Pemikirankihajardewantaratentangpendidikan 121129180806 Phpapp02
Pemikirankihajardewantaratentangpendidikan 121129180806 Phpapp02
Aliran-Aliran Pendidikan
Info terbaru seputar Aliran-Aliran Pendidikan yang barangkali bermanfaat untuk
kepentingan chat online. Mari kita simak bersama Aliran-Aliran Pendidikan dibawah ini.
Gagasan dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan dinamika manusia
dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun di masa depan pendidikan itu selalu
mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan sosial-budaya dan
perkembangan IPTEK.
Aliran Klasik Dan Gerakan Baru Dalam Pendidikan
Aliran-aliran klasik yang meliputi aliran empirisme, nativisme, naturalism dan
konvergensi merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiranpemikiran pendidikan masa lalu, kini dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu
mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis
sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa
pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak.
Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat
yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub
tersebut, yang dapat dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
Aliran-aliran klasik dalam pendidikan dan pengaruhnya terhadap pemikiran pendidikan
di Indonesia
Manusia merupakan makhluk yang misterius, yang mampu menjelajah angkasa luar,
tetapi angkasa dalam nya masih belum cukup terungkap; minimal para pakar dari ilmuilmu perilaku cenderung berbeda pendapat tentang berbagai hal mengenai perilaku
manusia itu. Dalam paparan tentang landasan psikologi telah dikemukakan perbedaan,
bahkan pertentangan psiko-edukatif, utamanya teori kepribadian. Sehubunga dengan
kajian tentang aliran-aliran pendidikan, perbedaan pandangan itu berpangkal pada
perbedaan pandangan tentang perkembangan manusia itu. Terdapat perbedaan penekanan
di dalam sesuatu teori kepribadian tertentu tentang faktor manakah yang paling
berpengaruh dalam perkembangan kepribadian.
Perbedaan pandangan tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia tersebut di
atas yang menjadi dasar perbedaan pandangan tentang peran pendidikan terhadap
manusia, mulai dari yang paling pesimis sampai yang paling optimis itu. Aliran-aliran itu
pada umumnya mengemukakan satu faktor dominan tertentu saja, dan dengan demikian,
mengajukan gagasan untuk mengoptimalisasikan faktor tersebut untuk mengembangkan
manusia.
Aliran empirisme
Tokoh perintis pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-
1704) yang mengembangkan teori Tabula rasa anak lahir di dunia bagaikan meja lilin
atau kertas putih yang bersih. Pengalaman empiric yang dipoerleh dari lingkungan yang
berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan
empirisme (biasa pula disebut environtalisme) pendidik memegang peranan yang sangat
penting sebab pendidikan dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan
akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu
dapat membentuk perilaku yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Aliran nativisme
Aliran nativisme bertolak dari Leibnitrian tradition yang menekankan kemampuan dalam
diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh
terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan
yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap
pendidikan dan perkembangan anak, karena hasil pendidikan tergantung pada
pembawaan. Schoompnheaur (filsuf Jerman 1788-1860) berpendpat bahwa bayi itu lahir
sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir
pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawah sejak lahir. Berdasarkan
pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak akan menjadi jahat,
dan yang baik akan menjadi baik. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan
pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri. Istilah
nativisme dari asal kata natives yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan
sekitar dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan
bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat,
sebaliknya, kalau anak mempunyai pembawaan baik maka dia akan baik. Pembawaan
buruk dan baik ini tidak dapat diubah kekuatan dari luar.
Aliran naturalism
Pandangan yang ada persamaan dengan nativisme adalah aliran naturalism yang
dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J. Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan
Schopenhauer, Rosseau berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai
pembawaan baik, dan tidak satupun dengan pembawaan buruk. Namun pembawaan baik
itu akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan. Rosseau juga berpendapat
bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawan anak
yang baik itu. Aliran ini juga disebut negativism, karena berpendapat bahwa pendidik
wajib membiarkan pertumbuhan anak didik dan diserahkan saja pada alam. Jadi dengan
kata lain pendidikan tidak diperlukan. Yang dilaksankan adalah menyerahkan anak didik
ke alam, agar pembawaan yang baik itutidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui
proses dan kegiatan pendidikan itu. J.J. Rausseau ingin menjauhkan anak dari segala
keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat sehingga kebaikan anak-anak yang
diperoleh secara alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat berkembang secara spontan
dan bebas. Ia mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk
mengembangkan pembawaanya, kemampuannya, dan kecenderungannya. Pendidikan
harus dijauhkan dalam perkembangan anak karena hal itu berarti dapat menjauhkan anak
dari segala hal yang bersifat berbuat-buat dan dapat membawa anak kembali kea lam
untuk mempertahankan segala yang baik. Seperti diketahui, gagasan naturalism yang
menolak campur tangan pendidikan, sampai saat ini malahan terbukti sebaliknya
pendidikan makin lama makin diperlukan.
Aliran konvergensi
William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat
bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk.
Penganut aliran ini berpendapat bahwa ldama proses perkembangan anak, baik faktor
pembawan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat
penting. Bakat yang dibawa pada waktu lanir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya
lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau
memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk pengembangan itu.
Sebagai contoh pada hakikatnya kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata,
adalah juga hasil konvergensi. Pada anak manusia ada pembawana untuk berbicara dan
melalui situasi lingkungannya anak belajar berbicaradalam bahasa tertentu. Lingkungan
pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena
itu anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya.
Karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi artinya memusatkan kesatu titik. Jadi
menurut teori konvergensi:
1) Pendidikan mungkin dilaksanakan
2) Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak
didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi
yang buruk.
3) Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Pengaruh aliran klasik terhadap pemikiran dan peraktek pendidikan di Indonesia
Meskipun dalam hal-hal tertentu sangat diutamakan bakat dan potensi lainnya dari anak,
namun upaya penciptaan lingkungan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan itu
diusahakan pula secara optimal. Dengan kata lain, meskipun peranan pandangan
empirisme dan nativisme tidak sepenuhnya ditolak, tetapi penerimaan itu dilakukan
dengan pendekatan eksistis fungsional yakni diterima sesuai dengan kebutuhan, namun di
tempatkan dalam latar pandangan yang konvergensi seperti telah dikemukakan, tumbuhkembang, manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni hereditas, dan anugerah.
Faktor terakhir itu merupakan pencerminan pengakuan atas adanya kekuasaan yang ikut
menentukan nasib manusia (Sulo lipu la sulo, 1981: 30-46).
Gerakan baru dalam pendidikan dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan pendidikan di
Indonesia
muatan local dalam kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar. Dengan muatan local
tersebut diharapkan anak-anak makin dekat dengan alam dan masyarakat lingkungannya.
Di samping alam sekitar sebagai isi bahan ajaran, alam sekitar juga menjadi kajian
empiric melalui percobaan, studi banding, dan sebagainya. Dengan memanfaatkan alam
sekitar sebagai sumber belajar, anak lebih menghargai, mencintai dan melestarikan
lingkungannya.
Pengajaran Pusat Perhatian
Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Davids Declory (1871-1932) dari Belgia dengan
pengajaran melalui pusat-pusat minat (center dinternet), disamping pendapatnya tentang
pengajaran global. Pendidikan menurut Declory berdasar pada semboyan ecois pour ia
vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Anak harus dididik untuk dapat
hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus diarahkan. Oleh
karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri (tentang hasrat dan
cita-citanya) dan pengetahuan tentang dunianya (lingkungannya, terdapat hidup di hari
depannya).
Pengajaran alam sekitar
Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan
pengajaran alam sekitar.
Sekolah kerja
Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandanganpandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. J A
Comenius menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa dan
tangan (kterampilan, kerja tangan). J. H. Pestalozzi mengajarkan bermacam-macam mata
pelajaran pertukangan di sekolahnya. Perlu dikemukakan bahwa sekolah kerja bertolak
dari pandangan individu tetapi juga demi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain,
sekolah berkewajiban menyiapkan warga negara yang baik yakni 1) tiap orang adalah
pekerja dalam salah satu lapanga jabatan; 2) tiap orang wajib menymbangkan tenaganya
untuk kepentingan negara, dan 3) dalam menunaikan kedua tugas tersebut haruslah telah
diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut membantu
mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan negara.
Pengajaran Proyek
Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran proyek diletakkan oleh John Dewy, namun
pelaksanaannya dilakukan oleh pengikutnya,utamanya W. H. Kilpatrick. Dewey
menegaskan bahwa sekolah haruslah sebagai mikrokosmos dari masyarakat (become a
microcosm of society); oleh karena itu, pendidikan adalah suatu proses kehidupan itu
sendiri dan bukanya penyiapan untuk kehidupan di masa depan (education is process of
living and not a preparation for future living). Ulich 1950;318). Proyek itulah yang
menyebabkan mata pelajaran-pelajaran itu tidak terpisah-pisah antara yang satu dengan
kepada tenaga pendidik dapat memahami, dan pada gilirannya, kelak dapat memberi
konstribusi terhadap dinamika pendidikan itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah
bahwa dengan pengetahuan dan wawasan historis tersebut, setiap tenaga kependidikan
diharapkan memiliki bekal yang memadai dalam meninjau berbagai masalah yang
dihadapi, serta pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan dan atau tindakan
sehari-hari.
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat
dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP),
dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP
sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi
yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh
pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi
dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter
untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan
konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur
dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis
dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical
and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan
dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat
1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah
jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki
peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik
mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%.
Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar
30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter
peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan
di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif
terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu
memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga
dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di
sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama
dalam pembentukan karakter peserta didik .
Positivisme dikembangkan oleh Auguste Comte pada tahun 1830 sampai dengan
1850-an. Pada intinya, positivisme merupakan tahap puncak dari hukum tiga tahap
perkembangan yang dicirikan Comte dimana pada tahap positivisme masyarakat
mempercayai pengetahuan ilmiah, dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi
untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial. Tahap sebelum positivisme
dinyatakan Comte dengan tahap teologis dan tahap metafisika. Pada tahap positivisme,
gejala alam dijelaskan oleh akal budi berdasarkan pada hukum-hukum yang dapat
ditinjau, diuji dan dibuktikan atas dasar metode empiris. Dalam sebuah tulisannya Comte
menjelaskan bagaimana filsafat positivismenya menolak filsafat-filsafat sebelumnya:
Jika kita merenungkan semangat positive dikaitkan dengan konsep ilmiah kita akan
menemukan bahwa filsafat ini berbeda dengan teologi dan metafisika karena
berkecenderungan untuk menggambarkan ide-ide relative, ide-ide yang semula adaah
absolut. Bagian yang tak terelakkan dari absolute menuju yang relative ini adalah salah
satu hasil dari filsafat yang sangat penting dari setiap revolusi intelektual yang telah
dilakukan pada setiap bentuk spekulasi dari teologi atau metafisika menuju ranah berpikir
ilmiah. Dalam pandangan ilmiah, perbedaan antara relative dan absolute itu dapat
dianggap sebagai manifestasi dari penolakan yang jelas dari filsafat modern terhadap
filsafat di masa lalu.
Comte juga menyatakan kecenderungannya untuk menelusuri ilmu pengetahuan
berdasarkan pada hukum-hukum keteraturan alam sebagai berikut: Cukup lama manusia
belajar bahwa kekuatan manusia memodifikasi fenomena hanya akan berhasil jika
melalui pengetahuannya tentang hukum alam; dan ketika berhadapan dengan
ketidakdewasaan pengetahuan, mereka yakin bahwa dirinya mampu mengerahkan
kekuatannya yang tak terbatas menghadapi fenomena pengetahuan semacam itu Aliran
metafisika memperlihatkan tindakan sosial manusia menjadi tidak pasti dan arbitrary,
termasuk dalam memikirkan gejala biologi, kimia, fisika, bahkan astronomi, pada tahap
awal perkembangan pengetahuan yang mereka miliki tidak ada peluang menumbuhkan
keteraturan dan konsensus. Prosedur (positive) adalah basis pengetahuan dalam
kehidupan manusia; karena kecenderungan watak manusia yang menghendaki
karakteristik otoritas yang sebenarnya yang harus dipenuhi dengan menempuh hukum
rasional.
Positivisme menganggap bahwa pengetahuan sosial mensyaratkan subordinasi observasi
terhadap hukum statik maupun dinamik fenomena. Dengan demikian, formasi teori sosial
memerlukan pemikiran yang terorganisir, dipersiapkan dengan cara-cara berpikir rasional
empiris. Dalam persepsi ini, fenomena sosial dapat dipastikan memiliki makna
investigasi yang ekstensif dan variatif. Pandangan semacam ini, bukan hanya kelanjutan
dari sebuah penelitian yang cermat atau deskripsi langsung mengenai berbagai peristiwa
yang menghasilkan instrumen yang bermanfaat untuk melakukan eksplorasi berdasarkan
atas hukum positive, melainkan juga merupakan perkembangan tahap lanjut dari
pemikiran traditif yang tidak lagi bermakna, apresiasi terhadap berbagai bentuk analisis
dan perbandingan teoritis untuk mencapai keteraturan dan konsensus kebenaran yang
ilmiah. Comte menganjurkan untuk keluar dari pemikiran abstrak dan melakukan riset
dengan metode eksperimentasi dan analisis perbandingan sejarah. Positivisme adalah
pemikiran empiric, rasional dan positive manusia yang dipercaya mampu menjelaskan
realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan secara konkret, pasti,
bahkan absolut. Demikian, semoga bermanfaat.
Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/contemporary-theory/2180243pengertian-positivisme/#ixzz1lw9Dsovl
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan
sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin
kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat
tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak
mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.
Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada
paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar
individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga
dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah
masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi
intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan
penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang
diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya
agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi
ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas
guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi
belajar siswa, sebagai berikut:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan
mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas
tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2. Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka
untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan
termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
3. Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi
belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian.
Tentunya pujian yang bersifat membangun.
5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar.
Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan
berusaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
Nah sekarang bagaimana menurut anda? bisakah kita sebagai pendidik mempunyai niat
untuk itu ? tinggalkan komentar anda
http://smpn1dolopo.wordpress.com/2011/05/07/peran-guru-dalam-membangkitkanmotivasi-belajar-siswa-2/