Anda di halaman 1dari 2

A.

Etiologi dan Predisposisi


Merokok adalah faktor risiko sekaligus faktor etiologi yang berkontribusi besar
terhadap kejadian PPOK. Sebanyak 85-90% pasien PPOK memiliki riwayat paparan asap
rokok. Hal ini terkait dengan proses inflamasi yang dicetuskan oleh inhalasi gas dan zat
toksik dari asap rokok yang mereka hirup (Vestbo, 2013). Selain merokok, paparan
polutan yang dapat memicu terjadinya kerusakan tractus respiratorius adalah gas sulfur
dioksida dari pabrik industri, hidrokarbon dan nitrogen dioksida dari asap kendaraan.
Pasien PPOK dengan defisiensi antitripsin alfa-1 ditemukan sebanyak 1-2%. Adanya
riwayat infeksi saluran nafas bawah dan hiperreaktivitas bronkus juga dapat menjadi
faktor predisposisi PPOK (Kennedy et al., 2007; Foreman et al., 2012).
B. Patofisiologi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ditandai dengan adanya destruksi
jaringan parenkim paru dengan kehilangan kemampuan elastic recoil dan infiltrasi sel
inflamasi di dinding tractus respiratorius. Kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya
emfisema dan bronkiolitis/bronkitis. Pada 1-2% pasien PPOK, ditemukan defisiensi
antitripsin alfa-1. Eksaserbasi PPOK pada pasien adalah munculnya dispneu (sesak nafas)
disertai batuk dan produksi sputum. Eksaserbasi PPOK dapat berlangsung selama
beberapa hari (Murphy dan Fishman, 2008; ODonnel, 2006).
Bahan iritan yang masuk secara inhalasi akan memicu proses peradangan kronis
berupa infiltrasi sel radang di dinding saluran nafas. Terjadi perubahan pada silia serta sel
penghasil mukus di bronkus. Selanjutnya, akan terjadi perubahan disfungsional dan
metaplasia. Makrofag yang semakin aktif akan melepaskan mediator inflamasi, salah
satunya aktivasi enzim protease yang merusak parenkim paru yang menyebabkan
elastisitas saluran udara berkurang dan mengganggu recoil pasif. Hal ini menyebabkan
ukuran ruang udara di bagian distal meningkat secara abnormal dan kehilangan
kemampuannya untuk kembali ke ukuran semula sehingga dapat terjadi emfisema
(Murphy dan Fishman, 2008; ODonnel, 2006).
Sedangkan adanya sel radang pada dinding saluran nafas menyebabkan lesi pada
saluran nafas dan memicu batuk yang disertai produksi sputum berlebihan. Batuk
produktif yang terjadi selama lebih dari dua tahun disebut sebagai bronkitis kronis.
Peningkatan sel radang menyebabkan produksi sitokin meningkat, antara lain
transforming growth factor betha yang dapat menginduksi fibrosis melalui pelepasan
connective tissue growth factor yang memicu deposisi kolagen dalam saluran nafas. Lesi

yang terjadi pada saluran nafas berupa penebalan dinding saluran nafas disertai
pembentukan folikel limfoid bronkus dan deposisi kolagen menyebabkan hambatan
(restriksi) pembukaan jalan nafas. Lumen akan semakin mengecil sehingga menyebabkan
gangguan pertukaran udara yang memunculkan gejala dispneu pada pasien. Gangguan
ekspirasi akan menyebabkan ekspirasi memanjang dan sulit dilakukan sehingga dapat
timbul kondisi hiperkapnia. Kerusakan silia yang disebabkan oleh paparan zat iritan akan
mengganggu fungsi sistem eskalator mukosilier sehingga mukus mengental dan akan
terdeposisi dalam jumlah banyak. Deposisi mukus dapat berperan sebagai lokasi
kolonisasi bakteri yang menyebabkan gangguan lebih lanjut pada pasien seperti
peradangan edematosa (Murphy dan Fishman, 2008; ODonnel, 2006).
REFERENSI
Foreman MG, Campos M, Celedn JC. 2012. "Genes and chronic obstructive pulmonary
disease. Medical Clinical North American. 96 (4): 699- 711
Kennedy SM, Chambers R, Du W, Dimich-Ward H. 2007. Environmental and occupational
exposures: do they affect chronic obstructive pulmonary disease differently in
women and men?. Proceedings of the American Thoracic Society; 4 (8): 692694
Murphy DMF, Fishman AP. 2008. Chapter 53. Fishman's Pulmonary Diseases and
Disorders (4th ed.). McGraw-Hill.
O'Donnell DE. 2006. Hyperinflation, Dyspnea, and Exercise Intolerance in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. The Proceedings of the American Thoracic
Society 3 (2): 180184.
Vestbo J. 2013. Definition and Overview. Global Strategy for the Diagnosis, Management,
and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease. pp. 17.

Anda mungkin juga menyukai