Anda di halaman 1dari 16

FLUOR ALBUS

oleh :

M Maulana Shofri
G99141100

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2009

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Keputihan atau Fluor Albus merupakan sekresi vaginal abnormal pada
wanita. Sekret yang dikeluarkan dari alat-alat genitalia yang tidak berupa
darah.
B. ETIOLOGI
Yang sering menimbulkan keputihan antara lain bakteri, virus, jamur atau
juga parasit. Sebagian besar cairan berasal dari leher rahim, walaupun ada
yang berasal dari vagina yang terinfeksi, atau alat kelamin luar.
Dengan memperhatikan cairan yang keluar, terkadang dapat diketahui
penyebab keputihan.
a. Infeksi akibat kuman (bakteri)
* Gonococcus, atau lebih dikenal dengan nama GO.
Warnanya kekuningan, yang sebetulnya merupakan nanah yang terdiri dari
sel darah putih yang mengandung kuman Neisseria gonorrhoea. Kuman ini
mudah mati setelah terkena sabun, alkohol, deterjen, dan sinar matahari. Cara
penularannya melalui senggama.

* Chlamydia trachomatis.
kuman ini sering menyebabkan penyakit mata trakhoma. Ditemukan di
cairan vagina dengan pewarnaan Giemsa.

* Gardenerella

menyebabkan peradangan vagina tak spesifik. Biasanya mengisi penuh


sel-sel epitel vagina berbentuk khas clue cell. Menghasilkan asam amino
yang akan diubah menjadi senyawa amin bau amis, berwarna keabu-abuan.

* Treponema pallidium
adalah penyebab penyakit kelamin sifilis. Penyakit ini dapat terlihat
sebagai kutil-kutil kecil di liang senggama dan bibir kemaluan.

b. Jamur
Biasanya disebabkan spesies Candida.sp. Cairannya kental, putih susu
(sering berbentuk kepala susu), dan gatal. Vagina menjadi kemerahan akibat
radang. Predisposisinya adalah kehamilan, Diabetes melitus, akseptor pil KB.
c. Parasit
Parasit penyebab keputihan terbanyak adalah Trichomonas vaginalis.
Parasit Trichomonas Vaginalis menghasilkan banyak cairan, berupa cairan
encer berwarna kuning kelabu, berbuih seperti air sabun, bau. Gejalanya
gatal, vulva kemerahan, nyeri bila ditekan atau perih saat buang air kecil.
d. Virus
Keputihan akibat virus disebabkan Human Papiloma Virus (HPV) dan
Herpes simpleks.
e. Fisiologis
Keputihan juga dapat dialami oleh wanita yang
* Kelelahan yang sangat berat atau daya tahan tubuhnya lemah.
* Pada bayi perempuan yang baru lahir, dalam waktu satu hingga sepuluh
hari, dari vaginanya dapat keluar cairan akibat pengaruh hormon yang
2

dihasilkan oleh plasenta atau uri.


* Gadis muda terkadang juga mengalami keputihan sesaat sebelum masa
pubertas, biasanya gejala ini akan hilang dengan sendirinya.
* proses normal sebelum atau sesudah haid pada wanita tertentu.
Pada keputihan yang fisiologis, cairannya tidak berwarna, tidak berbau, dan
tidak gatal.

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala Keputihan
- Keluarnya cairan berwarna putih kekuningan atau putih kelabu dari saluran
vagina. Cairan ini dapat encer atau kental, dan kadang-kadang berbusa.
-Biasanya keputihan yang normal tidak disertai dengan rasa gatal. Pada
penderita tertentu, terdapat rasa gatal yang menyertainya.

Keputihan yang disebabkan oleh infeksi biasanya disertai dengan rasa


gatal di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina bagian luar. Infeksi ini
dapat menjalar dan menimbulkan peradangan ke saluran kencing,
sehingga menimbulkan rasa pedih saat si penderita buang air kecil.

E. TERAPI
Tujuan pengobatan pada dasarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Menghilangkan gejala
Obat-obat misalnya Betadine vaginal kit, Intima, Dettol. Namun
pengobatan ini kurang efektif karena hanya sekadar membersihkan cairan
keputihan dari liang senggama, tapi tidak membunuh kuman penyebabnya.
2. Memberantas penyebabnya.
Obat yang diberikan tergantung penyebab keputihan. Dapat digunakan
Antibiotik, Antimikotik, Anti parasit, maupun kombinasinya.

Bakteri
Pengobatan dapat secara topikal atau sistemik.
3

Topikal
1. Suppositoria vagina yang berisi tetrasiklin.
- memberikan angka penyembuhan sebesar 96%
2. Suppositoria Yodium Povidon.
- memberikan angka penyembuhan sebesar 76%.
3. Krim sulfonamida tripel
- sebagai acid cream base dengan pH 3,9.
dipakai setiap hari selama 7 hari. Cara kerjanya dengan
menurunkan Ph vagina sehingga memperbaiki flora vagina
normal, namun pengobatan ini terbukti kurang efektif
Sistemik
1. Metronidazole.
Dosis 2x400 mg atau 500mg setiap hari selama 7 hari.
Angka penyembuhan lebih dari 90%.
G. vaginalis dan sebagian besar kuman anaerob terberantas atau
berkurang secara bermakna setelah pengobatan.
2. Ampisilin atau amoksisilin.
Dosis 4x500 mg per-oral selama 5 hari.
Kegagalan pada pengobatan dapat terjadi akibat beta laktamase
yang diproduksi oleh spesies-spesies Bacterioides.

Jamur
Biasanya disebabkan spesies Candida.sp.
Terapi untuk Candidosis vagina:
Topikal
1. Nystatin tablet vagina.
2. Amfoterisin B.
3. Kotrimazol 500 mg pervaginam dosis tunggal.
Sistemik:
Untuk kandidosis vaginalis dapat diberikan:
-

Ketokonazol 2x200 mg selama 5 hari.

Itrakonazol 2x200 mg dosis tunggal.

Flukonazol 150 mg dosis tunggal.

Untuk kandidosis vulvovaginalis

Itrakonazol 2x100 mg selama 3 hari.

Parasit
Parasit penyebab keputihan terbanyak adalah Trichomonas vaginalis.
Pengobatan dapat secara topikal atau sistemik untuk trikomoniasis:
Secara topikal dapat berupa:
1. Bahan cairan berupa irigasi
Misalnya: Hidrogen Peroksida 1-2 % dan larutan asam laktat 4%.
2. Suppositoria yang bersifat trikomoniasidal.
3. Jel dan krim yang bersifat trikomoniasidal.
Secara sistemik
Obat yang sering digunakan tergolong derivat nitromidazol, seperti:
Metronidazol

: dosis tunggal 2 gram atau


3x500 mg perhari selama 7 hari.

Nimorazol : dosis tunggal 2 gram.


Tinidazol

: dosis tunggal 2 gram.

Omidazol : dosis tunggal 1,5 gram.


3. mencegah timbulnya kembali Fluor Albus.
Upaya pencegahannya adalah dengan selalu menjaga kebersihan alat
kelamin luar wanita. Kulit di daerah alat kelamin dan sekitarnya, harus
diusahakan kering dan bersih. Sebab jika lembab dan basah dapat
menimbulkan iritasi serta memudahkan tumbuhnya jamur atau kuman.
Cebok dilakukan dari arah depan ke arah belakang untuk menanggulangi
infeksi dari mikroorganisme yang berasal dari dubur. Kebiasaan mencuci
vagina dengan larutan antiseptik, deodoran, bahan spermisidal, yang terlalu
sering juga harus dihindari karena dapat menghilangkan cairan vagina
normal, dan dapat mematikan pengeluaran cairan vagina.

Khusus untuk fluor albus akibat infeksi, maka pasangan seksual penderita
pun harus diperiksa dan diobati. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
fenomena pingpong.
F. PROGNOSIS
baik

BAB III
ILUSTRASI KASUS
A.

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Ny. S

Umur

: 42 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat

: Kuto, Kerjo, Karanganyar

Agama

: Islam

No CM

: 676633

Tanggal Masuk

: 18 November 2009

B.

ANAMNESIS
1.

Keluhan Utama : Keluar cairan dari vagina

2.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Penderita mengeluhkan keluarnya sekret dari vaginanya sejak 5
hari SMRS. Sekret kental, berwarna putih susu, tidak mengandung darah,
berbau, dan menimbulkan rasa gatal. Sekret keluar hampir sepanjang hari
namun bertambah banyak di malam hari. Penderita sudah mencoba
membersihkan dengan cairan pembersih vagina tetapi sekret tidak
berkurang. Demam (-), BAB tidak ada keluhan, agak perih saat BAK.
Saat ini penderita tidak sedang berada dalam masa menstruasi dan tidak
sedang mengandung.

3.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat mondok ( - )

Riwayat asma ( - )

Rawayat alergi obat, makanan, udara dingin (- )

4.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa ( - )

Riwayat asma ( - )

C.

PEMERIKSAAN FISIK
1.

Keadaan Umum : sakit sedang, compos mentis,


gizi kesan cukup

2.

Tanda Vital : T : 100 / 60 mmHg Rr : 24 x / mnt


S : 36,50 C

N : 90 x / mnt
3.

Mata

: CA ( -/- ), SI ( -/- )

4.

Telinga : pendengaran baik, NT tragus ( -/- ),


secret ( -/- )

5.

Hidung : NCH ( -/- ), secret ( -/- ), epistaksis


( -/- )

6.

Mulut

: bibir kering ( - ), mucosa

pucat ( -), lidah kotor ( + ), tepi lidah hiperemi ( + ),


tremor ( + )
7.

Tenggorokan

: tonsil hiperemi ( -/- ), faring

8.

Leher

: JVP tidak menigkat

9.

Thorax

hiperemi ( -/- )

Cor

: I : Ictus cordis tidak tampak


P: Ictus cordis tidak kuat angkat
P: Batas jantung kesan tidak melebar
A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo

: I : Pengembangan dada kanan = kiri


P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor / sonor
A : Suara dasar vesikuler ( +/+ ), suara tambahan ( -/- )
8

10.

Abdomen

: I : Dinding perut sejajar

dinding dada
P : Supel, nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tak teraba
P : Tymphani
A : Peristaltik ( + )

11.

Ekstremitas : Oedem

Akral

dingin

D.

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Darah Rutin

E.

Hb

: 10,1 g/dl

Gol darah

:O

Hct

: 42 %

Ur

: 20

AL

: 9000 / L

Cr

: 0,5

AT

: 150.000 / L

DIAGNOSIS
Typhus Abdominalis

F.

TERAPI

Penulisan Resep
Dr. Lidwina
Alamat : Jl. Jebres, Solo
Telp : 676558
SIP : 09876

R / Flagystatin ovula. No V.
S 1 dd ovula I. pervaginam. hora somni
Pro : Ny. S ( 42 th )

10

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
1. Flagystatin ovula.
Kandungan

- Metronidazole 500 mg
- Nystatin 100.000 IU

Pengobatan terpilih untuk terapi fluor albus yang tidak spesifik adalah
kombinasi Nystatin dan Metronidazole. Tujuan pengobatan adalah untuk
membasmi penyebab infeksi. Dimana penyebab infeksi fluor albus yang
tersering adalah akibat bakteri anaerob ,jamur ( Candidosis ) , dan parasit
(Trichomoniasis). Karena itulah dipilih terapi Metronidazole yang merupakan
anti mikroba berspektrum luas yang efektif untuk mengatasi kuman anaerob
dan Trichomoniasis. Sementara itu untuk terapi Candida sp. digunakan
antimikotik Nystatin.
Untuk bentuk sediaan dipilih bentuk sediaan ovula agar kerjanya lebih
efektif tepat di tempat sasaran dan tidak beresiko secara sistemik. Selain itu,
pada fluor albus terdapat sekret, dimana dengan adanya sekret akan
mempermudah absorbsi obat yang larut dalam cairan vagina. Inilah yang
membedakannya dengan bentuk tablet vagina yang larut akibat perubahan
suhu.
Untuk pemakaian dilakukan pervaginam dan pada malam hari dengan
ansumsi pada malam hari pasien beristirahat, tidak banyak bergerak sehingga
obat tidak berubah-ubah posisinya.
2. Metronidazole
Suatu nitroimidazole, merupakan obat yang dipilih untuk mengobati
amebiasis ekstraluminal. Obat ini membunuh tropozoit tetapi tidak terhadap
bentuk kista dari E. Histolytica.

11

Mekanisme kerja: gugus nitro dari metronidazole tereduksi yang secara kimiawi
dalam bakteri anaerob dan protozoa yang sensitif. Aktivitas antimikrobanya
merupakan akibat produk-produk reduksi yang reaktif.
Indikasi:
a. Amebiasis.
b. Giardiasis
c. Trikomoniasis
3. Nystatin

12

BAB V
KESIMPULAN
Typhus abdominalis merupakan infeksi akut usus halus oleh Salmonellae
typhii dan mudah menular. Adapun penularannya melalui pasien dengan typhoid
dan carier. Manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai dapat
menimbulkan kematian. Diagnosa pasti ditegakkan dengan biakan empedu yang
ditandai dengan tumbuhnya koloni Salmonellae typhii.
Pada kasus diatas diberikan terapi non medikamentosa dan medikamentosa
yang meliputi:
1.

Bedrest total untuk mencegah


komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

2.

Diet saring TKTP rendah


serat dan lunak untuk mengistirahatkan usus

3.

Pemberian antibiotik untuk


menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi.

4.

Pemberian infus RL dan D5%


untuk mencegah dehidrasi dan nutrisi.

Pasien Typhus abdominalis harus segera ditangani karena jika tidak ,


endotoksin kuman akan meluas dan menyebabkan komlikasi bahkan kematian,
sehingga penderita perlu dirawat. Dengan penanganan yang cepat maka reiko
terjadinya komplikasi dan kematian dapat diminimalkan.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Butterton, JR., Calderwood, SB., Acute Infectious Diarrheal Disease
and Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal
Medicine 15-Ed, McGraw- Hill, 2002: 83
2.

Corales, R., Typhoid Fever , www.emedicine.com, 2004

3.

Hermawan, AG. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Edisi


ke-2. Yayasan Kesuma Islam Kedokteran. Surakarta. 1999

4.

Hermawan, AG., Sumandjar, T., Penanganan penderita Demam


Tifoid Dewasa Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam: Protap
IPD-FK UNS RSUD Dr. Moewardi, SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
UNS- RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 2004 : 115-116

5.

Juwono, R. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Jilid I. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1999 : 435441

6.

Keusch, GT. Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu


Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 755-758

7.

Setiabudy, I., Kunadi, R., Antimikroba. Dalam Farmakologi dan


Terapi Edisi Ke-4, Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1995 : 651- 653

8.

Tjay, TH., Rahardja, K., Obat- Obat Penting: Khasiat,


Penggunaan , dan Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo. 2001: 64-82

9.

Zulkarnain, I., Nelwan, RHH., Pohan, GT., Demam Tifoid.


Dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2001 : 256-259

14

15

Anda mungkin juga menyukai