Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Penelitian


Sistem fotografi adalah satu sistem penginderaan jauh yang paling tua.

Hingga dasawarsa 1950-an, penginderaan jauh berarti penginderaan jauh sistem


fotografi (Sutanto, 1987). Saat ini telah muncul berbagai sistem penginderaan jauh
yang lain, namun eksistensi dari foto udara tidak tergantikan. Hal ini dikarenakan
karakteristik yang khas dari sistem ini. Foto udara memiliki keunggulan terkait
resolusi spasial yang sangat halus yang tidak dapat disamai oleh citra
penginderaan jauh lainya. Selain itu, foto udara memiliki keunggulan dalam
membentuk kenampakan stereoskopis. Hingga saat ini sistem fotografi masih
digunakan dan terus dikembangkan untuk berbagai studi pemetaan mulai dari
studi kekotaan, vegetasi, lingkungan, hingga perencanaan detail.
Foto udara konvensional menggunakan sensor berupa film peka cahaya yang
dipadukan dengan kamera metrik sebagai sistem perekamanya. Kamera metrik
digunakan karena keunggulanya dalam stabilitas dimensional yang tinggi
(Sutanto, 1987). Format foto udara yang populer digunakan adalah format 23 cm
x 23 cm, atau sering disebut dengan foto format standar. Berdasarkan aspek
ketergunaanya, spesifikasi foto yang dihasilkan dapat beragam berdasarkan jenis
film, warna, dan luas liputan, sesuai dengan kebutuhan studi yang akan dilakukan.
Misal untuk studi kesehatan tumbuhan, foto udara yang digunakan biasanya
adalah foto udara inframerah berwarna. Kendati memiliki berbagai keunggulan
dan keleluasaan pemanfaatan, foto udara konvensional memiliki kekurangan
mendasar terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan. Harga setiap satu
kilometer persegi yang harus diliput dalam sekali pemotretan mencapai Rp
300.000.000 ,- / Km2 (www.petacitra.com/index.php). Prosedur teknis yang sulit
dan mahal, mulai dari wahana (pesawat) yang digunakan, sistem kamera, hingga
spesifikasi foto udara yang diinginkan berpengaruh terhadap besarnya biaya yang
harus dikeluarkan. Seiring dengan perjalananya, foto udara dikembangkan dengan

spesifikasi teknis yang terus dimodifikasi untuk meminimalisir kekurangan dari


sistem dan memperbaiki kualitas data yang dihasilkan.
Foto Udara Format Kecil (FUFK) muncul pada abad ke-19 dan menawarkan
pemecahan permasalahan mahalnya sistem foto udara konvensional (Warner et.
al, 1997). Sistem kamera yang biasa digunakan dalam FUFK adalah kamera
handheld single lens reflect (SLR) yang biasa digunakan dalam fotografi estetik
dengan format film 36 mm x 24 mm. Foto udara format kecil menjadi sistem
penginderaan jauh paling ekonomis dan cocok untuk pemetaan skala besar
(detail). Perbedaan mendasar dari sistem ini bila dibandingkan dengan sistem
konvensional adalah format dari foto tersebut. Sebagai perbandingan, dengan
kamera format kecil yang ringan, wahana yang digunakan untuk pemotretan dapat
disesuaikan, misal menggunakan pesawat ultra ringan, trike, pesawat model, balon
udara, bahkan layang-layang.
Berbeda dengan sistem foto format kecil, dalam foto format standar, wahana
yang digunakan biasanya adalah pesawat yang diterbangkan pada ketinggian lebih
dari 1 km. Hal ini membawa konsekuensi pada citra yang dihasilkan dimana
gangguan atmosfer akan semakin besar seiring meningkatnya ketinggian terbang
wahana (jarak permotretan besar). Berbeda dengan sistem standar, dengan
menggunakan foto udara format kecil, ketinggian terbang dapat wahana
disesuaikan untuk meminimalisir efek dari gangguan atmosfer. Sekalipun
demikian, sistem ini memiliki kekurangan dimensional dan geometris dari citra
yang dihasilkan. Ketidakstabilan dimensional dan geometris dikarenakan kamera
tidak didesain untuk kepentingan fotogrametrik ataupun metrik, namun lebih ke
arah estetik (Warner et al, 1997). Dalam kamera SLR standar fotografi estetik,
kecilnya diameter lensa menyebabkan besarnya nilai kecembungan lensa yang
berimplikasi pada besarnya distorsi geometrik citra. Hal ini tentunya menjadi
salah satu pertimbangan pembedaan penggunaan FUFK dengan foto udara
konvensional format besar.
Perkembangan teknologi yang pesat telah mengantarkan sistem foto udara
format kecil ke era digital. Kamera mengalami satu evolusi penting dimana sensor
film yang digunakan sebelumnya, digantikan oleh sensor digital berupa matriks

(area array) Charge Coupled Devices (CCDs). Sistem ini selanjutnya disebut
dengan sistem Foto Udara Digital Format Kecil (FUDFK). Kodak dalam Jensen
(2004) menjelaskan, CCD merupakan kumpulan dari ribuan photosites peka
cahaya yang mengubah berbagai variasi gelombang elektromagnetik yang
dipantulkan oleh objek ke dalam sinyal elektrik. Sistem ini memungkinkan
pengolahan, penyimpanan, serta analisis secara digital. Pengembangan teknologi
kamera digital selanjutnya diarahkan pada sensor yang digunakan, khusunya
untuk menyamai kapasitas film dengan memperluas julat spektral yang dapat
diindera. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk memperluas bidang kajian yang
dapat dilakukan dengan data yang dihasilkan. Tidaklah berlebihan saat FUDFK
disebut sebagai sistem penginderaan jauh adopsi dari sistem non-fotografi
multispektral pada tingkat paling sederhana.
Seiring dengan kemajuan di bidang fotografi udara digital format kecil,
trend penggunaan pesawat model dengan pengendali jarak jauh sebagai wahana
alternatif

memperlihatkan

peningkatan.

Pesawat

aeromodelling

dengan

pengendali jarak jauh dipilih, sekali lagi dengan alasan investasi yang relatif
murah. Berbagi jenis wahana mini pun digunakan mulai dari zipplein, pesawat
fixed wing, helikopter model, hingga multikopter. Setiap wahana ini memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun secara umum, pesawat model
memiliki keterbatasan ketinggian terbang. Satu hal yang menjadi keuntungan
utama dari penggunaan pesawat model adalah wahana ini dikendalikan dari jarak
jauh dan tidak berawak. Hal tentu saja menjadikan biaya pemotretan dapat ditekan
hingga kurang dari Rp 30.000.0000,00 untuk investasi jangka panjang (Prabawa
et. al., 2009). Namun perlu diperhatikan, wahana ini memiliki ketidakstabilan
yang besar bila harus dibandingakan dengan wahana pesawat sesungguhnya. Hal
ini dikarenakan sederhananya perangkat navigasi dan pengendalian jarak jauh
yang digunakan. Semisal, balon udara, salah satu model aerostatis yang
dikendalikan secara maunal memungkinkan penerbangan dari lokasi yang sempit
dan memiliki kemudahan dalam pergerakan arah terbang, namun sangat rentan
terhadap gangguan udara seperti angin dan terbulensi.

Pengawinan antara sistem FUDFK dengan aeromodelling saat ini telah


mencapai tahapan dimana pengujian data hasil menjadi satu kajian tersendiri.
Berbagai perangkat penunjang ditambahkan untuk memperbaiki sistem, semisal
gyrostabilizer, GPS, dan first person camera. Pemanfaatan sistem Foto Udara
Digital Format Kecil dengan menggunakan wahana balon udara dapat menjadi
alternatif sumber data penginderaan jauh yang murah, namun dengan catatan
teknis yang panjang.
Fenomena objek vegetasi merupakan salah satu kajian utama penginderaan
jauh. Hal ini dikarenakan karakteristik dari vegetasi yang khas mencerminkan
hubungan keruangan yang ada dalam biosfer. Oleh karena itu, kajian vegetasi juga
memiliki nilai penting dalam pengujian data penginderaan jauh. Pembedaan
karakteristik vegetasi dengan menggunakan citra penginderaan jauh adalah kajian
paling sederhana yang dapat dijadikan sebagai dasar pengujian efektifitas dari satu
sistem penginderaan jauh, termasuk foto udara. Salah satu kajian yang
memungkinkan untuk dilakukan adalah pemetaan kondisi tanaman akibat
serangan hama, misal serangan hama tikus sawah (Rattus argentiventer) pada
tanaman padi (Oryza sativa). Setiap jenis vegetasi dalam kondisi tertentu,
termasuk tanaman budidaya pertanian, memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan
antara satu dengan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
citra penginderaan jauh. Pembedaan kondisi vegetasi ditekankan pada pencarian
pola distribusi, struktur, dan tipe spasial dari vegetasi itu sendiri (Lo, 1996). Lo
lebih lanjut menjelaskan penggunaan foto udara inframerah dapat mencerminkan
perbedaan-perbedaan ciri tanaman pertanian yang akan diamati, bahkan pada
berbagai kondisi iklim yang beragam. Hal ini dikarenakan vegetasi memiliki
karakteristik spektral yang khas, khususnya pada band inframerah (dekat).
Goodman dalam Lo (1959) selajutnya menjelaskan kunci interpretasi utama yang
digunakan dalam pembedaan tanaman pertanian, yaitu rona, tekstur, dan asosiasi.
Kenyataanya, kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah (Rattus
argentiventer) membentuk pola kerusakan yang khas akibat perubahan kondisi
fisiologis terkait dengan struktur batang dan kanopi padi, yang tercermin dalam
perubahan tegakan (Sudarmadji, 2005). Perbedaan kondisi akibat serangan ini

tentunya dapat direkam dan dianalisis dengan menggunakan Foto Udara Digital
Inframerah Berwarna Format Kecil.
Foto udara digital format kecil memiliki spesifikasi teknis yang berbeda
dengan foto udara format standar, sekalipun secara konsep memiliki kesamaan.
Sebagian besar kamera yang digunakan dalam standar fotografi estetik adalah
kamera pankromatik. Sekalipun demikian, julat spektal yang dapat diindera sensor
(CCD) masih memungkinkan untuk diperlebar hingga inframerah dekat sehingga
memungkinkan untuk studi pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan
hama tikus. Kekurangan FUDFK terkait kestabilan dimensional dan geometrik,
karena sistem wahana dan kamera yang sederhana memberikan efek yang
mungkin akan sangat terasa dalam pemetaan tematik skala besar (detail). Artinya,
penggunaan Foto Udara Digital Inframerah Format Kecil mengindikasikan
pengujian, sejauh mana sistem ini dapat digunakan untuk studi vegetasi, dalam hal
ini untuk kondisi kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus. Penelitian
ini diarahkan untuk mendapatkan gambaran kelebihan dan kekurangan dari sistem
Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil yang diterbangkan dengan
wahana pesawat model aerostatis, berupa balon udara untuk pembedaan kondisi
tanaman padi. Harapanya, pengembangan sistem ini untuk pemetaan tematik
dapat diarahkan untuk menjawab kekurangan-kekurangan dari sistem fotografi
udara secara umum, serta dapat menjadi salah satu alternatif data penginderaan
jauh yang tidak hanya murah dan mudah, namun berkualitas.

1.2

Rumusan Masalah
Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil memiliki potensi

untuk digunakan sebagai sumber data pemetaan kerusakan tanaman padi akibat
serangan hama tikus sawah (Rattus argentiventer). Asumsinya, dengan
menggunakan kamera digital SLR inframerah, perbedaan pola pantulan
gelombang inframerah dan karakteristik visual tanaman padi akibat kerusakan
yang ditimbulkan oleh serangan tikus dapat diidentifikasi.

Foto udara diambil dengan menggunakan wahana balon udara yang


dikendalikan dari jarak jauh mengindikasikan adanya perbedaan spesifikasi terkait
kualitas hasil bila dibandingkan dengan foto udara standar. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pengujian sejauh mana data yang dihasilkan dengan sistem ini dapat
digunakan, khususnya untuk kajian kerusakan tanaman padi. Berdasarkan asumsi
tersebut, diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Sistem Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil dengan
spesifikasi teknis yang minimalis membutuhkan pengujian terkait
kemampuanya untuk digunakan sebagai sumber data pemetaan
kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah (Rattus
argentiventer).
2. Kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus akan menghasilkan
perubahan kondisi fisiologi tumbuhan dan perubahan pantulan spektral
yang dapat diidentifikasi secara visual dengan menggunakan Foto Udara
Digital Inframerah Berwarna Format Kecil.

1.3

Pertanyaan Penelitian
Fokus penelitian ini dititikberatkan pada pengkajian kemampuan sistem dan

metode dalam mengukur kemampuan sistem tersebut. Berdasarkan rumusan


masalah yang tersebut, diambil pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Sejauh mana Sistem Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format
Kecil dapat digunakan untuk pemetaan kerusakan tanaman padi akibat
serangan hama tikus sawah (Rattus argentiventer)?
2. Bagaimana pengenalan/identifikasi kerusakan tanaman padi secara
visual dengan menggunakan Foto Udara Digital Inframerah Berwarna
Format Kecil?

1.4

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:


1. Menguji kemampuan Sistem Foto Udara Digital Inframerah Berwarna
Format Kecil untuk pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan
hama tikus sawah.
2. Membangun kunci interpretasi visual dalam identifikasi kondisi tanaman
padi, dalam hal ini kerusakan yang ditimbulkan oleh hama tikus dengan
menggunakan Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil.

1.5

Kegunaan
Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan utama berupa pengujian sistem

untuk satu studi vegetasi, sehingga harapanya hasil dari penelitian dapat berdaya
guna, antara lain:
1. Sebagai saran pengembangan Sistem Foto Udara Digital Inframerah
Berwarna Format Kecil dengan wahana balon udara sebagai salah satu
data altenatif penginderaan jauh untuk kajian kajian vegetasi, khususnya
tanaman padi.
2. Sebagai dasar pijakan dalam identifikasi kondisi tanaman padi,
khususnya kerusakan tanaman akibat serangan hama tikus sawah.

1.6

Tinjauan Pustaka

1.6.1 Penginderaan Jauh Sistem Fotografi


Sistem penginderaan jauh fotografi adalah sistem penginderaan jauh yang
merekam objek dengan menggunakan kamera sebagai sensor, film sebagai
detektor dan menggunakan tenaga elektromagnetik yang berupa spektrum tampak
dan perluasanya (Sutanto, 1994). Sutanto lebih dalam menjelaskan tentang unsurunsur yang ada dalam sistem fotografi sama dengan sistem penginderaan jauh
yang lain. Unsur-unsur itu diantaranya:

1. Tenaga
Sistem fotografi termasuk dalam sistem pasif dimana tenaga yang
digunakan dalam sistem ini berasal dari matahari. Biasanya foto udara
memiliki spesifikasi panjang gelombang yang dapat diindera mulai dari
sebagian kecil spektrum ultraviolet hingga sebagian kecil inframerah dekat.
Pemilihan julat yang dimungkinkan untuk diindera disesuaikan dengan studi
yang akan dilakukan.
2. Objek dan Target
Fenomena di permukaan bumi dapat diindera dengan fotografi biasanya
merupakan objek tampak (Sutanto, 1987). Hal ini terkait dengan panjang
gelombang yang dapat digunakan dalam sistem ini.
3. Sensor
Sensor merupakan unsur yang membedakan sistem fotografi dengan sistem
penginderaan jauh yang lain. Sensor yang digunakan dalam fotografi
konvensional adalah film. Sensor fotografi

pada perkembanganya

digantikan oleh Charge Couple Devices (CCDs) yang artinya sistem


fotografi telah masuk pada era digital (Warner et al,1997).
4. Output
Output dari sistem fotografi udara konvensional berupa cira foto udara hard
copy. Purwadhi (2001) menjelaskan citra hasil foto udara secara teoritis
merupakan citra continue-continue dimana citra dihasilkan dari perekaman
pada satu bidang secara langsung dan memiliki nilai yang tidak terhingga
pada ronanya. Citra analog hanya dapat dianalisis secara visual. Perubahan
sensor dari film ke sensor digital merubah sifat analsis data menjadi
discrete (Levin, 1999). Citra yang dihasilkan dapat berupa foto hitam putih
ataupun berwarna (warna asli atupun semu).
Berdasakan spesifikasi teknisnya, Sutanto (1994) mengklasifikasikan foto
udara menjadi 7 jenis, yaitu:
1. arah sumbu kamera
2. Panjang fokus dan sudut liputan

3. Spektrum elektromagnetik yang dapat diindera


4. Jenis kamera
5. Skala
6. Warna
Berdasarkan arah sumbu kamera, foto udara dibagi menjadi foto udara
vertikal dan condong. Warner et al. (1997) memperjelas batasan foto uadara
vertikal adalah foto udara yang diambil dengan kemiringan sumbu 0 (tegak
lurus) hingga maksimal 5. Foto condong masih dapat dibagi lagi menjadi dua,
foto agak condong dengan

nilai kecondongan lebih dari 5 dan foto sangat

condong dimana cakrawala terlihat dalam foto tersebut.

Gambar 1.1. Jenis foto udara berdasarkan sudut pengambilan


(sumber: Warner, 1996)

Foto vertikal secara teknis memiliki nilai ketergunaan yang lebih tinggi
daripada foto condong. Hal ini dikarenakan keunggulanya yang dijelaskan Paine
dalam Sutanto (1983), yaitu:
1. Keseragaman skala dalam setiap tempat di dalam foto.
2. Penetuan arah lebih dapat dimungkinkan dengan mudah.
3. Dalam batas tertentu foto udara vertikal dapat digunakan sebagai
pengganti peta.

4. Kemudahan untuk diinterpretasi dan karena keseragaman skala, semua


objek tidak terlindung oleh objek lainya.
Keunggulan ini menjadikan foto vertical dapat digunakan untuk berbagai
studi pemetaan, baik tematik maupun metrik (fotorgametri). Pasangan foto udara
vertikal dan agak condong yang diambil dalam satu jalur terbang yang berurutan,
dapat menghasilkan pandangan stereoskopis. Pandangan stereoskopis menjadi
salah satu keunggulan utama dari foto udara dimana nilai ketinggian dapat
dihitung dan digunakan untuk membuat model tiga dimensi.
Panjang fokus kamera dan sudut liputan kamera merupakan nilai yang
berbanding secara terbalik dan bersifat linear. Semakin besar nilai panjang fokus
kamera, makin kecil sudut liputan. Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap
besar liputan foto udara pada jarak yang konstan. Panie (1983) menjelaskan,
dalam foto udara kovensional, dikenal 4 jenis foto berdasarkan lensa, panjang
fokus, dan luas liputan yang dimungkinkan seperti yang tersaji pada tabel 1.1.

Gambar 1.2. Hubungan antara panjang fokus dengan luas liputan citra
(sumber: Warner,1996)

10

Tabel 1.1. Klasifikasi Foto Berdasarkan Panjang Fokus Lensa

Jenis kamera

Panjang fokus lensa (mm)

Sudut liputan (o)

Narrow angle

304, 8

60

Normal angle

209, 5

60-75

Wide

152, 4

75-100

Superwide

88, 9

>100

Sumber: Paine (1983)

Foto udara lazimnya memiliki kemampuan merekam objek pada panjang


gelombang tamapak (0,4 mikron - 0, 7 mikron). Hal ini sangat dipengaruhi oleh
kepekaan dari sensor yang digunakan, yaitu film. Namun untuk studi-studi
tertentu, kepekaan ini ditambahkan hingga perluasan dari panjang gelombang
tampak. Film

UV memiliki kepekaan pada gelombang UV, film inframerah

memiliki kepekaan pada gelombang inframerah dekat, film ortokromatik pada


gelombang biru, dan sebagainya. Selain itu dikenal pula istilah foto multispektral.
Istilah penginderaan jauh multipsektral menurut Rehder (1985) diartikan sebagai
penginderaan jauh dengan menggunakan lebih dari satu spektrum elektomagnetik
yang peginderaannya dilakukan dari tempat yang sama serta ketinggian yang
sama. Selajutnya Sutanto (1994) menekankan foto multispektral dibuat dengan
beberapa panjang gelombang namun terletak pada satu spektrum. Sebagai contoh,
foto udara inframerah warna semu merupakan salah satu produk dari foto udara
multispektral yang biasa digunakan untuk studi vegetasi dan penggunaan lahan.
Skala foto udara secara sederhana diartikan sebagai perbandingan antara
jarak yang di dalam foto dengan jarak di lapangan. Secara matematis, hubungan
skala dengan ketiggian terbang dapat dihitung. Terdapat standar foto skala foto
udara untuk kajian pemetaan. Skala foto disesuaikan dengan besar resolusi dan
skala ini ditetapkan untuk kamera metrik dengan ketelitian mendekati 90%.
Standar ketelitian skala foto untuk pemetaan mengikuti standar yang digunakan di
Amerika Serikat.

11

Tabel 1.2. Standar Skala Foto Udara dan Resolusi spasial


Skala foto

Resolusi (garis/mm)

1:1.000.000

250

1: 500.000

125

1: 250.000

63

1: 100.000

25

1: 50.000

12,5

1: 25.000

6,3
Sumber: Paine (1983)

Berdasarkan jenis kamera yang digunakan, Estes (1985) membatasi kamera


menjadi kamera kerangka pemetaan, kamera kerangka untuk keperluan tinjau,
kamera panoramik, kamera strip, dan kamera multispektral. Warner et al. (1996)
membagi jenis kamera berdasarkan format yang digunakan. Format diartikan
sebagai besar ukuran dari film yang digunakan. Film fomat besar adalah film
dengan dimensi lebar 70 mm atau lebih besar dan tidak menggunakan perbesaran
dalam proses reproduksinya. Format standar yang digunakan dalam survei udara
adalah film dengan dimensi 23 cm x 23 cm. Foto format kecil berarti film yang
digunakan berdimensi kurang dari 70 mm. Dimensi film yang lazim digunakan
dalam foto udara format kecil adalah 35 cm x 24 cm.

1.6.2 Foto Udara Format Kecil (FUFK)


Spesifikasi foto udara format standar (besar) menuntut pembiyaan yang
sangat besar. Inovasi penggunaaan kamera format kecil muncul untuk menekan
biaya yang harus dikeluarkan. Penggunaan foto udara format kecil berkembang
pesat dan menjadi trend baru dalam dunia fotografi udara. Adapun kamera yang
digunakan adalah kamera format kecil standar fotografi estetik. Kamera yang
lazim digunakan adalah kamera Single Lens Reflect (SLR) dengan format 35 mm.
Jenis kamera ini memiliki spesifikasi teknis yang berbeda dengan kamera standar.
Demikian pula dengan lensa yang digunakan. Unit Fotografi UGM (2007)
mengkelaskan jenis lensa berdasarkan panjang fokus sebagai berikut:

12

Tabel 1.3. Klasifikasi Lensa pada Kamera SLR

Jenis lensa

Panjang fokus

Moderate Wide angle

24-35 mm

Extreme wide angle

14-20 mm

Normal (fix)

50 mm

Zoom

Bervariasi mulai dari 16-300 mm

tele

700-1200 mm
Sumber: UFO (2007)

Perbedaan kelas kelas panjang fokus dan format ini berimplikasi pada luas
liputan yang dapat dijangkau oleh kamera. Secara teoritis, hanya beberapa lensa
saja yang dapat digunakan dalam pemotretan udara ideal. Lensa normal
merupakan lensa yang paling cocok untuk pemotretan udara karena prespektif
yang dihasilkan menyerupai pandangan manusia. Artinya, distrosi geometri yang
terjadi bernilai minimal karena tidak ada perubahan panjang fokus dan besar sudut
liputan tetap (fix). Berbeda dengan lensa normal, lensa fish eye merupakan lensa
yang memiliki sudut liputan yang sangat besar hingga mencapai 180. Namun,
tentu saja hal ini berimplikasi pada distrosi geometri yang maksimal.
Graham dan Read (1981) dalam Warner et al. (1996) menjelaskan
perubahan trend penggunaan foto udara format kecil yang menggeser foto udara
format standar didasari oleh :
1. Pengembangan penggunaan foto udara format kecil yang ditujukan
untuk intensifikasi peta, khususnya pada daerah yang sempit dan skala
yang besar (detail).
2. Pesatnya perkembangan Global Potitioning System (GPS) untuk
menunjang akurasi survei udara dan navigasi. (Heimes et al., 1992)
Selanjutnya Warner et al. (1996), menjelaskan keuntungan yang didapat
dengan menggunakan data sistem foto udara format kecil yang tidak mungkin
didapatkan pada foto udara format standar, diantaranya:
1. Jenis film yang tersedia dalam format kecil sangat beragam sehingga
memungkinkan untuk pengembangan studi.

13

2. Sebagian besar film mudah untuk didapatkan dan tidak memerlukan


biaya yang besar dapat mendapatkanya.
3. Mudah dan murahnya pemrosesan kamera, sebagai contoh, pemrosesan
film format 35 mm dapat dilakukan pada lab mini dalam waktu kurang
dari setengah jam saja.
4. Beberapa kamera format kecil apat dirakit menjadi satu sistem untuk
menunjang foto multispektral (Graham, 1980)
5. Kemudahan untuk kalibrasi foto udara yang dihasilkan, bahkan oleh
pengguna sendiri.
6. Memungkinkan kecepatan bukaan lensa hingga 1/8000 dan kamera yang
digunakan biasanya memiliki panel pengaturan bukaan (aperture) dan
kecepatan bukaan.
7. Kemudahan perakitan lensa yang dipakai. Variasi lensa yang akan
digunakan sangat banyak beredar di pasaran dan mudah untuk
dimodifikasi dan disesuaikan dengan sistem kamera, tentunya dengan
kualitas yang baik.
8. Kebanyakan kamera dapat dirakit dengan magasin film yang besar dan
dapat dioperasikan secara penuh dengan panel kontrol elektronik.
9. Untuk tujuan fotogrametri dan pengukuran, banyak tersedia stasiun
untuk pemrosesan tahapa akhir dalam skala kecil (desktop).
Keunggulan-keunggulan tersebut tentu saja berimplikasi pada biaya yang
harus dikeluarkan. Sistem yang harus dibangun relatif lebih sederhana dan murah.
Investasi yang harus dikeluarkan utuk pemotretan udara format kecil rata-rata
sebesar $ 14000, termasuk di dalamnya biaya sewa wahana, pemrosesan, serta
kalibarsi data. Bandingkan dengan besar biaya yang dikeluarkan untuk format
besar yang berkisar antara $ 100,000 hingga $ 300,000 (Warner et al.,1996).
Wahana yang beragam dan mudah untuk dibuat sendiri telah menambah
keekonomisan dari sistem FUFK. Wahana yang dapat digunakan diantaranya
balon udara, baik balon gas maupun udara panas (Marzloff dan Ries,1997 dalam
Aber,2002), pesawat model, microlight aircraft, pesawat mesin tunggal, dan

14

pesawat mesin ganda (Quilter dan Anderson, 2000 dalam Aber et al.,2002,Warner
et al. 1996). Bahkan, Aber, James S, Aber Susan W, Pavri Firooza ,(2002)
melakukan pemetaan tematik menggunakan wahana Layang-layang pada
ketinggian terbang 150 meter dari permukaan tanah. Secara umum, sistem FUFK
lebih banyak digunakan untuk pemetaan tematik dengan skala besar (Bauer et al.,
1997, Light, 2001, dalam Aber, 2002).
1.6.3 Foto Udara Digital Format Kecil
Era fotografi digital dimulai tahun 80-an. Untuk pertama kali diperkenalkan
sistem sesor pengganti film emulsi yang digunakan dalam kamera konvensional.
Kamera Mavica buatan SONY lahir dengan sensor berupa pita magnetik (UFO,
2007). Selanjuntya muncul kamera hybrid yang dibuat oleh Kodak dengan sensor
Carge Coupled Device (CCD). Sejak saat itu, perkembangan fotografi digital
menjadi sangat pesat, khusunya untuk fotografi estetik.
CCD merupakan sekumpulan sensor berupa photossites yang peka cahaya
dan berkerja serentak dalam satu bidang dimensi atau sering desebut dengan area
array . Jensen (2005), menjelaskan prinsip kerja CCD adalah merubah energi
elektromagnetik (cahaya) yang mengenai sensor menjadi arus listrik yang
selanjutnya dikodekan lagi menjadi citra digital. Hal ini mirip dengan prinsip dari
panel surya (Mulyanto, 2007). Perkembanganya, citra yang dihasilkan dapat
ditampilkan langsung dalam layar sebagai citra digital ataupun dicetak. Mulyanto
(2007),

selajutnya

menjelaskan

keuntungan

menggunakan

foto

dgital

dibandingkan dengan sistem analog. Khususnya untuk fotografi estetik,


keuntungan yang didapat antara lain:
1. Ramah lingkungan karena tidak menggunakan cairan kimia yang
berbahaya
2. Percetakan foto yang mudah
3. Preview citra secar instan
Penggunaan kamera Digital Single Lens Reflect (DSLR) untuk pemotretan
udara memerlukan catatan khusus. Spesifikasi kamera standar estetik terkadang

15

memiliki ketidaksejalanan dengan kebutuhan survei udara. Warner et al. (1996)


menjelaskan keuntungan spesifik menggunakan kamera digital dengan sensor
digital untuk survei udara adalah pada dimungkinkanya analisis digital. Prinsipprinsip yang harus diperhatikan dalam foto udara digital antara lain:
1. Resolusi spasial ditentukan oleh banyaknya piksel dalam sensor dan
dipengaruhi oleh ketinggian terbang.
2. Kemugkinan gangguan digital yang tidak ada dalam kamera analog
seperti noise piksel dan kegagalan scanning.
3. Resolusi radiometrik dari citra yang dihasilkan ditentukan oleh skala
keabuan yang bersifat discrete.
4. Format data dan ekstensi file digital memungkinkan adanya kompresi
data berarti mereduksi kualitasnya.
5. Spesifikasi sensor yang digunakan, memiliki kemampuan mengindera
panjang gelombang tertentu.
6. Aspek geometri citra akan spesifik karena penggunaan lensa non
metrik.

1.6.4 Sensor Kamera Digital


Sensor utama fotografi digital adalah Charge Coupled Device (CCD) dan
Complementary Metal Oxides Semiconductor (CMOS) yang memiliki prisip kerja
yang sama (Mulyanto, 2007). Berdasakan dimensinya, sensor kamera digital dapat
dibagi menjadi full frame camera dan half frame camera (Mulyanto, 2007).
Kamera fullframe adalah kamera dengan besar sensor sama dengan format film
format kecil (24 x 36 mm). Sensor kamera half frame memiliki dimensi lebar
separuh dari kamera full frame, yaitu 22 x 14 mm. Perbedaan ini memberikan efek
yang berbeda pada citra secara geometris. Citra full frame akan memiliki cakupan
yang lebih luas dibandingkan dengan half frame pada panjang fokus dan jarak
objek yang sama. Distorsi geometris pada kamera full frame akan lebih besar
akibat cakupan yang luas. Sensor yang digunakan menangkap setiap gelombang
secara monokrom dengan memecah spektrum yang luas ke dalam tiga layer hijau,

16

biru, dan merah. Ketiga layer ini kemudian dikalkulasi dengan algoritma khusus
untuk mendapatkan warna sesuai dengan warna sebenarnya. Prinsip ini disebut
dengan komposit warna dan sistem ini berlaku pada kamera single chip
technology (Jensen, 2005).
Jensen (2005) menjelaskan teknologi yang digunakan dalam sensor digital
dikembangkan untuk menerima spektrum tampak dan menghasilkan citra
pankromatik. Oleh karena itu, dilakukan penapisan pada panjang gelombang lain
yang dapat memberikan efek negatif seperti haze yang mengurangi kualitas visual
citra. Hal ini berkaitan dengan kemampuan sensor dalam menyerap julat panjang
gelombang yang besar. Sandidge (2009) memberikan argumen yang berbeda
dengan Jensen (2005) dimana kemampuan sensor dalam menyerap panjang
gelombang tidak terbatas pada panjang gelombang tampak saja.

Gambar 1.3. Respon sensor terhadap gelombang elektromagnetik


(sumber: Sadidge, 2009)

Lebih lanjut Sadidge (2009) menjelaskan pada dasarnya sesor kamera digital, baik
CCD maupun CMOS memiliki kisaran serapan rata-rata panjang gelombang
mulai 300 nm-1000 nm atau dengan kata lain, mulai dari gelombang inframerah
UV hingga perluasan inframerah dekat. Citra pankromatik (warna asli) didapatkan
dengan membatasi serapan pada gelombang tampak saja. Teknologi yang

17

digunakan untuk menapis panjang gelombang yang diinginkan adalah filter. Filter
yang biasa digunakan dimaksudkan menghilangkan efek gelombang UV dan
panjang gelombang diatas panjang gelombang tampak. Filter dalam sistem
kamera dibagi menjadi dua , yaitu filter optik yang dipasang pada lensa dan filter
hot mirror yang dipasang didepan sensor. Melepas filter akan memperbesar
cakupan spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat diindera. Wrotniak
(2008), mengemukakan penggunaan filter hot mirror yang dipasang didepan
sensor dikhususkan untuk menapis efek gelombang inframerah dekat. Untuk
tujuan fotografi inframerah, kemampuan sensor harus diperluas hingga panjang
gelombang inframerah yang artinya menghilangkan filter hot mirror.

Gambar 1. 4. Efek penggunaan sensor digital inframerah


(sumber: Wrotniak,2005)

Seberapa jauh gelombang inframerah yang dapat diindera dapat diatur


dengan memodifikasi kepekaan sensor itu sendiri. Pada sensor fotografi estetik,
sensor ang lazim digunakan merupakan sensor dengan teknologi single chip yang
memecah setiap panjang gelombang ke dalam tiga layer, yaitu layer merah, hijau
dan biru. Saat filter inframerah dilepas, maka efek dari panjang gelombang
inframerah akan tercampur dalam setiap layer dan saat digabungkan, warna objek
yang dihasilkan akan berbeda dengan kenampakan asli. Perbedaan

rona dan

warna yang dihasilkan memberikan gambaran respon spektral objek terhadap


setiap panjang gelombang, termasuk gelombang inframerah.

18

1.6.5 Wahana Pesawat Model dengan Pengendali Jarak Jauh


Pemotretan

udara

format

kecil

pada

umumnya

dilakukan

dengan

menggunakan wahana berupa pesawat yang kecil, misal microlite (Graham,1996).


Namun, beberapa ahli telah memulai mengembangkan emotretan udara dengan
menggunakan wahana yang lebih kecil dan sederhana, mulai dari pesawat model
hingga yang lebih ekstrim seperti layang-layang. Pesawat model berkembang
dengan baik dan memiliki kans yang besar untuk pemotretan udara format kecil,
tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia mulai memperkenalkan pesawat model
secara resmi pada tahun 1962 dengan didirikanya Federasi Aeromodeling Seluruh
Indonesia (FASI). Selanjutnya, muncul berbgai organisasi yang menaungi
pemanfaatan pesawat model, utamanya untuk alasan olaraga (Azwar, 2006)
Menurut Prabawa et. al. (2009), Pesawat model merupakan pesawat tiruan dari
pesawat udara yang diskalakan dengan ukuran lebih kecil. Ukuran yang kecil
memungkinkan pengoperasian pesawat ini dilakukan tanpa awak. Bentuk dan
desain pesawat model dapat sangat beragam, namun secara umum dapat dibagi
menjadi desain yang menyerupai dengan bentuk aslinya ataupun desain
konseptual. Azwar (2006) menjelaskan klasifikasi pesawat model berdasarkan
beberapa kesamaan fisik dan konsep yang disadur dari Federation Aeronatique
Internationale (FAI). Secara umum pesawat dibedakan menjadi pesawat
aerodinamis dan aerostatis. Pesawat aerodinamis adalah pesawat yang memiliki
berat lebih besar dari udara (heavier than air). Sedangkan pesawat aerostatis
merupaka pesawat yang lebih ringan dari udara (lighter than air). Pesawat
aerodinamis terdiri dari pesawat bermotor dan tidak bermotor. Lebih lanjut Azwar
menjelaskan, pesawat bermotor dapat dibagi menjadi pesawat sayap tetap (fixed
wing) dan pesawat sayap berputar (rotary wing) atau yang lazim dikenal sebagai
dengan helicopter. Pesawat jenis ini menggunakan tenaga yang diperoleh dari
motor atau daya dorong untuk menggerakkan pesawat ke arah depan, sedangkan
untuk daya angkat dapat menggunakan motor atau tekanan udara panas (thermal).
Berbeda dengan pesawat aerodinamis, pesawat aerostatis lebih populer dikenal
sebagai pesawat yang menggunakan udara sebagi daya angkat, misal balon udara.

19

Pesawat model menurut FAI dalam Azwar (2006), dibagi menjadi menjadi
lima kelas, diataranya kelas F1, F2, F3, F4 dan F5. Setiap kelas memiliki
sepsifikasi desain dan teknis yang berbeda satu sama lain terkait dengan nilai
fungsional dari setiap kelas.
1. Kelas F1(Free Flight)
Pesawat model kelas free flight sesuai namanya merupakan kelas pesawat
model yang sama sekali tidak menggunakan mekanisme mesin atau eletrik
untuk penerbanganya. Penerbang (operator) tidak menggunakan perangkat
apapun untuk mengendalikan laju dan pergerakan dari pesawat. Pesawat
ini mengandalkan ketepatan desain aerodinamis untuk mempertahankanya
pada kondisi terbang bebas dalam waktu yang lama. Salah satu model
yang terkenal dari kelas ini adalah On Hand Lauch Glider (OHLG).
Pesawat model ini diterbangkan dengan melemparakanya ke udara. Presisi
desain aerodinamis dan kontrol penerbang pada saat peluncuran menjadi
kunci keberhasilan penerbangan model ini. Pesawat model F1 jarang
digunakan untuk kebutuhan fotografi udara karena tidak memiliki sistem
kendali.
2. Kelas F2 (Control Line)
Pesawat model control line memiliki kesamaan dalam prisip peluncuran
dimana pesawat tidak menggunakan kekuatan dorongan dari mesin.
Namun model ini dikendalikan dengan sepasang tali atau kawat khusus
oleh penerbang. Panjang tali kendali (control line) maksimal mencapai 21
m. tali terebut dipegang oleh operator untuk mengendalikan pesawat
secara berputar (sentrifugal). Operator menjadi poros dari perputaran
pesawat model. Kelas pesawat model ini sama sekali tidak pernah
digunakan untuk kepentingan pemotretan udara. Hal ini dikarenakan
ketangkasan penerbang yang menjadi titik berat dari pengendalian pesawat
dan sistem penerbangan membatasi jarak penerbangan.
3. Kelas F3 (Radio Control)
Radio-control secara terminology diartikan sebagai sebuah alat yang
digunkan untuk mengendalikan suatu alat dengan menggunakan

20

gelombang radio sebagai sinyal pengirim kendali (Prabawa et. al., 2009).
Kelas F3 memanfaatkan radio remote control untuk mengendalikan
pesawat dari jarak yang jauh. Sama sekali tidak ada kontak langsung dari
operator terhadap model kecuali lewat remote control tersebut. Model
radio control dapat berupa pesawat fixed wing maupun rotary wing.
Desain yang biasa digunakan pun beragam mulai dari pesawat hingga
helicopter, bahkan hingga desain konseptual seperti tetracopter hingga
hexacopter. Pesawat biasa menggunakan motor untuk tanaga pendorong
penerbanganya. Menurut Azwar (2006), ada tiga komponen utama dalam
model sistem kendali pesawat model ini, yaitu transmitter, receiver, dan
servo. Gelombang radio yang dihasilakn oleh radio control dipancarakan
melalui transmitter. Selanjutnya sinyal diterima oleh receiver yang ada
pada pesawat yang selanjutnya diolah sebagai perintah kendali oleh servo.
Pesawat model ini sangat populer digunakan untuk berbagai keperluan,
mulai dari olahraga, bidang perfilman, hingga militer. kendali yang relatif
simpel menjadikan kelas model ini menjadi salah satu pilihan yang cocok
untuk pemotretan udara.
4. Kelas F4 (Scale Model)
Satu-satunya pesawat model yang memiliki kekhususan sebagai replika
adalah kelas scale model. Model ini lebih lazim untuk hobby dan bukan
untuk diterbangkan. Detail desain menyerupai desain asli menjadi point of
interest dari model ini. Model ini biasa dibuat dengan menggunakan bahan
dasar kayu dan Styrofoam. Biasanya model ini diproduksi masal sebagai
pajangan, khusunya untuk memanjakan hobiis kedirgantaraan. Karena
tidak memiliki tujuan untuk penerbangan, maka spesifikasi dari model
hanya dibatasi pada kesan estetik dan tidak memiliki kemampuan
fungisonal seperti yang dimiliki model pada kelas lain.
5. Kelas F5 (Electric Model)
Kelas model F5 merupakan model dengan teknologi paling tinggi. Sesuai
dengan namanya, pesawat model ini menggunakan mesin eletrik dengan
menggunakan baterai sebagai catu dayanya. Baterai yang biasa digunakan

21

merupakan baterai litium sel kering (dry cell) dengan kisaran tegangan 42
V. karena menggunakan mesin elektrik, performa pesawat ini dianggap
lebih baik dari pesawat dengan mesin berbahan bakar cair. Hal ini
dikarenakan perputaran mesin dan torsi yang dihasilkan motor tidak
tergantung oleh komposisi bahan bakar. Selain itu, tidak ada reduksi
tenaga oleh sistem mekanik yang biasa ditemui pada pesawat dengan
mesin berbahan bakar minyak. Desain model ini sangat beragam, baik
fixed wing ataupun rotary wing. Pesawat kalas ini relatif mudah dibuat
dengan peralatan sederhana dan mudah di dapat di pasar bebas. Namun,
karena dibuat dengan bahan yang ringan, model ini memiliki payload yang
sangat kecil. Model ini terkadang digunakan untuk pemotretan udara dan
videografi udara dengan menggunakan kamera mini (spycam).

1.6.6 Pola Pantulan Spektral Objek Vegetasi


Vegetasi adalah salah satu objek yang unik dalam penginderaan jauh. Hal ini
dikarenakan pola pantulan spektral yang khas dan secara umum, keberaan
vegetasi mencirikan objek-objek lain di permukaan bumi. Vegetasi memilik nilai
pantulan yang kuat pada band hijau dan inframerah dekat .

Gambar 1. 5. Pola pantulan objek


(sumber: Wrotniak, 2005)

Loveless (1991) menjelaskan pengaruh karakteristik vegetasi terhadap pola


pantulan yang dihasilkan. Pada dasarnya vegetasi memiliki kemampuan untuk
melakuan fotosistesis. proses ini melibatkan pigmen-pigmen daun berupa klorofil

22

a, b, xantofil, dan karoten. Untuk melangsungkan foto sintesis, keempat pigmen


ini meyerap secara intensif panjang gelombang biru hingga merah dengan sedikit
perluasnaya (mulai dari 3,9 mikron hingga 7,6 mikron). Namun gelombang hijau
tidak digunakan dan dipantulkan sehingga secara umum vegetasi memiliki warna
hijau. Hal ini juga terjadi pada panjang gelombang inframerah. Inframerah
dipantulkan kuat oleh jaringan spongi daun dan sama sekali tidak digunakan
dalam proses fotositesis. Perbedaan karakter vegetasi padi (Oryza sativa) dapat
didasarkan pada logika-logika tersebut. Saat terjadi kerusakan pada jaringan
akibat faktor eksternal, misal serangan hama, maka akan terjadi perubahan
kemapuan dalam proses metabolisme. Hal-hal yang dapat digunakan untuk
pencirian kesehatan tanaman padi diantaranya lengas daun dan struktur vegetasi
padi.

Saat lengas daun berkurang karena faktor eksternal, maka pantulan

gelombang biru akan berkurang seiring berkurangnya suplai air (Loveless, 1991).
Pantulan gelombang merah akan semakin besar dan menjadikan padi berwarna
kekuningan. Serangan hama akan menghasilkan kerusakan pada jaringan yang
tercermin pada struktur dan anatomi tumbuhan, sehingga pantulan total akan
berubah.
1.6.7 Tanaman Padi (Oryza sativa)
Padi (Oryza sativa) adalah vegetasi berbiji belah satu (monokotil) dan
termasuk dalam famili Poaceae dan genus Oryzae (Anonim, 2011). Oryza sativa
merupakan salah satu species padi dengan persebaran yang luas di Asia tenggara,
termasuk di Indonesia. Secara morfologis, tanaman ini merupakan tanaman tipe
rumput-rumputan dengan akar serabut. Tanaman padi pada dasarnya merupakan
tanaman tropis dan dapat tumbuh pada ketinggian 0 mdpal hingga 3000 mdpal.
Daerah yang memiliki penggenangan berkala merupakan habitat terbaik bagi
tumbuhan padi. Sekalipun termasuk dalam tanaman tropis, persebaran tanaman
padi di seluruh dunia tergolong sangat luas, Tercatat, padi dapat tumbuh mulai 35
LS hingga 50 LU. Total lahan pertanian padi mencapai 10 % dari lahan pertanian
tanaman pangan di seluruh dunia atau sekitar 144 juta hektar. Laporan The Office
of Gene Technology Regulator (2006) menyebutkan, keseluruhan luas lahan

23

pertanaian padi di seluruh dunia terdiri dari tiga satuan habitat padi, yaitu padi
dataran tinggi (10% dari luas total), padi dataran rendah (75 %) dan padi perairan
(15%). Padi memiliki daya tumbuh dan adaptasi yang baik terhadap berbagai jenis
tanah. Berdasrakan viariasi ekologi yang ada, tanaman ini dapat dibagi menjadi
padi Indica, Japonica, dan Javanica dimana padi Javanica hanya hidup di
Indonesia.
Tanaman padi di Indonesia dapat tumbuh dengan baik karena kondisi iklim
yang mendukung. Suhu optimum yang mendukung pertumbuhan padi adalah 23
Celcius atau lebih. Indonesia memiliki fluktuasi sihu yang kecil di setiap tahunya
dan hal ini menjadikan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik (Suprayono dan
Soetoyo dalam Anonim, 1993). Selain itu curah hujan rata-rata untuk setiap tahun
di Indonesia relatif cocok dengan syarat tumbuh tanaman padi, yaitu berkisar
antara 1500-2000 mm ( Sugeng, 2002). Tidak heran jika tanaman padi menjadi
salah satu komoditas tanaman pangan utama di Indonesia, salah satunya Pulau
Jawa. Menurut Sugeng (2002), Pulau Jawa memiliki 96% lahan yang cocok untuk
padi terkait kondisi fisiknya. Hal inilah yang menjadikan pulau terpadat di
Indonesia ini diberi nama Jawa yang berasal dari bahasa sangsekserta
Jawawut yang berarti otek atau padi-padian (famili Graminaceae).
Tanaman padi memiliki tiga fase pertumbuhan yaitu fase vegetatif, reproduktif
dan generatif. Setiap fase pertumbuhan diindikasikan dengan perkembangan
jaringan dan struktur tumbuhan tersebut.
1. Fase Vegetatif
Fase vegetatif adalah fase awal tumbuhan padi dimana fase ini dimulai
dari perkecambahan hingga tanaman muncul ke permukan tanah. Fase
vegetatif memliki tiga tahapan, yaitu perkecambahan, pertunasan,
pembentukan anakan dan pemanjangan batang. Setiap tahapan ini terjadi
sepenuhnya oleh proses pembelahan sel dan tidak melewati proses
pembuahan. Rata-rata, tanaman padi pada daerah tropis seperti Indonesia
membutuhkan waktu sekitar 45-65 hari untuk fase vegetative atau sekitar

24

50% hingga 60% dari umur padi. Terdapat hama tanaman padi yang
muncul pada fase ini dintaranya anjing tanah (Gryllotapa sp.) dan ulat
penggerek batang ( Chilo polychrysus)
2. Fase Reproduktif
Tahapan pertumbuhan reproduktif memerlukan waktu setidaknya 35 hari.
Fase ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tumbuhnya malai hingga bunting,
keluarnya malai, dan pembungaan (pembuahan). Menurut Suastika (1996),
tahap keluarnya malai ditunjukkan dengan kemunculan tunas bunga pada
pelepah utama. Selanjutnya, tunas ini akan berkembang sehingga pelpah
akan membengkak atau disebut dengan bunting. Setelah melewati masa
bunting, bunga akan muncul atau disebut dengan pembungaan. Fase
pembungaan (pembuahan) merupakan tahapan yang mencirikan fase
generative dimana terjadi proses pembuahan oleh sebuk sari pada putik
bunga. Hama tikus ( Rattus losea, Rattus colori, Bandicota indica dan
Rattus argentiventer) merupakan hama spesifik yang muncul pada fase ini,
utamanya pada tahap bunting.
3. Fase Generatif
Pembuahan yang terjadi pada fase reproduktif menghasilkan embrio padi.
Embrio yang tebuahi akan berkembang menjadi bulir padi pada fase ini.
Tiga tahapan dalam fase ini adalah matang susu, matang adonan, dan
matang penuh. Tahapan matang susu ditandai dengan munculnya padi
yang masih berupa cairan putih kental seperti susu. Hama walang sangit
(Leptocorosia sp.) biasa muncul pada fase ini (Kalshover,1981). Setelah
melewati tahap matang susu, cairan padi mengeras dan memasuki tahap
matang adonan dan diakhiri dengan pematangan sempurna (siap panen).

1.6.8 Hama Tikus Sawah (Rattus argentiventer)


Tikus merupakan salah satu hama tanaman pertanian utama di seluruh dunia.
Menurut Tristiani et. al. (2000), Tikus utamanya menyerang tanaman pertanian
kelapa sawit, tebu, singkong, ubi, kedelai, kacang tanah, kelapa, kentang dan

25

tentunya padi. Kerusakan tanaman padi yang dihasilkan berkisar dari 5-15 % dari
keseluruhan lahan pertanian produktif setiap tahunya. Sebagai contoh aktual,
laporan dari Singleton dalam Sudarmadji (2003) menyebutkan, kehilangan hasil
padi mencapai 10% atau sekitar 60 ton dalam satu tahun di Asia. Nilai tersebut
setara dengan kebutuhan 180 juta orang selama 2 tahun. Indonesia termasuk
negara dengan nilai kerusakan yang besar pada komoditas padi yang disebabkan
oleh serangan tikus dengan kisaran 17% dari keseluruhan produksi padi (Geddes
dalam Tristiani, 1992).
Ada beberapa species tikus yang menyerang tanaman pertnaian, yaitu tikus
sawah (Rattus Argentiventer), tikus hutan (Rattus koratensis), tikus wirog
(Bandicota Indica) dan tikus rumah (Rattus norvegicus, Rattus flavipectus dan
Rattus exulans). Tercatat jenis tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan
species yang memiliki rerpustasi paling besar terkait serangannya terhadap
tanaman padi, baik secara kualitas, maupun kuantitas dengan dominasi kasus
mencapai 98,6 %. (FAO, 2010). Rattus argentiventer merupaka species tikus
sawah dari ordo Rodentia dan famili Muridae. Species ini memiliki pola
perkembangbiakan yang cepat dan sangat terkontrol oleh keberadaan sumber
pakan. Fase perkembangbiakan tikus sawah dapat terjadi dua kali pada daerah
dengan dua kali musim tanam padi dan mampu beregenerasi sepanjang tahun saat
padi selalu terseida.
Habitat utama tikus sawah adalah ekosistem sawah irigasi. Tikus biasa
tinggal dalam liang yang dibuat pada pematang sawah atau tanggul tanah yang
kering. Ada tiga faktor yang mendorong pergerakan tikus yaitu kebutuhan pakan,
kompetisi, dan kondisi yang tidak sesuai seperti banjir. Utamanya untuk
pergerakan karena kebutuhan pakan, jarak maksimal tikus tidak akan terlalu besar,
berkisar antara 100 hingga 200 meter (FAO,2011). Rochman dan Sukarna (1990)
memberikan pendapat lain, saat makanan sulit didapat, pergerakan tikus dapat
mencapai 700 meter. Sekalipun demikian tikus memiliki pola pergerakan teratur
setiap harinya untuk mencari makan. Brown et al. (2001) menyebutkan, rata-rata
daya jelajah tikus sawah adalah 3, 01 hektar untuk tikus jantan dan 1,97 hektar

26

untuk betina. Tristiani (2003) menambahkan bahwasanya 63% pergerakan tikus


sawah terlokalisir pada area pertanaman padi selama musin tanam.
Tikus sawah merupakan hewan omnivora. Tikus sawah menyerang tanaman
padi pada berbagai fase mulai dari persemaian hingga padi siap panen. Puncak
kerusakan tanaman padi terjadi pada fase bunting dimana air sudah dikurangi dan
padi telah mengandung malai (Rochman, 1992). Hal ini dikaitkan dengan
preferensi tikus pada padi fase bunting. Rochman dan Toto (1976) menjelaskan,
tikus sawah tidak mengkonsumsi keseluruhan dari padi yang dirusak. Rata-rata
tikus sawah hanya mengkonsumsi padi seberat 10% dari berat tubuhnya dan
kerusakan non-konsumsinya mencapai 500% atau lima kali dari nilai konsumsi
tersebut (Anggara,2009). Tikus aktif di malam hari dan setiap individu mengerat
rata-rata 12 batang setiap malamya. Tikus mengerat tanaman padi pada fase
anakan hingga tercerabut. Sekalipun demikian pada fase ini, tanaman padi masih
dapat bertahan hingga fase berikutnya. Berbeda dengan fase anakan, pada fase
vegetatif dan generatif dimana tanaman telah tumbuh dengan pesat, tikus
memotong pangkal batang. Setelah tanamn padi berbunga dan berbuah, tikus
mengerat tangkai bunga dan memakan bulir beras yang ada. Penelitian yang
dilakukan Triastiani et al. (2000) menjelaskan pola spasial serangan tikus sangat
khas untuk setiap fase padi. Pola serangan bersifat random pada fase vegetatif.
Fase generatif yang ditandai dengan fase bunting mengidikasikan homogenitas
pakan dan habitat bagi tikus sehingga pola kerusakan tikus akan teragregasi,
khususnya terjadi pada tengah petak. Gejala akan membentuk pola radial dimulai
dari pusat petak. Sekalipun dapat dilihat secara kasat mata, serangan tikus pada
skala kecil terkadang terlihat seperti padi yang terserang penyakit karena
kakurangan suplai air. Namun saat serangan menjadi masif, tanda kerusakan akan
nampak nyata karena tanaman padi terpotong dan terserak.

27

1.6.9 Pemetaan Kondisi Vegetasi


Pemetaan vegetasi merupakan salah satu studi yang dimunginkan dengan
data foto udara inframerah digital, demikian pula untuk pengenalan kondisi
tanaman pertanian. Pengenalan karakter objek tanaman budidaya pertanian, misal
padi, menurut Goodman (1987) dalam Lo (1996) dapat secara sederhana
dilakukan dengan menggunakan analisis visual dengan kunci interpretasi rona,
tekstur, dan asosiasi. Penggunaan kunci intepretasi ini memiliki keunggulan tidak
tebatasnya dearah kajian, terkait dengan iklim yang ada. Sekalipun demikian,
analisis digital dapat dilakukan dengan melihat pola-pola nilai piksel dalam citra
karena data yang digunakan memungkinkan. Analisis spektral didasarkan pada
pola pantulan yang dihasilkan dari dari setiap karakter padi, dalam hal ini tingkat
kerusakan dan kesehatan. Kesehatan dan tingkat kerusakan tanaman padi nantinya
akan membentuk pola spasial yang dapat dikenali dengan pendekatan visual.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait objek yang akan dikaji, diantaraya:
1. Batasan kelas kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus.
2. Umur dan kondisi kesehatan yang pada dasarnya akan mempengaruhi
karakter visual (Lo,1996).
3. Varietas tanaman yang dikaji pada detail tertentu akan memperlihatkan
perbedaan yang nyata.
4. Skala pemetaan memberikan pengaruh tehadap analisis data dan kelas
jenis yang akan dipetakan.
Kraak dan Ormeling (2003) menjelaskan desain simbol kategoris untuk
menggambarkan karakter objek vegetasi, khususnya kelas kerusakan tanaman
padi dapat dimungkinkan karena skala data jenis adalah ordinal. Pemetaan dapat
dilakukan dengan menggunakan simbol tingkatan warna (color ramp). Peta hasil
interpetasi merupakan peta tentatif dan harus melewati pengujian untuk menjamin
kualitas peta yang dibuat. Guptill et. al. (1995) menjelaskan ketelitian pemetaan
dilakukan untuk menjamin kebaikan dari hasil dengan memperhatikan aspekaspek kualitas data sapsial, dintaranya:

28

1. Riwayat data peta yang diturunkan dari data foto udara inframerah
format kecil. Hal ini mengindikasikan pentingnya kualitas sumber data
pemetaan, yaitu foto udara digital.
2. Akurasi posisi dan geometri mutlak dicek untuk madapatkan akurasi
pemetaan.
3. Akurasi aribut terkait kerusakan padi harus dipastikan untuk
medapatkan gambaran sejauh mana sistem dapat digunakan.
4. Kelengkapan data, meliputi data sampling dan data kondisi saat
perekaman yang dipetakan.
5. Asumsi yang digunakan dalam pemetaan haruslah konsisten dengan
tema dan mengacu pada analisis yang sudah ditetapkan dalam metode.
6. Nilai akurasi tematik menjadi nilai paling penting, karena pemetaan
jenis tanaman pertanaian merupakan pemetaan tematik murni dan apa
yang dihasilkan harus merepresentasikan kebutuhan tematik yang
diinginkan.
Perilaku hama tikus dalam konsumsinya terhadap tanaman padi membentuk
pola yang tercermin secara spasial (Tristiani et. al., 2000). Perbedaan kondisi
tanaman yang terjadi pada dasarnya adalah perubahan fisiologis tanaman. Polapola tersebut dapat disadap dengan sistem foto udara format kecil yang
diintegrasikan dengan pesawat model tanpa awak. Keunggulan sistem kamera
dengan kemampuanya merekam gelombang inframerah menjadikan nilai lebih
dalam analisis kondisi tanaman yang diinginkan.

29

1.7. Penelitian Sebelumnya


Penelitian yang dirujuk sebagai pembanding merupakan penelitian mengarah pada penelitian terapan untuk objek vegetasi
tanaman pertanian, diantaranya dengan fokus pada kesehatan tanaman. Wahana yang digunakan lazimnya adalah pesawat ringan
namun pada beberapa penelitian juga menggunakan wahana sederhana, yaitu layang-layang. Metode interpretasi visual umum
digunakan sekalipun data yang dihasilkan dari pemotretan adalah data foto udara digital.

No

Peneliti

Dirk
Wundram,
Jorg Loffler

Luis Martin
et. al.

Reginal S.
Fletcher
et.al.

Lokasi
Penelitian

Tahun

Judul

2007

Kite Aerial
Photography in
High Mountain
Ecosystem

Geiranger
Fjord,
Norwegia

2001

Small Aerial
Photography to
Asses Chestnut Ink
Disease

Soutos da
Padrela,
Portugal

2007

Surveiing Thermally
Defoilated Cotton
Plots with Color
Infrared
Photography

Kika de la
Graza,
Amerika
Serikat

Relevansi dengan
Penelitian Penulis
Penggunaan foto udara
Pengujian Foto udara
format digital kecil
format kecil untuk
untuk kajian detail
pemetaan ekosistem
dengan wahana
pegunungan skala detail sederhana (layanglayang)
Identifikasi penyakit
Pemanfaatan Foto
bercak daun pada
Udara Format Kecil
tanaman Chestnut
untuk identifikasi
dengan Foto Udara
kesehatan tanaman
Format Kecil
Pendugaan tanaman
kapas siap panen
Pemetaan karakteristik
menggunakan foto
tanaman homogen
udara inframerah
dengan foto udara infra
berwarna dengan
merah
pendekatan thermally
Fokus Kajian

Persamaan
Tujuan penelitian
menitikberatkan
pada analisis
kualitas citra foto
yang dihasilkan

Perbedaan
Wahana yang
digunakan dalam
pemotretan

Metode interpretasi
yang digunakan
dalam pembedaan
objek

Kesehatan
tanaman menjadi
objek penelitian

Aspek fisiologis
tanaman digunakan
sebagai dasar
pembeda dalam
pembedaan kondisi
vegetasi

Pendekatan yang
digunakan dalam
pembedaan objek
tidak hanya
secara visual

30

defoliated

James S
Aber, Susan
Aber, Firoza
Pavri

Harintaka,
Christine
Nugraha
Kartini

2002

2004

Unmanned SmallFormat Aerial


Photography From
Kites For Acquiring
Large-Scale, HighResolution,
Multiview-Angle
Imagery
Pemanfaatan
teknologi Small
Format Aerial
Photograph untuk
Keperluan
Pembangunan
Daerah (Studi Kasus
: Aplikasi Bidang
Pertanian)

Pemetaan biofisik
lahan detail dengan foto
Mnnikjrve
udara format kecil
Bog,
inframerah dengan
Estonia
wahana layang-layang

Penggunaan foto udara


inframerah berwarna
format kecil untuk
pemetaan kondisi
biofisik lahan skala
detail

Metode
pemrosesan citra
sederhana dan
menggunakan
interpretasi visual

Wahana yang
digunakan dalam
pemotretan

Kabupaten
Bantul,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta

Pembedaan lahan
pertanian berdasarakan
jenis tanaman pertanian
yang ditanam dengan
interpretasi visual foto
udara format kecil

Metode interpretasi
yang digunakan
dalam pembedaan
objek

Wahana dan
sistem kamera
yang digunakan
dalam pemotretan

Pemanfaatan Foto
Udara Format kecil
untuk pemetaan lahan
pertanian

31

3.8. Kerangka Penelitian


Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji kemampuan sistem Foto Udara
Digital Inframerah dalam merekam fenomena pada objek vegetasi. Secara umum
peneliti membagi kajian menjadi kajian primer (utama) dan sekunder. Kajian
primer merupakan fokus analisis yang mendasari tujuan penelitian, yaitu
perekaman fenomena kondisi tanaman padi. Perekaman dilakukan dengan
menggunakan sistem yang dirancang sedemikan rupa sehingga mampu menyokong
kebutuhan pemetaan kondisi tanaman padi.

Gambar 1.6. Kerangka pemikiran (sumber: Penulis, 2011)

32

Kajian sekunder merupakan analisis yang difokuskan pada hal-hal yang


berhubungan dengan fenomena yang terjadi pada objek, yaitu kerusakan tanaman
padi kerena serangan tikus yang diasumsikan akan membentuk kenampakan dalam
citra.
Fokus kajian primer ada pada analisis sistem foto udara yang digunakan.
Peneliti merasa perlu mengkaji hal tersebut karena sistem foto yang nantinya
digunakan merupakan sistem costumized. Kajian primer dapat dibagi lima aspek
yaitu pra-akuisisi data, akuisisi, proses, pengujian (check), dan hasil (output). Praakusisi adalah tahapan yang terdiri dari perancangan sistem fotografi udara ideal
dan perencanaan pemotretan. Perancangan wahana dan sistem foto udara dilakukan
sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sistem foto udara yang dibangun setidaknya
memiliki spesifikasi teknis yang menunjang pemotretan vertikal dan dapat diatur
ketinggan terbangnya sesuai dengan luas cakupan area penelitian. Selain itu sistem
harus memiliki sensor inframerah dengan julat yang sesuai dengan kebutuhan
perekaman fenomena kondisi tanaman padi yang akan dikaji. Selanjutnya,
perencanaan pemotretan dilakukan dengan menyesuaikan waktu dan tempat
pemotretan. Selain itu, wahana yang digunakan pun merupakan wahana pesawat
model hand-made. Hal ini tentu memerlukan penyesuaian untuk menjamin foto
udara yang dhasilkan ideal untuk pemetaan. Akusisi merupakan proses perekaman
fenomena kerusakan tanaman padi dengan sistem foto udara digital. Proses meliputi
proses pengolahan citra dan analisis visual (interpretasi). Inti dari penelitian ada
pada aspek pengujian (check) dimana jawaban dari pertanyaan penelitian
didapatkan dari pengujian ketelitian interpretasi dengan kenyataan di lapangan.
Hasil yang diharapkan adalah Peta Kerusakan Tanaman Padi Akibat Serangan
Hama Tikus Sawah.
Kajian Sekunder merupakan kajian terkait dengan kondisi objek. Pengertian
objek dibatasi pada objek sistem foto udara, yaitu tanaman padi yang mengalami
perubahan kondisi akibat serangan hama tikus sawah. Kajian sekunder didasarkan

33

pada asumsi tanaman padi (Oryza sativa) memiliki karakter vegetasi yang khas
yang dicerminkan oleh kenampakan visualnya. Hal ini berubungan dengan aspek
fisiologis tumbuhan padi seperti kanopi dan ukuran daun yang berimplikasi pada
pantulan spektral tumbuhan tersebut. Saat terjadi serangan hama tikus, terjadi
perubahan dalam aspek fisiologis tersebut. Foto Udara Digital Inframerah Format
Kecil dapat digunakan untuk merekam fenomena perubahan kondisi tersebut. Hasil
pengujian interpretasi selanjutnya dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan dari
peta hasil.

3.9.Batasan Istilah
Foto Udara Format Kecil
Sistem Penginderaan Jauh yang menggunakan kamera handheld sebagai sistem
perekaman dan film ukuran 35 mm sebagai sensor. Sensor film saat ini sudah
beralih dari film ke CCD/ CMOS. (Graham dengan modifikasi, 1996).
Hama Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
Hama pengerat (Rodentia) utama tanaman padi dari golongan mamalia (Nugroho,
2009)
Inframerah Dekat
Spektrum gelombang elektromagnetik yang memiliki kisaran panjang gelombang
dari 0,7 m hingga 1,1 m (Levin,1999).
Padi (Oryza sativa)
Tanaman budidaya pertanian penghasil beras dari Famili Poaceae (FAO, 2009)
Pesawat Model
Pesawat model merupakan pesawat tiruan dari pesawat udara yang diskalakan
dengan ukuran lebih kecil (Prabawa, 2009)
Balon Udara
Pesawat aerostatis yang terbang berkonsep linghter than air dengan menggunakan
balon yang diisi gas atau udara panas (Azwar, 2006)

34

Sensor
Bagian dari sistem penginderaan jauh yang berfungsi sebagai perekam gelombang
elektromagnetik (Sutanto dalam Anonim, 1987).

Tipe Data Ordinal


Tipe data yang mempunyai urutan atau bisa diurutkan berdasarkan jenjang atau
atribut tertentu (Murtiyasa, 2011)
Wahana
Sarana untuk menyimpan dan membawa sistem sensor penginderaan jauh
(Soemantri, 2009)

35

Anda mungkin juga menyukai