S1 2013 253854 Chapter1
S1 2013 253854 Chapter1
PENDAHULUAN
1.1
(area array) Charge Coupled Devices (CCDs). Sistem ini selanjutnya disebut
dengan sistem Foto Udara Digital Format Kecil (FUDFK). Kodak dalam Jensen
(2004) menjelaskan, CCD merupakan kumpulan dari ribuan photosites peka
cahaya yang mengubah berbagai variasi gelombang elektromagnetik yang
dipantulkan oleh objek ke dalam sinyal elektrik. Sistem ini memungkinkan
pengolahan, penyimpanan, serta analisis secara digital. Pengembangan teknologi
kamera digital selanjutnya diarahkan pada sensor yang digunakan, khusunya
untuk menyamai kapasitas film dengan memperluas julat spektral yang dapat
diindera. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk memperluas bidang kajian yang
dapat dilakukan dengan data yang dihasilkan. Tidaklah berlebihan saat FUDFK
disebut sebagai sistem penginderaan jauh adopsi dari sistem non-fotografi
multispektral pada tingkat paling sederhana.
Seiring dengan kemajuan di bidang fotografi udara digital format kecil,
trend penggunaan pesawat model dengan pengendali jarak jauh sebagai wahana
alternatif
memperlihatkan
peningkatan.
Pesawat
aeromodelling
dengan
pengendali jarak jauh dipilih, sekali lagi dengan alasan investasi yang relatif
murah. Berbagi jenis wahana mini pun digunakan mulai dari zipplein, pesawat
fixed wing, helikopter model, hingga multikopter. Setiap wahana ini memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun secara umum, pesawat model
memiliki keterbatasan ketinggian terbang. Satu hal yang menjadi keuntungan
utama dari penggunaan pesawat model adalah wahana ini dikendalikan dari jarak
jauh dan tidak berawak. Hal tentu saja menjadikan biaya pemotretan dapat ditekan
hingga kurang dari Rp 30.000.0000,00 untuk investasi jangka panjang (Prabawa
et. al., 2009). Namun perlu diperhatikan, wahana ini memiliki ketidakstabilan
yang besar bila harus dibandingakan dengan wahana pesawat sesungguhnya. Hal
ini dikarenakan sederhananya perangkat navigasi dan pengendalian jarak jauh
yang digunakan. Semisal, balon udara, salah satu model aerostatis yang
dikendalikan secara maunal memungkinkan penerbangan dari lokasi yang sempit
dan memiliki kemudahan dalam pergerakan arah terbang, namun sangat rentan
terhadap gangguan udara seperti angin dan terbulensi.
tentunya dapat direkam dan dianalisis dengan menggunakan Foto Udara Digital
Inframerah Berwarna Format Kecil.
Foto udara digital format kecil memiliki spesifikasi teknis yang berbeda
dengan foto udara format standar, sekalipun secara konsep memiliki kesamaan.
Sebagian besar kamera yang digunakan dalam standar fotografi estetik adalah
kamera pankromatik. Sekalipun demikian, julat spektal yang dapat diindera sensor
(CCD) masih memungkinkan untuk diperlebar hingga inframerah dekat sehingga
memungkinkan untuk studi pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan
hama tikus. Kekurangan FUDFK terkait kestabilan dimensional dan geometrik,
karena sistem wahana dan kamera yang sederhana memberikan efek yang
mungkin akan sangat terasa dalam pemetaan tematik skala besar (detail). Artinya,
penggunaan Foto Udara Digital Inframerah Format Kecil mengindikasikan
pengujian, sejauh mana sistem ini dapat digunakan untuk studi vegetasi, dalam hal
ini untuk kondisi kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus. Penelitian
ini diarahkan untuk mendapatkan gambaran kelebihan dan kekurangan dari sistem
Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil yang diterbangkan dengan
wahana pesawat model aerostatis, berupa balon udara untuk pembedaan kondisi
tanaman padi. Harapanya, pengembangan sistem ini untuk pemetaan tematik
dapat diarahkan untuk menjawab kekurangan-kekurangan dari sistem fotografi
udara secara umum, serta dapat menjadi salah satu alternatif data penginderaan
jauh yang tidak hanya murah dan mudah, namun berkualitas.
1.2
Rumusan Masalah
Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil memiliki potensi
untuk digunakan sebagai sumber data pemetaan kerusakan tanaman padi akibat
serangan hama tikus sawah (Rattus argentiventer). Asumsinya, dengan
menggunakan kamera digital SLR inframerah, perbedaan pola pantulan
gelombang inframerah dan karakteristik visual tanaman padi akibat kerusakan
yang ditimbulkan oleh serangan tikus dapat diidentifikasi.
1.3
Pertanyaan Penelitian
Fokus penelitian ini dititikberatkan pada pengkajian kemampuan sistem dan
1.4
Tujuan
1.5
Kegunaan
Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan utama berupa pengujian sistem
untuk satu studi vegetasi, sehingga harapanya hasil dari penelitian dapat berdaya
guna, antara lain:
1. Sebagai saran pengembangan Sistem Foto Udara Digital Inframerah
Berwarna Format Kecil dengan wahana balon udara sebagai salah satu
data altenatif penginderaan jauh untuk kajian kajian vegetasi, khususnya
tanaman padi.
2. Sebagai dasar pijakan dalam identifikasi kondisi tanaman padi,
khususnya kerusakan tanaman akibat serangan hama tikus sawah.
1.6
Tinjauan Pustaka
1. Tenaga
Sistem fotografi termasuk dalam sistem pasif dimana tenaga yang
digunakan dalam sistem ini berasal dari matahari. Biasanya foto udara
memiliki spesifikasi panjang gelombang yang dapat diindera mulai dari
sebagian kecil spektrum ultraviolet hingga sebagian kecil inframerah dekat.
Pemilihan julat yang dimungkinkan untuk diindera disesuaikan dengan studi
yang akan dilakukan.
2. Objek dan Target
Fenomena di permukaan bumi dapat diindera dengan fotografi biasanya
merupakan objek tampak (Sutanto, 1987). Hal ini terkait dengan panjang
gelombang yang dapat digunakan dalam sistem ini.
3. Sensor
Sensor merupakan unsur yang membedakan sistem fotografi dengan sistem
penginderaan jauh yang lain. Sensor yang digunakan dalam fotografi
konvensional adalah film. Sensor fotografi
pada perkembanganya
Foto vertikal secara teknis memiliki nilai ketergunaan yang lebih tinggi
daripada foto condong. Hal ini dikarenakan keunggulanya yang dijelaskan Paine
dalam Sutanto (1983), yaitu:
1. Keseragaman skala dalam setiap tempat di dalam foto.
2. Penetuan arah lebih dapat dimungkinkan dengan mudah.
3. Dalam batas tertentu foto udara vertikal dapat digunakan sebagai
pengganti peta.
Gambar 1.2. Hubungan antara panjang fokus dengan luas liputan citra
(sumber: Warner,1996)
10
Jenis kamera
Narrow angle
304, 8
60
Normal angle
209, 5
60-75
Wide
152, 4
75-100
Superwide
88, 9
>100
11
Resolusi (garis/mm)
1:1.000.000
250
1: 500.000
125
1: 250.000
63
1: 100.000
25
1: 50.000
12,5
1: 25.000
6,3
Sumber: Paine (1983)
12
Jenis lensa
Panjang fokus
24-35 mm
14-20 mm
Normal (fix)
50 mm
Zoom
tele
700-1200 mm
Sumber: UFO (2007)
Perbedaan kelas kelas panjang fokus dan format ini berimplikasi pada luas
liputan yang dapat dijangkau oleh kamera. Secara teoritis, hanya beberapa lensa
saja yang dapat digunakan dalam pemotretan udara ideal. Lensa normal
merupakan lensa yang paling cocok untuk pemotretan udara karena prespektif
yang dihasilkan menyerupai pandangan manusia. Artinya, distrosi geometri yang
terjadi bernilai minimal karena tidak ada perubahan panjang fokus dan besar sudut
liputan tetap (fix). Berbeda dengan lensa normal, lensa fish eye merupakan lensa
yang memiliki sudut liputan yang sangat besar hingga mencapai 180. Namun,
tentu saja hal ini berimplikasi pada distrosi geometri yang maksimal.
Graham dan Read (1981) dalam Warner et al. (1996) menjelaskan
perubahan trend penggunaan foto udara format kecil yang menggeser foto udara
format standar didasari oleh :
1. Pengembangan penggunaan foto udara format kecil yang ditujukan
untuk intensifikasi peta, khususnya pada daerah yang sempit dan skala
yang besar (detail).
2. Pesatnya perkembangan Global Potitioning System (GPS) untuk
menunjang akurasi survei udara dan navigasi. (Heimes et al., 1992)
Selanjutnya Warner et al. (1996), menjelaskan keuntungan yang didapat
dengan menggunakan data sistem foto udara format kecil yang tidak mungkin
didapatkan pada foto udara format standar, diantaranya:
1. Jenis film yang tersedia dalam format kecil sangat beragam sehingga
memungkinkan untuk pengembangan studi.
13
14
pesawat mesin ganda (Quilter dan Anderson, 2000 dalam Aber et al.,2002,Warner
et al. 1996). Bahkan, Aber, James S, Aber Susan W, Pavri Firooza ,(2002)
melakukan pemetaan tematik menggunakan wahana Layang-layang pada
ketinggian terbang 150 meter dari permukaan tanah. Secara umum, sistem FUFK
lebih banyak digunakan untuk pemetaan tematik dengan skala besar (Bauer et al.,
1997, Light, 2001, dalam Aber, 2002).
1.6.3 Foto Udara Digital Format Kecil
Era fotografi digital dimulai tahun 80-an. Untuk pertama kali diperkenalkan
sistem sesor pengganti film emulsi yang digunakan dalam kamera konvensional.
Kamera Mavica buatan SONY lahir dengan sensor berupa pita magnetik (UFO,
2007). Selanjuntya muncul kamera hybrid yang dibuat oleh Kodak dengan sensor
Carge Coupled Device (CCD). Sejak saat itu, perkembangan fotografi digital
menjadi sangat pesat, khusunya untuk fotografi estetik.
CCD merupakan sekumpulan sensor berupa photossites yang peka cahaya
dan berkerja serentak dalam satu bidang dimensi atau sering desebut dengan area
array . Jensen (2005), menjelaskan prinsip kerja CCD adalah merubah energi
elektromagnetik (cahaya) yang mengenai sensor menjadi arus listrik yang
selanjutnya dikodekan lagi menjadi citra digital. Hal ini mirip dengan prinsip dari
panel surya (Mulyanto, 2007). Perkembanganya, citra yang dihasilkan dapat
ditampilkan langsung dalam layar sebagai citra digital ataupun dicetak. Mulyanto
(2007),
selajutnya
menjelaskan
keuntungan
menggunakan
foto
dgital
15
16
biru, dan merah. Ketiga layer ini kemudian dikalkulasi dengan algoritma khusus
untuk mendapatkan warna sesuai dengan warna sebenarnya. Prinsip ini disebut
dengan komposit warna dan sistem ini berlaku pada kamera single chip
technology (Jensen, 2005).
Jensen (2005) menjelaskan teknologi yang digunakan dalam sensor digital
dikembangkan untuk menerima spektrum tampak dan menghasilkan citra
pankromatik. Oleh karena itu, dilakukan penapisan pada panjang gelombang lain
yang dapat memberikan efek negatif seperti haze yang mengurangi kualitas visual
citra. Hal ini berkaitan dengan kemampuan sensor dalam menyerap julat panjang
gelombang yang besar. Sandidge (2009) memberikan argumen yang berbeda
dengan Jensen (2005) dimana kemampuan sensor dalam menyerap panjang
gelombang tidak terbatas pada panjang gelombang tampak saja.
Lebih lanjut Sadidge (2009) menjelaskan pada dasarnya sesor kamera digital, baik
CCD maupun CMOS memiliki kisaran serapan rata-rata panjang gelombang
mulai 300 nm-1000 nm atau dengan kata lain, mulai dari gelombang inframerah
UV hingga perluasan inframerah dekat. Citra pankromatik (warna asli) didapatkan
dengan membatasi serapan pada gelombang tampak saja. Teknologi yang
17
digunakan untuk menapis panjang gelombang yang diinginkan adalah filter. Filter
yang biasa digunakan dimaksudkan menghilangkan efek gelombang UV dan
panjang gelombang diatas panjang gelombang tampak. Filter dalam sistem
kamera dibagi menjadi dua , yaitu filter optik yang dipasang pada lensa dan filter
hot mirror yang dipasang didepan sensor. Melepas filter akan memperbesar
cakupan spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat diindera. Wrotniak
(2008), mengemukakan penggunaan filter hot mirror yang dipasang didepan
sensor dikhususkan untuk menapis efek gelombang inframerah dekat. Untuk
tujuan fotografi inframerah, kemampuan sensor harus diperluas hingga panjang
gelombang inframerah yang artinya menghilangkan filter hot mirror.
rona dan
18
udara
format
kecil
pada
umumnya
dilakukan
dengan
19
Pesawat model menurut FAI dalam Azwar (2006), dibagi menjadi menjadi
lima kelas, diataranya kelas F1, F2, F3, F4 dan F5. Setiap kelas memiliki
sepsifikasi desain dan teknis yang berbeda satu sama lain terkait dengan nilai
fungsional dari setiap kelas.
1. Kelas F1(Free Flight)
Pesawat model kelas free flight sesuai namanya merupakan kelas pesawat
model yang sama sekali tidak menggunakan mekanisme mesin atau eletrik
untuk penerbanganya. Penerbang (operator) tidak menggunakan perangkat
apapun untuk mengendalikan laju dan pergerakan dari pesawat. Pesawat
ini mengandalkan ketepatan desain aerodinamis untuk mempertahankanya
pada kondisi terbang bebas dalam waktu yang lama. Salah satu model
yang terkenal dari kelas ini adalah On Hand Lauch Glider (OHLG).
Pesawat model ini diterbangkan dengan melemparakanya ke udara. Presisi
desain aerodinamis dan kontrol penerbang pada saat peluncuran menjadi
kunci keberhasilan penerbangan model ini. Pesawat model F1 jarang
digunakan untuk kebutuhan fotografi udara karena tidak memiliki sistem
kendali.
2. Kelas F2 (Control Line)
Pesawat model control line memiliki kesamaan dalam prisip peluncuran
dimana pesawat tidak menggunakan kekuatan dorongan dari mesin.
Namun model ini dikendalikan dengan sepasang tali atau kawat khusus
oleh penerbang. Panjang tali kendali (control line) maksimal mencapai 21
m. tali terebut dipegang oleh operator untuk mengendalikan pesawat
secara berputar (sentrifugal). Operator menjadi poros dari perputaran
pesawat model. Kelas pesawat model ini sama sekali tidak pernah
digunakan untuk kepentingan pemotretan udara. Hal ini dikarenakan
ketangkasan penerbang yang menjadi titik berat dari pengendalian pesawat
dan sistem penerbangan membatasi jarak penerbangan.
3. Kelas F3 (Radio Control)
Radio-control secara terminology diartikan sebagai sebuah alat yang
digunkan untuk mengendalikan suatu alat dengan menggunakan
20
gelombang radio sebagai sinyal pengirim kendali (Prabawa et. al., 2009).
Kelas F3 memanfaatkan radio remote control untuk mengendalikan
pesawat dari jarak yang jauh. Sama sekali tidak ada kontak langsung dari
operator terhadap model kecuali lewat remote control tersebut. Model
radio control dapat berupa pesawat fixed wing maupun rotary wing.
Desain yang biasa digunakan pun beragam mulai dari pesawat hingga
helicopter, bahkan hingga desain konseptual seperti tetracopter hingga
hexacopter. Pesawat biasa menggunakan motor untuk tanaga pendorong
penerbanganya. Menurut Azwar (2006), ada tiga komponen utama dalam
model sistem kendali pesawat model ini, yaitu transmitter, receiver, dan
servo. Gelombang radio yang dihasilakn oleh radio control dipancarakan
melalui transmitter. Selanjutnya sinyal diterima oleh receiver yang ada
pada pesawat yang selanjutnya diolah sebagai perintah kendali oleh servo.
Pesawat model ini sangat populer digunakan untuk berbagai keperluan,
mulai dari olahraga, bidang perfilman, hingga militer. kendali yang relatif
simpel menjadikan kelas model ini menjadi salah satu pilihan yang cocok
untuk pemotretan udara.
4. Kelas F4 (Scale Model)
Satu-satunya pesawat model yang memiliki kekhususan sebagai replika
adalah kelas scale model. Model ini lebih lazim untuk hobby dan bukan
untuk diterbangkan. Detail desain menyerupai desain asli menjadi point of
interest dari model ini. Model ini biasa dibuat dengan menggunakan bahan
dasar kayu dan Styrofoam. Biasanya model ini diproduksi masal sebagai
pajangan, khusunya untuk memanjakan hobiis kedirgantaraan. Karena
tidak memiliki tujuan untuk penerbangan, maka spesifikasi dari model
hanya dibatasi pada kesan estetik dan tidak memiliki kemampuan
fungisonal seperti yang dimiliki model pada kelas lain.
5. Kelas F5 (Electric Model)
Kelas model F5 merupakan model dengan teknologi paling tinggi. Sesuai
dengan namanya, pesawat model ini menggunakan mesin eletrik dengan
menggunakan baterai sebagai catu dayanya. Baterai yang biasa digunakan
21
merupakan baterai litium sel kering (dry cell) dengan kisaran tegangan 42
V. karena menggunakan mesin elektrik, performa pesawat ini dianggap
lebih baik dari pesawat dengan mesin berbahan bakar cair. Hal ini
dikarenakan perputaran mesin dan torsi yang dihasilkan motor tidak
tergantung oleh komposisi bahan bakar. Selain itu, tidak ada reduksi
tenaga oleh sistem mekanik yang biasa ditemui pada pesawat dengan
mesin berbahan bakar minyak. Desain model ini sangat beragam, baik
fixed wing ataupun rotary wing. Pesawat kalas ini relatif mudah dibuat
dengan peralatan sederhana dan mudah di dapat di pasar bebas. Namun,
karena dibuat dengan bahan yang ringan, model ini memiliki payload yang
sangat kecil. Model ini terkadang digunakan untuk pemotretan udara dan
videografi udara dengan menggunakan kamera mini (spycam).
22
gelombang biru akan berkurang seiring berkurangnya suplai air (Loveless, 1991).
Pantulan gelombang merah akan semakin besar dan menjadikan padi berwarna
kekuningan. Serangan hama akan menghasilkan kerusakan pada jaringan yang
tercermin pada struktur dan anatomi tumbuhan, sehingga pantulan total akan
berubah.
1.6.7 Tanaman Padi (Oryza sativa)
Padi (Oryza sativa) adalah vegetasi berbiji belah satu (monokotil) dan
termasuk dalam famili Poaceae dan genus Oryzae (Anonim, 2011). Oryza sativa
merupakan salah satu species padi dengan persebaran yang luas di Asia tenggara,
termasuk di Indonesia. Secara morfologis, tanaman ini merupakan tanaman tipe
rumput-rumputan dengan akar serabut. Tanaman padi pada dasarnya merupakan
tanaman tropis dan dapat tumbuh pada ketinggian 0 mdpal hingga 3000 mdpal.
Daerah yang memiliki penggenangan berkala merupakan habitat terbaik bagi
tumbuhan padi. Sekalipun termasuk dalam tanaman tropis, persebaran tanaman
padi di seluruh dunia tergolong sangat luas, Tercatat, padi dapat tumbuh mulai 35
LS hingga 50 LU. Total lahan pertanian padi mencapai 10 % dari lahan pertanian
tanaman pangan di seluruh dunia atau sekitar 144 juta hektar. Laporan The Office
of Gene Technology Regulator (2006) menyebutkan, keseluruhan luas lahan
23
pertanaian padi di seluruh dunia terdiri dari tiga satuan habitat padi, yaitu padi
dataran tinggi (10% dari luas total), padi dataran rendah (75 %) dan padi perairan
(15%). Padi memiliki daya tumbuh dan adaptasi yang baik terhadap berbagai jenis
tanah. Berdasrakan viariasi ekologi yang ada, tanaman ini dapat dibagi menjadi
padi Indica, Japonica, dan Javanica dimana padi Javanica hanya hidup di
Indonesia.
Tanaman padi di Indonesia dapat tumbuh dengan baik karena kondisi iklim
yang mendukung. Suhu optimum yang mendukung pertumbuhan padi adalah 23
Celcius atau lebih. Indonesia memiliki fluktuasi sihu yang kecil di setiap tahunya
dan hal ini menjadikan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik (Suprayono dan
Soetoyo dalam Anonim, 1993). Selain itu curah hujan rata-rata untuk setiap tahun
di Indonesia relatif cocok dengan syarat tumbuh tanaman padi, yaitu berkisar
antara 1500-2000 mm ( Sugeng, 2002). Tidak heran jika tanaman padi menjadi
salah satu komoditas tanaman pangan utama di Indonesia, salah satunya Pulau
Jawa. Menurut Sugeng (2002), Pulau Jawa memiliki 96% lahan yang cocok untuk
padi terkait kondisi fisiknya. Hal inilah yang menjadikan pulau terpadat di
Indonesia ini diberi nama Jawa yang berasal dari bahasa sangsekserta
Jawawut yang berarti otek atau padi-padian (famili Graminaceae).
Tanaman padi memiliki tiga fase pertumbuhan yaitu fase vegetatif, reproduktif
dan generatif. Setiap fase pertumbuhan diindikasikan dengan perkembangan
jaringan dan struktur tumbuhan tersebut.
1. Fase Vegetatif
Fase vegetatif adalah fase awal tumbuhan padi dimana fase ini dimulai
dari perkecambahan hingga tanaman muncul ke permukan tanah. Fase
vegetatif memliki tiga tahapan, yaitu perkecambahan, pertunasan,
pembentukan anakan dan pemanjangan batang. Setiap tahapan ini terjadi
sepenuhnya oleh proses pembelahan sel dan tidak melewati proses
pembuahan. Rata-rata, tanaman padi pada daerah tropis seperti Indonesia
membutuhkan waktu sekitar 45-65 hari untuk fase vegetative atau sekitar
24
50% hingga 60% dari umur padi. Terdapat hama tanaman padi yang
muncul pada fase ini dintaranya anjing tanah (Gryllotapa sp.) dan ulat
penggerek batang ( Chilo polychrysus)
2. Fase Reproduktif
Tahapan pertumbuhan reproduktif memerlukan waktu setidaknya 35 hari.
Fase ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tumbuhnya malai hingga bunting,
keluarnya malai, dan pembungaan (pembuahan). Menurut Suastika (1996),
tahap keluarnya malai ditunjukkan dengan kemunculan tunas bunga pada
pelepah utama. Selanjutnya, tunas ini akan berkembang sehingga pelpah
akan membengkak atau disebut dengan bunting. Setelah melewati masa
bunting, bunga akan muncul atau disebut dengan pembungaan. Fase
pembungaan (pembuahan) merupakan tahapan yang mencirikan fase
generative dimana terjadi proses pembuahan oleh sebuk sari pada putik
bunga. Hama tikus ( Rattus losea, Rattus colori, Bandicota indica dan
Rattus argentiventer) merupakan hama spesifik yang muncul pada fase ini,
utamanya pada tahap bunting.
3. Fase Generatif
Pembuahan yang terjadi pada fase reproduktif menghasilkan embrio padi.
Embrio yang tebuahi akan berkembang menjadi bulir padi pada fase ini.
Tiga tahapan dalam fase ini adalah matang susu, matang adonan, dan
matang penuh. Tahapan matang susu ditandai dengan munculnya padi
yang masih berupa cairan putih kental seperti susu. Hama walang sangit
(Leptocorosia sp.) biasa muncul pada fase ini (Kalshover,1981). Setelah
melewati tahap matang susu, cairan padi mengeras dan memasuki tahap
matang adonan dan diakhiri dengan pematangan sempurna (siap panen).
25
tentunya padi. Kerusakan tanaman padi yang dihasilkan berkisar dari 5-15 % dari
keseluruhan lahan pertanian produktif setiap tahunya. Sebagai contoh aktual,
laporan dari Singleton dalam Sudarmadji (2003) menyebutkan, kehilangan hasil
padi mencapai 10% atau sekitar 60 ton dalam satu tahun di Asia. Nilai tersebut
setara dengan kebutuhan 180 juta orang selama 2 tahun. Indonesia termasuk
negara dengan nilai kerusakan yang besar pada komoditas padi yang disebabkan
oleh serangan tikus dengan kisaran 17% dari keseluruhan produksi padi (Geddes
dalam Tristiani, 1992).
Ada beberapa species tikus yang menyerang tanaman pertnaian, yaitu tikus
sawah (Rattus Argentiventer), tikus hutan (Rattus koratensis), tikus wirog
(Bandicota Indica) dan tikus rumah (Rattus norvegicus, Rattus flavipectus dan
Rattus exulans). Tercatat jenis tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan
species yang memiliki rerpustasi paling besar terkait serangannya terhadap
tanaman padi, baik secara kualitas, maupun kuantitas dengan dominasi kasus
mencapai 98,6 %. (FAO, 2010). Rattus argentiventer merupaka species tikus
sawah dari ordo Rodentia dan famili Muridae. Species ini memiliki pola
perkembangbiakan yang cepat dan sangat terkontrol oleh keberadaan sumber
pakan. Fase perkembangbiakan tikus sawah dapat terjadi dua kali pada daerah
dengan dua kali musim tanam padi dan mampu beregenerasi sepanjang tahun saat
padi selalu terseida.
Habitat utama tikus sawah adalah ekosistem sawah irigasi. Tikus biasa
tinggal dalam liang yang dibuat pada pematang sawah atau tanggul tanah yang
kering. Ada tiga faktor yang mendorong pergerakan tikus yaitu kebutuhan pakan,
kompetisi, dan kondisi yang tidak sesuai seperti banjir. Utamanya untuk
pergerakan karena kebutuhan pakan, jarak maksimal tikus tidak akan terlalu besar,
berkisar antara 100 hingga 200 meter (FAO,2011). Rochman dan Sukarna (1990)
memberikan pendapat lain, saat makanan sulit didapat, pergerakan tikus dapat
mencapai 700 meter. Sekalipun demikian tikus memiliki pola pergerakan teratur
setiap harinya untuk mencari makan. Brown et al. (2001) menyebutkan, rata-rata
daya jelajah tikus sawah adalah 3, 01 hektar untuk tikus jantan dan 1,97 hektar
26
27
28
1. Riwayat data peta yang diturunkan dari data foto udara inframerah
format kecil. Hal ini mengindikasikan pentingnya kualitas sumber data
pemetaan, yaitu foto udara digital.
2. Akurasi posisi dan geometri mutlak dicek untuk madapatkan akurasi
pemetaan.
3. Akurasi aribut terkait kerusakan padi harus dipastikan untuk
medapatkan gambaran sejauh mana sistem dapat digunakan.
4. Kelengkapan data, meliputi data sampling dan data kondisi saat
perekaman yang dipetakan.
5. Asumsi yang digunakan dalam pemetaan haruslah konsisten dengan
tema dan mengacu pada analisis yang sudah ditetapkan dalam metode.
6. Nilai akurasi tematik menjadi nilai paling penting, karena pemetaan
jenis tanaman pertanaian merupakan pemetaan tematik murni dan apa
yang dihasilkan harus merepresentasikan kebutuhan tematik yang
diinginkan.
Perilaku hama tikus dalam konsumsinya terhadap tanaman padi membentuk
pola yang tercermin secara spasial (Tristiani et. al., 2000). Perbedaan kondisi
tanaman yang terjadi pada dasarnya adalah perubahan fisiologis tanaman. Polapola tersebut dapat disadap dengan sistem foto udara format kecil yang
diintegrasikan dengan pesawat model tanpa awak. Keunggulan sistem kamera
dengan kemampuanya merekam gelombang inframerah menjadikan nilai lebih
dalam analisis kondisi tanaman yang diinginkan.
29
No
Peneliti
Dirk
Wundram,
Jorg Loffler
Luis Martin
et. al.
Reginal S.
Fletcher
et.al.
Lokasi
Penelitian
Tahun
Judul
2007
Kite Aerial
Photography in
High Mountain
Ecosystem
Geiranger
Fjord,
Norwegia
2001
Small Aerial
Photography to
Asses Chestnut Ink
Disease
Soutos da
Padrela,
Portugal
2007
Surveiing Thermally
Defoilated Cotton
Plots with Color
Infrared
Photography
Kika de la
Graza,
Amerika
Serikat
Relevansi dengan
Penelitian Penulis
Penggunaan foto udara
Pengujian Foto udara
format digital kecil
format kecil untuk
untuk kajian detail
pemetaan ekosistem
dengan wahana
pegunungan skala detail sederhana (layanglayang)
Identifikasi penyakit
Pemanfaatan Foto
bercak daun pada
Udara Format Kecil
tanaman Chestnut
untuk identifikasi
dengan Foto Udara
kesehatan tanaman
Format Kecil
Pendugaan tanaman
kapas siap panen
Pemetaan karakteristik
menggunakan foto
tanaman homogen
udara inframerah
dengan foto udara infra
berwarna dengan
merah
pendekatan thermally
Fokus Kajian
Persamaan
Tujuan penelitian
menitikberatkan
pada analisis
kualitas citra foto
yang dihasilkan
Perbedaan
Wahana yang
digunakan dalam
pemotretan
Metode interpretasi
yang digunakan
dalam pembedaan
objek
Kesehatan
tanaman menjadi
objek penelitian
Aspek fisiologis
tanaman digunakan
sebagai dasar
pembeda dalam
pembedaan kondisi
vegetasi
Pendekatan yang
digunakan dalam
pembedaan objek
tidak hanya
secara visual
30
defoliated
James S
Aber, Susan
Aber, Firoza
Pavri
Harintaka,
Christine
Nugraha
Kartini
2002
2004
Pemetaan biofisik
lahan detail dengan foto
Mnnikjrve
udara format kecil
Bog,
inframerah dengan
Estonia
wahana layang-layang
Metode
pemrosesan citra
sederhana dan
menggunakan
interpretasi visual
Wahana yang
digunakan dalam
pemotretan
Kabupaten
Bantul,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Pembedaan lahan
pertanian berdasarakan
jenis tanaman pertanian
yang ditanam dengan
interpretasi visual foto
udara format kecil
Metode interpretasi
yang digunakan
dalam pembedaan
objek
Wahana dan
sistem kamera
yang digunakan
dalam pemotretan
Pemanfaatan Foto
Udara Format kecil
untuk pemetaan lahan
pertanian
31
32
33
pada asumsi tanaman padi (Oryza sativa) memiliki karakter vegetasi yang khas
yang dicerminkan oleh kenampakan visualnya. Hal ini berubungan dengan aspek
fisiologis tumbuhan padi seperti kanopi dan ukuran daun yang berimplikasi pada
pantulan spektral tumbuhan tersebut. Saat terjadi serangan hama tikus, terjadi
perubahan dalam aspek fisiologis tersebut. Foto Udara Digital Inframerah Format
Kecil dapat digunakan untuk merekam fenomena perubahan kondisi tersebut. Hasil
pengujian interpretasi selanjutnya dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan dari
peta hasil.
3.9.Batasan Istilah
Foto Udara Format Kecil
Sistem Penginderaan Jauh yang menggunakan kamera handheld sebagai sistem
perekaman dan film ukuran 35 mm sebagai sensor. Sensor film saat ini sudah
beralih dari film ke CCD/ CMOS. (Graham dengan modifikasi, 1996).
Hama Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
Hama pengerat (Rodentia) utama tanaman padi dari golongan mamalia (Nugroho,
2009)
Inframerah Dekat
Spektrum gelombang elektromagnetik yang memiliki kisaran panjang gelombang
dari 0,7 m hingga 1,1 m (Levin,1999).
Padi (Oryza sativa)
Tanaman budidaya pertanian penghasil beras dari Famili Poaceae (FAO, 2009)
Pesawat Model
Pesawat model merupakan pesawat tiruan dari pesawat udara yang diskalakan
dengan ukuran lebih kecil (Prabawa, 2009)
Balon Udara
Pesawat aerostatis yang terbang berkonsep linghter than air dengan menggunakan
balon yang diisi gas atau udara panas (Azwar, 2006)
34
Sensor
Bagian dari sistem penginderaan jauh yang berfungsi sebagai perekam gelombang
elektromagnetik (Sutanto dalam Anonim, 1987).
35