Anda di halaman 1dari 17

PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN

Oleh Br. Theo Riyanto, FIC


Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi
perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi
informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan
aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan
orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya
menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.
Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai
oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi.
Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya
dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari to
have (apa saja materi yang dimilikinya) dan to do (apa saja yang telah berhasil/tidak
berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (to be atau
beingnya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang
pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya
dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan
juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan
pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih
manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar
Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa
(konatif)). Singkatnya, educate the head, the heart, and the hand !
Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin
bersikap individualis. Mereka gandrung teknologi, asyik dan terpesona dengan
penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih,
sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan
semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan
pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek
individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat
manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspekaspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa
pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan
peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya
menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan
olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau
manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan


makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak
berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi
adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat
itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya. Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia
hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai
manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan
sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria
yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria,
yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki
Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian
dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga
menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata
lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model
atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu,
nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan
kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang
memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah
sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan
dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang
merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga,
yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik,
mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya
kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan,
musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan
maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup
sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media
pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah
nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa
yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal
artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan
perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari
segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati)
manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang
berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan
terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen
secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan
aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya
memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap

dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan


hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta
didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik,
sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab
atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan
sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang
berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud
dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan
selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu educate the head, the heart, and the hand.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan
(relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga
relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait);
segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu
meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti
perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu:
menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan
keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial,
kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu
adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi
pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia
muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi,
berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri
dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!
Theo Riyanto, FIC

Aliran-Aliran Pendidikan
Info terbaru seputar Aliran-Aliran Pendidikan yang barangkali bermanfaat untuk
kepentingan chat online. Mari kita simak bersama Aliran-Aliran Pendidikan dibawah ini.
Gagasan dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan dinamika manusia
dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun di masa depan pendidikan itu selalu
mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan sosial-budaya dan
perkembangan IPTEK.
Aliran Klasik Dan Gerakan Baru Dalam Pendidikan
Aliran-aliran klasik yang meliputi aliran empirisme, nativisme, naturalism dan
konvergensi merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiranpemikiran pendidikan masa lalu, kini dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu
mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis
sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa
pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak.
Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat
yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub
tersebut, yang dapat dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
Aliran-aliran klasik dalam pendidikan dan pengaruhnya terhadap pemikiran pendidikan
di Indonesia
Manusia merupakan makhluk yang misterius, yang mampu menjelajah angkasa luar,
tetapi angkasa dalam nya masih belum cukup terungkap; minimal para pakar dari ilmuilmu perilaku cenderung berbeda pendapat tentang berbagai hal mengenai perilaku
manusia itu. Dalam paparan tentang landasan psikologi telah dikemukakan perbedaan,
bahkan pertentangan psiko-edukatif, utamanya teori kepribadian. Sehubunga dengan
kajian tentang aliran-aliran pendidikan, perbedaan pandangan itu berpangkal pada
perbedaan pandangan tentang perkembangan manusia itu. Terdapat perbedaan penekanan
di dalam sesuatu teori kepribadian tertentu tentang faktor manakah yang paling
berpengaruh dalam perkembangan kepribadian.
Perbedaan pandangan tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia tersebut di
atas yang menjadi dasar perbedaan pandangan tentang peran pendidikan terhadap
manusia, mulai dari yang paling pesimis sampai yang paling optimis itu. Aliran-aliran itu
pada umumnya mengemukakan satu faktor dominan tertentu saja, dan dengan demikian,
mengajukan gagasan untuk mengoptimalisasikan faktor tersebut untuk mengembangkan
manusia.
Aliran empirisme
Tokoh perintis pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-

1704) yang mengembangkan teori Tabula rasa anak lahir di dunia bagaikan meja lilin
atau kertas putih yang bersih. Pengalaman empiric yang dipoerleh dari lingkungan yang
berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan
empirisme (biasa pula disebut environtalisme) pendidik memegang peranan yang sangat
penting sebab pendidikan dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan
akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu
dapat membentuk perilaku yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Aliran nativisme
Aliran nativisme bertolak dari Leibnitrian tradition yang menekankan kemampuan dalam
diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh
terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan
yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap
pendidikan dan perkembangan anak, karena hasil pendidikan tergantung pada
pembawaan. Schoompnheaur (filsuf Jerman 1788-1860) berpendpat bahwa bayi itu lahir
sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir
pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawah sejak lahir. Berdasarkan
pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak akan menjadi jahat,
dan yang baik akan menjadi baik. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan
pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri. Istilah
nativisme dari asal kata natives yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan
sekitar dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan
bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat,
sebaliknya, kalau anak mempunyai pembawaan baik maka dia akan baik. Pembawaan
buruk dan baik ini tidak dapat diubah kekuatan dari luar.
Aliran naturalism
Pandangan yang ada persamaan dengan nativisme adalah aliran naturalism yang
dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J. Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan
Schopenhauer, Rosseau berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai
pembawaan baik, dan tidak satupun dengan pembawaan buruk. Namun pembawaan baik
itu akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan. Rosseau juga berpendapat
bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawan anak
yang baik itu. Aliran ini juga disebut negativism, karena berpendapat bahwa pendidik
wajib membiarkan pertumbuhan anak didik dan diserahkan saja pada alam. Jadi dengan
kata lain pendidikan tidak diperlukan. Yang dilaksankan adalah menyerahkan anak didik
ke alam, agar pembawaan yang baik itutidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui
proses dan kegiatan pendidikan itu. J.J. Rausseau ingin menjauhkan anak dari segala
keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat sehingga kebaikan anak-anak yang
diperoleh secara alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat berkembang secara spontan
dan bebas. Ia mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk
mengembangkan pembawaanya, kemampuannya, dan kecenderungannya. Pendidikan
harus dijauhkan dalam perkembangan anak karena hal itu berarti dapat menjauhkan anak
dari segala hal yang bersifat berbuat-buat dan dapat membawa anak kembali kea lam

untuk mempertahankan segala yang baik. Seperti diketahui, gagasan naturalism yang
menolak campur tangan pendidikan, sampai saat ini malahan terbukti sebaliknya
pendidikan makin lama makin diperlukan.
Aliran konvergensi
William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat
bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk.
Penganut aliran ini berpendapat bahwa ldama proses perkembangan anak, baik faktor
pembawan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat
penting. Bakat yang dibawa pada waktu lanir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya
lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau
memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk pengembangan itu.
Sebagai contoh pada hakikatnya kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata,
adalah juga hasil konvergensi. Pada anak manusia ada pembawana untuk berbicara dan
melalui situasi lingkungannya anak belajar berbicaradalam bahasa tertentu. Lingkungan
pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena
itu anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya.
Karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi artinya memusatkan kesatu titik. Jadi
menurut teori konvergensi:
1) Pendidikan mungkin dilaksanakan
2) Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak
didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi
yang buruk.
3) Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Pengaruh aliran klasik terhadap pemikiran dan peraktek pendidikan di Indonesia
Meskipun dalam hal-hal tertentu sangat diutamakan bakat dan potensi lainnya dari anak,
namun upaya penciptaan lingkungan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan itu
diusahakan pula secara optimal. Dengan kata lain, meskipun peranan pandangan
empirisme dan nativisme tidak sepenuhnya ditolak, tetapi penerimaan itu dilakukan
dengan pendekatan eksistis fungsional yakni diterima sesuai dengan kebutuhan, namun di
tempatkan dalam latar pandangan yang konvergensi seperti telah dikemukakan, tumbuhkembang, manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni hereditas, dan anugerah.
Faktor terakhir itu merupakan pencerminan pengakuan atas adanya kekuasaan yang ikut
menentukan nasib manusia (Sulo lipu la sulo, 1981: 30-46).
Gerakan baru dalam pendidikan dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan pendidikan di
Indonesia

Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang kompleks menuntun pengangan untuk


meningkatkan kualitasnya, baik yang bersifat menyeluruh maupun pada beberapa
komponen tertentu saja. Gerakan-gerakan baru dalam pendidikan anak harus bersifat
subjektif dan objektif. Dari penelitian secara tekun, Declory menyumbangkan dua
pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran, yang merupakan dua hal
yang khas dari Declory, yaitu:
Metode global (keseluruhan)
Dari hasil yang didapat dari observasi dan tes, dapatlah ia menetapkan, bahwa anak-anak
mengamati dan mengingat secara global (keseluruhan). Keseluruhan lebih dulu daripada
bagian-bagian. Jadi ini berdasar atas prinsip psikologi Gestlat. Dalam mengajarkan
membaca dan menulis, ternyata dengan mengajarkan kalimat lebih mudah diajarkan
daripada huruf-huruf secara tersendiri. Metode ini bersifat ideo visual sebab arti sesuatu
kata ini yang diajarkan itu selalu diasosiasikan dengan tanda tulisan atau suatu gambar
yang dapat dilihat.
Centre dinternet (pusat minat)
Dari penyelidikan psikologik, ia menetapkan bahwa anak-anak mempunyai minat yang
spontan (sewajarnya). Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat spontan
tersebut. Sebab apabila tidak, yaitu misalnya minat yang ditimbulkan oleh guru, maka
pengajaran itu tidak akan banyak hasilnya. Anak mempunyai pengajaran itu tidak akan
banyak hasilnya. Anak mempunyai minat-minat spontan terhadap diri sendiri dan
terhadap masyarakat (bio sosial). Minat terhadap diri sendiri itu dapat kita bedakan
menjadi; a) dorongan mempertahankan diri, b) dorongan mencari makan dan minum dan
c) dorongan memelihara diri. Sedangkan minat terhadap masyarakat ialah a) doorngan
sibuk (bermain-main), b) doorngan meniru orang lain.
Dorongan-dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan
pendidikan yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan pendidikan dan
pengajaran harus selalu dihubungkan dengan pusat-pusat minat tersebut.
Gerakan pengajaran pusat perhatian tersebut telah mendorong berbagai upaya agar
kegiatan belajar mengajar berbgai upaya gar dalam kegiatan belajar mengajar diadakan
berbagai variasi (cara mengajar dll) agr perhatian siswa tetap terpusat pada bahan ajaran.
Ajaran selanjutnya atau mata pelajaran yang lain harus dipusatkan atas mata pelajaran
sebelumnya.
Haruslah diadakan perjalanan memasuki hidu senyatanya. Kesemua jurusan agar murid
faham akan hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya (pengajaran
alam sekitar).
Pokok-pokok pendapat pengajaran alam sekitar tersebut telah banyak dilakukan di
sekolah, baik dengan peragaan, penggunan bahan local dalam pengajaran dan lain-lain.
Seperti telah dikemukakan bahwa beberapa tahun terakhir ini telah ditetapkan adanya

muatan local dalam kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar. Dengan muatan local
tersebut diharapkan anak-anak makin dekat dengan alam dan masyarakat lingkungannya.
Di samping alam sekitar sebagai isi bahan ajaran, alam sekitar juga menjadi kajian
empiric melalui percobaan, studi banding, dan sebagainya. Dengan memanfaatkan alam
sekitar sebagai sumber belajar, anak lebih menghargai, mencintai dan melestarikan
lingkungannya.
Pengajaran Pusat Perhatian
Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Davids Declory (1871-1932) dari Belgia dengan
pengajaran melalui pusat-pusat minat (center dinternet), disamping pendapatnya tentang
pengajaran global. Pendidikan menurut Declory berdasar pada semboyan ecois pour ia
vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Anak harus dididik untuk dapat
hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus diarahkan. Oleh
karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri (tentang hasrat dan
cita-citanya) dan pengetahuan tentang dunianya (lingkungannya, terdapat hidup di hari
depannya).
Pengajaran alam sekitar
Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan
pengajaran alam sekitar.
Sekolah kerja
Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandanganpandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. J A
Comenius menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa dan
tangan (kterampilan, kerja tangan). J. H. Pestalozzi mengajarkan bermacam-macam mata
pelajaran pertukangan di sekolahnya. Perlu dikemukakan bahwa sekolah kerja bertolak
dari pandangan individu tetapi juga demi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain,
sekolah berkewajiban menyiapkan warga negara yang baik yakni 1) tiap orang adalah
pekerja dalam salah satu lapanga jabatan; 2) tiap orang wajib menymbangkan tenaganya
untuk kepentingan negara, dan 3) dalam menunaikan kedua tugas tersebut haruslah telah
diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut membantu
mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan negara.
Pengajaran Proyek
Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran proyek diletakkan oleh John Dewy, namun
pelaksanaannya dilakukan oleh pengikutnya,utamanya W. H. Kilpatrick. Dewey
menegaskan bahwa sekolah haruslah sebagai mikrokosmos dari masyarakat (become a
microcosm of society); oleh karena itu, pendidikan adalah suatu proses kehidupan itu
sendiri dan bukanya penyiapan untuk kehidupan di masa depan (education is process of
living and not a preparation for future living). Ulich 1950;318). Proyek itulah yang
menyebabkan mata pelajaran-pelajaran itu tidak terpisah-pisah antara yang satu dengan

yang lain. Pengajaran berkisar di sekitar pusat-pusat minat sewajarnya.


Pengaruh gerakan baru dalam pendidikan terhadap penyelengaraan pendidikan di
Indonesia
Telah dikemukakan bahwa gerakan baru dalam pendidikan tersebut terutama berkaitan
dengan kegiatan berlajar mengajar di sekolah; namun dasar-dasar pikirannya tentulah
menjangkau semua segi dari pendidikan, baik aspek konseptual maupun operasional.
Perlu ditekankan lagi bahwa tentang pemikiran-pemikiran pendidikan pada masa lalu
akan sangat bermanfaat untuk memperluas pemahaman tentang seluk beluk pendidikan
serta memupuk wawasan historis dari setiap tenaga kependidikan.
Dua Aliran Pokok Pendidikan Di Indonesia
Dua aliran pokok pendidikan di Indonesia itu dimaksudkan adalah perguruan kebangsaan
taman siswa dan ruang pendidik INS kayu tanam. Keduanya dipandang suatu tonggak
pemikiran tentang pendidikan di Indonesia.
Perguruan kebangsaan taman siswa
Perguruan kebangsaaan taman siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, pad tanggal 3
Juli 1922 di Yogyakarta yakni dalam bentuk yayasan. Pertama kali mulai didirikan taman
indria (taman kanak-kanak) dan kursus guru, selanjutnya taman muda (SD), disusul
taman dewasa telah dikembangkan sehingga meliputi pula taman Hadya, prasarjana dan
sarjana wiyata. Dengan demikian siswa telah meliputi semua jenjang persekolahan, dari
pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Seperti harapan kepada taman siswa, ruang pendidikan INS kayu taman juga diharapkan
melakukan penyegaraan dan dinamisasi, seiring dengan perkembangan masyarakat dan
IPTEK. Di samping itu, upaya-upaya pengembangan ruang pendidikan INS tersebut
seyogianya dilakukan dalam kerangka pengembangan SISDIKNAS, sebagai bagian dari
usaha mewujudkan cita-cita ruang pendidikan INS; mencerdaskan seluruh raykat
Indonesia.
Rangkuman
Pemikiran tentang pendidikan sejak dulu, kini dan masa yang akan datang terus
berkembang. Hasil-hasil dari pemikiran itu disebut aliran dan atau gerakan baru dalam
pendidikan. Aliran/gerakan tersebut mempengaruhi pendidikan di seluruh dunia,
termasuk pendidikan di Indonesia. Dari sisi lain, di Indonesia juga muncul gagasangagasan tentang pendidikan, yang dapat dikategorikan sebagai aliran pendidikan, yakni
taman siswa dan INS kayu taman.
Kajian tentang berbagai aliran dan atau gerakan pendidikan itu akan memberikan
pengetahuan dan wawasan historis kepada tenaga kependidikan. Hal itu sangat historis

kepada tenaga pendidik dapat memahami, dan pada gilirannya, kelak dapat memberi
konstribusi terhadap dinamika pendidikan itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah
bahwa dengan pengetahuan dan wawasan historis tersebut, setiap tenaga kependidikan
diharapkan memiliki bekal yang memadai dalam meninjau berbagai masalah yang
dihadapi, serta pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan dan atau tindakan
sehari-hari.

adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat
dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP),
dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP
sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi
yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh
pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi
dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter
untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan
konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur
dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis
dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical
and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan
dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat
1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan

informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah
jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki
peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik
mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%.
Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar
30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter
peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan
di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif
terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu
memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga
dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di
sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama
dalam pembentukan karakter peserta didik .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata


pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada
setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya
pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah
satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik
peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata
pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan
oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di
sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan
kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter
direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di
sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang
perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga
kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah
merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta


didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya
ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada
di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu
dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di
sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi
lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga
terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya
sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar
sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah
tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik,
guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini.
Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter
dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan
ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang
utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan
budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan
menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator
oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang
antara lain meliputi sebagai berikut:
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan
remaja;
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi
dalam lingkup nasional;

6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber


lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang
dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik
Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang
dengan baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus
berlandaskan nilai-nilai tersebut.

Positivisme dikembangkan oleh Auguste Comte pada tahun 1830 sampai dengan
1850-an. Pada intinya, positivisme merupakan tahap puncak dari hukum tiga tahap
perkembangan yang dicirikan Comte dimana pada tahap positivisme masyarakat
mempercayai pengetahuan ilmiah, dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi
untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial. Tahap sebelum positivisme
dinyatakan Comte dengan tahap teologis dan tahap metafisika. Pada tahap positivisme,
gejala alam dijelaskan oleh akal budi berdasarkan pada hukum-hukum yang dapat
ditinjau, diuji dan dibuktikan atas dasar metode empiris. Dalam sebuah tulisannya Comte
menjelaskan bagaimana filsafat positivismenya menolak filsafat-filsafat sebelumnya:
Jika kita merenungkan semangat positive dikaitkan dengan konsep ilmiah kita akan
menemukan bahwa filsafat ini berbeda dengan teologi dan metafisika karena
berkecenderungan untuk menggambarkan ide-ide relative, ide-ide yang semula adaah
absolut. Bagian yang tak terelakkan dari absolute menuju yang relative ini adalah salah
satu hasil dari filsafat yang sangat penting dari setiap revolusi intelektual yang telah
dilakukan pada setiap bentuk spekulasi dari teologi atau metafisika menuju ranah berpikir
ilmiah. Dalam pandangan ilmiah, perbedaan antara relative dan absolute itu dapat
dianggap sebagai manifestasi dari penolakan yang jelas dari filsafat modern terhadap
filsafat di masa lalu.
Comte juga menyatakan kecenderungannya untuk menelusuri ilmu pengetahuan
berdasarkan pada hukum-hukum keteraturan alam sebagai berikut: Cukup lama manusia
belajar bahwa kekuatan manusia memodifikasi fenomena hanya akan berhasil jika
melalui pengetahuannya tentang hukum alam; dan ketika berhadapan dengan
ketidakdewasaan pengetahuan, mereka yakin bahwa dirinya mampu mengerahkan
kekuatannya yang tak terbatas menghadapi fenomena pengetahuan semacam itu Aliran
metafisika memperlihatkan tindakan sosial manusia menjadi tidak pasti dan arbitrary,
termasuk dalam memikirkan gejala biologi, kimia, fisika, bahkan astronomi, pada tahap
awal perkembangan pengetahuan yang mereka miliki tidak ada peluang menumbuhkan
keteraturan dan konsensus. Prosedur (positive) adalah basis pengetahuan dalam
kehidupan manusia; karena kecenderungan watak manusia yang menghendaki
karakteristik otoritas yang sebenarnya yang harus dipenuhi dengan menempuh hukum
rasional.
Positivisme menganggap bahwa pengetahuan sosial mensyaratkan subordinasi observasi
terhadap hukum statik maupun dinamik fenomena. Dengan demikian, formasi teori sosial
memerlukan pemikiran yang terorganisir, dipersiapkan dengan cara-cara berpikir rasional
empiris. Dalam persepsi ini, fenomena sosial dapat dipastikan memiliki makna
investigasi yang ekstensif dan variatif. Pandangan semacam ini, bukan hanya kelanjutan
dari sebuah penelitian yang cermat atau deskripsi langsung mengenai berbagai peristiwa
yang menghasilkan instrumen yang bermanfaat untuk melakukan eksplorasi berdasarkan
atas hukum positive, melainkan juga merupakan perkembangan tahap lanjut dari
pemikiran traditif yang tidak lagi bermakna, apresiasi terhadap berbagai bentuk analisis
dan perbandingan teoritis untuk mencapai keteraturan dan konsensus kebenaran yang
ilmiah. Comte menganjurkan untuk keluar dari pemikiran abstrak dan melakukan riset
dengan metode eksperimentasi dan analisis perbandingan sejarah. Positivisme adalah
pemikiran empiric, rasional dan positive manusia yang dipercaya mampu menjelaskan

realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan secara konkret, pasti,
bahkan absolut. Demikian, semoga bermanfaat.
Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/contemporary-theory/2180243pengertian-positivisme/#ixzz1lw9Dsovl
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan
sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin
kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat
tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak
mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.
Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada
paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar
individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga
dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah
masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi
intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan
penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang
diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya
agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi
ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas
guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi
belajar siswa, sebagai berikut:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan
mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas
tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2. Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka
untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan
termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.

3. Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi
belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian.
Tentunya pujian yang bersifat membangun.
5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar.
Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan
berusaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
Nah sekarang bagaimana menurut anda? bisakah kita sebagai pendidik mempunyai niat
untuk itu ? tinggalkan komentar anda
http://smpn1dolopo.wordpress.com/2011/05/07/peran-guru-dalam-membangkitkanmotivasi-belajar-siswa-2/

Anda mungkin juga menyukai