Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH MODUL MTHT

SEORANG PRIA DENGAN KELUHAN MATA MERAH

KELOMPOK X

BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
LAPORAN KASUS

Sesi 1
Seorang pria bernama Tn Abi berumur 35 tahun bekerja sebagai tukang ojek datang
ke Poli Mata dengan keluhan mata merah.
Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak hanya sebagian. Disertai rasa
mengganjal dan mata berair. Penglihatan buram disangkal, nyeri disangkal, fotofobia
disangkal. Sebelumnya mata pasien sering merah terutama jika terkena debu, hilang timbul
selama 4 tahun. Riwayat operasi mata disangkal. Riwayat trauma mata disangkal.

Sesi 2
Hasil pemeriksaan didapatkan :
STATUS GENERALIS : dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGIS :

Visus

OD

OS

6/10 C- 0.75 aksis 135o 6/6

6/6

(Normal ke segala arah)

(Normal ke segala arah)

n/p (normal palpasi)

n/p (normal palpasi)

Normal

Normal

Massa/jaringan fibrovaskular

Massa/jaringan fibrovaskular

(bagian nasal) berbentuk segitiga

(bagian nasal) berbentuk

dengan puncak di kornea,

segitiga dengan puncak di

hiperemis

limbus kornea, hiperemis

Jernih, tampak puncak massa

Jernih

Gerak bola mata

TIO
Palpebra
Konjungtiva bulbi

Kornea

fibrovaskular pada tepi pupil


jernih
COA
Iris/pupil

Dalam

Dalam

Bulat, isokor, RC +/+

Bulat, isokor, Rc +/+

Lensa

Jernih

Jernih

Vitreus

Jernih

Jernih

Fundus

Papil bulat, warna vital, batas

Papil bulat, warna vital, batas

tegas, CDR 0.3, aa/vv 2/3, retina

tegas, CDR 0.3, aa/vv 2/3,

baik, refleks makula +

retina baik, refleks makula +

Status lokalis :
OD

OS

BAB III
PEMBAHASAN

Identitas
Nama

: Tn Abi

Umur

: 35 tahun

Jenis kelamin

: Pria

Agama

:-

Alamat

:-

Status pernikahan

:-

Pekerjaan

: Tukang ojek

Anamnesis
Keluhan utama

: mata merah

Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering terdengar. Keluhan ini timbul
akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi
merah. Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada
peradangan mata akut, misalnya pada keratitis, pleksus arteri konjungtiva permukaan
melebar, pada iritis dan glaukoma akut kongestif, pembuluh darah arteri perikornea yang
letak lebih dalam akan melebar, sedangkan pada konjungtivitis pembuluh darah superficial
yang melebar, maka bila diberi epinefrin topikal akan terjdi vasokonstriksi sehingga mata
akan kembali putih.1

Riwayat penyakit sekarang


-

Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak hanya sebagian.
Keluhan mata merah timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang
sebelumnya berwarna putih menjadi merah. Mata merah dapat terjadi akibat
pelebaran pembuluh darah konjunctiva atau episklera, berkurangnya pengeluaran
darah seperti pada pembendungan pembuluh darah, maupun akibat pecahnya salah
satu dari pembuluh darah konjunctiva dan episklera. Merah tampak hanya sebagian
menunjukkan bahwa proses/kelainan yang terjadi bersifat setempat.

Rasa mengganjal dan mata berair


Rasa mengganjal dapat terjadi akibat adanya peradangan, pertumbuhan jaringan baru,
atau adanya benda asing dalam mata. Mata berair dapat terjadi akibat penurunan

kualitas airmata berupa penurunan jumlah lipid yang diproduksi oleh kelenjar
meibom, yang mengakibatkan air mata cepat menguap.
-

Penglihatan buram disangkal, nyeri disangkal, fotofobia disangkal.


Penglihatan tidak buram menunjukkan tidak adanya gangguan pada media
penglihatan yaitu kornea, lensa, badan kaca dan retina. Akan tetapi pada pasien ini
tetap diperlukan pemeriksaan visus untuk mendeteksi gangguan visus yang mungkin
tidak disadari pasien. Tidak adanya nyeri dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain yang juga termasuk klasifikasi mata merah sebagian dengan visus normal seperti
konjungtivitis flikten, episkleritis dan skleritis. Sedangkan tidak adanya fotofobia
menunjukkan tidak ada gangguan pada iris yang berfungsi mengatur banyaknya
cahaya yang masuk.
Untuk mengetahui keluhan lain yang terjadi pada pasien, maka pada riwayat
penyakit sekarang perlu pertanyaan tambahan sebagai berikut:

Apakah merah di kedua mata timbul bersamaan?

Apakah merah pada mata bersifat progresif?

Apakah mata terasa gatal?

Apakah

mata

mengeluarkan

sekret?

Bila

ya

bagaimana

warna

dan

konsistensinya?

Apakah terdapat keluhan lain yang menyertai?

Apakah keluhan tersebut mengganggu pekerjaan atau aktivitas?

Apakah terdapat faktor yang meringankan keluhan tersebut?

Apakah sebelumnya terdapat kontak dengan seseorang yang mengalami keluhan


serupa?

Riwayat penyakit dahulu


-

Mata pasien sering merah terutama jika terkena debu, hilang timbul selama 4 tahun
Keluhan pasien ini berhubungan dengan pekerjaannya sebagai tukang ojek yang
sering terpapar debu, sinar matahari, dan udara panas. Hal-hal tersebut kemungkinan
besar menyebabkan iritasi kronis pada mata pasien hingga menimbulkan keluhan
yang terjadi saat ini.
Untuk melengkapi keterangan mengenai riwayat penyakit dahulu, maka perlu
ditanyakan hal-hal sebagai berikut:

Apakah pernah mengalami penyakit mata yang lain?

Apakah terdapat riwayat DM, hipertensi atau penyakit sistemik lainnya?

Apakah memiliki riwayat alergi? Bila ya apa alergennya?

Riwayat pengobatan : operasi mata disangkal

Apakah sebelumnya keluhan tersebut sudah diobati oleh dokter? Bila ya, apa obat
atau terapi yang dilakukan?

Apakah terdapat alergi terhadap obat-obatan tertentu?

Riwayat trauma

:-

Keterangan tersebut memperkuat kemungkinan paparan debu, sinar matahari dan udara panas
sebagai penyebab keluhan pasien. Tidak adanya riwayat trauma juga dapat menyingkirkan
adanya kemungkinan perdarahan subkonjungtiva yang biasanya disebabkan trauma langsung
atau tidak langsung.

DAFTAR MASALAH
No Masalah

Dasar Masalah

Hipotesis

1.

Anamnesis

Pterigium, pseudopterigium,

Mata Merah

episkleritis,konjungtivitis fliktens, perdarahan


subkonjungtiva,konjungtivitis,skleritis
2.

Rasa

Anamnesis

Pterigium, pseudopterigium, konjungtivitis

Anamnesis

Pterigium,

mengganjal
3.

Mata berair

pseudopterigium,skleritis,konjungtivitis,episkleritis
4.

Bekerja sebagai Anamnesis

Pterigium

tukang ojek
Setelah mendapat keterangan tambahan, beberapa hipotesis dapat disingkirkan, berikut ini
keterangan tambahan serta hipotesis yang kami singkirkan :
1. Tidak terdapat rasa nyeri: dapat menyingkirkan hipotesis kami berupa skleritis dan
episkleritis. Pada skleritis maupun episkleritis terdapat nyeri pada mata.
2. Tidak terdapat fotofobia : dapat menyingkirkan hipotesis kami berupa episkleritis dan
skleritis
3. Tidak adanya riwayat trauma: menyingkirkan adanya perdarahan subkonjungtiva
Oleh karena itu dapat kami simpulkan berdasarkan hasil anamnesis, hipotesis kami adalah:
Pterigium, pseudopterigium, dan konjungtivitis

Pemeriksaan Fisik
Status generalis dalam batas normal menunjukkan bahwa penyakit yang terjadi bersifat
terlokalisasi pada mata. Selain itu menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami demam, tidak
mengalami pembesaran kelenjar periaurikular (bisa menyingkirkan hipotesis mata merah
karena konjungtivitis), dan kemungkinan tidak memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi,
diabetes melitus yang apabila mengnai mata juga bisa menimbulkan keluhan mata merah.

Pada pemeriksaan visus mata kanan menunjukkan adanya penurunan visus dimana pada
pemeriksaan mata kanan pasien,pasien hanya dapat melihat sejauh 6 meter sedangkan orang
normal dapat melihat sejauh 10 meter, hal ini ditunjukkan dengan visus sebesar 6/10. Pasien
diduga menderita astigmatisme dimana ketika dikoreksi oleh lensa C -0,75 visus mata pasien
kembali 6/6.

Pada status, hasil pemeriksaan gerakan bola mata adalah normal. Hasil normal pada gerakan
bola mata menunjukkan bahwa tidak terdapat gangguan pada otot mata atau pada saraf yang
mempersarafi otot tersebut.

Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dilakukan oleh pemeriksa yang
berpengalaman. TIO yang normal menunjukkan pasien tidak menderita glaukoma.

Konjungtiva Bulbi OD : Massa/jaringan fibromuskular(bagian nasal) berbentuk segitiga


dengan puncak di kornea,hiperemis menandakan adanya pterygium yang diderita oleh
pasien dimana khas adanya jaringan fibromuskular yang berbentuk segitiga. Puncak yang
sudah sampai di kornea menyebabkan gangguan visus dimana hal ini sudah terjadi pada mata
kanan pasien,adanya hiperemis juga memperkuat penyakit pterygium.

Konjungtiva Bulbi OS:

Massa/jaringan fibromuskular(bagian nasal) berbentuk segitiga

dengan puncak di limbus, hiperemis menunjukkan adanya pterigium dengan puncak


segitiga yang terdapat di limbus yang belum menyebabkan gangguan visus sehingga
penglihatan mata kiri pasien masih normal, adanya hiperemis juga memperkuat penyakit
pterygium.

Status Lokalis
OD

OS

OD: Massa/jaringan fibromuskular(bagian nasal) berbentuk segitiga dengan puncak di


kornea. Merupakan gambaran pterygium yang melewati kornea dan mencapai tepi pupil.
Keadaan ini dapat menyebabkan terganggunya fungsi penglihatan. Hal ini terbukti dengan
adanya astigmatisma pada pasien, astigmatisma terjadi akibat adanya kelainan pada media
refraksi pada permukaan kornea mata. Pada astigmatisma, bola mata tidak berbentuk bulat
sehingga sinar sejajar tidak membentuk satu titik fokus sinar. Pterygium pada OD pasien
adalah derajat 3.

OS:

Massa/jaringan fibromuskular (bagian nasal) berbentuk segitiga dengan puncak di

limbus, sehingga visus pada mata kiri pasien masih dalam batas normal yaitu 6/6. Pterigium
pada OS pasien adalah derajat 1.

Diagnosis Kerja
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja pada pasien
adalah: Pterigium derajat 3 tipe 2 dengan astigmatisma oculi dextra dan pterigium
derajat 1 tipe 1 oculi sinistra.

Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterygium, dimana dapat dibagi menjadi 4, yaitu :

Derajat 1 : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2 : Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea

Derajat 3 : Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4
mm)

Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu


penglihatan

Pterigium terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:


o Tipe 1 : Pterigium kecil
Lesi terbatas limbus menginvasi kornea di tepi dan masih bersifat asimptomatis.
Terdapat inflamasi ringan.
o Tipe 2 : Primer advance
Kapiler tampak membesar dan lesi menutup kornea sampai 4mm. Terdapat
astigmatisma.
o Tipe 3 : Recurrent dengan keterlibatan zona optic
Lesi mengenai kornea >4 mm mengganggu aksis visual dan sering menimbulkan
fibrosis konjungtiva dan gangguan bola mata.

Pada kasus ini diagnosis bandingnya adalah pseudopterigium. Pseudopterigium merupakan


perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada
proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Letak
pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea
sebelumnya.
Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya,yaitu:
Perbedaan
Letak

Pterigium
Konjungtiva yang terpapar

Pseudopterigium
Tidak harus pada konjungtiva yang
terpapar, bisa di dalam palpebra

Pemeriksaan

Tidak terdapat celah. Sonde (-)

Terdapat celah, dapat diselipkan


sonde. Sonde (+)

Anamnesis

Tidak ada riwayat kelainan kornea Adanya


sebelumnya

kelainan

kornea

sebelumnya, seperti tukak kornea.

Patofisiologi
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva (perilimbal) yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterygium terjadi pada permukaan yang terekspos udara luar serta mendapat paparan
sinar dan iritsn fisik lainnya. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral
atau di daerah komea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygium akan berwama merah.
Pada pasien ini, ada beberapa faktor resiko yang berkontribusi besar pada pterygium
yang dialami.
1. Paparan sinar UV (ultraviolet) dari matahari secara langsung.
Pekerjaan pasien adalah seorang tukang ojek. Lapangan pekerjaan seorang tukang
ojek adalah di luar ruangan yang terpapar sinar matahari secara langsung. Apabila
pasien tidak menggunakan bahan/ material yang baik seperti helm, topi, kacamata
untuk proteksi sinar UV, maka pterygium sangat mudah terjadi pada pasien
mengingat Inodonesia juga merupakan negara yang beriklim tropis. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjuctiva menghasilkan kerusakan sel serta proliferasi sel
yang menjadi dasar patogenesis pterygium.
2. Paparan debu serta bahan iritan lain di ruang terbuka yang menyebabkan iritasi
kronis.
Paparan debu sangat mungkin terjadi pada pasien perihal pekerjaanya sebagai tukang
ojek. Debu merupakan salah satu bentuk penyebab trauma fisik yang dapat
menyebabkan iritasi kronis (akibat paparan terus menerus) akibat cedera sel yang
ditimbulkannya. Adanya iritasi kronik pada daerah limbus dan atau kornea merupakan
salah satu dasar patogenesis terjadinya pterygium.

Patogenesis Pterygium
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari yang
mengandung sinar ultarviolet UV-A dan UV-B (paling signifikan), dan udara yang panas.
Selain itu, proses herediter juga diduga berperan dalam patogenesis pterigium. Proses
dasarnya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neopalasma, radang, dan
degenerasi. Penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh
karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktorfaktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi,

daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru.
Pernyataan tersebut masih merupakan salah satu teori.
Dalam jurnal yang dinyatakan dalam current opinion in ophtalmology, pterygium
merupakan lesi yang aktif, infasiv, proses inflmasi dan merupakan salah satu kelainan utama
limbus fokal (setempat). Proses pterigium merupakan proses degeneratif yang terjadi pada
stroma konjungtiva. Degenerasi tersebut menyebabkan penebalan serta penggantian jaringan
oleh jaringan serat elastoic. Fibroblas yang teraktivasi dalam tepi-tepi pterigium pada
tahapannya akan menginvasi membran Bowman pada kornea didekatnya, tidak jarang juga
menginvasi

lapisan

stroma

kornea.

Ada

beberapa

tahapan

conjunctivilizaion

(pengkonjungtivaan) pada kornea. Hal ini menjelaskan pengertian pterygium yang


menyatakan bahwa pterygium tumbuh dengan puncaknya pada kornea. Tahapan terjadinuya
pterygium antara lain peradangan kronis yang luas, proliferasi sel, remodeling jaringan ikat
dan angiogenesis. Adanya limfosit T yang ditemukan dalam epitel pterygium menunjukkan
adanya proses peradangan yang diperantarai respon sel imun.
Penjelasan proses proliferasi sel yang berperan pada pembentukan pterygium
dijelaskan dalam biologi molekuler kanker. Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor
supresor gene pada limbal basal stemcell. Tanpa apoptosis yang distimulasi oleh tumor
supressor gene, growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan
proses kolagenase (pemecahan jaringan kolagen) meningkat. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva
terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian
menembus kornea.
Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Limbal stem cell adalah
sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell terjadi
pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal
adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian
menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal
stem cell. Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa akibat sinar ultraviolet, terjadi kerusakan
limbal stem cell.
Predileksi dari pterygium sesungguhnya dapat terjadi pada kedua sisi mata yaitu
temporal dan nasal. Namun, tipikal pterigium sering kali terdapat di nasal dari kornea. Daerah

nasal konjungtiva relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan
bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva
juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu
pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian
temporal yang lebih mendapat perlindungan dari bulu mara, kelengkungan palpebra yang
lebih tajam pada temporal serta alis.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi


fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan
eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.3
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang
basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E. Berbentuk ulat atau
degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang
degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik
dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.9

Mata merah
Penyebab mata merah dapat merupakan melebarnya pembuluh darah konuungtiva,
pembendungan pemnuluh darah atau karena pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan
darah dapat tertimbun di bawah jaringan konjungtiva.
Pelebaran pembuluh darah dapat terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Injeksi konjungtiva
2. Injeksi siliar/perikorneal
3. Injeksi episkleral
Pada kasus pterigium, pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi maka bagian
pterigium akan berwarna merah. Hiperemis konjungtiva bulbi (Injeksi konjungtiva)
kemerahan yang paling nyata di daerah forniks dan berkurang ke arah limbus, disebabkan
dilatasi arteri konjungtiva posterior akibat adanya peradangan.

Sumber:
Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. In : Riordon-Eva P, Whitcher JP; editors,
Vaughan arid Asbury's General Ophtalmology. 16th ed. Newyork: McGraW'Hill Companies;
2004. p. 119

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien meliputi non medikamentosa dan medikamentosa.
Non medika mentosa
-

edukasi untuk meminimalisir paparan dengan penggunaan alat pelindung diri untuk
matanya saat bekerja / mengendarai sepeda motork

koreksi dengan kacamata untuk astigmatisma pada oculi dextra

edukasi kepada pasien walaupun sudah dilakukan operasi tetap tidak menjamin pasien
tidak akan terkena pterigium lagi, karena pterigium masih bisa kambuh lagi apabila
pasien masih terpapar dengan etiologi contoh sinar matahari dan debu .

edukasi kepada pasien untuk mengontrol keadaan mata kiri pasien

Medika mentosa
-

Dilakukan operasi pada oculi dextra pasien apabila memungkinkan. Indikasi operasi
pada pterigium adalah:
1. Visus menurun
2. Inflamasi rekuren

3. Pterigium berkembang progesif


4. Mendahului operasi intra okuler
5. Hambatan gerak pada bola mata
6. Alasan kosmetika
-

Pemberian air mata buatan dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi radang pada
mata

Komplikasi

Prognosis

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Bulbus Oculi (Bola Mata) dan Musculi Bulbi


Organon visus terletak dalam cavum orbita (ruang orbita). Secara anatomis terbagi
menjadi dua: 1) oculus (bulbus oculi dan nervus opticus); 2) organa oculi accesoria (musculi
bulbi, palpebra, apparatus lacrimalis dan conjunctiva)
Oculus (mata) dibagi menjadi dua, yaitu bulbus oculi (bola mata) dan nervus opticus.
Bulbus oculi memiliki tiga lapisan yang dari luar ke dalam sebagai berikut:
1. Tunica fibrosa

: sclera dan kornea

2. Tunica vasculosa

: lamina choroidea, corpus ciliare dan iris

3. Tunica nervosa

: retina

Isi bulbus oculi adalah humor aquosus, lensa crystalina dengan ligamentum suspensorium
lentis (Zonula Zinii) dan corpus vitreum dengan membrana Hyaloidea.

Gambar1. Potongan horizontal bola mata


Kornea merupakan dinding bola mata depan terdiri atas jaringan yang jernih dan
bening. Kornea berfungsi sebagai membrane pelindung yang tembus cahaya (Budianto dan
Azizi, 2004). Kornea memiliki tebal sekitar 0,6 1.0 mm terdiri atas lima lapisan dari luar ke
dalam yaitu: lapisan epitel, membran Bowman, subtansia propia, membran Descemet, dan
lapisan endotel. Dari kelima lapisan tersebut hanya lapisan epitel yang dapat regenerasi.
Kornea tidak mempunyai pembuluh darah (avaskuler) dan mendapat nutrisi dan oksigen dari
udara, air mata dan cairan aquosus humor.
Sclera merupakan bagian putih mata yang terdiri atas jaringan ikat kolagen, kenyal
dan tebalnya kira-kira 1 mm. Di bagian posterior sclera terdapat daerah yang ditembus oleh
syaraf dan pembuluh darah. Lamina cribosa sclera merupakan bagian sclera yang ditembus
oleh nervus opticus dan arteri/vena centralis retinae. Di sekitarnya sclera ditembus oleh a.
ciliaris posterior longa et breve dan n. ciliaris longus et breve. Di sekitar equator 4 v.
vorticosa menembus sclera. Sclera terdiri atas dua lapisan, yaitu: substantia propia sclera
yang terdiri atas serabut kolagen padat dan lamina fusca yang memiliki pigmen warna coklat.
Tunica vasculosa oculi (uvea) terletak antara sclera dan retina. Lamina choroidea
merupakan bagian uvea yang paling luas dan memiliki banyak anyaman pembuluh darah
sehingga lapisan ini berfungsi member nutrisi pada retina. Corpus ciliare (badan siliaris)
terletak antara iris dan choroidea. Lapisan corpus ciliare dari luar ke dalam adalah musculus
ciliaris, substantia propia dan stratum pigmenti corporis ciliaris. Processus ciliaris berfungsi

sebagi penghasil aqueosus humor. Corpus ciliare berhubungan dengan lensa melalui
ligamentum suspensorium lentis (zonula Zinii) untuk membantu akomodasi ketebalan lensa.
Musculus ciliaris berfungsi mengatur focus mata. Iris merupakan lanjutan ke anterior dari
corpus ciliare. Iris terdiri atas endothelium, stroma yang mengandung butir pigmen dan
stratum pigmenti. Iris sering memberikan warna pada bola mata dan tergantung dari
banyaknya pigmen. Apabila mengandung banyak pigmen maka iris berwarna coklat dan
sedikit pigmen berwarna biru/hijau. Lubang bundar di tengah-tengah iris disebut pupil. Pupil
normal memiliki diameter antara 3-4 mm. Pupil normal kanan dan kiri ukurannya sama
disebut isokoria. Dekat stratum pigmenti terdapat otot polos yang berjalan radier yaitu m.
dilatator papillae dan berjalan sirkuler yaitu m. sphincter papillae. M. dilatator papillae
berfungsi melebarkan pupil (midriasis) dan dipersarafi oleh saraf simpatis. M. sphincter
papillae berfungsi mengecilkan pupil (miosis) dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis.
Tunica nervosa bulbi terdiri atas stratum pigmenti dan stratum cerebrale. Stratum
cerebrale sering disebut sebagai retina (Budianto dan Azizi, 2004). Tiga perempat posterior
retina merupakan organ reseptor. Pinggir anteriornya membentuk cincin berombak disebut
ora serrata. Ora serrata memisahkan corpus ciliare dengan retina. Pada pertengahan posterior
retina terdapat daerah lonjong kekuningan disebut macula lutea, daerah tajam penglihatan
yang tinggi (bintik kuning). Di tengahnya terdapat lekukan disebut fovea centralis. Nervus
opticus menembus sclera kira-kira 3 mm medial dari macula lutea melalui discus nervi optici
(papilla nervi optici) bersama arteri/vena centralis retinae di bagian tengahnya. Pada discus
nervi optici tidak terdapat sel batang, sel kerucut, choroidea, dan stratum pigmenti sehingga
tidak peka terhadap cahaya dan disebut bintik buta (macula ceca).
Lapisan retina secara garis besar dibagi menjadi dua, epitel pigmenti retina (EPR) dan
sensorineural retina (SNR). Epitel pigmenti retina merupakan lapisan terluar, satu lapis dan
lebih melekat erat pada choroidea daripada lapisan retina di bawahnya. Pigmen pada lapisan
ini berfungsi untuk menyerap cahaya masuk dan mencegah pemantulan cahaya dari bagian
lengkung bola mata sehingga penglihatan akan jelas. EPR berfungsi mensuplai nutrisi lapisan
retina di bawahnya dan pemeliharaan fotoreseptor, barrier difusi cairan dan menyimpan
vitamin A. Sensorineural retina merupakan bagian retina yang berfungsi untuk melihat dan
memiliki 9 lapisan dari luar ke dalam (Budianto dan Azizi, 2006):
1. Lapisan fotoreseptor, terdiri atas sel conus (kerucut) dan sel bacillus (batang);
2. Membrana limitans externa;
3. Stratum granulosum externum;
4. Stratum fleksiforme externum;

5. Stratum granulosum internum;


6. Stratum fleksiforme internum;
7. Stratum ganglionare;
8. Stratum nervosum;
9. Membrana limitans interna.
Fovea centralis hanya mengandung sel conus. Sel ini berfungsi untuk menerima rangsang
cahaya kuat dan warna. Ada 3 sel conus untuk rangsang warna, yaitu: conus merah, hijau dan
biru. Sel bacillus terutama untuk menerima rangsang cahaya yang rendah dan untuk
membedakan gelap dan terang.
Lensa mata (lensa crystallina) berbentuk bikonveks, tidak berwarna dan hampir
transparan sempurna, terletak di belakang pupil dan difiksasi oleh ligamentum suspensorium
lentis (zonula Zinii). Lensa terdiri dari air sekitar 65% dan protein sekitar 35%. Tepi lensa
disebut equator lentis. Bagian-bagian lensa crystallina, sebagai berikut:
1. Capsula lentis,
2. Epithelium lentis, membentuk serat terus-menerus,
3. Nucleus lentis,
4. Cortex lentis.
Lensa berfungsi sebagai media refraksi dengan kekuatan 20 D untuk memfokuskan sinar
pada retina. Kemampuan melakukan refraksi ini dibantu oleh m. ciliaris.
Corpus vitreum (badan kaca) merupakan bagian mata yang terletak antara lensa dan
retina. Corpus vitreum berbahan gelatin, transparan, avaskuler dan dibungkus oleh membrana
hyaloidea. Corpus vitreum terdiri atas air, serat kolagen, asam hialuronat dan
mukopolisakarida. Bangunan ini berfungsi memelihara tekanan intraokuler, menjaga bentuk
bola mata dan sebagai media refraksi agar cahaya dapat mencapai retina (Wibawaty, 2009).
Aquosus humor merupakan cairan bening menyerupai cairan limfe dihasilkan oleh
processus ciliaris dan terdapat pada camera oculi posterior (COP) dan camera oculi anterior
(COA). COP merupakan ruangan yang dibatasi sebelah depan oleh iris dan pupil, sebelah
belakang zonula Zinii dan lensa crystallina, sebelah samping oleh corpus ciliare. COA
dibatasi oleh kornea di depan, pupil dan iris di belakang. Aliran aquosus humor mulai dari
processus ciliaris masuk ke dalam COP melalui pupil masuk ke COA kemudian menuju
angulus iridocornealis (sudut antara iris dan kornea) masuk ke sinus venosus sclera (canalis
Schlemm) lalu ke canal colector dan menuju vena spiscleratis (Budianto dan Azizi, 2004).
Peningkatan tekanan aquosus humor (tekanan intraokuler) disebut glaukoma.

Gambar2. Musculi bulbi

Musculi bulbi sebagai alat gerak aktif penggerak bola mata (otot extraokuler) ada
enam. Otot-otot tersebut adalah m. rectus superior, m. rectus inferior, m. rectus lateralis, m.
rectus medialis, m. obliquus superior dan m. obliquus inferior (Snell, 2006; Budianto dan
Azizi, 2004). Musculi recti bulbi berinsertio pada sclera di frontal equator bulbi, musculi
obliqui bulbi berinsertio pada sclera di occipital equator bulbi.

Otot-otot tersebut berorigo

pada annulus tendineus communis kecuali m. obliquus inferior yang berorigo pada dinding
nasal orbita di frontal bawah. Musculi bulbi yang membantu gerakan bola mata abduksi
(mata melihat ke temporal) yaitu m. rectus lateralis, m. obliquus superior, m. obliquus
inferior. Gerakan adduksi bola mata (melihat ke nasal) dilakukan oleh m. rectus medialis, m.
rectus superior, m. rectus inferior. Elevasi mata melihat ke cranial dilakukan oleh m. rectus
superior dan m. obliquus inferior dan depresi mata melihat ke caudal oleh m. rectus inferior
dan m. obliquus superior. M. rectus superior, m. rectus inferior, m. rectus medialis, dan m,
obliquus inferior dipersarafi oleh n. oculomotorius (N III). Sedangkan, m. rectus medialis
dipersarafi oleh n. abducens (N VI) dan m. obliquus superior dipersarafi oleh n. trochlearis
(N IV)

Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini
mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :


-

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari
tarsus.

Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan


konjungtiva bulbi

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak

Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
- Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih;
satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis
sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
-epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman

-Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. membrane descement
- merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel
endotel dan merupakan membran basalnya.
- bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.

5. Endotel
- berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel melekat
pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk
sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenarasi.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

PTERIGIUM
Definisi
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif .

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk

daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet
lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.
Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau
penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan
iritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan
wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya
diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40
tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.
Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi.
Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
yang menjalar ke kornea
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang
sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada
konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke
meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi


fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan
eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang
basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E. Berbentuk ulat atau
degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang
degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik
dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

mata sering berair dan tampak merah

merasa seperti ada benda asing

timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,


biasanya astigmatisme with the ruleataupun astigmatisme irreguler sehingga
mengganggu penglihatan

pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.

2.7 Pemeriksaan Fisik

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus,
berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir
luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ):

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu


penglihatan.

2.8 Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau
kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada
selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya
menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi
benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita
juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti
pada pseudopterigium.

Diagnosa Banding
1.Pinguekula
penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan

2.Pseudopterigium
Merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan
sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.6

Terapi
Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid
3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan
ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang
lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

1. Teknik Bare Sclera


Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen,
telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.

2. Teknik Autograft Konjungtiva


memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera
yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil
yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's
dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat
dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.

3. Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion
ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis
dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang

ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5
persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion
biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan
stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk


menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang
aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis
scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off
sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta

4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6


minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid
selama 1 minggu.

Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
-

Gangguan penglihatan

Mata kemerahan

Iritasi

Gangguan pergerakan bola mata.

Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

Dry Eye sindrom

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:


-

Infeksi

Ulkus kornea

Graft konjungtiva yang terbuka

Diplopia

Adanya jaringan parut di kornea

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah
memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 515% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada
saat eksisi

Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.

Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta
radiasi.
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang
baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan

merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi
dan grafting dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion pada
pasien tertentu

MATA MERAH
Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering terdengar. Keluhan ini timbul
akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi
merah.
Pada mata normal sklera terlihat berwarna putih karena sclera dapat terlihat melalui
bagian konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan tembus sinar. Hiperemia konjungtiva
terjadi akibat bertambahnya asupan pmbuluh darah ataupun berkurangnya pengeluaran darah
seperti pada pembendungan pembuluh darah. Bila terjadi pelebaran pembuluh darah
konjungtiva atau episklera atau perdarahan antara konjungtiva dan sklera maka akan terlihat
warna merah pada mata yang sebelumnya berwarna putih.
Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada
peradangan mata akut, misalnya pada keratitis, pleksus arteri konjungtiva permukaan
melebar, pada iritis dan glaukoma akut kongestif, pembuluh darah arteri perikornea yang
letak lebih dalam akan melebar, sedangkan pada konjungtivitis pembuluh darah superficial
yang melebar, maka bila diberi epinefrin topikal akan terjdi vasokonstriksi sehingga mata
akan kembali putih.
Pada konjungtiva terdapat pembuluh darah :
-

Arteri konjungtiva posterior yang memperdarahi konjungtiva bulbi.

Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang :


-

Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan arteri siliar posterior
longus bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar, yang akan
memperdarahi iris dan badan siliar.

Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea.

Arteri episklera yang terletak di atas sklera, merupakan bagian arteri siliar
anterior yang memberikan perdarahan ke dalam bola mata.

Bila terjadi pelebaran pembuluh-pembuluh darah di atas maka akan terjadi mata
merah.

Selain melebarnya pembuluh darah, mata merah dapat juga terjadi akibat pecahnya
salah satu dari kedua pembuluh darah di atas dan darah tertimbun di bawah jaringan
konjungtiva. Keadaan ini disebut sebagai perdarahan subkonjungtiva.

ASTIGMATISMA
Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai
suatu fokus-titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea atau
lensa kristalina. Astigmatisme merupakan kelainan refraksi dimana pembiasan pada meridian
yang berbeda tidak sama. Dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) sinar sejajar yang
masuk ke mata difokuskan pada lebih dari satu titik sengga menghasilkan suatu bayangan
dengan titik atau garis fokus multipel.
Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada
retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan di kornea Pada mata dengan astigmatisme lengkungan jari-jari pada satu
meridian kornea lebih panjang daripada jari-jari meridian yang tegak lurus padanya.
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu :
epitel, membran Bowman, stroma, membran Descement, endotel.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari sarf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50
dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Pembagian Astigmatisma
1. Astigmatisma lazim (Astigmatisma with the rule), yang berarti kelengkungan kornea
pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek
dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan
astigmatisma lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat
untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi.

2. Astigmatisma tidak lazim (Astigmatisma againts the rule), suatu keadaan kelainan
refraksi astigmatisma dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu
tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150
derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal
lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal.

Bentuk Astigmatisma
Bentuk astigmatisma dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Astigmatisma Teratur (Regular)
Astigmatisme dikategorikan regular jika meredian meredian utamanya (meredian di
mana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bolamata), mempunyai
arah yang saling tegak lurus.
2. Astigmatisma Tidak Teratur (Iregular)
Pada bentuk ini didapatkan titik focus yang tidak beraturan/tidak saling tegak lurus.
Penyebab tersering adalah kelainan kornea seperti sikatrik kornea, keratokonus. Bisa
juga disebabkan kelainan lensa seperti katarak imatur. Kelainan refraksi ini tidak bisa
dikoreksi dengan lensa silinder.

Patofisiologi Astigmatisma
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan memfokuskan
sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak difokuskan pada satu titik.
Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak
didapatkan satu titik fokus pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan
retina sedang sebagian sinar lain difokuskan di belakang retina.
Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
1. Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh di depan retina
2. Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di belakang retina
3. Astigmaticus miopicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan
satunya tepat pada retina
4. Astigmaticus hipermetropicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di belakang
retina dan satunya tepat pada retina

5. Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan belakang
retina.
Mata dengan astigmatisma dapat dibandingkan dengan melihat melalui gelas dengan
air yang bening. Bayangan yang terlihat dapat menjadi terlalu besar, kurus, atau terlalu lebar
dan kabur.
Penyebab Astigmatisma
Penyebab tersering dari astigmatism adalah kelainan bentuk kornea. Pada sebagian
kecil dapat pula disebabkan kelainan lensa.Pada umumnya astigmatisme bersifat menurun,
beberapa orang dilahirkan dengan kelainan bentuk anatomi kornea yang menyebabkan
gangguan penglihatan dapat memburuk seiring bertambahnya waktu. Namun astigmatisme
juga dapat disebabkan karena trauma pada mata sebelumnya yang menimbulkan jaringan
parut pada kornea, daat juga jaringan parut bekas operasi pada mata sebelumnya atau dapat
pula disebabkan oleh keratokonus.
Astigmatisma juga sering disebabkan oleh adanya selaput bening yang tidak teratur
dan lengkung kornea yang terlalu besar pada salah satu bidangnya. Permukaan lensa yang
berbentuk bulat telur pada sisi datangnya cahaya, merupakan contoh dari lensa astigmatis.
Derajat kelengkungan bidang yang melalui sumbu panjang telur tidak sama dengan derajat
kelengkungan pada bidang yang melalui sumbu pendek. Karena lengkung lensa astigmatis
pada suatu bidang lebih kecil daripada lengkung pada bidang yang lain, cahaya yang
mengenai bagian perifer lensa pada suatu sisi tidak dibelokkan sama kuatnya dengan cahaya
yang mengenai bagian perifer pada bidang yang lain. Astigmatisma pasca operasi katarak
dapat terjadi bila jahitan terlalu erat.
Selain itu daya akomodasi mata tidak dapat mengkompensasi kelainan astigmatisma
karena pada akomodasi, lengkung lensa mata tidak berubah sama kuatnya di semua bidang.
Dengan kata lain, kedua bidang memerlukan koreksi derajat akomodasi yang berbeda,
sehingga tidak dapat dikoreksi pada saat bersamaan tanpa dibantu kacamata.
Tanda dan Gejala Astigmatisma

Pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur. Tapi terkadang
pada astigmatisma yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau kelelahan mata, dan
mengaburkan pandangan ke segala arah.
Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak diketahui, oleh karena mereka tidak
menyadari dan tidak mau mengeluh tentang kaburnya pandangan mereka.
Penatalaksanaan Astigmatisma
Astigmatism reguler, diberikan kacamata sesuai kelainan yang didapatkan, yaitu
dikoreksi dengan lensa silinder negatif atau positif dengan atau tanpa kombinasi lensa sferis.
Sedangkan Astigmatism ireguler, bila ringan bisa dikoreksi dengan lensa kontak keras, tetapi
bila berat bisa dilakukan tranplantasi kornea.

BAB V
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Anatomi

Budianto, Anang dan M. Syahrir Azizi (ed). 2004. Guidance to Anatomy 1. Edisi
revisi. Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FK Universitas Sebelas Maret.

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Alih
bahasa: Liliana Sugiharto. Jakarta: EGC.

Pterigium
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6,
116 117

3. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009


http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:
Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
5. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit
Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
7. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi 17
Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
8. www.en.wikipedia.org/wiki/Pterygium_(conjunctiva)
9. www.eyewiki.aao.org/Pterygium
10. www.inascrs.org/pterygium/
11. www.mdguidelines.com/pterygium

tinpus mata merah dan astigmatisme


1.

Ilyas S, Yulianti SR. Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata. 4th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2012. p. 109.

2.

Hamurwono GB, Marianas M, Ilyas R, et al. Optik dan Refraksi. In: Ilyas S,
Mailangkay HB, Tain H, et al, editors. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran. 2nd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2010. p. 49-53.

Anda mungkin juga menyukai