Tugas Helmintologi Filariasis Di Indonesia
Tugas Helmintologi Filariasis Di Indonesia
FILARIASIS
PRODI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER
TAHUN 2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filariasis merupakan salah satu penyakit yang termasuk endemis di Indonesia.
Seiring dengan terjadinya perubahan pola enyebaran penyakit di negara-negara
sedang berkembang, penyakit menular masih berperan sebagai penyebab utama
kesakitan dan kematian. Salah satu penyakit menular adalah penyakit kaki gajah
(Filariasis). Penyakit ini merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
cacing filaria. Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar
getah bening(limfe), dapat menyebabkan gejala klinis akut dan gejala kronis. Penyakit
ini ditularkan melalui gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada stadium lanjut
(kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran kaki
(seperti kaki gajah) dan pembesaran bagian bagian tubuh yang lain seperti lengan,
kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita
Pada tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa
penyakit kaki gajah dapat di eleminasi dan dilanjutkan pada tahun 1997 World Health
Assembly membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah dan pada tahun
2000 WHO telah menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki
gajah (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health
Problem by the year 2020).
Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada
tahun 1889. Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000
wilayah Indonesia yang menempati ranking tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah
Istimewa Aceh dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus masingmasing 1908 dan 1706 kasus kronis. Menurut Barodji dkk (1990 1995) Wilayah
Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis penyakit kaki gajah
yangdisebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan Brugia timori. Selanjutnya
oleh Partono dkk (1972) penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi. Di Kalimantan
oleh Soedomo dkk (1980) Menyusul di Sumatra oleh Suzuki dkk (1981) Sedangkan
penyebab penyakit kaki gajah yang ditemukan di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra
tersebut adalah dari spesies Brugia malayi.
Selain ke tiga wilayah kepulauan tersebutdiatas sebagaimana yang termuat
didalam modul eleminasi penyakit kaki gajah yang di terbitkan oleh Depkes. RI
Tugas mata kuliah helmintomologi
melalui Ditjen PPM & PLDirektorat P2B2 Subdit Filariasis dan Schistosomiasis
(2002) endemisitas kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa propinsi lainya di
Indonesia, diantaranya Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Pekalongan
Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lebak Tangerang Propinsi Banten, Batam Propinsi
Riau, Lampung Timur Propinsi Lampung, Mamuju Propinsi Sulawesi Selatan,
Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, Kab. Pontianak Propinsi Kalimantan Barat,
Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kota Baru Propinsi Kalimantan
Selatan. Menurut Harijani AM. (1981) ditemukan Brugia malayi di Kalimantan
Selatan bersifat Zoonosis karena dari penangkapan berbagai binatang, kucing, monyet
daun mengandung Brugia malayi stadium dewasa dan vektornyadapat menggigit baik
manusia maupun hewan.
B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Mengetahui penyakit tentang penyakit Filariasis
2. TUJUAN KHUSUS
Setelah membahas makalah ini diharapkan dapat memahami tentang :
a. Penyakit Filariasis dan akibatnya
b. Respon immunologi dari penderita Filariasis
c. Pencegahan penyakit Filariasis
d. Pengobatan penyakit Filariasis
e. Angka kejadiaan Filaria di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di
wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah infeksi oleh sekelompok cacing
nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Gejala yang umum
terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan
kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit
kaki gajah (elephantiasis). Filariasis limfatik di Indonesia disebabkan oleh W.
bancrofti, B. malayi dan B. timori, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening.
Penularan terjadi melalui vektor nyamuk Culex spp., Anopheles spp., Aedes spp. dan
Mansonia spp.
Filariasis adalah masalah global, masalah kesehatan masyarakat yang terjadi
di India, Cina dan Indonesia. Ketiga negara selama kurang lebih dua-pertiga dari total
jumlah penduduk dunia diperkirakan terinfeksi. Di daerah endemik, 10% mungkin
menderita filariasis. Di India, filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria
bancrofti, vektor yang adalah nyamuk Culex quinquefasciatus (C. fatigans).
B.
PENGELOMPOKAN
Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian
tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis
subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity).
Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori[1]. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya)
sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori diketahui jarang
menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta
alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh Loa loa (cacing mata Afrika),
Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing
guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis
filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi,
yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat
pengisap darah, atau, untuk Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea).
Dean dan Kosta, meneliti pada tahun 1942 menunjukkan, 10,8% pasien ditemukan
embrio
lingkungan di kota. Para penulis yang sama juga menemukan bahwa Culex
fatigans merupakan tempat utama
Filariasis, dan
E.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh
reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis.
Dalam perjalanan penyakit filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang
dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan
penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari
masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi :
1.
Masa prepaten
kelompok
yang
asimtomatik
amikrofi
laremik
dan
asimtomatik
mikrofilaremik.
2.
Masa inkubasi
Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala
malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis
akut dapat amikrofi laremik maupun mikrofilaremik.
Filariasis bancrofti
Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 1015 tahun setelah serangan akut pertama.
tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran di tungkai
dapat 3 kali dari ukuran asalnya.
Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan
penurunan berat badan dan kelelahan.
Filariasis brugia elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan
bawah, sedang ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya.
F.
kedua sistim ini berjalan dan saling berkoordinasi karena pengaruh sitokin. Respon
imun filariasis yang humoral maupun seluler terhadap mikrofilaria terlihat lebih baik
pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan kelompok mikrofilaremik
RESPON SELULER
Respon imun seluler filariasis telah banyak dipelajari. Peran sel limfosit pada
respon seluler sangat penting. Hilangnya mikrofilaria di peredaran darah dan di organorgan tempat parasit tinggal disebabkan oleh peristiwa ADCC (Antibody Dependent
Cell Cytotoxicity). Secara in vitro telah dibuktikan bahwa bila terdapat antibodi
spesifik yang menempel di permukaan badan mikrofilaria, sel-sel limfosit terangsang
untuk menempel di permukaan badan mikrofilaria, disusul matinya mikrofilaria.
Proses ini diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan pada filariasis. Kegagalan
respon seluler dapat terjadi pada penyakit yang telah berjalan lama (menahun); parasit
berhasil hidup dan mempertahankan diri di dalam tubuh hospes. Dalam usaha
beradaptasi diri, parasit mengeluarkan antigen yang dapat mempengaruhi respon
imun, dan ratio jumlah sel limfosit supresor (CD8+) dan sel limfosit helper (CD4+)
berubah. Sel CD4+ yang jumlahnya rendah mengakibatkan produksi antibodi spesifik
rendah.
RESPON IMUNOGLOBULIN
Penelitian respon humoral pada filariasis, menunjukkan bahwa secara
kuantitatif penduduk daerah endemis yang amikrofilaremik pada umumnya
mempunyai kandungan IgG anti filaria yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk yang mikrofilaremik. Secara kualitatif gambaran yang ditunjukkan lebih
kompleks; yaitu pada penderita filariasis bancrofti yang mikrofilaremik, IgG anti
filaria yang ada mengenal komponen protein cacing dewasa terutama pada berat
molekul < 80 Kd; pada penderita elefantiasis terutama pada berat molekul 180 Kd 20 Kd pada penderita tropical eosinophilia (TPE) komponen protein yang dikenal
berat molekul 200 Kd - 25 Kd. Pada penderita filariasis malayi IgG anti filaria dari
penduduk yang amikrofilaremik dengan gej ala klinis mengenal komponen protein
mikrofilaria malayi pada berat molekul 125 Kd secara mencolok, sedangkan
penduduk amikrofilaremik tanpa gejala klinis IgG yang ada mengenal komponen 75
Kd dan 25 Kd.
Empat macam subkelas IgG mempunyai struktur bentuk, fungsi dan derajat
partisipasi pada respon imun yang masing-masing sangat berbeda; hal ini memberi
indikasi bahwa perbedaan tipe respon imun yang terjadi pada perjalanan penyakit
filariasis ditentukan oleh masing-masing subkelas IgG yang berperan. Secara
kuantitatif kadar IgG 1 pada penderita elephantiasis lebih tinggi dibandingkan pada
penderita yang mikrofilaremik. Secara kualitatif pola pengenalan yang ditunjukkan
sangat berbeda. Komponen protein cacing dewasa B. malayi yang dikenal oleh IgGl
dan IgG3 dari penderita elephantiasis adalah berat molekul > 68 Kd, sedangkan pada
penderita yang mikrofilaremik komponen protein yang dikenal < 68 Kd.
IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar di antara subkelas
yang lain. Bila terjadi ikatan IgG3 dengan antigen baik spesifik atau nonspesifik dapat
menyebabkan teraktivasinya sistim komplemen dengan serangkaian reaksi, hal ini
dapat menyebabkan rusaknya antigen tersebut. Hasil ini menimbulkan dugaan bahwa
peran IgG3 pada filariasis adalah sebagai imunoprotektor. Tentunya hal ini perlu
didukung oleh penelitian lebih lanjut.
Peran IgG2 pada filariasis masih sangat diragukan, mengingat kemampuan
IgG2 untuk mengikat komplemen sangat rendah, di samping ternyata IgG2 juga
mempunyai kemampuan kuat mengikat polisakharida. Respon IgG4 banyak dikaitkan
dengan respon IgE. Bila kadar IgG4 tinggi dalam darah, hal ini dapat sebagai
indikator keadaan infeksi yang aktif dan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah.
Biasanya keadaan ini disertai dengan rendahnya kemampuan respon seluler. Pola
pengenalan IgG4 terhadap komponen protein cacing filaria banyak dikaitkan dengan
IgE. Komponen protein cacing filaria dewasa maupun mikrofilaria yang dikenal oleh
IgG4 juga dikenal oleh IgE.
Seperti diketahui, di permukaan sel basophil dan sel mast terdapat reseptor
untuk IgE. Bila ikatan IgE dan sel basophil atau sel mast banyak beredar dalam darah,
kemudian bertemu dengan antigen spesifikmaka akan terjadi robekan permukaan selsel tersebut dan terjadi pembebasan histamin. Bila IgG4 hadir dalam jumlah banyak di
dalam darah akan terjadi dua kemungkinan; pertama kompetisi antara IgE dan IgG4
dalam mengikat antigen; bila terjadi ikatan antigen-IgG4 maka ikatan antigen-IgE-sel
basophil tidak terjadi sehingga tidak ada pembebasan histamin dan reaksi alergi,
kemungkinan ke dua bila IgG4 setelah mengikat antigen kemudian menempel pada
reseptor di permukaan sel basophil atau sel mast sehingga IgE tidak dapat menempel
pada permukan sel sehingga pembebasan histamin tidak terjadi.
Pada filariasis konsentrasi IgE umumnya tinggi. Konsentrasi tertinggi terdapat
pada penderita TPE (8630 g/ml), penderita elephantiasis dan kelompok tanpa gejala
klinis baik yang mikrofilaremik maupun amikrofilaremik mempunyai kandungan IgE
dua kali normal. Meskipun semua bentuk klinis filariasis mempunyai kadar IgE
tinggi, gejala alergi hanya terjadi padaTPE saja; hal ini karena adanya faktor bloking
oleh IgG4.
PERAN SITOKIN
Fungsi sitokin pada filariasis masih belum banyak diketahui. Pada dasarnya
sitokin adalah suatu protein yang diproduksi oleh sel limfosit T dan memegang peran
penting pada pengaturan respon imun penyakit. Penelitian tentang respon imun pada
infeksi parasit menunjukkan bahwa sel CD+4 dan CD+8 adalah sel limfosit yang
berperan sebagai mediator sistim proteksi dan imunopatologik. Berdasarkan sitokin
yang dihasilkan dalam kaitannya dengan respon imun, sel CD+4 dibagi menjadi dua
kelompok sel : Thl dan Th2. Sitokin penting yang diproduksi oleh sel Thl adalah IL-2
(Interleukin-2) dan IFN gama (Interferon gama). IL-2 terutamaberperan dalam proses
diferensiasi sel limfosit sitotoksik (CTL), dan sel B. IFN gama berperan terutama
untuk mekanisme pertahanan, yaitu: proses aktivasi makrofag, meningkatkan proses
killing
intraseluler,
meningkatkan
proses
ADCC
(AntibodyDependent
Cell
10
jumlah banyak maka terjadi sekresi IgE dalam jumlah banyak, makrofag juga
teraktivasi tetapi tidak sama dengan keadaan bila respon imun karena pengaruh sel
Thl, adanya IL-5 menyebabkan aktivasi fungsi eosinophil, dengan demikian
gambaran klinis yang timbul adalah gejala alergi.
E.
DIAGNOSIS
1.
Diagnosis Klinik
Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik
penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic
Disease Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis
filariasis adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang
dan gejala menahun.
2.
Diagnosis Parasitologik
Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari.
Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100
mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
Pada
keadaan
amikrofilaremia
seperti
pada
keadaan
prepaten,
inkubasi,
3.
Diagnosis Epidemiologik
11
Endemisitas
filariasis
suatu
daerah
ditentukan
dengan
menentukan
microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate
(CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk.
Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalui
penemuan penderita elefantiasis.
Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis di antara 1000 penduduk, dapat
diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang mikrofilaremik.
F.
PENGOBATAN
Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk
PEMBERANTASAN FILARIASIS
12
2.
3.
4.
Anopheles : Abate 1%
Culex : minyak tanah
Mansonia : melenyapkan tanaman air tempatperindukan, mengeringkan rawa dan
saluran air
c. Mencegah gigitan nyamuk
Menggunakan
kawat
nyamuk/kelambuMenggunakan
repellent
Kegiatan
pemberantasan nyamuk dewasa dan jentik tidak masuk dalam program pemberantasan
filariasis diPuskesmas yang dikeluarkan oleh P2MPLP pada tahun 1992.
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu dilaksanakan
sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang penanggulangan
filariasis.
Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga dan seluruh penduduk
daerah endemis dengan harapan bahwa penderita dengan gejala klinik filariasis segera
memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah jari dan minum obat DEC
secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.
Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan
pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria.
H.
13
14
adalah di air tawar yang tergenang di tempat terbuka baik alamiah (rawa-rawa)
maupun buatan atau kolam, di air mengalir yang perlahan-lahan ditumbuhi tanaman
air. Di beberapa daerah, terutama di pedesaan penyakit ini masih endemis. Sumber
penularnya adalah penderita penyakit kaki gajah baik yang sudah menimbulkan
gejala-gejala ataupun tidak, karena didalam darah terdapat mikrofilaria yang dapat
ditularkan oleh nyamuk.
Menurut Menkes (2009) menyebutkan, saat ini di Indonesia tercatat 11 ribu
orang menderita penyakit kaki gajah yang tampak, dimana telah terjadi pembesaran di
kaki dan kelenjar getah bening lainnya. Pendudu yang terinfeksi tentunya jauh lebih
banyak, mereka akan diketahui setelah dilakukan tes darah.
Tetapi hal ini juga sulit dilakukan karena micro filaria hanya dapat terdeteksi
pada malam hari, sehingga penemuan kasus Filariasis menjadi sulit. Dijelaskannya,
filariasis ditularkan melalui nyamuk, karena sifatnya yang demikian maka hal yang
harus dilakukan yakni, jika ada seseorang di suatu daerah terkena kaki gajah maka
harus dilakukan pengobatan bagi seluruh penduduk dengan pemberian obat
(pengobatan masal) satu kali selama satu tahun berturut turut hingga lima tahun.
Di Indonesia sebenarnya sudah memiliki program pengobatan masal hasil
rekomendasi WHO ini sejak tahun 1970-an dan sudah ada maping yang menunjukkan
bahwa filariasis terjadi di 386 kab/kota bukan hanya di kantong-kantong tetapi sudah
merata, sejak tahun 2002 juga sudah dilakukan pengobatan masal, ada sekitar 32 juta
orang yang sudah meminum obat. Untuk itu menurutnya, filariasis harus diatasi
secara serius karena selain menyebabkan orang menjadi tidak produktif, meskipun
dapat sembuh namun akan terjadi kecacatan.
BAB III
15
SIMPULAN
1.
2.
3.
4.
Tingkat kesembuhan tinggi bila penemuan dalam fase awal dan belum ada
gejala menahun.
5.
Deteksi
daerah
endemis
dilakukan
melalui
penemuan
penderita
SARAN
1.
2.
3.
dini
kasus
Filariasis,
sehingga
dapat
meningkatkan
DAFTAR PUSTATAKA
Tugas mata kuliah helmintomologi
16
BARR, A. R. 1969. 1970. In: Proceedings of the 37th Annual Conference of the
California Mosquito Control Association Inc.,
Basundari Sri Utami, 1990, PusatPenelitianPenyakitMenular,BadanPenelitian
danPengembanganKesehatanDepartemenKesehatanRI,Jakarta
Cartel JL, et al. 1992.
17
18