Anda di halaman 1dari 3

Cerita Pendek

Biarkan lecak dan receh

“Apa kata orang terserah, ini hanya identitas kita saja, yang membedakan kita dengan manusia
lain,” pernyataan itu membuatku berpikir. Berpikir tentang pemikirannya, yang nampaknya lebih
manusia dari mereka yang telah menghina.

Aku masih memandangi wajahku di depan kaca. Terlihat jelas bentuknya yang aneh seperti
yang dikatakan wanita-wanita cantik, juga orang lain yang suka mengguruiku. Bentuknya memang
laiknya manusia pada umumnya, namun ada sesuatu yang lebih dari ditambahi atau lebih tepatnya
menjadi pemanis di wajahku. Bukan, itu bukan bedak ataupun berbagai penghias lain, tapi sesuatu
itu cukup bisa membuat wajahku berdarah-darah.
“Masih memandangi keanehan, Din?”
Sambil ku basuh tanganku di sabetan cair, pesan-pesan dari otakku mengirimkan pesan
setan. Temanku tak pelak terkejut, segera ia keluar dari wc umum itu, berkelit dari guyuran.
“Hahahah, saya hanya bercanda Din, jangan kau masukkan ke hati,” ujarnya terakhir kali,
sebelum dia menarik kepalanya di celah pintu.
Kemudian, ku tatap lagi keberadaan wajahku di cermin berkarat. Karat mengerat di wajah,
wajahku yang tersumbat wajah kehampaan, wajah yang hampa akan pengharapan untuk ditatap.
Jangankan ditatap, dilihat oleh wanita atau orang yang suka menggurui saja mereka akan tertawa
atau lebih-lebih terkekeh. Kalau begitu, ku seperti makhluk asing planet lain.
“Hei makhluk planet yang aneh, turuti saja perintahnya!” teriak nafsu di hatiku. Nafsu yang
selalu membuncah, ketika asa mulai dirampas perasaan. Perasaan rendah, hancur, tak berbilang.
Nafsu masih saja mengatakan hal sama. Bukan itu saja, ia memprovokasiku untuk operasi plastik,
lebih-lebih memakai susuk.
“Kalau tidak kau ikuti saja perintahnya!” teriakannya makin gencar. Berulang-ulang ia
katakan itu. Mengatakan bahwa aku harus menuruti orang yang memberikanku ini.
Tas yang sedari tadi kugendong, lalu ku banting ke depan, “Apa seharusnya ku
membelanjakannya?” ujarku pada lembaran-lembaran kehormatan. Lembaran yang menjadi
rebutan, lembaran yang saat ini menjadi agama baru manusia. Meski tak menjawab, ia seakan-akan
mulai paham dengan apa yang singgah di kepalaku yang dibalut rambut gondrong.
Berjalan di lorong kelas. Suasana sangat ramai, beberapa mahasiswa duduk bersila di lantai,
mereka msing-masing memegang telepon genggam, sambil tertawa kecil. Ada juga yang duduk di
kursi panjang dengan buku yang tebal-tebal, matanya tak lepas dari untaian huruf ilmu. Mereka
melakukan adegan yang memang sering ku lihat, namun bisa-bisa adegan itu berubah, ketika
mereka turun ke jalan, padahal mereka tak mengerti kenapa mereka turun di sana, seandainya tahu?
Baiklah!
“Apa kabar Din,” sahut wanita dari depanku, ku tak langsung menoleh.
“Ih, sombong,” ujarnya
Lalu mataku yang berwarna cokelat mengarahkan dirinya ke depan.
“Maaf, aku sedang tidak konsentrasi,”
Kami berdua berhenti di pertigaan lorong, ku ingin ke kiri, dia ingin lurus, seperti
rambutnya yang lurus menjuntai hingga pinggul. Ia menenteng buku di tangan kanannya, tas kecil
di tangan kirinya, kacamata menghiasi manis wajahnya, dipercantik dengan kaos merah jambu, jins
birunya melengkapi. Kami berpandang-pandangan beberapa detik
“Kamu tidak ada kelas Nis,”
“Apa?” sapaanku pelan. Suaranya tak terdengar jelas, layaknya tawon madu, suara
bergemuruh itu sedikit banyak mengantup-antup gendang telingaku.
“Kamu tidak ada kelas?” suara ku kencangkan, berharap otaknya menangkap maksudku.
“Oh, iya, tidak ada, tapi sekitar 15 menit lagi ada” jawabnya
Jawaban itu diiringi serentetan pertanyaan yang tipikalku dengar sehari-hari. Namun yang
yang membuatku tertarik adalah kata-katanya barusan, barusan itu sebelum ia kembali ke kelas,
kamu tidak percaya? Mari kita simak
Kawanku yang memiliki tubuh yang biasa, menyinggung sesuatu yang tak biasa. Meski ia
ku anggap cantik, namun lain dengan kawanku yang menganggap dirinya manusia.
“Apa kata orang terserah, ini hanya identitas kita saja, yang membedakan kita dengan
manusia lain,” pernyataan itu membuatku berpikir. Berpikir tentang pemikirannya, yang
nampaknya lebih manusia dari mereka yang telah menghina.
“Apa kamu tidak marah terus dihina seperti itu?”
Sambil membenarkan rambutnya hingga tergerai angin, ia tak menjawab. Ia hanya tersenyum,
dengan tubuh yang sedikit bergoyang karena deraan angin yang lebih deras.
“Kamu lihat tisu ini, aku akan membuangnya, karena ku yakin ini tak berharga,” ia
melepaskan tisu itu dari tengah-tengah antara ibu jari dan jari tengah. Tisu itu tergolek di lantai
“Dan ku yakin, bagi orang-orang yang sama memiliki yang seperti ini, ia tak berharga,”
lanjutnya. Kemudian ku berjalan keluar gedung, pun ku masih memikirkan perkataan Nis.
Gerungan kendaraan bermotor yakin menyentak gendang telingaku, indera perasaku juga
disentak dengan panasnya cuaca di parkiran motor ini. Meski pohon-pohon rindang melindungi
wajah gedung, tetap saja panas mentari singgah di halamannya. Ia berkelit, yakin menggocek
ranting-ranting yang kering, menerabas setiap lekukan tubuh yang murahan. Kemudian cahaya
hadir di keramik-keramik lantai, terpantul-pantul ke berbagai ruang.
“Permisi bu,” sapaku pada ibu cantik yang kurang cantik nasibnya. Ku melewatinya di
pelataran gedung, sambil merundukkan badan, namun tak sengaja ku menyenggol tangan di bawah.
“Maaf Mba, saya tidak sengaja,” lalu ku memungut selembaran dan beberapa receh, atau
lembaran dan recehan yang saling menindih. Ku masukkan mereka diiringi dengan doa, doa
terimakasih.
“Sama-sama Bu, terimakasih Mba,” ujarku pada pria yang wanita itu, yang kemudian
melenggang bangga.
Sambil melangkah di riuhnya kepanasan jalan, ku masih terbayang-bayang wujud uang-
uang itu. Nampaknya, uang-uang itu tak lebih bersih dari mukaku, pun uang itu tak lebih rapih dari
rambutku. Bentuknya lecak, warnanya pun telah menunjukkan penodaan terhadap negara. Namun
betapa girangnya bunda itu, ketika ku masukkan mereka ke dalam dia.
Wajahnya dipenuhi senyum, girangnya mungkin melanda batin, bait suci Illahi seakan
nampak di pancaran wajahnya. Bunyi gemerincing logam dan aroma lembaran membuatnya
bahagia. Mungkin sebahagia uang yang masih berharga itu, meskipun tampilannya kusam dan
baunya pun enggan.
Motorku masih setia berdiri di bawah bintang berapi. Ku jalankan dia menuju tempat yang
ku yakini akan membuatku menjadi mereka, karena-Nya. Tiba ku di sana, banyak orang telah
memadati tempat itu. Berak-rak buku berjajar disiplin. Ku lihat-lihat mereka penuh tanda tanya, “pa
yang sedang aku cari di sini?”
Pikiranku masih galau, apalagi kaca itu mengejekku, ketika ia berhadapan dengan sesosok
diriku. Hal itu membuatku merasa menjadi manusia planet lagi. Tepatnya planet bulan, yang identik
dengan permukaannya yang kasar, ataupun Mars, bahkan Pluto yang saat ini telah beristirahat
dalam damai.
“Di lantai dua ada itu, apa ku harus naik dengan escalator, sementara kemanusiaku turun
pada hal yang berbau sementara,”
Di tengah-tengah para manusia yang rakus ilmu, ku berdiri mematung. Seakan-akan ada
banyak kamera yang mengintaiku, menungguiku mengambil keputusan.
Rupanya beberapa saat lagi, ku mendapat keputusan itu. Keputusan yang akan
menjadikanku tidak hanya indah bagi diriku dan orang yang melihat keberadaanku, namun juga
keberadaanku dapat berharga di mata mereka.
Akhirnya, ku putuskan untuk ke lantai pertama, aku ingin membeli itu. Dan akan kuturuti
orang yang sering mengguruiku, untuk membeli itu dengan uang yang mereka berikan tadi pagi.
Kasir cukup senang ketikaku memberikan beberapa lembar uang, ku mendapatkan zat yang
sementara ini. Harganya cukup mahal, namun ini amanat yang harus dan mesti ku laksanakan.
Ku keluar dari sana dengan berbangga hati, berbesar jiwa. Aku telah menuntaskan amanatku
dan yang satu ini. Diiringi rintikan hujan yang cukup tajam yang merajam tanah basah. Ku berlari
menampar wajah bumi, hingga ia menangis, membuat sepatuku cokelat kemerahan, semoga ku
menjadi tisu bekas dan uang lecak dengan wajah dunia dan menjadi matanya dengan ilmu dan cinta.
“Bukankah Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan?”

Anda mungkin juga menyukai