TENTIR
ILMU DASAR KEPERAWATAN
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
OUTLINE
1. RADANG
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
6
6
6
7
7
12
15
2. PEMULIHAN JARINGAN
2.1 Definisi Sel, Jaringan dan Organ
2.2 Jaringan Parenkimal
2.3 Jaringan Stromal
2.4 Tipe Sel
2.5 Penyembuhan Luka18
2.6 Tahapan Proses Penyembuhan Luka
2.7 Faktor pemulihan luka
2.8 Pemulihan Jaringan
3. GANGGUAN HEMODINAMIK
3.1 Hiperemia
3.1 Kongesti
3.2 Edema
3.3 Transudat
3.4 Eksudat
3.5 Aterosklerosis
3.6 Perdarahan
3.7 Trombosis
3.8 Embolisme
3.9 Iskemia
3.10 Infark
3.11 Dehidrasi
3.12 Syok
17
17
17
18
DAFTAR PUSTAKA
52
19
20
21
21
22
24
25
26
27
29
34
37
39
40
45
48
pg. 2
OUTLINE
1.RADANG
1.1 Pengertian radang (inflamasi)
1.2 Tujuan respon radang
1.3 Cardinal signs dan mekanisme yang menyebabkan
1.3.1 Dolor
1.3.2 Tumor
1.3.3 Rubor
1.3.4 Kalor
1.3.5 Fungsiolaesa
1.4 Fase hemodinamik (vaskuler) dan fase selluler radang
1.5 Radang akut dan radang kronik
1.6 Tipe-tipe dan fungsi mediator radang
1.6.1 Mediator kimiawi yang dilepas oleh sel
1.6.2 Mediator dari plasma
1.7 Tipe-tipe eksudat radang
2. PEMULIHAN JARINGAN
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
3.GANGGUAN HEMODINAMIK
3.1 Hiperemia
3.1.1 Definisi Hiperemia
3.1.2 Ciri Hiperemia
3.1.3 Morfologi Jaringan Hiperemia
3.1.4 Jenis Hiperemia
3.2 Kongesti
3.2.1 Definisi Kongesti
3.2.2 Jenis Kongesti
3.2.3 Patogenesis Kongesti
3.2.4 Penyakit Akibat Kongesti
3.3 Edema
3.3.1 Definisi
3.3.2 Karakteristik edema
3.3.3 Pembentukan edema
pg. 3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
3.10
3.11
3.12
3.13
pg. 4
3.13.2
3.13.3
3.13.4
Gejala
Fase
Perbedaan Gambaran Klinis dari Berbagai Macam Syok
pg. 5
pg. 7
pg. 8
dan trombosit tetap tinggal dalam darah (Brunner & Suddarth, 2001). Hal
inilah yang menyebabkan darah menjadi lebih pekat dan berujung pada
lambatnya sirkulasi (Robbins, 2007). Sementara leukosit yang terkumpul
dalam pembuluh darah, bergerak keluar dan melakukan migrasi ke pusat
luka dan menjalankan mekanisme fagositosis (proses memakan organisme
penyerang dan pembuangan debris sel) (Brunner & Suddarth, 2001).
Fase seluler
Fase seluler dari inflamasi akut melibatkan pengiriman leukosit,
terutama neutrofil ke pusat luka sehingga mereka dapat menunjukkan
fungsi normal pertahanan mereka (Porth, 2011). Pengiriman dan aktivasi
leukosit dapat dibagi menjadi beberapa langkah, yakni : rolling atau
bergulingnya neutrofil di sepanjang endotelium, marginasi (akumulasi
neutrofil di sepanjang dinding kapiler), transmigrasi, dan kemotaksis.
Bergulingnya neutrofil di sepanjang endotelium dilatarbelakangi oleh
molekul adhesi yang disebut selektin, dimana selektin ini muncul di sel
endotelial yang diaktifkan oleh sinyal sel jaringan yang rusak (McGrawHill Education, 2013).
pg. 9
pg. 10
Gambar 6. Extravasation
Setelah pengeluaran darah, neutrofil bermigrasi menuju pusat jaringan
yang rusak dengan mekanisme kemotaksis atau kemampuan bergerak yang
berorientasi sepanjang gradien kimia (Porth, 2011). Kemudian terjadilah
mekanime fagositosis.
pg. 11
Gambar 7. Fagositosis
1.5 Radang akut dan radang kronik
Inflamasi merupakan respons fisiologi lokal terhadap cedera
jaringan. Respon ini dapat ditimbulkan oleh infeksi mikroba, agen fisik,
zat kimia, jaringan nekrotik atau reaksi imun. Inflamasi sendiri bertujuan
untuk menghancurkan mikroorganisme uang masuk dan pembuatan
dinding pada rongga abses, sehingga mencegah penyebaran infeksi.
Namun, inflamasi dapat pula berbahaya, respon ini dapat menimbulkan
reaksi hipersensitivitas yang dapat menyebabkan kematian atau kerusakan
organ yang persisten serta progresif akibat inflamasi kronik dan fibrosis
yang terjadi kemudian.
Inflamasi memiliki pola akut dan kronik. Inflamasi akut
merupakan reaksi segera jaringan terhadap berbagai macam penyebab
yang merugikan dan dapat berakhir dalam beberapa jam sampai dengan
hari. Terdapat beberapa penyebab radang akut, antara lain:
a. Infeksi mikrobial: paling sering ditemukan pada proses radang.
Misalnya bakteri piogenik, virus. Virus menyebabkan kematian sel
dengan cara multiplikasi intraseluler.
b. Reaksi hipersensitivitas: terjadi bila perubahan kondisi respons
imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihnya reaksi imun
yang akan merusak jaringan. Misalnya parasit, basil tuberkulosis.
c. Agen fisik: kerusakan yang disebabkan melalui trauma fisik, ultraviolet
atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebihan.
d. Kimiawi: bahan kimia yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam,
basa) akan merusak jaringan, kemudian akan memprovokasi terjadinya
proses radang.
e. Jaringan nekrosis: misalnya infark iskemik.
Terdapat tiga komponen utama yang dimiliki inflamasi akut turut
menyebabkan tanda-tanda klinis, yaitu:
1. Perubahan pada kaliber vaskular yang menyebabkan peningkatan aliran
darah (panas dan merah).
pg. 12
pg. 13
pg. 14
pg. 15
1.6.2
Mediator berasal plasma ada tiga sistem, yaitu sistem kinin, sistem
komplemen dan sistem koagulasi
Sistem kinin
Kinin merupakan peptida dari 9-11 asam amino. Faktor
permeabilitas paling penting adalah bradikinin. Sistem kinin
diaktifkan oleh faktor koagulasi XII. Bradikinin juga merupakan
mediator kimiawi dari rasa sakit, yang merupakan salah satu tanda
kardinal radang akut. Bradikinin menyebabkan peningkatkan
permeabilitas kapiler, vasokontriksi otot polos dan vasodilatasi
pembuluh darah.
Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan bagian dari sistem protein
enzimatik. Sistem komplemen dapat diaktifkan sepanjang reaksi
radang akut berlangsung melalui berbagai jalan, yaitu pada
jaringan nekrosis, enzim yang mampu mengaktifkan komplemen
akan dibebaskan dari sel yang telah mati. Selama infeksi
berlangsung, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dapat
mengaktifkan komplemen melalui jalan klasik, sedangkan
endotoksin bakteri gram negatif mengaktifkan komplemen melalui
jalan alternatif. Produksi kinin, koagulasi dan sistem fibrinolitik
dapat mengaktifkan komplemen.
Produk yang paling penting pada radang, yaitu C5a meningkatkan
permeabilitas vaskuler, membebaskan histamin dari sel mast, C3a
mempunyai sifat yang sama dengan C5a, tetapi kurang aktif, C567
kemotaksi untuk neutrofil, C56789 mempunyai aktivitas sitolik,
dan C4b, 2a, 3b mengoponisasi bakteri (memberi fasilitas
fagositosis oleh makrofag)
Sistem koagulasi
Sistem koagulasi (pembekuan) bertanggung jawab terhadap
perubahan fibrinogen menjadi fibrin, suatu komponen utama dari
eksudat radang akut. Sistem koagulasi dapat dirangsang oleh
banyak zat yang terdapat di tempat peradangan atau cedera. Jalur
intrinsik diaktifkan apabila salah satu protein plasma, faktor XII
pg. 16
pg. 17
dengan kromatin dengan menyebar. Sering tampak dua inti, sebagai hasil
pembagian yang tidak sempurna dari sitoplasma setelah terjadi
pembelahan inti. (Dellmann Brown . 1992).
2.3 Jaringan Stromal
Jaringan stromal merupakan jaringan penghubung dari sebuah organ
yang ditemukan pada jaringan penguhubung longgar. Terhubung dengan
mukosa uterin dan ovarium yang diketahui sebagai sistem haematopoietic
dan beberapa yang lainnya berada di tempat lain. Jaringan stromal
merupakan kumpulan dari sel stromal yang merupakan penyokong
jaringan disekitar jaringan lain dan organ-organ.
Definisi lain menyebutkan bahwa jaringan stromal merupakan
penghubung atau rangka pendukung organ, mirip spons, dan berisi sel-sel
pengikat. Kecuali di otak dan medula spinalis, stroma terdiri dari jaringan
ikat (Junqueira & Jose Carneiro, 2003). Sel-sel jaringan ikat stroma dibagi
menjadi dua kelompok yaitu sel stabil dan tidak stabil. Sel-sel stabil
merupakan sel-sel yang tetap di jaringan, mereka tidak berpindah ke dalam
jaringan walaupun terdapat rangsangan inflamasi. Sel tidak stabil adalah
sel yang bepindah ke dalam jaringan dari aliran darah karena stimulus
inflamasi. Di antara semua sel stroma, jenis yang paling melimpah dalam
jaringan ikat adalah fibroblast. Jaringan ikat stromal terbagi menjadi dua
yaitu jaringan ikat longgar dan jaringan ikat tidak teratur. Jaringan ikat
stroma longgar umumnya terletak di bawah membran epitel dan epitel
kelenjar, mengikat epitel tersebut ke jaringan lain dan memberikan
kontribusi terhadap pembentukan organ.
2.4 Tipe Sel Labil, Stabil & Permanen serta Masing Masing Kapasitas
Regenerasinya
Injury atau luka merupakan keterbatasan respon adaptasi atau ketika
sel gagal beradaptasi (Syahrin, 2009). Sel tubuh manusia memiliki
kemampuan untuk memulihkan sel yang telah rusak atau gagal dalam
beradaptasi dengan cara regenerasi dan replacement (Healing and Repair)
(Linton, Mary Ann, Nancy K. Maebius, 2000).
Berdasarkan kapasitas regenerasinya sel tubuh memiliki tiga jenis,
yakni (Syahrin, 2009):
a. Sel labil merupakan sel yang sangat aktif membelah, sangat berperan
dalam proses regenerasi sel dan mengganti sel yang telah rusak dengan
yang baru. Contoh sel labil adalah sel epitel yang terdapat di jaringan
kulit, sel hematopoetic, dan pada organ esophagus.
b. Sel stabil merupakan sel yang memiliki kemampuan regenerasi yang
minimal, sel ini masih aktif membelah secara terus menerus, namun
kecepatannya lebih rendah dibandingkan sel labil. Contoh sel stabil
adalah parenkim adenosit visceral.
c. Sel permanen merupakan sel yang memiliki kemampuan regenerasi
rendah, normalnya sel ini tidak dapat berdiferensiasi dalam masa
pg. 18
pg. 19
lebih lama, lebih banyak jaringan granulasi yang terbentuk, dan biasanya
terbentuk jaringan parut yang lebih luas.
Pada luka besar yang terbuka, sering terjadi pertumbuhan jaringan
granulansi yang menutupi dasar luka dapat terlihat langsung seperti sebuah
karpet yang lembut, yang mudah berdarah jika disentuh. Sedangkan pada
keadaan lain, jaringan granulasi tidak dapat terlihat langsung karena
tumbuh di bawah keropeng dan regenerasi epitel terjadi di bawah
keropeng, pada keadaan ini, keropeng terlepas setelah penyembuhan
lengkap. Terkadang sebagian besar orang tidak sabar menunggu keropeng
tersebut terlepas, hal ini dapat menimbulkan adanya titik-titik pendarahan
di tengah jaringan granulasi tempat regenerasi epitel masih belum lengkap.
2.6 Tahapan Proses Penyembuhan Luka
Terkadang tubuh kita mengalami kerusakan pembuluh darah.
Tubuh kita mampu menghentikan perdarahan dari pembuluh yang halus,
namun tidak mampu mengendalikan perdarahan dari pembuluh darah yang
besar tanpa bantuan eksternal. Pengendalian perdarahan dengan cara
pembekuan darah melalui trombosit. Pengendalian perdarahan disebut
juga homeostasis (Corwin, 2009). Trombosit melekat pada protein (faktor
van Wille Brand) karena terjadinya kerusakan pembuluh darah. Pembuluh
darah tersebut mengeluarkan serotonin dan ADP. Serotonin yang
menyebabkan penyempitan pembuluh darah atau vasokontriksi.
Vasokontriksi menyebabkan penurunan aliran darah ke daerah yang luka
sehingga membatasi perdarahan. Sedangkan ADP menyebabkan trombosit
berubah bentuk dan lengket (Corwin, 2009).
Proses fisiologis penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam 4 fase utama:
a. Respons inflamasi akut terhadap cedera : mencakup homeostasis
(vasokontriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak terjadi saat
sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin
untuk membentuk sebuah bekuan), pelepasan histamine dan mediator
lain dari sel-sel yang rusak, dan migrasi sel darah putih (leukosit
polimorfonuklear dan makrofag) ke tempat yang rusak tersebut.
b. Fase destruktif : pembersihan terhadap jaringan yang mati
c. Fase proliferatif : pada saat pembuluh darah baru yang diperkuat oleh
jaringan ikat, menginfiltrasi luka.
d. Fase maturasi : mencakup re-epitelisasi, konstraksi luka dan
reorganisasi jaringan ikat.
Fase - fase penyembuhan tersebut saling tumpang-tindih dan durasi dari
setiap fase serta waktu untuk penyembuhan yang sempurna.
pg. 20
2.7
2.8
Pemulihan Jaringan
Respon radang terhadap mikroba dan jaringan yang terluka tidak
hanya meminimalisasi bahaya yang ditimbulkan, tetapi juga
meninggalkan satu pekerjaan rumah yakni pemulihan jaringan untuk
mengembalikan fungsi dan bentuk jaringan seperti sedia kala.
1. Regenerasi jaringan, merupakan penggantian jaringan yang rusak
dengan sel yang sama tipenya. Kemampuan regenerasi dari jaringan
dipengaruhi oleh tipe sel dan jaringannya. Sel somatic berdasarkan
daya regenerasinya dibagi menjadi tiga, yakni:
a. Sel labil (labile cells), merupakan sel yang terus menerus
membelah sepanjang hidup. Sel labil berfungsi menutup sel yang
rusak. Contohnya: sel epitel pada kulit, vagina, serviks, uterus, tuba
fallopi, kandung kemih, dan sel sumsum tulang.
pg. 21
b. Sel stabil (stable cells), merupakan sel yang aktif membelah hanya
sampai pertumbuhan berhenti. Berbeda dengan sel labil yang terus
menerus membelah, sel stabil memiliki daya regenerasi yang
terbatas. Contoh sel stabil: sel parenkim pada hati, ginjal, dan otot
polos.
c. Sel permanen, merupakan sel yang berhenti berdiferensiasi setelah
manusia lahir ke dunia, contohnya: neuron dan sel otot jantung. Hal
ini dibuktikan dengan fungsi dari otak dan jantung yang tidak dapat
kembali seperti semula setelah terjadi kerusakan. Fungsi tidak
dapat kembali seperti semula karena neuron dan sel otot jantung
tidak lagi dapat membelah. Akhirnya, pemulihan jaringan pada sel
permanen dilakukan oleh jaringan fibrosa yang tidak memiliki
kemampuan untuk mengembalikan fungsi sel atau jaringan yang
rusak.
2. Regenerasi jaringan fibrosa
Radang kronis menyebabkan banyak bagian jaringan rusak.
Regenerasi yang dilakukan tidak dapat melakukan pembelahan,
jaringan fibrosa atau kombinasi regenerasi sel dan scar formation.
Proses regenerasi dengan jaringan fibrosa, yakni:
a. Angiogenesis : proses pembentukan pembuluh darah baru. Sel
endotel bermigrasi dan berpoliferasi
b. Migrasi dan proliferasi Fibroblas : fibroblast men-sekresikan
komponennya (fibronektin, proteoglikan, dan kolagen) ke matriks
ekstraseluler
c. Scar Formation : proliferasi pembuluh baru dan fibroblast menurun
dan lebih berkonsentrasi kepada sintesis kolagen. Sintesis kolagen
d. Remodeling: setelah sebelumnya mengalami angiogenesis, migrasi
fibroblast, dan scar formation, pada tahap ini diharapkan terjadi
keseimbangan antara sintesis dan degradasi dari matriks
ekstraselular.
3. GANGGUAN HEMODINAMIK
3.1 Hiperemia
3.1.1 Pengertian Hiperemi
Hipermia adalah darah yang berlebihan pada suatu bagian tubuh
(Hinchliff, 1997). Menurut Richard N. Mitchell dalam bukunya Pocket
Companion to Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease 7th Ed.
(terjemahan), Hiperemia adalah proses aktif yang disebabkan oleh
peningkatan aliran masuk darah akibat dilatasi (pelebaran) arteriol.
3.1.2 Ciri Hiperemi
Ciri hiperemia: pada umumnya adalah jaringan tubuh tampak lebih
merah, contoh: otot skeletal atau ototrangka setelah melakukan olahraga
yang berubah menjadi kemerahan.
3.1.3 Morfologi Jaringan Hiperemi
1. Secara mikroskopis:
Kapiler jaringan terlihat melebar dan penuh darah.
pg. 22
Contoh: Kapiler alveolus penuh dengan sel sel darah pada paru
yang mengalami kongesti pasif akut dan kronik yang diikuti
dengan pemecahan eritrosit dan mengakibatkan terlihatnya sel
sel makrofag yang penuh dengan hemosiderin.
2. Secara makroskopis:
Organ berwarna lebih merah (ungu) karena bertambahnya darah
didalam jaringan.
3.1.4 Jenis Hiperemi
Hipermia dibagi menjadi 2:
1) Hipermia Aktif
Timbul jika dilatasi pembuluh arteriol dan arteri menyebabkan
peningkatan aliran darah ke dalam jaringan kapiler.Penyebab
terjadinya dilatasi pembuluh darah adalah karena terangsang oleh
saraf vasolidator (kelumpuhan vasokonstriktornya) dan lepasnya zat
zat vasoaktif.
Contoh hiperemia aktif: Hiperemia yang menyertai radang akut,
hal ini yang menerangkan terjadinya kemerahan dan warna merah
padam pada wajah, yang pada dasarnya adalah vasodilatasi yang
timbul akibat respon terhadap stimulus neurogonik.
Hiperemia aktif terjadi dalam waktu singkat karena sifatnya
yang sangat alamiah. Bila rangsangan terhadap dilatasi arteriol
berhenti, aliran darah ke daerah tersebut akan berkurang, dan
keadaan menjadi normal kembali.
2) Hiperemia Pasif (Kongesti)
Terjadi bila cairan tubuh yang melewati vena mengalami
gangguan, ditambah dengan pelebaran vena dan kapiler. Dilihat dari
waktu berlangsungnya, Hiperemia pasif terdiri atas :
1. Akut, berlangsung dalam waktu singkat, tidak berpengaruh
pada jaringan yang terkena.
2. Kronik , berlangsung dalam waktu lama dan menyebabkan
perubahan permanen pada jaringan.
Contoh hiperemia pasif :
a. Kegagalan jantung kiri, aliran darah yang kembali ke
jantung dari paru akan terganggu. Dalam keadaan ini
darah akan terbendung dalam paru, menimbulkan
kongesti pasif pembuluh darah paru.
b. Kegagalan jantung kanan, bendungan darah akan
memengaruhi aliran vena sistemik, sehingga banyak
jaringan di seluruh tubuh mengalami kongesti pasif.
Kongesti pasif menyebabkan perubahan pada aliran darah, bila
perubahan pada aliran darah ini cukup nyata, maka terjadi hipoksia
jaringan yang menyebabkan menciutnya jaringan atau bahkan
hilangnya sel sel dari jaringan yang terkena tersebut.
Hal ini memberikan beberapa pengaruh, yaitu :
Paru paru: Dinding udara cenderung menebal, dan banyak
sekali makrofag yang mengandung pigmen hemosiderin, pigmen
ini terbentuk sebagai hasil pemecahan hemoglobin dari sel sel
darah merah yang lolos dari pembuluh darah yang mengalami
pg. 23
3.2.2
3.2.3
Jenis Kongesti
Kongesti terbagi menjadi dua yaitu kongesti akut dan kongesti
kronik.
pg. 24
pg. 25
pg. 26
pg. 27
pg. 28
3.6.3
Pencegahan
Aterosklerosis dapat diatasi dengan gaya hidup sehat, pengobatan,
dan beberapa prosedur medis. Gaya hidup sehat yang dapat membantu
mengatasi aterosklerosis yaitu mengelola stress, diet sehat, berhenti
merokok, menjaga berat badan ideal, dan aktivitas fisik.
3.6.4 Penanganan
Prosedur medis yang dapat dilakukan berupa coronary artery
bypass yaitu pemasangan bypass pada arteri koroner yang menyempit,
angioplasty yaitu membuka arteri koroner yang menyempit di jantung, dan
carotid endarterectomy yaitu menghilangkan plak di leher. Aterosklerosis
dapat didiagnosa dengan tes darah, EKG, X Ray pada bagian dada, tes
stress, angiography, CT, dan Echo.
3.7 Perdarahan
3.7.1 Definisi
Hemoragi atau perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh
darah ke dalam rongga interstisial jaringan, rongga serosa atau pada alat
tubuh. Perdarahan juga dapat terjadi keluar dari tubuh melalui lubang
maupun kulit, contohnya mimisan.
Untuk menyatakan berbagai keadaan perdarah digunakan beberapa
istilah-istilah deskriptif khusus. Istilah-istilah tersebut adalah:
a. Hematom adalah penimbunan darah pada jaringan.
Hematom
Ekimosis
pg. 29
3.7.2
Klasifikasi
Bentuk klinis
Dalam tubuh
Kulit dan mukosa
Peteki
Ekimosis
Purpura
pg. 30
Hematom
Rongga tubuh
Hemotorak
Hemoperitoneum
Hematoperikardium
Hematometrium
Hematokolpos
Hematosalping
Testis
Hematokele
Rongga sendi
Hemartrosis
Luar tubuh
saluran napas
Epistaksis
Hemoptisis
Hematemesis
saluran cerna
Hematosezia
Melena
uterus
Menoragi
metroragi
pg. 31
pg. 32
pg. 33
3.8.2
Penyebab Trombosis
pg. 34
pg. 35
3.9
Embolisme
3.9.1 Pengertian Embolisme
Embolisme merupakan keadaan dimana embolus yang berupa
benda padat (trombus), cair (amnion) ataupun gas (udara) yang dibawa
oleh darah dan menyumbat aliran darah. Dalam hal ini, embolus
merupakan benda asing yang terangkut mengikuti aliran darah dari tempat
asalnya dan dapat tersangkut pada suatu tempat menyebabkan sumbatan
aliran darah. Embolus tersebut dapat mengakibatkan infark, infeksi atau
pg. 36
pg. 37
darah, (2) luka dan peradangan pada dinding vena, dan (3)
hiperkoagulabilitas.
Trombosis vena dan PE terutama terjadi pada pasien yang tirah
baring, keadaan postpartum, bedah tulang atau memakai gips, obesitas dan
usia lanjut. Keadaan yang paling penting dalam terjadinya trombosis vena
ialah gagal jantung kongestif dan pasca bedah. Tempat tersering
terbentuknya bekuan darah adalah vena ileofemoralis profunda pada
tungkai (90%), sedangkan emboli yang bukan berasal dari trombosis
jarang terjadi (kurang dari 10% emboli paru), yang meliputi sumbatan
yang disebabkan oleh udara, lemak, sel-sel ganas, cairan amnion, parasit
dan benda asing lainnya.
Tanda dan gejala PE sangat bervariasi tergantung pada besarnya
bekuan. PE masif dapat menyebabkan keadaan syok yang mendadak,
disertai hipotensi dan lainnya. Kematian biasanya terjadi dalam jangka
beberapa menit berikutnya. Gejala dari PE seringkali tidak jelas, misalnya
demam yang tidak jelas penyebabnya. Akibat dari PE adalah terbentuknya
daerah-daerah paru yang mendapat ventilasi, tetapi perfusinya kurang
memadai, sehingga akan meningkatkan ventilasi ruang mati fisiologis.
Pada beberapa keadaan, pencegahan PE yang berulang adalah dengan
menempatkan kassa atau alat penyaring pada vena kava bagian bawah
dengan tujuan untuk menangkap emboli dari ekstremitas bawah dalam
perjalanannya menuju sirkulasi pulmonal.
3.10 Iskemia
3.10.1 Pengertian Iskemia
Iskemi berarti kurangnya atau hilangnya pasok darah pada bagian
tubuh tertentu. Akibatnya, daerah terganggu tersebut akan mengalami
kekurangan zat makanan, terutama oksigen, yang disertai dengan
penimbunan hasil-hasil metabolisme, degenerasi, atrofi, dan ulserasi.
Iskemia yang terjadi secara tiba-tiba atau mendadak dapat disebabkan
antara lain oleh trombus, embolus, aterosklerosis, tromboangitis,
penekanan pembuluh darah dan kontriksi akibat ikatan dan torsi.
3.10.2 Patogenesis
Patogenesis pada iskemia terjadi dalam tiga mekanisme, yaitu 1)
spasme 2) pembentukan atheroklerosis 3) tromboembolisme.
1. Spasme merupakan suatu konstriksispastik abnormal yang secara
transien menyempitkan pembuluh darah. Jika O2 yang tersedia terlalu
sedikit maka endotel mengeluarkan platelet-activating factor (PAF).
PAF setelah dikeluarkan dari endotel akan berdifusi ke otot polos
vascular di bawahnya dan akan menyebabkan kontraksi.
2. Pembentukan atheroklerosis. Aterosklerosis ditandai oleh plak-plak
yang terbentuk. Berawal dari cedera dinding pembuluh darah, yang
memicu respons peradangan kemudian akan menyiapkan pembentukan
plak. Pembentukan plak ditandai dengan adanya akumulasi endapan
pg. 38
pg. 39
perfusi jaringan tidak memadai akibat gagal jantung atau syok sementara
kebutuhan oksigen tetap tinggi. Infark semacam itu secara khas terjadi di
otak pada waktu daerah perbatasan antara kawasan perfusi arteri basalis
dan arteri karotid tidak mendapat aliran darah dalam keadaan hipotensi.
Inilah yang disebut infark batas air yang terjadi setelah berlangsungnya
infark miokard. Tersumbatnya pasokan darah dari arteri menyebabkan
infark dimana infark ini terletak pada jaringan mati (tissue death) yang
seharusnya sedikit pasokan darah masuk kesana. Infark juga biasa disebut
dengan nekrosis iskemik dan mungkin terjadi di beberapa organ atau
jaringan.
Infark memiliki perbedaan karakteristik patologi. Mereka dapat
diklasifikasikan menjadi infark pucat, infark hemoragik, dan infark dengan
pertumbuhan bakteri yang sangat cepat (infarction with bacterial
supergrowth). Infark pucat dapat terlihat dalam jaringan padat yang
sirkulasi arterinya sangat terhambat oleh karena iskemia. Red atau infark
hemoragik seringanya disebabkan oleh penyumbatan vena atau jaringan
kongesti. Jaringan infark memiliki penampakan berwarna merah.
Pertumbuhan bakteri yang sangat cepat biasanya ada atau dibawa ke area
infeksi. Klasifikasi dari infeksi infark (septic infarction) dimasukkan
ketika bakteri menunjukkan infeksi. Lesi akan berubah menjadi abses
ketika gejala infeksi dan peradangan dimulai. Gangre adalah salah satu
contoh dari infark yang mana terjadi kematian sel iskemik dan diikuti oleh
pertumbuhan bakteri dengan cepat.
3.11.2 Jenis Infark
Infark yang baru terbentuk hampir selalu tampak merah akibat
adanya hiperemi dan hemoragi. Oleh karena itu, pembagian infark pucat
dan infark hemoragik digunakan untuk infark yang tidak lagi berubah
keadaannya (fully developed).
Infark organ padat seperti jantung, ginjal, dan limpa, yang terjadi
akibat sumbatan arteri terminal jaringan parenkim memberi gambaran
infark pucat.
Di pihak lain, infark pada organ yang jaringannya renggang
mendapat sirkulasi rangkap seperti hati, usus, dan paru, berupa infark
hemoragik. Karena pasok darahnya rangkap, organ-organ ini jarang
mengalami infark. Infark pada jaringan otak dapat berbentuk pucat atau
hemoragik. Berdasarkan waktu berlangsungnya infark nekrosis iskemi
dapat digolongkan menjadi infark muda (baru) dan infark tua (lama).
3.11.3 Patogenesis Infark
Gambaran daerah yang mengalami infark berbeda-beda bergantung
pada waktu berlangsungnya proses tersebut. Mula-mula jaringan akan
tampak merah seperti hipermi, biasanya pada bagian perifer alat tubuh dan
distal dari vena atau arteri yang mengalami oklusi. Perbedaan dengan
daerah normal sekitarnya tidak jelas. Stagnasi yang timbul beberapa jam
pg. 40
pg. 41
pg. 42
pg. 43
pg. 44
pg. 45
3.12.4 Klasifikasi
Terdapat tiga tipe dehidrasi, yaitu dehidrasi isotonik, dehidrasi
hipertonik, dan dehidrasi hipotonik.
1) Dehidrasi isotonik yaitu keadaan kehilangan cairan dan elektrolit dalam
kadar yang hampir sama atau seimbang. Ditandai dengan menurunnya
kadar Natrium serum atau tetap dalam keadaan normal, kadar klorida
menurun, dan kadar kalium menurun atau masih dalam batas normal.
2) Dehidrasi hipertonik yaitu keadaan kehilangan air yang berlebih
dibandingkan dengan hilangnya elektrolit yang mengakibatkan
perpindahan cairan dari kompartemen intrasel ke ekstrasel. Ditandai
dengan meningkatnya kadar Natrium serum, kadar Kalium serum
bervariasi, dan kadar Clorida meningkat.
3) Dehidrasi hipotonik yaitu keadaan kehilangan elektrolit melebihi
kehilangan air yang mengakibatkan perpindahan cairan dari
kompartemen ekstrassel ke intrasel. Kadar Natrium dalam serum
menurun, Klorida menurun, dan kadar Kalium bervariasi (Bullock,
1999).
Dehidrasi dapat digolongkan berdasarkan derajat atau jenisnya
menjadi: dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat. Dehidrasi
dapat ditandai dengan hal-hal berikut: haus, keletihan, penurunan berat
badan, membran mukosa kering, penurunan atau hilangnya produksi air
mata, turgor kulit tidak elastis, mata cekung, penurunan haluaran urine,
penurunan tekanan darah, dan haus yang berlebihan (Muscari, 2005).
Derajat Dehidrasi
Tanda
Ringan
Sedang
Berat
Kehilangan Cairan
<5%
5-9%
>10%
Warna Kulit
Pucat
Abu-abu
Bercak-bercak
Turgor Kulit
Menurun
Tidak elastis
Sangat tidak
elastis
Membran Mukosa
Kering
Sangat kering
Pecah-pecah
Keluaran Urine
Menurun
Oliguria
Oliguria nyata
Tekanan Darah
Normal
Normal atau
semakin rendah
Semakin rendah
Denyut Nadi
Normal atau
meningkat
Meningkat
Cepat dan
panjang
pg. 46
dengan berat jenis tinggi (>1,030) dan osmolaritas tinggi. Hitung Darah
Lengkap (HDL) akan menunjukkan peningkatan hematokrit dan kadar
Nitrogen urea darah meningkat. Pemeriksaan elektrolit akan menunjukkan
penurunan konsentrasi Natrium urine dan perubahan nilai elektrolit serum
(Kalium, Natrium, Klorida). Gas darah arteri akan menunjukkan nilai PH
serum yang rendah (jika anak dalam keadaan asidosis).
Menyimpan dan mempertahankan keadaan hidrasi yang adekuat
merupakan tujuan perawat dalam menangani pasien dehidrasi. Oleh karena
itu, perawat harus mendapati berat badan pasien sebelum sakit yang akurat
dan memantau perubahan berat badan, yang mengidentifikasi peningkatan
dan penurunan cairan. Pantau dan catat haluaran cairan dengan akurat.
Kemudian, berikan cairan intravena apabila pasien tidak dapat memenuhi
kebutuhan cairan yang hilang setiap harinya. Jika diperlukan, berikan terapi
lanjutan yang bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan dan
elektrolit. Lakukan evaluasi, apakah pasien berhasil mencapai dan
mempertahankan keadaan hidrasi yang adekuat yang ditandai dengan
peningkatan berat badan, tonus, dan warna kulit kembali normal, serta nilai
elektrolit kembali normal (Muscari, 2005).
3.13 Syok
3.13.1 Definisi
Syok adalah salah satu bentuk kegagalan sirkulasi darah yang
bersifat umum dan merupakan gejala atau sindrom (Sudarto, et al, 2002).
Menurut Rice (1991), syok adalah kondisi kompleks yang mengancam
jiwa, ditandai dengan tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan dan sel-sel
tubuh. Syok adalah suatu gangguan hemodinamik yang mengancam jiwa
ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi dalam menjaga perfusi yang
adekuat pada organ-organ vital tubuh (Bullock, B.L, 2000).
3.13.2 Gejala
Menurut Sudarto, et al, tanda-tanda klinis pada syok, yaitu pada
pemerisaan fisik kondisi pasien pucat dan lemas, pada perabaan
ekstremitas terasa dingin, vena kolaps, nadi lemah dan cepat ( jumlah
denyut nadi > 100/menit), pada pengukuran tekananan darah tekanan darah
rendah (sistolik < 100 mmHg). Selain itu, ditemukan gejala lain, yaitu
Oliguria (produksi urin sedikit, biasanya kurang dari 400 ml / hari pada
orang dewasa, dan dapat menjadi salah satu tanda awal dari gagal ginjal
dan masalah urologi lainnya atau penyumbatan di dalam saluran kemih).
Apabila syok berlangsung lama, maka akan terjadi penurunan kesadaran,
mulai dari apatis, stupor (keadaan di mana pasien tidak berkomunikasi,
yaitu tidak berbicara (mutisme) atau bergerak (akinesia), meskipun dia
waspada), koma, hingga meninggal.
pg. 47
Syok dibagi menjadi dua jenis, yaitu syok primer dan syok
sekunder. Syok primer adalah kondisi dimana ruang aliran darah
membesar, sedangkan volume cairan tetap. Syok sekunder adalah kondisi
dimana ruang aliran darah tetap, sedangkan volume cairan berkurang.
Beasarkan etiologinya, syok diklasifikasikan menjadi 3, yaitu syok
hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok distributif (Syok anapilaktik,
syok neurogenik, dan syok septik).
Kardiogenik
Hipovolemik
Distributif
Haluaran Urin
Turun
Turun
Normal sampai
turun
Tekanan Darah
Turun
Turun
Normal sampai
turun
Curah Jantung
Turun
Turun
Turun
CVP
Naik
Turun
Normal sampai
turun
Suhu Badan
Normal
Turun
Turun/Naik
Tekanan
vaskular perifer
Naik
Naik
Turun
a)
b)
pg. 49
d)
e)
pg. 50
pg. 51
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Salemba Medika. Jakarta.
Beby.
Asfiksia.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23475/3/
Chapter%20II.pdf. Diunduh 10 September 2014 pukul 17.00 WIB.
pg. 52
Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi S. Robbins, Stanley L. (2007). Buku Ajar Patologi
Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Linton, Mary Ann, Nancy K. Maebius. (2000). Introductory Nursing Care of
Adults 2nd ed. USA: W.B Saunders Company.
Manoe, Vera M & Amir, Idham. (2003). GangguanFungsi Multi Organ
padaBayiAsfiksiaBerat.
Sari
Pediatri.
www.scholar.google.co.id/scholar?q=iskemia&btnG=&hl
=en&as_sdt=0%2C5. Vol. 5, No. 2: 72-78 diaksespadatanggal 10-09-2014
pukul 8.27 WIB.
Marieb, E. N. & Hoehn, K. (2007). Human Anatomy & Physiology 7th Ed.
20142007 Pearson Education, Inc.
Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. (2012). Fundaentals of anatomy &
physiology. 9th ed. San Fransisco: Pearson Education, Inc;
McGraw-Hill Education. (2013). The Inflammatory Response [Motion Picture].
n.a.
Mitchell, R. N, et al. (2009). Buku saku dasar patologis penyakit. Jakarta : EGC
Mitchell, Richard, N. (2006). Pocket Companion To Robbins &Cotran
Pathologis Basic
of Diseases 7th edition. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Mitchell. Kumar. Abbas et,al. (2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit ed.7.
Jakarta: EGC.
Morinson, Moya. J. (2004). Manajemen Luka. Jakarta: EGC
Mosby's Medical Dictionary, 8th edition. (2009): Elsevier. Tersedia pada
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/parenchymal+cell
(diakses pada 14 September 2014 pukul 19.05)
Muscari, Mery. E. 2001. Pediatric Nursing. 3rd Edition. Lippincot Williams and
Wilkins, Inc. USA. Terjemahan Hany, Alfrina. 2005. Panduan Belajar:
Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
National Heart, Lung, and Blood Institute. (2011). Atherosclerosis. Diakses
melalui http://www.nhlbi.nih.gov pada 10 September 2014 pukul 13.16
WIB
Opstead, L.E., Banasik, J.L. (2000). Pathophisiology : Biological and Behaviour
Perspective. Philadelphia : W.B. Saunders Company
Perkasa, M. Fajar.(2009). The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2
No.2: Bleeding in Surgery. Department of Oto-rhino-laryngology Head
and Neck, Medical Faculty, Hasanuddin University.
Port, C.M. (1998). pathophysiology : concepts of altered health status.
philadelphia : JB. Lippincott
Porth, Carol. (2011). Essentials of Pathophysiology: Concepts of Altered Health
States. Philadelphia.
pg. 53
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2003). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed 6. Vol 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, Sylvia Anderson, & Lorraine McCarty Wilson. (2006). Patofisiologi:
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (Terj. Huriawati Hartanto). Jakarta:
EGC.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2002. Patofisiologi. Ed 6st.Vol 1st.Jakarta:
EGC
Pringgoutomo, S. (2006). Buku Ajar Patologi I (Umum). Jakarta: Sagung Seto.
Pringgoutomo, Sudarto, Sutisna Himawan, dan Achmad Tjarta. (2002). Buku Ajar
Patologi 1 (Umum), edisi 1. Jakarta: Sagung Seto.
Robbins,S.Cotran,R. Kumar,V. (1999). Dasar Patologi Penyakit 5th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Robbins. (2007). Basic Pathology. Philadelphia: Elsevier.
Robbins & Cotrans. (2006). Buku Saku Patologis Penyakit. Jakarta: EGC.
Sherwood, L. (2009). Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Ed 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood,L. (2010). Human Physiology: From Cells to Systems 7e.
USA:Books/Cole Cengage Learning.
Syahrin, H. P. (2009). Inflammation Repair. Depok,Indonesia: PPt file from
scele.ui.ac.id.
Sylvia, A.P.,&Lorraine, M.W.(2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tambayong, Jan. (2000). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Underwood JCE. (2004). General and systemicpathology. London : Churchill
Livingston,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789
/20584/4/Chapter%20II.pdf
Underwood, J. C. E. (1999). Patologi Umum dan Sistematik Edisi 2. Jakarta.
EGC.
What Is Stromal Tissue in the Breast
http://www.ehow.com/facts_5696187_stromal-tissue-breast_.html
(diakses pada 14 September 2014 pukul 18.53 WIB)
http://books.google.co.id/books?id=cv46oAFyQNgC&pg=PA30&dq=radan
g+akut+dan+kronis&hl=en&sa=X&ei=FiANVIXVNoXZ8gWguYHQAg&ved=0
CFAQ6AEwCA#v=onepage&q=radang%20akut%20dan%20kronis&f=false
http://books.google.co.id/books?id=KdJfk2qazVIC&pg=PA51&dq=radang
+akut+dan+kronis&hl=en&sa=X&ei=FiANVIXVNoXZ8gWguYHQAg&ved=0C
CgQ6AEwAg#v=onepage&q=radang%20akut%20dan%20kronis&f=false
http://books.google.co.id/books?id=DvpWu09QmfcC&pg=PA247&dq=radang+a
kut+dan+kronis&hl=en&sa=X&ei=FiANVIXVNoXZ8gWguYHQAg&ved
pg. 54
=0CBoQ6AEwAA#v=onepage&q=radang%20akut%20dan%20kronis&f=fa
lse
http://www.biology-online.org/dictionary/Stromal_cells.
September 2014 pukul 18.55 WIB)
(diakses
pada
14
pg. 55