PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Para perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV, tetapi mereka menjadi
rentan karena ketidak adilan gender. Demikian dikatakan Assoc. Prof. Dr. Rosalia
Sciortino, Pemerhati/Ahli Sosial Kesehatan pada acara sarasehan Selamatkan Ibu
dan Bayi dari Infeksi HIV di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut Rosalia, ketidakadilan gender di masyarakat menyebabkan
program pencegahan HIV/AIDS di Indonesia maupun di negara-negara lain
terhambat. Banyak ketimpangan yang terjadi. Dalam akses layananan
pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS seringkali antara perempuan dan laki-laki
tidak sama.
Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit untuk berubah di
Indonesia. Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini mencoba menganalisis hubungan antara gender dan HIV &
AIDS.
1.3 Batasan Masalah
Agar pembahasan tidak melebar penulis menetapkan beberapa batasan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Perbedaan antara gender dan sex
2. Interaksi antara gender dan HIV
3. Peran laki-laki dan perempuan dalam pencegahan HIV
BAB II
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA GENDER DAN HIV & AIDS
2.1 Perbedaan antara Gender dan Seks
Istilah gender diambil dari kata dalam bahasa Arab Jinsiyyun yang
kemudian diadopsi dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi gender (Faqih,
1999). Gender diartikan sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara sosial. Gender berhubungan
dengan bagaimana persepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan
sebagai perempuan dan laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena
perbedaan biologis. Peran gender dibentuk secara sosial. institusi sosial
memainkan peranan penting dalam pembentukkan peran gender dan hubungan.
Menurut WHO (2010) perbedaan gender dan sex adalah sebagai berikut:
Sex
refers
to
the
biological
and
Gender
refers
to
the
socially
that
a
for
given
society
considers
men
and
women.
(http://www.who.int/gender/whatisgender/en/)
Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminin.
Gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan
masyarakat tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian dan antara
perempuan dan keperempuanan. Pada umumnya, jenis kelamin laki-laki
berhubungan dengan gender maskulin, sementara jenis kelamin perempuan
berkaitan dengan gender feminin. Akan tetapi, hubungan itu bukan merupakan
korelasi absolut (Roger dalam Susilastuti, 1993: 30).
terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, sikap
terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan pola baku.
Dengan kata lain, sistem kepercayaan gender itu mencakup elemen
deskriptif dan preskriptif, yaitu kepercayaan tentang bagaimana sebenarnya
laki-laki dan perempuan itu dan pendapat tentang bagaimana seharusnya lakilaki dan perempuan itu (Deaux & Kite dalam Susilastuti, 1993:31). Sistem
kepercayaan gender itu sebetulnya merupakan asumsi yang benar sebagian,
sekaligus salah sebagian.
Tidak dapat disangsikan lagi bahwa beberapa aspek stereotype gender dan
kepercayaan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan itu memang didasarkan pada realitas. Aspek-aspek ini sekaligus
merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa
peranan yang berbeda. Pada saat yang sama, tidak dapat diragukan lagi bahwa
kepercayaan orang bukanlah merupakan gambaran akurat suatu realitas karena
ia mengandung bias persepsi dan kesalahan interpretasi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai
citra yang jelas tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan itu.
Penelitian Williams dan Best (seperti dikutip oleh Deaux & Kite dalam Susilastuti,
1993: 31) yang mencakup 30 negara menampilkan semacam konsensus tentang
atribut laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
sekalipun gender itu tidak universal, akan tetapi generalitas pankultural itu
ada. Pada umumnya laki-laki dipandang sebagai lebih kuat dan lebih aktif, serta
ditandai oleh kebutuhan besar akan pencapaian, dominasi, otonomi dan agresi.
Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih
menaruh perhatian pada afiliasi, keinginan untuk mengasuh dan mengalah.
Adapun citra laki-laki dan perempuan ini pertama kali terbentuk mengenai
gambaran ideal tentang laki-laki dan perempuan melalui sosialisasi dalam
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
Menstruasi
Memiliki jakun
Mengandung
Memiliki penis
Melahirkan
Mimpi basah
Menyusui
Memiliki jenggot
Manopuos
Memiliki vagina
Memiliki payudara
Menghasilkan sperma
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
Tegas, gagah
tangga)
Pembagian warisan
Ngidam
Pencari nafkah
Fisiknya lemah
Karakteristik Gender
ekonomi
dan
emosional
terhadap
masalah
ini
dengan
tentunya
mewujudkan
pelayanan
10
BAB III
KASUS GENDER DAN HIV
3.1 Kasus
Di Indonesia jumlah pengidap HIV/AIDS meningkat lebih cepat dikalangan
perempuan. Dari jumlah infeksi baru, yang terjadi setiap hari pada tahun 2004,
60% terjadi pada perempun.
Menurut Dr. Rosalia bahwa perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV,
tetapi mereka menjadi rentan karena ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender
di masyarakat menyebabkan program pencegahan HIV/AIDS di Indonesia
maupun di negara-negara lain terhambat. Banyak ketimpangan yang terjadi.
Dalam akses layanan pencegahan dan pengobatan seringkali antara perempuan
dan laki-laki tidak sama. Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit
untuk berubah di Indonesia. Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di
Indonesia.
Gender merupakan masalah sosial. Persoalan gender terjadi karena peran
laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial dan hubungan antara peranperan tersebut. Peran laki-laki dan perempuan diterima sebagai kenyataan yang
statis dan tidak ada usaha untuk mempertanyakan keadilan dari peran-peran
tersebut. Persepsi yang salah juga mempengaruhi persoalan gender. Antara
gender dan seks tidaklah sama. Ketidakadilan gender mempunyai dampak
terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, karenanya keadilan gender harus
menjadi fokus perhatian dalam semua analisa dan kegiatan HIV/AIDS. Perlu ada
usaha untuk mengubah sistem-sistem sosial yang membuat perempuan rentan
terhadap HIV.
Dalam konteks hubungan seksual, perempuan seringkali tidak mampu
mengambil keputusan untuk dapat melakukan seks yang aman. Hal tersebut
11
akibat kaum hawa berada dalam posisi lemah dan kurang mengetahui beberapa
hal akibat gender yang timpang. Seperti kurang mengetahui tentang HIV/AIDS,
merasa aman karena berpikir tidak berisiko, kurang berdaya membicarakan seks
dengan suami atau pasangan, dan kurang berdaya melakukan negosiasi kondom.
Selain itu, dari studi dan analisis HIV/AIDS, ketidakadilan gender juga dapat
dicermati pada fokus perhatiannya. Fokus perhatian hanya terbatas pada
kelompok tertentu. Analisa kekuasaan gender kurang dilakukan. Misalnya
pekerja seks tetap dianggap sebagai fokus, bukan kliennya atau pasangannya.
Preferensi untuk pendekatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah
analisa perilaku, bukan sistem dan kondisi sosio-ekonomis yang membuat
perempuan rentan terhadap HIV. Ketimpangan gender dalam pencegahan HIV
menurut Rosalia juga dapat dilihat dari program yang hanya difokuskan pada
individu,
12
13
berbagai faktor yang menjadi penyebabnya agar diperoleh solusi yang tepat
sesuai dengan persoalannya.
Salah satu persoalan yang cukup dekat dan kerap mendera perempuan dan
penting sekali dipercakapkan adalah masalah HIV/AIDS, secara kuantitas
penyakit ini lebih banyak menyerang kaum perempuan, penderita HIV/AIDS
didominasi kaum yang selama ini dianggap sebagai kelompok nomor dua dalam
sistem sosio-kultural masyarakat.
Penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS yang dialami perempuan karena
ketidakadilan gender disebabkan antara lain :
Pertama, kerentanan kultur atau budaya. Kekuatan budaya patriaki
lazimnya di negeri ini sering menimbulkan ketidakadilan gender (gender
inequalities) yang berdampak pada pola relasi laki-laki dan perempuan yang tidak
seimbang. Dalam kultur masyarakat kita, laki-laki selalu ditempatkan pada posisi
yang paling atas. Laki-laki kerap kali menjadi penentu setiap keputusankeputusan baik yang menyangkut persoalan publik maupun domestik.
Pola-pola hubungan semacam ini tampak jelas pada pola hubungan suami
istri secara vertikal. Apa pun yang dikehendaki suami maka si istri harus setia
mengikutinya. Termasuk pada gaya hubungan seksualitas. Jika suami
menghendaki gaya atau berperilaku seksualitas tidak aman, istri tidak boleh
menolaknya. Sehingga berakibat pada kemungkinan besar penularan PMS
(Penyakit Menular Seksual), seperti penularan HIV/AIDS terhadap istri yang
dibawa oleh suami, karena penyebab HIV.
Kedua, kerentanan pendidikan dan ekonomi. Keterbatasan-keterbatasan
perempuan untuk menjangkau akses pendidikan yang lebih luas menyebabkan
pola pikir sebagian dari mereka kurang bisa mengimbangi pergeseran zaman
yang semakin modern dengan permasalahannya yang kian kompleks.
14
saja
mendapatkan
tekanan
dari
masyarakat
untuk
diberantas
15
16
17
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Perbedaan gender masih banyak ditemui dalam masyarakat dan hal
tersebut berpengaruh terhadap kondisi kesehatan perempuan
b. Perbedaan gender juga menjadi penyebab kerentanan perempuan
terinfeksi HIV/AIDS lebih tinggi.
c. Untuk
mengurangi
peningkatan
HIV/AIDS
pada
perempuan,
ada
pengakuan
pentingnya
gender
dalam
strategi
18
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour, 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hubeis, Aida.2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor. IPB
Press.
Susanto. 2005. Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan. Jurnal Spirit Publik UNS, Volume 1 No.1.
Susilastuti, Dewi H. 1993. Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi, dalam
Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Warren, C.2010. Journal of International Women's Studies. Western Kentucky
University Scholar.
19