Tugas BHP
Tugas BHP
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
VETERAN
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan YME dalam
waktu yang relatif singkat makalah ini dapat di selesaikan dengan tepat
pada waktunya. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata, kami mohon maaf apabila masih banyaknya kekurangan
dalam penyelesain makalah ini. Semoga makalah ini dapat memenuhi
harapan dari semua pihak. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk
perbaikan pada makalah berikutnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang
gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalanpersoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan
dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati
kedudukan yang tinggi. Apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi
terhadap hukum juga bisa berubah.
Hal tersebut di atas juga diakibatban oleh gerakan kebebasan, masyarakat barat yang
menganut sistem demokrasi liberal dimana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilainilai moral telah terlepas dari poros agama, ditandai dengan berkembangnya paham
sekularisme. Siapapun (termasuk pemerintah) tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak
individu.
Jacques (1980) menyatakan bahwa pada saat ini terdapat cakupan bioetika tentang
kajian-kajian mengenai penanganan pasien yang tidak mungkin tertolong lagi, eutanasia,
rekayasa,genetik, stem cell, dan banyak kajian lainnya. Dan salah satu kajian dalam bioetika
yang masih menjadi kontroversi pada saat ini adalah mengenai Eutanasia.
Eutanasia (Bahasa Yunani: -e, eu yang artinya "baik", dan thanatos yang berarti kematian)
adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak
menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal
Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para praktisi
hukum di negara-negara barat. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu masih berlangsung
ketika dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari sudut
mana ia harus melihat. Dalam uraian yang akan disampaikan berikut ini akan disampaikan
pembahasan mengenai euthanasia termasuk pandangan mengenai euthanasia dari berbagai
aspek yaitu, aspek budaya, agama, dan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah
mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul
dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila
pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
Eutanasia dapat juga didefinisikan sebagai tindakan mengakhiri hidup seorang individu
secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk
meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya (Parikesit, 2007).
Hadiwardoyo (1989) menyatakan bahwa dahulu istilah euthanasia menunjukkan usaha tenaga
medis untuk membantu para pasien supaya dapat meninggal dengan baik, tanpa penderitaan
yang terlalu hebat. Apabila euthanasia dipandang sebagai bantuan medis pada pasien yang
sudah mendekati akhir hidupnya, dengan cara yang sesuai dengan perikemanusiaan, maka
tindakan tersebut baik motivasi atau caranya tidak bertentangan dengan rasa hormat terhadap
martabat manusia.
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates"
yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi:
"Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun
meskipun telah dimintakan untuk itu".
Pada saat ini banyak sekali pertentangan terhadap praktek eutanasia. Ada pihak-pihak
yang kontra terutama dari kalangan pemuka agama yang menganggap bahwa tindakan
eutanasiamerupakan upaya pembunuhan baik yang dilakukan secara terencana ataupun tidak
dan jugadipandang menyalahi aturan agama karena mendahului kehendak Allah SWT. Tetapi
tidaksedikit juga yang menjadi kelompok yang pro akan tindakan eutanasia ini yang
umumnya dianut terutama oleh kebanyakan pasien atau orang yang memiliki penyakit atau
penderitaanyang tak berkesudahan dan kesempatan untuk sembuhnya tipis. Mereka merasa
bahwa denganmelakukan eutanasia, selain tidak terlalu lama mengalami penderitaan, mereka
juga tidakmerepotkan dan membebani pihak keluarga yang selama ini mengurus dan
mengusahakandana perawatan mereka.
Menurut Utomo (2009), dalam praktek kedokteran dikenal dua macam eutanasia
yaitu, euthanasia aktif dan eutanasia pasif.
Eutanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut Euthanasia aktif atau
euthanasia agresif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui
intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
manusia. Dengan kata lain, Euthanasia agresif atau euthanasia aktif adalah suatu
tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Euthanasia aktif
menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk
menimbulkan kematian. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang
mematikan kedalam tubuh pasien (suntik mati).
Euthanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas :
Eutanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
Euthanasia diluar kemauan pasien, yaitu suatu tindakan euthanasia yang bertentangan
dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan seperti ini dapat disamakan
dengan pembunuhan.
Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela atau atas permintaan pasien, yaitu
euthanasia yang dilakukan atas permintaan atau persetujan pasien itu sendiri secara
sadar dan diminta berulang-ulang.
Euthanasia involuntir atau euthanasia tidak sukarela atau tidak atas permintaan pasien,
yaitu euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar, biasanya
keluarga pasien yang meminta. ni terjadi ketika individu tidak mampu untuk
menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh
dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien
yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia ini seringkali menjadi
bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun
juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak
untuk mengambil suatu keputusan, misalnya hanya seorang wali dari pasien dan
mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi pasien tersebut.
Pada beberapa jenis euthanasia diatas, ada yang dapat digabung, misalnya euthanasia pasif
voluntir, euthanasia aktif involuntir, dan euthanasia aktif langsung involuntir.
Adapun suatu tindakan bantuan bunuh diri atau bunuh diri berbantuan yang sering
diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. . Hal ini terjadi ketika seorang individu
diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat
dilibatkan(misalnya dokter), namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika
dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai bunuh diri atas
pertolongan dokter. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.
2.
3.
4.
Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi
social.
Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang
juga diatur dalam PP. 18 Tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya
fungsi jantung paru, tidak bisa dipergunakan lagi Karena teknologi resusitasi telah
memungkinkan jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipacu untuk
berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.
Konsep mati terlepasnya roh dari tubuh sering menimbulkan keraguan karena
misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan
seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen
untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ
berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi konsep ini menguntungkan, tetapi secara moral tidak dapat diterima
karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu yang
mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kekhususanya, lemampuannya
mengingat, menentukan sikap, dan mengambil keputusan, mengajukan alasan yang
masuk akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami kecemasan, dan sebagainya,
kemampuan untuk melakukan interaksi social tersebut makin banyak dipergunakan.
Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak
telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social
telah mati. Dalam keadaan demikian kalangan medis sering menempuh pilihan tidak
meneruskan resusitasi (DNR, do not resuscitation).
Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam World Medical Asembly
tahun 1968 yang dikenal dengan deklarasi Sydney. Disini dinyatakan bahwa penentuan
saat kematian di kebanyakan Negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter
dapat menentukan seseorang sudah mati dengan menggunakan kriteria yang lazim
tanpa bantuan alat-alat khusus, yang telah diketahui oleh semua dokter.
Hal penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian tersebut
sudah tidak dapat dibalikkan lagi (irreversible), meski menggunakan teknik
penghidupan kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungguhsungguh memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat
elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.
Jika penentuan saat mati berhubungan dengan kepentingan transplantasi organ,
keputusan saat mati harus dilakukan oleh dua orang dokter atau lebih, dan dokter yang
menentukan saat mati itu tidak boleh ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan
transplantasi tersebut.
2.
Aturan hukum mengenai masalah eutanasia sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya
perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan
di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Beberapa negara yang telah
melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa persyaratan dan pertanyaan yang harus
dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian
Oregon di Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari
partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut
menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah
merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan
penentuan saat-saat akhir hidupnya.Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur
yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya. Menurut Hilman (dalam
Jurnal Persi, 2006), Membiarkan penderita meninggal secara alamiah, dengan alasankarena
menurut logika medik tidak mungkin lagi dapat disembuhkan, secara etika dapat diterima dan
bukan merupakan pelanggaran.
Berdasarkan hukum di Indonesia, eutanasia merupakan sesuatu perbuatan yang melawan
Hukum. Hal ini diatur di dalam UU Hukum Pidana (KUHP). Prinsip umum dalam KUHP
yang berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak
untuk hidup secara wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan : Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguhsungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun.
Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum,
apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga
yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan
hukum. Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat
beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri
hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal
ini perlu diketahui oleh dokter.
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, diukur karena
maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP
barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan
hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atay penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya, dibawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatanuntuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal ini mengingatkan dokter untuk, jangankan melakukan euthanasia,
menolong atau memberi harapan kearah perbuatan itu saja pun sudah mendapat
ancaman pidana.
Dokter bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan :
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi hidup
makhluk insani.
Di sini jelas sekali bahwa dari segi pandang hukum di Indonesia tindakan euthanasia
tidak diperkenankan.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam
suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan
bahwa Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima
dalamnilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Eutanasia hingga saat
ini tidaksesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang
masih berlakuyakni KUHP (Wikipedia, 2009).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan
eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan merupakan
hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi
Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk
memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal,
pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak
dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak
pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi
murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang
buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi
terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu
suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari
penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti
siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang
mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk.
Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga
untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh
diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada
didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa
waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya
waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun
maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya
masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke
manusia (hifzh al nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah
anugerah Allah SWT.
Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau nafs itu adalah :
Artinya :
Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan
kami (pulalah) yang mewarisi.
Artinya :
Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan.
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri
adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa,
sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan
hukuman yang setimpal (qishash atau diyat)
Dari segi Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek tindakan sebagai
unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam
penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu
(neurasthenia).
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berikut :
1.
Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi
menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga
mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat,
harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta
jalan yang lebih nyaman yaitu melalui euthanasia.
2.
3.
Kemungkinan lain bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan dokter
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa/boleh
dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-Isra ayat
33 (juga Al-Anam : 151).
Artinya :
Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar.
Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri
hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab :
1.
2.
Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
3.
Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah Islam.
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan
dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh Muhammad Yusuf alQardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab
dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu ia tidak boleh diabaikan,
apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya
karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari
kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya
bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si
korban atau oleh walinya. Bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap
pelaku.
Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan,
bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.
4.
Tuhan jelas melarang manusia membunuh dirinya sendiri, atau orang lain melakukannya.
Hidup dan mati semuanya di Tangan Tuhan, meskipun manusia, termasuk dokter dan tenaga
kesehatan lainnya dengan segala ilmu dan teknologi yang dikuasainya, berusaha menolong
seorang pasien, tetapi semuanya Tuhan yang akan menentukan. Di dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan lafal sumpah Dokter dinyatakan bahwa dokter mempunyai tugas
dan kewajiban untuk melindungi hidup makhluk insani mulai dari saat pembuahan, dan
dokter harus membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan.
Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyakitnya, pengobatan dan
prognosisnya, dan berdasarkan informasi menolak pertolongan atau perawatan oleh seorang
dokter. Antara etik kedokteran yang digunakan sebagai landasan tugas dan kewajiban dokter
dan hak asasi pasien untuk memilih perawatan kesehatannya tersebut, kadang-kadang
menimbulkan masalah antara lain dalam masalah euthanasia ini sudah sejak lama terdapat
masalah bagi dokter dalam menghadapi keadaan dari segi medis tidak ada harapan dalam
situasi yang demikian ini, tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan dari segala
penderitaan dan tidak menginginkan diperpanjang hidupnya atau dilain keadaan pada pasien
yang sudah tidak sadar, keluarga pasien yang tidak sampai hati melihat penderitaan pasien
menjelang ajalnya meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila
perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah muncul istilah euthanasia,
yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara enak
menurut versi pasien/keluarga pasien yang menginginkannya. Meskipun euthanasia ini
berlaku untuk semua makhluk hidup, tetapi biasanya hanya yang berkaitan dengan perawatan
kesehatan, atau yang ada kaitannya dengan perawatan manusia.
Dari segi moral yang penting adalah bahwa penyebab kematian adalah penyakit yang diderita
oleh pasien, dan bukan perbuatan keluarga dan tim pelayanan kesehatan. Aplikasi dari
teknologi medis yang terus menerus berkembang menimbulkan masalah yang mengandung
berbagai dilema etis. Respirator dan mesin dialisis tentu mahal, tetapi bagi orang yang ingin
memperpanjang hidupnya terapi (pengobatan) semacam ini mungkin merupakan terapi yang
biasa saja. Dilema etis moral lainnya adalah apakah boleh orang tidak melakukan sesuatupun,
sedangkan diketahui bahwa sebagai akibatnya akan timbul keadaan yang membawa
kematian.
Disini penting pula maksud pelaku : tidak memberikan pengobatan yang kurang berguna
atau terlalu membebani keluarga dalam hal pembiayaan dan bukan bermaksud
mengakibatkan kematian secara langsung.
Dilema etis yang lain adalah adanya perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu. Seringkali orang merasa bahwa menghentikan suatu terapi yang sudah dimulai
adalah bertindak, sedangkan tidak memualai ksuatu terapi mirip dengan perbuatan yang tidak
bertindak. Pada umumnya dikatakan bahwa argumen moral untuk keduanya adalah jelas
sama.
Artinya alasan-alasan untuk tidak memulai dengan respirator seringkali sama dengan
alasan-alasan untuk menghentikannya. Walaupun sering kebanyakan orang akan lebih setuju
mengenai sesuatu terapi yang tidak banyak bermanfaat bagi kesembuhan pasien, mungkin
silang pendapat akan timbul tentang tepat tidaknya menghentikan terapi itu, karena orang lain
yang tidak berbuat sesuatu untuk pasien. Disinilah akhirnya timbul masalah etik yaitu ketika
mengevaluasi manfaat dan beban terapi bagi si pasien atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran
adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk
merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas
menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan
saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi
dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini
bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami
kematian batang otak atau kehilangan fungksi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut
secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan
terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus
secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga
pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan
permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan
penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan
medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini
berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar
batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk
melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi,
dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.
5.
hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun
hak untuk mati.
Kontra Euthanasia
Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama pun,
yang tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup
manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi. Mereka setuju bahwa membunuh orang
adalah tindakan yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang
terselubung. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan
dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan
oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak
mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.
Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen
kesucian hidup. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah
boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia langsung atau
aktif karena takut akan menginjak lereng licin (the slippery slope). Jika kita boleh
membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma
yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi
yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau
secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi
orang yang aman.
Argumen yang lain adalah argumen berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri. Ihwal
mengasihi diri sendiri secara bertanggung jawab melarang euthanasia. Memberikan
kehidupan sebagai hadiah dan korban bagi kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara
menyebabkan kematian secara langsung karena kesulitan pribadi tidak dibenarkan. Dasar
bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas manusia agar mewujudkan potensi dirinya
dan mencapai kepenuhan diri. Manusia juga harus terbuka terhadap horizon makna ini, juga
dalam situasi kemalangan, sakit, penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan
bunuh diri, karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang
menjamin makna hidup.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu,
orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan
ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang
diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
2.
Euthansia dalam kode etik para ahli kesehatan ini merupakan suatu dilema etik dan
moral.Dimana para tenaga medis dihadapkan dengan pilihan sulit, antara menyelamatkan
pasien dan permintaan dari pihak pasien secara langsung dan tidak langsung. Tapi tetap saja
tindakan euthanasia ini tidak diperkenankan menurut kode etik tenaga kesehatan profesi
apapun
3.
Euthanasia sampai sekarang masih belum ada titik temu baik dari segi pandang
agama, hukum, maupun etika. Dalam hal ini boleh tidaknya tindakan euthanasia dilakukan
masih diperbincangkan oleh para ahli dibidangnya masing - masing, baik yang mengatakan
pro maupun yang kontra.
B.
Saran
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu
kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
1.
Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik
tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap
terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :
a.
memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari
Allah.
3.
Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah
jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa
dihindari.
Daftar pustaka
Al-Qur'an
Al-Qur'an Karim, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1404. H
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy-Syamil Press, 2001.
Yanggo,
Chuzaimah
T. dan A.
Hukum
Islam
Kontemporer edisi ke-4 edisi revisi, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002.
Abdul Jamali, dkk, Tanggung jawab Hukum Seorang Dokter dalam menangani Pasien,
Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990.
Adji, Oemar Seno, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter,
Profesi Dokter, Jakarta: Erlangga, 1991.
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997.
Djoko Prakoso, dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum
Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
F.Tengker, Mengapa Euthanasia? Kemampuan Medis & Konsekuensi Yuridis, Bandung:
Nova, t.t.
R. Soesilo, Kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP) serta komentarnya lengkap pasal
demi pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Ali Akbar, Etika Kedokteran Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1988.
Carm, Piet Go O, Euthanasia Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik,
Malang: Analekta Keuskupan Malang, 1989.
Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1987), Vol.2 : 978, Artikel
Euthanasia
Guwandi J, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas
Indonesia, 2000.
Imron Halimi, Euthanasia cara mati terhormat orang modern, Solo: CV. Ramadhani, 1990.
Kartono Mohamad, Teknologi Modern Dan Tantangannya Terhadap Bioetika, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Media
Pressindo, 2001.
Sudibyo Soepardi, Kode Etik Kedokteran Islam (Islamic code of medical ethics), Jakarta:
Akademika Pressindo, 2001.
Samil, Ratna Suprapti, ed, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Metro Kencana, 1980.
Shannon, Thomas A,Pengantar Bioetika, alih bahasa. K Bartens, Jakarta: Gramedia, 1995.
Sudarmo, H.R. Siswo, Euthanasia Bagaimana Sikap Seorang Dokter, Makalah pada seminar
sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis. Yogyakarta:
FKMPY, 1990.
Widyana, J. Chr Purwa, "Euthanasia" beberapa soal moral berhubungan dengan quantum,
Antropologi Teologis II, 1974.
Jacques, T.P. 1980. Ethics, Theory and Practice. Glencoe Publishing co., Inc. Encino.
California.
Hadiwardoyo, A.P. 1989. Etika Medis. Pustaka Filsafat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Parikesit, A.A. 2007. Euthanasia dan Kematian Bermartabat. Suatu Tinjauan Bioetika.
Hilman, I. 2006. Membiarkan Mati Secara Alamiah (Letting Die Naturally) Pada Pasien Yang
Secara Medis Tidak Mungkin Lagi Dapat Disembuhkan. Jurnal Persi Vol 06.