Anda di halaman 1dari 2

Tawazun Dalam Berjuang

Posted on Juni 28, 2007 by Hafez

Menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa, Al-Waznu adalah rangkaian huruf yang membentuk makna
penyeimbangan, pelurusan (penyesuaian) dan kesungguhan (istiqomah). Sementara kata Tawazun bermakna
memberi sesuatu akan haknya, tanpa ada penambahan dan pengurangan. Hal itu bisa tumbuh dari buah
pengetahuan terhadap hakikat segala sesuatu sebagaimana mestinya dan pengetahuan terhadap batasanbatasan, tujuan-tujuan serta segi manfaatnya.
Ikhwati fillah, jalan dawah ini masih panjang dan sangat panjang, sepanjang usia dari zaman itu sendiri. Untuk
bisa menjalaninya dengan baik dibutuhkan sikap tawazun dalam berjuang. Bagi para masulin dan pimpinan di
semua level dawah ini, refleksi sikap tawazun ditunjukkan dalam bentuk kemampuan memenej dan
mengarahkan perahu dawah ini, sedemikian sehingga seluruh yang ada didalamnya bisa berfungsi dan
berkontribusi optimal bagi perjuangan, menuju ridho Alloh swt. Tidak ada penghuni kapal yang disfunction
apalagi malfunction. Dan dari semua arah kebijakan maupun program yang dibuat, selalu focus pada dua
pekerjaan besar yaitu SDM (Human resources) dan kemudian mendorong munculnya Karya (product) apa yang
bisa dihasilkan oleh SDM tersebut untuk melayani (berkhidmat) pada umat. Dan tentu saja, semuanya dikelola
secara sinergis dengan semangat taawun antar sector.
Adapun di level anggota, sikap tawazun direfleksikan dalam bentuk motivasi hidup yang besar, vitalitas dan
semangat, agresif dan aktif, optimis dan mempunyai cita-cita dalam hidupnya. Senantiasa menampakkan
senyum di wajahnya yang penuh dengan cita-cita dan kemenangan. Lisannya begitu fasih membahasakan
keinginan dan suara kuat di hatinya.
Memang, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana cara yang tepat agar semua kecenderungan yang
ada, mampu direalisasikan semuanya secara adil, proporsional dan seimbang, sehingga menjadi contoh bagi
yang lainnya. Dan apakah mencari keseimbangan diantara berbagai kecenderungan bisa dilaksanakan atau
dipraktekkan dalam kenyataan? Untuk menjawabnya, kita perlu melihatnya dari dua aspek. Pertama, apakah
fenomena tawazun dalam berbagai kecenderungan beramal pernah terjadi pada zaman salafus shalih. Kedua,
mungkinkan hal itu dipraktekkan pada zaman sekarang?
Rasululloh saw. adalah sosok yang ideal dijadikan model atas pelaksanaan konsep tawazun. Beliau adalah
orang yang memiliki keimanan yang kuat, pemimpin dan ahli ibadah yang zuhud, ahli strategi perang yang
sangat berani, panglima yang gigih, teguh dan agung. Di lingkungan keluarga, beliau adalah sebaik-baik
pemimpin keluarga sekaligus guru, baik terhadap istri, anak-anak maupun seluruh kerabat.
Sosok lain kehidupan orang shalih setelah generasi sahabat yang bisa dijadikan model adalah seperti Imam
Baqiy bin Mukhollad, seorang ahli hadits yang tinggal di kota Andalusia. Ia adalah seorang yang mampu
membagi waktunya untuk berbagai amal shalih. Jika sholat subuh, beliau membaca surat-surat yang panjang
dalam Al-Quran, dan melanjutkannya setelah dzikir bada sholat. Usai itu beliau kembali sejenak ke rumah, dan
setelah berwudhu beliau melaksanakan tugasnya bekerja sebagai soerang guru hingga waktu ashar. Bada
maghrib beliau berjumpa dengan segenap tetangganya, lalu berbincang dengan mereka tentang persoalan
agama dan dunia, bersama-sama mencari solusi terhadap masalah-masalah sosial yang ada. Bada isya
sebelum tidur, beliau menasehati anak dan istrinya, dan bangun pagi di sepertiga malam untuk bermunajat
kepada Sang Khaliq. Secara fisik, beliau termasuk orang yang kuat, tegap dan mampu berjalan jarak jauh. Ia
pernah berjalan hingga kota Isbiliyah, Birah dan lainnya. Ia tidak mengacuhkan orang-orang disekitarnya,
bahkan dengan tekun membimbing dan menasehati mereka. Namun ia juga selalu meluangkan waktu untuk
bercengkrama bersama keluarganya dan mengarahkan mereka. Kesibukannya beribadah tidak melalaikannya
untuk menolong orang yang dizalimi. Ia tidak lupa berjihad, bahkan tercatat sekitar 72 kali ia mengikuti
peperangan. Jadi jelas, bahwa fenomena tawazun memang pernah ada dan dipraktekkan oleh generasi salaf.
Dan pada masa kini, terwujudnya hal itu adalah sangat mungkin dan bukan utopia.
Lalu, bagaimana dengan kita di zaman sekarang ini? Apa saja yang harus disiapkan agar bisa tawazun dalam
berjuang? Sekurang-kurangnya diperlukan 5 syarat untuk bisa merealisir sikap tawazun. Pertama, kondisi
ruhiyah yang prima, sebagai bahan bakar utama perjuangan. Kedua, meningkatnya ilmu dan wawasan
intelektual, agar bisa membuka jalan-jalan baru dan tidak mengalami stagnasi daya nalar dan keengganan
beramal. Ketiga, pembiasaan sejak dini hingga menjadi culture dalam kehidupan. Keempat, fisik yang sehat dan
kuat agar seluruh rencana bisa dijalankan. Dalam hal ini, kita perlu lebih memperhatikan aspek safety

(keselamatan), sebab terkadang kita lebih suka pilih-pilih model HP terbaru ketimbang membeli helm standar
(baca: termasuk talinya) yang berfungsi melindungi kepala kita saat berkendara. Kelima, sikap mental yang
positif, agar mampu memikul beban hidup dengan iradat (kemauan) yang kuat, berani mennghadapi tantangan,
dan mampu mengendalikan emosi.
Begitulah seharusnya kepribadian kader yang tawazun, tidak mudah goyah dan lemah, keseimbangan
pribadinya tetap melekat saat dihadapkan pada berbagai kesulitan dan persoalan hidup. Dan indikator adanya
keseimbangan diri pada seseorang adalah jika ia mampu memikul seluruh masuliyah dan tugas-tugas dengan
tabah, serta menciptakan pada dirinya imunitas pribadi terhadap sifat lemah, loyo dan stagnasi.
Laa yukalliful-Lloohu nafsan illa wusaha.

Anda mungkin juga menyukai