua Voi.3,
No.1: 58-63, Mei 2011. Manado:
Universitas Sam Ratulangi.
Undang-undang RI nomor 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang
Undang-undang RI nomor 24 tahun 2007
tentang Mitigasi Bencana
Utomo, M., dkk. 1992. Pembangunan dan
Aiih
Fungsi
Lahan.
Lampung:
Universitas Lampung.
PP
No.
15
tahun
2010
tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor
01
tahun
2008
tentang
Pengendalian Pemanfaatan Ruang di
Kawasan Bandung Utara.
Peraturan Gubernur Nomor 58 tahun
2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perda 01 tahun 2008.
Oxford

Dictionaries.

http://oxforddictionaries. Com.

2013.

Anda mungkin juga menyukai