PENDAHULUAN
1
Suharto (2002) dikemukakan: In its standardised conception of poverty, for
example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of
investigation rather than as human beings who have something to contribute
to both the identification of their condition and its improvement. Beberapa
pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk
melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National
Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty
Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life
Index (PQLI).
Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi
arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang
lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-
mampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga
kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.
Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada
dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan
struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Dari ketiga sudut
pandang tersebut, penulis membatasi diri dan lebih menekankan pada
kemiskinan absolut, karena pemahaman dari bentuk kemiskinan ini relatif
lebih mengena dalam konteks fakir miskin. Menurut Ginanjar (1997),
kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur
dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling
minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai dengan
martabat kemanusiaan. Menurut Nasikun (1995), kondisi yang
sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan :
2
dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan
kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti
hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh
karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”.
3
masyarakat miskin tiga setengah sampai dengan empat kali lebih tinggi dari
kelompok masyarakat tidak miskin. Masyarakat miskin biasanya rentan
terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit karena berbagai
kondisi seperti kurangnya kebersihan lingkungan dan perumahan yang
saling berhimpitan, perilaku hidup bersih masyarakat yang belum
membudaya, pengetahuan terhadap kesehatan dan pendidikan yang
umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan
indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 26,9 per 1000 kelahiran
hidup dan AKI sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta Umur
Harapan Hidup 70,5 Tahun (BPS 2007).
Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut
diakibatkan karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan
akses pelayanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya
kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan memang mahal.
Peningkatan biaya kesehatan yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti
perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan
kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket,,
kondisi geografis yang sulit untuk menjangkau sarana kesehatan. Derajat
kesehatan yang rendah berpengaruh terhadap rendahnya produktifitas kerja
yang pada akhirnya menjadi beban masyarakat dan pemerintah.
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan
kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
sejak awal Agenda 100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu telah
berupaya untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui
pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Miskin. Program ini diselenggarakan oleh Departemen
Kesehatan melalui penugasan kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK
Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang penugasan PT Askes (Persero)
dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat
miskin.
4
Program ini telah berjalan memasuki tahun ke empat dan telah
banyak hasil yang dicapai terbukti dengan terjadinya kenaikan yang luar
biasa dari pemanfaatan program ini dari tahun ke tahun oleh masyarakat
miskin dan pemerintah telah meningkatkan jumlah masyarakat yang dijamin
maupun pendanaannya baik di pemerintah pusat maupun daerah.
Pembentukan Undang-Undang No 33/Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada
Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows
function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi
pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing
tingkat pemerintahan. Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah.
Sebelum desentralisasi, alokasi anggaran kesehatan dilakukan
oleh pemerintah pusat dengan menggunakan model negosiasi ke propinsi-
propinsi. Ketika sifat Big-Bang kebijakan desentralisasi mengenai sektor
kesehatan, tiba-tiba terjadi apa yang disebut sebagai alokasi anggaran
pembangunan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang berbasis pada
formula.
Formula ini ditetapkan berbasis pada potensi penerimaan dan
kebutuhan fiskal oleh sebuah daerah. Dalam formula ini pembagian alokasi
anggaran tidak hanya ke propinsi saja tetapi sampai ke sekitar 400an lebih
kabupaten/kota di Indonesia. Sesuatu yang mengejutkan terjadi untuk sektor
kesehatan karena, di dalam formula DAU komponen kesehatan secara
implisit dianggap sudah masuk di dalamnya walaupun secara eksplisit tidak
ada. Akibatnya secara praktis sektor kesehatan harus berjuang di tiap-tiap
propinsi dan kabupaten/kota untuk mendapatkan anggaran. Hal ini
merupakan perkembangan baru untuk fungsi pemerintah daerah di sektor
5
kesehatan, yaitu harus merencanakan dan menganggarkan program
kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk mendapatkannya.
Kultur negosiasi dalam alokasi anggaran masih kental, dan
menjadi lebih rumit dengan semakin kuatnya pengaruh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dalam menentukan kegiatan kesehatan pasca kebijakan
desentralisasi. Akibatnya berbagai ketidak-adilan, keanehan, dan ketidak-
puasan muncul dalam alokasi anggaran. Salah satu ketidak adilan adalah
ketika daerah-daerah yang miskin mendapat alokasi anggaran yang bobotnya
sama dengan daerah kaya. Sebagai gambaran praktis, dalam alokasi dana
kompensasi BBM, prinsip keadilan sosial perlu ditegakkan dengan
menggunakan formula dimana kekuatan fiskal pemerintah daerah menjadi
bobot penting. Bagi kabupaten kaya seperti di Bengkalis atau Kutai
Kartanegara, diharapkan mampu untuk membiayai masyarakat miskin di
daerahnya. Sementara itu bagi kabupaten miskin ini merupakan tantangan
besar tentang bagaimana pengelolaan Pendapatan Asli Daerah untuk bisa
mengikuti program program yang menjadi tuntutan di daerahnya.
Salah satunya adalah Kabupaten Karangasem yang terletak di
ujung timur Pulau Bali.
Kabupaten Karangasem merupakan satu satunya Daerah
tertinggal di Propinsi Bali dari 199 Kabupaten Tertinggal di Indonesia.
Dengan luas wilayah 839, 54 Km2 ( 14,90% dari luas Pulau Bali = 5.632,85
Km2 ) yang terdiri dari 8 ( delapan ) Kecamatan yaitu Kecamatan Kubu,
Abang, Karangasem, Manggis, Bebandem, Selat, Sidemen dan Rendang.
Secara geografis Kabupaten karangasem terletak pada 8°.00´.00´´
- 8°.41´.37,8´´ LS dan 115°.35´.9,8´´ - 115°.54´.8,9´´ Bujur Timur dengan
batas – batas sebagai berikut :
Di sebelah timur : Selat Lombok
Di sebelah selatan : Selat badung, Samudera Indonesia
Di sebelah utara : Laut Jawa
Di sebelah barat : Kab. Klungkung, Bangli dan Buleleng
Sebagian besar wilayah Kabupaten karangasem merupakan
daerah perbukitan dengan ketinggian lebih dari 100 m dia atas permukaan
6
laut. Dua daerah pegunungan dengan puncaknya di Gunung Agung dan
Gunung Seraya serta sebagian kecil lainnya berada pada ketinggian di
bawah 100 m di atas permukaan laut.
Berdasarkan data BPS Tahun 2004, tercatat jumlah penduduk
Kabupaten Karangasem adalah 389.576 jiwa yang terdiri atas :
- Laki – laki : 193.761 jiwa
- Perempuan : 195.815 jiwa
Kepadatan penduduk mencapai 464 Jiwa / Km2 dengan
pertumbuhan penduduk Tahun 1980 – 1990 + 0,89% dan Tahun 1990 –
2000 = 0,49%.
Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Karangasem Tahun 2005
adalah sebagai berikut :
TOTAL 32.328 KK
7
terkait persyaratan atau kriteria kategori miskin dan tidak mampu. Misalnya
pada saat pendataan sebuah keluarga yang tergolong mampu tiba – tiba
setelah pendataan Kepala Keluarga tersebut jatuh sakit dan tidak bisa
bekerja lagi sehingga anggota keluarga yang menjadi tanggunganya tidak
dapat dinafkahi sehingga keluarga tersebut menjadi tidak mampu. Hal
dilematis seperti ini kerap terjadi, sehingga setelah program jamkesmas,
pemerintah Kabupaten Karangasem dalam hal ini eksekutif dan legislatif
sering mendapat keluhan dari masyarakat.
Menghadapi keluhan masyarakat tersebut, Pemerintah Kabupaten
Karangasem atas kebijakan Bupati Karangasem dan persetujuan DPRD
Kabupaten Karangasem melaksanakan program terpadu pelayanan
kesehatan Masyarakat tidak mampu melalui rekomendasi Surat Keterangan
Tidak Mampu ( SKTM ).
Program ini ternyata mendapat sambutan sangat baik dari
masyarakat Karangasem dan sangat membantu masyarakat Karangasem di
tengah himpitan ekonomi dan ketertinggalan.
8
3. Untuk mengetahui manfaat dan keuntungan yang di dapatkan
masyarakat atas program SKTM di Kabupaten Karangasem.
BAB II
LANDASAN TEORI
9
2.1 Pengertian Kemiskinan
1. Pengertian Kemiskinan
2. Jenis jenis Kemiskinan
3. Faktor Penyebab Kemiskinan
4. Dampak Kemiskinan
10
PADA DINAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KABUPATEN
KARANGASEM
SKRIPSI
OLEH :
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAR
2009
11
DAFTAR PUSTAKA
12