Tujuan: memahami dan mengerti mekanisme kerja dari obat-obat analgesik yang
dipraktikan secara tersamar ganda
Landasan teori
Obat saraf dan otot golongan analgesik atau obat yang dapat menghilangkan rasa
sakit/ obat nyeri sedangkan obat antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu
tubuh. Analgesik sendiri dibagi dua yaitu :
1. Analgesik opioid / analgesik narkotika Analgesik opioid merupakan kelompok
obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan, maka
usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan
dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa
bahaya adiksi.
Ada 3 golongan obat ini yaitu :
1. Obat yang berasal dari opium-morfin,
2. Senyawa semisintetik morfin, dan
3. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Paracetamol/acetaminophen
Merupakan derivat para amino fenol. Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai
analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik,
parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan
nefropati analgesik.Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih
besar tidak menolong. Dalam sediaannya sering dikombinasi dengan cofein yang
berfungsi meningkatkan efektivitasnya tanpa perlu meningkatkan dosisnya. Dosis
maksimum menyebabkan gejala kerusakan hati yang perlu mendapatkan perhatian
dan harus segera ke dokter antara lain : mual sampai muntah, kulit dan mata berwarna
kekuningan, warna air seni yang pekat seperti teh, nyeri di perut kanan atas, dan rasa
lelah dan lemas. Efek samping adalah alergi, demam , sulit bernafas dan kemerahan
pada kulit. FARMAKODINAMIK.
Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengansalisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.Keduanya menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga juga berupaefek sentral seperti salisilat.Efek antiinflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol dan fanasetik tidak digunakan
sebagai anti reumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesisi PG yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini,
demikian juga gangguan pernapasan keseimbangan asam basa.
FARMAKOKINETIK
. Parasetamol dan fanasetin diarbsorpsi cepat dan sempurnamelalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairantubuh. Dalam plasma 25%
parasetamol dan 30% fanasetin terikat protein plasma.Kedua obat ini dimetabolisme
oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen(80%) dikonjugasi oleh asam
glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asamsulfat. Selain itu kedua obat ini
juga dapat menglami hidroksilasi. Metabolit hasil hedroksilasi ini dapat menimbulkan
methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit.Kedua obat ini diekskresi malalui ginjal,
sebagian kecil sebagai parasetamol (3%)dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi.
Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivate asam propionate yang pertama kali di banyak Negara
.Obat ini bersifat analgesic dengan daya anti inflamasi yang tidak terlalu
kuat.Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Efek analgesic antipiretiknya sama
dengan salisilat.Efek anti inflamasinya pada dosis 1200-2400 mg sehari. Efek
antipiretiknya pada dosis 3 kali sehari 200mg. efek analgesiknya pada dosis 4 kali
sehari 400mg. Absorbsinya cepatmelaui lambung dan kadarmaksimum dalam plasma
sekitar 2 jam. 90% terikat pada protein plasma.Ekskresinya berlangsung cepat dan
lengkap. Kira kira 90% dari dosisyang diabsorbsi akan diekskresi melaui urin sebagai
metabolit atau konjugatnya.Metabolit utama merupakan hasil hidroksillasi dan
karboksilasi. Obat AINS derivateasam propionate hampir seluruhnya terikat dalam
protein
plasma,efek
interaksi
misalnya pergeseran
obat
warfarin
dan
obat
hipoglikemik hampir tidak ada. Tetapi pemberiandengan warfarin harus tetap waspda
Karena
ada
ganngguan
fungsi
trombosit
yangmemperpanjang
masa
Tramadol
Tramadol merupakan obat analgesik yang bekerja secara sentral, bersifat agonis
opioid (memiliki sifat seperti opium / morfin), dapat diberikan peroral ; parenteral ;
intravena ; intramuskular, dalam beberapa penelitian menunjukkan efek samping yang
ditimbulkan oleh karena pemberian tramadol secara bolus intravena diantaranya
adalah mual, muntah, pusing, gatal, sesak nafas, mulut kering, dan berkeringat selain
itu tramadol menunjukkan penggunaannya lebih aman bila dibandingkan dengan obat
analgesik jenis morphin yang lain. Tramadol adalah campuran rasemik dari dua
isomer, salah satu obat analgesik opiat (mirip morfin), termasuk golongan
aminocyclohexanol, yang bekerja secara sentral pada penghambat pengambilan
kembali noradrenergik dan serotonin neurotransmission, dapat diberikan peroral,
parenteral, intravena, intramuskular. Bereaksi menghambat nyeri pada reseptor mu
opiat analog dengan kodein.
Farmakodinamis
Tramadol mempunyai 2 mekanisme yang berbeda pada manajemen nyeri yang
keduanya bekerja secara sinergis yaitu : agonis opioid yang lemah dan penghambat
pengambilan kembali monoamin neurotransmitter
Codein
Codein atau methylmorphine merupakan suatu opiat digunakan sebagai
analgesik, antitusif, dan antidiare. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein sulfate
dan codein phosphate. Codein adalah alkaloid yang ditemukan dalam opium, sekitar
0,3 3,0 %. Meskipun codein bisa diekstrak dari opium, sebagian besar codein yang
ada saat ini disintesa dari morfin melalui proses O-methylation. Di pasaran, codein
juga tersedia dalam preparat kombinasi dengan parasetamol sebagai co-codamol,
dengan aspirin sebagai co-codaprin, atau dengan ibuprofen. Kombinasi ini
mengurangi nyeri yang lebih besar ketimbang penggunaan masing-masingnya.
Kolaborasi codein ini juga memungkinkan penggunaanya untuk nyeri yang hebat,
semisal nyeri akibat penyakit kanker.
Codein dipertimbangkan sebagai prodrug, karena dimetabolisme menjadi
morfin. Meskipun demikian, obat ini kurang potensial dibandingkan morfin itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena hanya 10% codein yang dirubah menjadi morfin.
Oleh karena itu, obat ini juga menyebabkan ketergantungan yang lebih rendah dari
morfin.
Secara teoritis, agar memberikan efek analgesia setara dengan morfin oral 30
mg, dosis oral codein yang harus diberikan adalah sekitar 200 mg. Namun pada
praktiknya cara ini tidak digunakan. Pasalnya, pada pemberian dosis tunggal besar
dari 60 mg dan tidak lebih dari 240 mg per hari ada suatu ceiling effect.
Perubahan codein menjadi morfin terjadi di hati dan dikatalisis oleh enzim
cytochrome P450, CYP2D6. Oleh karena itu efek analgesia codein sangat tergantung
pada kinerja dan keberadaan CYP2D6. Sekitar 610% populasi Kaukasia memiliki
fungsional CYP2D6 yang jelek, sehingga codein tidak efektif sebagai analgesia untuk
pasien ini. Hal ini terungkap dari studi yang dilakukan Rossi dkk pada 2004. Obatobatan yang menghambat CYP2D6 bisa mengurangi bahkan secara eksrim bisa
menghilangkan efek codein. Di antaranya adalah selective serotonin reuptake
inhibitors semisal fluoxetine dan citalopram
Untuk menimbulkan efek analgesia, codein melalui metabolitnya, morfin,
terikat dengan reseptor -opioid. Sedangkan codein sendiri memiliki afinitas lemah
terhadap reseptor -opioid ini.
Efek samping yang umum dijumpai pada penggunaan codein di antaranya,
mual, muntah, mulut kering, gatal-gatal, drowsiness, miosis, orthostatic hypotension,
retensi urin, dan konstipasi. Toleransi terhadap berbagai efek codein bisa terjadi pada
penggunaan jangka panjang, termasuk efek terapeutik.
Termometer kulit
Tensimeter raksa
Penggaris
Stetoskop
Baskom berisi bongkahan es+ air dengan suhu 30 C
Obat-obat analgesik meliputi paracetamol dengan 600 mg, ibuprofen 600 mg,
tramadol 50 mg, kodein 30 mg dan plasebo yang dikemas dalam kapsul dengan
ukuran, bentuk danwarna yang sama
7. Berdasarkan hasil observasi anda, diskusikan dan tentukan obat apa yang
diminum teman anda tadi, dan cocokan dengan instruktur yang memegang
kode obat tadi. Bila anda melakukan semua tatalaksana dengan baik maka
tebakan obat yang diminum kawan anda sama dengan yang tertera di
kodenya
8. Tanyakan dan catatlah gejala-gejala lain yang dirasakan orang percobaan,
misalnya: ngantuk, demam, gatal-gatal, sakit kepala, perih uluh hati,
berkeringat, mual, muntah, dll. Mintalah orang percobaan juga melaporkan
gejala-gejala yang timbul setelah 24 jam: misalnya konstipasi dan lain-lain
9. Akhirnya diskusikan dalam kelompok apakah hasil observasi yang dilakukan
sesuai dengan sifat-sifat analgesik yang diminum oleh orang percobaan. Kalau
tidak sesuai, kenapa hal itu dapat terjadi?
Hasil percobaan:
Percobaan 1B:
Setelah dilakukan pembangkitan rasa nyeri dan meminum obat yang diberikan
kemudian dicek kembali tanda-tanda vital setelah 1 jam:
Tekanan darah: 110/80 mmHg
Frekuensi pernapasan: 20x per menit
Denyut nadi: 55x per menit
Suhu tubuh: 35,4
Pembahasan
Dari hasil yang di dapat, pada percobaan 1B, selama 60 menit tidak terjadi
perubahan apapun. Sehingga kami menduga bahwa obat yang diberikan mungkin
adalah parasetamol, karena obat tersebut tidak sensitif. Ternyata obat yang diberikan
adalah kodein yang menduduki reseptor opioid. Obat tersebut belum menunjukan
reaksi pada saat dilakukan percobaan. Setelah 24 jam, ternyata OP mengalami
konstipasi. Hasil pengamatan sesuai dengan efek samping dari kodein yakni susah
buang air besar, mual dan muntah.
Kesimpulan
Obat yang kita duga ternyata salah akibat reaksi obat yang belum maksimal.