KELOMPOK X
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
Sesi 1
Seorang pria bernama Tn Abi berumur 35 tahun bekerja sebagai tukang ojek datang
ke Poli Mata dengan keluhan mata merah.
Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak hanya sebagian. Disertai rasa
mengganjal dan mata berair. Penglihatan buram disangkal, nyeri disangkal, fotofobia
disangkal. Sebelumnya mata pasien sering merah terutama jika terkena debu, hilang timbul
selama 4 tahun. Riwayat operasi mata disangkal. Riwayat trauma mata disangkal.
Sesi 2
Hasil pemeriksaan didapatkan :
STATUS GENERALIS : dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGIS :
Visus
OD
OS
6/6
Normal
Normal
Massa/jaringan fibrovaskular
Massa/jaringan fibrovaskular
hiperemis
Jernih
TIO
Palpebra
Konjungtiva bulbi
Kornea
Dalam
Dalam
Lensa
Jernih
Jernih
Vitreus
Jernih
Jernih
Fundus
Status lokalis :
OD
OS
BAB III
PEMBAHASAN
Identitas
Nama
: Tn Abi
Umur
: 35 tahun
Jenis kelamin
: Pria
Agama
:-
Alamat
:-
Status pernikahan
:-
Pekerjaan
: Tukang ojek
Anamnesis
Keluhan utama
: mata merah
Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering terdengar. Keluhan ini timbul
akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi
merah. Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada
peradangan mata akut, misalnya pada keratitis, pleksus arteri konjungtiva permukaan
melebar, pada iritis dan glaukoma akut kongestif, pembuluh darah arteri perikornea yang
letak lebih dalam akan melebar, sedangkan pada konjungtivitis pembuluh darah superficial
yang melebar, maka bila diberi epinefrin topikal akan terjdi vasokonstriksi sehingga mata
akan kembali putih.1
Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak hanya sebagian.
Keluhan mata merah timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang
sebelumnya berwarna putih menjadi merah. Mata merah dapat terjadi akibat
pelebaran pembuluh darah konjunctiva atau episklera, berkurangnya pengeluaran
darah seperti pada pembendungan pembuluh darah, maupun akibat pecahnya salah
satu dari pembuluh darah konjunctiva dan episklera. Merah tampak hanya sebagian
menunjukkan bahwa proses/kelainan yang terjadi bersifat setempat.
kualitas airmata berupa penurunan jumlah lipid yang diproduksi oleh kelenjar
meibom, yang mengakibatkan air mata cepat menguap.
-
Apakah
mata
mengeluarkan
sekret?
Bila
ya
bagaimana
warna
dan
konsistensinya?
Mata pasien sering merah terutama jika terkena debu, hilang timbul selama 4 tahun
Keluhan pasien ini berhubungan dengan pekerjaannya sebagai tukang ojek yang
sering terpapar debu, sinar matahari, dan udara panas. Hal-hal tersebut kemungkinan
besar menyebabkan iritasi kronis pada mata pasien hingga menimbulkan keluhan
yang terjadi saat ini.
Untuk melengkapi keterangan mengenai riwayat penyakit dahulu, maka perlu
ditanyakan hal-hal sebagai berikut:
Apakah sebelumnya keluhan tersebut sudah diobati oleh dokter? Bila ya, apa obat
atau terapi yang dilakukan?
Riwayat trauma
:-
Keterangan tersebut memperkuat kemungkinan paparan debu, sinar matahari dan udara panas
sebagai penyebab keluhan pasien. Tidak adanya riwayat trauma juga dapat menyingkirkan
adanya kemungkinan perdarahan subkonjungtiva yang biasanya disebabkan trauma langsung
atau tidak langsung.
DAFTAR MASALAH
No Masalah
Dasar Masalah
Hipotesis
1.
Anamnesis
Pterigium, pseudopterigium,
Mata Merah
Rasa
Anamnesis
Anamnesis
Pterigium,
mengganjal
3.
Mata berair
pseudopterigium,skleritis,konjungtivitis,episkleritis
4.
Pterigium
tukang ojek
Setelah mendapat keterangan tambahan, beberapa hipotesis dapat disingkirkan, berikut ini
keterangan tambahan serta hipotesis yang kami singkirkan :
1. Tidak terdapat rasa nyeri: dapat menyingkirkan hipotesis kami berupa skleritis dan
episkleritis. Pada skleritis maupun episkleritis terdapat nyeri pada mata.
2. Tidak terdapat fotofobia : dapat menyingkirkan hipotesis kami berupa episkleritis dan
skleritis
3. Tidak adanya riwayat trauma: menyingkirkan adanya perdarahan subkonjungtiva
Oleh karena itu dapat kami simpulkan berdasarkan hasil anamnesis, hipotesis kami adalah:
Pterigium, pseudopterigium, dan konjungtivitis
Pemeriksaan Fisik
Status generalis dalam batas normal menunjukkan bahwa penyakit yang terjadi bersifat
terlokalisasi pada mata. Selain itu menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami demam, tidak
mengalami pembesaran kelenjar periaurikular (bisa menyingkirkan hipotesis mata merah
karena konjungtivitis), dan kemungkinan tidak memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi,
diabetes melitus yang apabila mengnai mata juga bisa menimbulkan keluhan mata merah.
Pada pemeriksaan visus mata kanan menunjukkan adanya penurunan visus dimana pada
pemeriksaan mata kanan pasien,pasien hanya dapat melihat sejauh 6 meter sedangkan orang
normal dapat melihat sejauh 10 meter, hal ini ditunjukkan dengan visus sebesar 6/10. Pasien
diduga menderita astigmatisme dimana ketika dikoreksi oleh lensa C -0,75 visus mata pasien
kembali 6/6.
Pada status, hasil pemeriksaan gerakan bola mata adalah normal. Hasil normal pada gerakan
bola mata menunjukkan bahwa tidak terdapat gangguan pada otot mata atau pada saraf yang
mempersarafi otot tersebut.
Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dilakukan oleh pemeriksa yang
berpengalaman. TIO yang normal menunjukkan pasien tidak menderita glaukoma.
Status Lokalis
OD
OS
OS:
limbus, sehingga visus pada mata kiri pasien masih dalam batas normal yaitu 6/6. Pterigium
pada OS pasien adalah derajat 1.
Diagnosis Kerja
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja pada pasien
adalah: Pterigium derajat 3 tipe 2 dengan astigmatisma oculi dextra dan pterigium
derajat 1 tipe 1 oculi sinistra.
Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterygium, dimana dapat dibagi menjadi 4, yaitu :
Derajat 2 : Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
Derajat 3 : Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4
mm)
Pterigium
Konjungtiva yang terpapar
Pseudopterigium
Tidak harus pada konjungtiva yang
terpapar, bisa di dalam palpebra
Pemeriksaan
Anamnesis
kelainan
kornea
Patofisiologi
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva (perilimbal) yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterygium terjadi pada permukaan yang terekspos udara luar serta mendapat paparan
sinar dan iritsn fisik lainnya. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral
atau di daerah komea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygium akan berwama merah.
Pada pasien ini, ada beberapa faktor resiko yang berkontribusi besar pada pterygium
yang dialami.
1. Paparan sinar UV (ultraviolet) dari matahari secara langsung.
Pekerjaan pasien adalah seorang tukang ojek. Lapangan pekerjaan seorang tukang
ojek adalah di luar ruangan yang terpapar sinar matahari secara langsung. Apabila
pasien tidak menggunakan bahan/ material yang baik seperti helm, topi, kacamata
untuk proteksi sinar UV, maka pterygium sangat mudah terjadi pada pasien
mengingat Inodonesia juga merupakan negara yang beriklim tropis. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjuctiva menghasilkan kerusakan sel serta proliferasi sel
yang menjadi dasar patogenesis pterygium.
2. Paparan debu serta bahan iritan lain di ruang terbuka yang menyebabkan iritasi
kronis.
Paparan debu sangat mungkin terjadi pada pasien perihal pekerjaanya sebagai tukang
ojek. Debu merupakan salah satu bentuk penyebab trauma fisik yang dapat
menyebabkan iritasi kronis (akibat paparan terus menerus) akibat cedera sel yang
ditimbulkannya. Adanya iritasi kronik pada daerah limbus dan atau kornea merupakan
salah satu dasar patogenesis terjadinya pterygium.
Patogenesis Pterygium
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari yang
mengandung sinar ultarviolet UV-A dan UV-B (paling signifikan), dan udara yang panas.
Selain itu, proses herediter juga diduga berperan dalam patogenesis pterigium. Proses
dasarnya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neopalasma, radang, dan
degenerasi. Penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh
karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktorfaktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi,
daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru.
Pernyataan tersebut masih merupakan salah satu teori.
Dalam jurnal yang dinyatakan dalam current opinion in ophtalmology, pterygium
merupakan lesi yang aktif, infasiv, proses inflmasi dan merupakan salah satu kelainan utama
limbus fokal (setempat). Proses pterigium merupakan proses degeneratif yang terjadi pada
stroma konjungtiva. Degenerasi tersebut menyebabkan penebalan serta penggantian jaringan
oleh jaringan serat elastoic. Fibroblas yang teraktivasi dalam tepi-tepi pterigium pada
tahapannya akan menginvasi membran Bowman pada kornea didekatnya, tidak jarang juga
menginvasi
lapisan
stroma
kornea.
Ada
beberapa
tahapan
conjunctivilizaion
nasal konjungtiva relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan
bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva
juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu
pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian
temporal yang lebih mendapat perlindungan dari bulu mara, kelengkungan palpebra yang
lebih tajam pada temporal serta alis.
Mata merah
Penyebab mata merah dapat merupakan melebarnya pembuluh darah konuungtiva,
pembendungan pemnuluh darah atau karena pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan
darah dapat tertimbun di bawah jaringan konjungtiva.
Pelebaran pembuluh darah dapat terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Injeksi konjungtiva
2. Injeksi siliar/perikorneal
3. Injeksi episkleral
Pada kasus pterigium, pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi maka bagian
pterigium akan berwarna merah. Hiperemis konjungtiva bulbi (Injeksi konjungtiva)
kemerahan yang paling nyata di daerah forniks dan berkurang ke arah limbus, disebabkan
dilatasi arteri konjungtiva posterior akibat adanya peradangan.
Sumber:
Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. In : Riordon-Eva P, Whitcher JP; editors,
Vaughan arid Asbury's General Ophtalmology. 16th ed. Newyork: McGraW'Hill Companies;
2004. p. 119
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien meliputi non medikamentosa dan medikamentosa.
Non medika mentosa
-
edukasi untuk meminimalisir paparan dengan penggunaan alat pelindung diri untuk
matanya saat bekerja / mengendarai sepeda motork
edukasi kepada pasien walaupun sudah dilakukan operasi tetap tidak menjamin pasien
tidak akan terkena pterigium lagi, karena pterigium masih bisa kambuh lagi apabila
pasien masih terpapar dengan etiologi contoh sinar matahari dan debu .
Medika mentosa
-
Dilakukan operasi pada oculi dextra pasien apabila memungkinkan. Indikasi operasi
pada pterigium adalah:
1. Visus menurun
2. Inflamasi rekuren
Pemberian air mata buatan dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi radang pada
mata
Komplikasi
Prognosis
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
2. Tunica vasculosa
3. Tunica nervosa
: retina
Isi bulbus oculi adalah humor aquosus, lensa crystalina dengan ligamentum suspensorium
lentis (Zonula Zinii) dan corpus vitreum dengan membrana Hyaloidea.
sebagi penghasil aqueosus humor. Corpus ciliare berhubungan dengan lensa melalui
ligamentum suspensorium lentis (zonula Zinii) untuk membantu akomodasi ketebalan lensa.
Musculus ciliaris berfungsi mengatur focus mata. Iris merupakan lanjutan ke anterior dari
corpus ciliare. Iris terdiri atas endothelium, stroma yang mengandung butir pigmen dan
stratum pigmenti. Iris sering memberikan warna pada bola mata dan tergantung dari
banyaknya pigmen. Apabila mengandung banyak pigmen maka iris berwarna coklat dan
sedikit pigmen berwarna biru/hijau. Lubang bundar di tengah-tengah iris disebut pupil. Pupil
normal memiliki diameter antara 3-4 mm. Pupil normal kanan dan kiri ukurannya sama
disebut isokoria. Dekat stratum pigmenti terdapat otot polos yang berjalan radier yaitu m.
dilatator papillae dan berjalan sirkuler yaitu m. sphincter papillae. M. dilatator papillae
berfungsi melebarkan pupil (midriasis) dan dipersarafi oleh saraf simpatis. M. sphincter
papillae berfungsi mengecilkan pupil (miosis) dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis.
Tunica nervosa bulbi terdiri atas stratum pigmenti dan stratum cerebrale. Stratum
cerebrale sering disebut sebagai retina (Budianto dan Azizi, 2004). Tiga perempat posterior
retina merupakan organ reseptor. Pinggir anteriornya membentuk cincin berombak disebut
ora serrata. Ora serrata memisahkan corpus ciliare dengan retina. Pada pertengahan posterior
retina terdapat daerah lonjong kekuningan disebut macula lutea, daerah tajam penglihatan
yang tinggi (bintik kuning). Di tengahnya terdapat lekukan disebut fovea centralis. Nervus
opticus menembus sclera kira-kira 3 mm medial dari macula lutea melalui discus nervi optici
(papilla nervi optici) bersama arteri/vena centralis retinae di bagian tengahnya. Pada discus
nervi optici tidak terdapat sel batang, sel kerucut, choroidea, dan stratum pigmenti sehingga
tidak peka terhadap cahaya dan disebut bintik buta (macula ceca).
Lapisan retina secara garis besar dibagi menjadi dua, epitel pigmenti retina (EPR) dan
sensorineural retina (SNR). Epitel pigmenti retina merupakan lapisan terluar, satu lapis dan
lebih melekat erat pada choroidea daripada lapisan retina di bawahnya. Pigmen pada lapisan
ini berfungsi untuk menyerap cahaya masuk dan mencegah pemantulan cahaya dari bagian
lengkung bola mata sehingga penglihatan akan jelas. EPR berfungsi mensuplai nutrisi lapisan
retina di bawahnya dan pemeliharaan fotoreseptor, barrier difusi cairan dan menyimpan
vitamin A. Sensorineural retina merupakan bagian retina yang berfungsi untuk melihat dan
memiliki 9 lapisan dari luar ke dalam (Budianto dan Azizi, 2006):
1. Lapisan fotoreseptor, terdiri atas sel conus (kerucut) dan sel bacillus (batang);
2. Membrana limitans externa;
3. Stratum granulosum externum;
4. Stratum fleksiforme externum;
Musculi bulbi sebagai alat gerak aktif penggerak bola mata (otot extraokuler) ada
enam. Otot-otot tersebut adalah m. rectus superior, m. rectus inferior, m. rectus lateralis, m.
rectus medialis, m. obliquus superior dan m. obliquus inferior (Snell, 2006; Budianto dan
Azizi, 2004). Musculi recti bulbi berinsertio pada sclera di frontal equator bulbi, musculi
obliqui bulbi berinsertio pada sclera di occipital equator bulbi.
pada annulus tendineus communis kecuali m. obliquus inferior yang berorigo pada dinding
nasal orbita di frontal bawah. Musculi bulbi yang membantu gerakan bola mata abduksi
(mata melihat ke temporal) yaitu m. rectus lateralis, m. obliquus superior, m. obliquus
inferior. Gerakan adduksi bola mata (melihat ke nasal) dilakukan oleh m. rectus medialis, m.
rectus superior, m. rectus inferior. Elevasi mata melihat ke cranial dilakukan oleh m. rectus
superior dan m. obliquus inferior dan depresi mata melihat ke caudal oleh m. rectus inferior
dan m. obliquus superior. M. rectus superior, m. rectus inferior, m. rectus medialis, dan m,
obliquus inferior dipersarafi oleh n. oculomotorius (N III). Sedangkan, m. rectus medialis
dipersarafi oleh n. abducens (N VI) dan m. obliquus superior dipersarafi oleh n. trochlearis
(N IV)
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini
mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari
tarsus.
Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
- Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih;
satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis
sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
-epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
-Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. membrane descement
- merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel
endotel dan merupakan membran basalnya.
- bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.
5. Endotel
- berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel melekat
pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk
sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenarasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
PTERIGIUM
Definisi
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif .
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet
lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.
Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau
penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan
iritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan
wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya
diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40
tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.
Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi.
Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
yang menjalar ke kornea
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang
sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada
konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke
meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.
Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus,
berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir
luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ):
Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
2.8 Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau
kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada
selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya
menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi
benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita
juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti
pada pseudopterigium.
Diagnosa Banding
1.Pinguekula
penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan
2.Pseudopterigium
Merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan
sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.6
Terapi
Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid
3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan
ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang
lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5
persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion
biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan
stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis
scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off
sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
-
Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Infeksi
Ulkus kornea
Diplopia
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah
memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 515% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada
saat eksisi
Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.
Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta
radiasi.
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang
baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan
merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi
dan grafting dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion pada
pasien tertentu
MATA MERAH
Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering terdengar. Keluhan ini timbul
akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi
merah.
Pada mata normal sklera terlihat berwarna putih karena sclera dapat terlihat melalui
bagian konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan tembus sinar. Hiperemia konjungtiva
terjadi akibat bertambahnya asupan pmbuluh darah ataupun berkurangnya pengeluaran darah
seperti pada pembendungan pembuluh darah. Bila terjadi pelebaran pembuluh darah
konjungtiva atau episklera atau perdarahan antara konjungtiva dan sklera maka akan terlihat
warna merah pada mata yang sebelumnya berwarna putih.
Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada
peradangan mata akut, misalnya pada keratitis, pleksus arteri konjungtiva permukaan
melebar, pada iritis dan glaukoma akut kongestif, pembuluh darah arteri perikornea yang
letak lebih dalam akan melebar, sedangkan pada konjungtivitis pembuluh darah superficial
yang melebar, maka bila diberi epinefrin topikal akan terjdi vasokonstriksi sehingga mata
akan kembali putih.
Pada konjungtiva terdapat pembuluh darah :
-
Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan arteri siliar posterior
longus bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar, yang akan
memperdarahi iris dan badan siliar.
Arteri episklera yang terletak di atas sklera, merupakan bagian arteri siliar
anterior yang memberikan perdarahan ke dalam bola mata.
Bila terjadi pelebaran pembuluh-pembuluh darah di atas maka akan terjadi mata
merah.
Selain melebarnya pembuluh darah, mata merah dapat juga terjadi akibat pecahnya
salah satu dari kedua pembuluh darah di atas dan darah tertimbun di bawah jaringan
konjungtiva. Keadaan ini disebut sebagai perdarahan subkonjungtiva.
ASTIGMATISMA
Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai
suatu fokus-titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea atau
lensa kristalina. Astigmatisme merupakan kelainan refraksi dimana pembiasan pada meridian
yang berbeda tidak sama. Dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) sinar sejajar yang
masuk ke mata difokuskan pada lebih dari satu titik sengga menghasilkan suatu bayangan
dengan titik atau garis fokus multipel.
Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada
retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan di kornea Pada mata dengan astigmatisme lengkungan jari-jari pada satu
meridian kornea lebih panjang daripada jari-jari meridian yang tegak lurus padanya.
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu :
epitel, membran Bowman, stroma, membran Descement, endotel.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari sarf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50
dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Pembagian Astigmatisma
1. Astigmatisma lazim (Astigmatisma with the rule), yang berarti kelengkungan kornea
pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek
dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan
astigmatisma lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat
untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi.
2. Astigmatisma tidak lazim (Astigmatisma againts the rule), suatu keadaan kelainan
refraksi astigmatisma dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu
tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150
derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal
lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal.
Bentuk Astigmatisma
Bentuk astigmatisma dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Astigmatisma Teratur (Regular)
Astigmatisme dikategorikan regular jika meredian meredian utamanya (meredian di
mana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bolamata), mempunyai
arah yang saling tegak lurus.
2. Astigmatisma Tidak Teratur (Iregular)
Pada bentuk ini didapatkan titik focus yang tidak beraturan/tidak saling tegak lurus.
Penyebab tersering adalah kelainan kornea seperti sikatrik kornea, keratokonus. Bisa
juga disebabkan kelainan lensa seperti katarak imatur. Kelainan refraksi ini tidak bisa
dikoreksi dengan lensa silinder.
Patofisiologi Astigmatisma
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan memfokuskan
sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak difokuskan pada satu titik.
Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak
didapatkan satu titik fokus pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan
retina sedang sebagian sinar lain difokuskan di belakang retina.
Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
1. Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh di depan retina
2. Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di belakang retina
3. Astigmaticus miopicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan
satunya tepat pada retina
4. Astigmaticus hipermetropicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di belakang
retina dan satunya tepat pada retina
5. Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan belakang
retina.
Mata dengan astigmatisma dapat dibandingkan dengan melihat melalui gelas dengan
air yang bening. Bayangan yang terlihat dapat menjadi terlalu besar, kurus, atau terlalu lebar
dan kabur.
Penyebab Astigmatisma
Penyebab tersering dari astigmatism adalah kelainan bentuk kornea. Pada sebagian
kecil dapat pula disebabkan kelainan lensa.Pada umumnya astigmatisme bersifat menurun,
beberapa orang dilahirkan dengan kelainan bentuk anatomi kornea yang menyebabkan
gangguan penglihatan dapat memburuk seiring bertambahnya waktu. Namun astigmatisme
juga dapat disebabkan karena trauma pada mata sebelumnya yang menimbulkan jaringan
parut pada kornea, daat juga jaringan parut bekas operasi pada mata sebelumnya atau dapat
pula disebabkan oleh keratokonus.
Astigmatisma juga sering disebabkan oleh adanya selaput bening yang tidak teratur
dan lengkung kornea yang terlalu besar pada salah satu bidangnya. Permukaan lensa yang
berbentuk bulat telur pada sisi datangnya cahaya, merupakan contoh dari lensa astigmatis.
Derajat kelengkungan bidang yang melalui sumbu panjang telur tidak sama dengan derajat
kelengkungan pada bidang yang melalui sumbu pendek. Karena lengkung lensa astigmatis
pada suatu bidang lebih kecil daripada lengkung pada bidang yang lain, cahaya yang
mengenai bagian perifer lensa pada suatu sisi tidak dibelokkan sama kuatnya dengan cahaya
yang mengenai bagian perifer pada bidang yang lain. Astigmatisma pasca operasi katarak
dapat terjadi bila jahitan terlalu erat.
Selain itu daya akomodasi mata tidak dapat mengkompensasi kelainan astigmatisma
karena pada akomodasi, lengkung lensa mata tidak berubah sama kuatnya di semua bidang.
Dengan kata lain, kedua bidang memerlukan koreksi derajat akomodasi yang berbeda,
sehingga tidak dapat dikoreksi pada saat bersamaan tanpa dibantu kacamata.
Tanda dan Gejala Astigmatisma
Pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur. Tapi terkadang
pada astigmatisma yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau kelelahan mata, dan
mengaburkan pandangan ke segala arah.
Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak diketahui, oleh karena mereka tidak
menyadari dan tidak mau mengeluh tentang kaburnya pandangan mereka.
Penatalaksanaan Astigmatisma
Astigmatism reguler, diberikan kacamata sesuai kelainan yang didapatkan, yaitu
dikoreksi dengan lensa silinder negatif atau positif dengan atau tanpa kombinasi lensa sferis.
Sedangkan Astigmatism ireguler, bila ringan bisa dikoreksi dengan lensa kontak keras, tetapi
bila berat bisa dilakukan tranplantasi kornea.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anatomi
Budianto, Anang dan M. Syahrir Azizi (ed). 2004. Guidance to Anatomy 1. Edisi
revisi. Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FK Universitas Sebelas Maret.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Alih
bahasa: Liliana Sugiharto. Jakarta: EGC.
Pterigium
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6,
116 117
Ilyas S, Yulianti SR. Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata. 4th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2012. p. 109.
2.
Hamurwono GB, Marianas M, Ilyas R, et al. Optik dan Refraksi. In: Ilyas S,
Mailangkay HB, Tain H, et al, editors. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran. 2nd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2010. p. 49-53.