Anda di halaman 1dari 4

Makna Penilaian Pendidikan

Tatang Suratno, Universitas Pendidikan Indonesia


Dalam beberapa hari ke depan, dunia pendidikan akan disibukkan oleh ujian
nasional. Ritual tahunan itu semakin terlihat sebagai hajatan besar karena
melibatkan banyak pihak: Kemendikbud, dinas pendidikan, sekolah, universitas
hingga kepolisian. Selain itu, persiapannya pun lebih antisipatif dengan
diproduksinya soal yang memiliki 20 tipe berbeda untuk menghindari kebocoran
dan kecurangan. Hiruk pikuk itu semakin menyebar seiring dilakukannya deklarasi
kejujuran, bimbel dan motivasi massal serta doa bersama. Kehebohan ujian
nasional itu menyisakan pertanyaan tentang apa makna penilaian pendidikan dan
untuk siapa sesungguhnya umpan balik dari ujian tersebut?
Secara historis, praktik ujian pertama kali diterapkan oleh Dinasti Han (206 SM-220
M). Tujuannya adalah menyeleksi calon pegawai melalui metode observasi,
testimoni dan ujian tertulis untuk menghindari nepotisme dan korupsi. Ketika sistem
persekolahan muncul, berkembanglah pengukuran model klasik (1904) yang sampai
saat ini masih banyak digunakan oleh banyak guru di dunia. Model ini
mengandaikan kombinasi sederhana antara observasi perilaku dan pengecekan
kesalahan yang mendasari skor siswa. Namun, kelemahan model ini adalah daya
banding antar peserta ujian dikarenakan faktor kualitas instrumen tes secara
keseluruhan.
Sejak tahun 1950an, para ahli pengukuran pendidikan mengembangkan Item
Response Theories (IRT) agar dapat mengukur keragaman soal berdasarkan tingkat
kesukaran, daya pembeda kemampuan siswa dan penafsiran kemungkinan perilaku
menebak. Keuntungan dari model ini adalah dapat melakukan penyetalaan skor,
deteksi bias, serta bersifat adaptif untuk melihat perilaku dan kepribadian.
Dikarenakan lebih rumit, umumnya model ini dikembangkan oleh lembaga
pengujian. Karenanya, lembaga pengujian seringkali diminta bantuan oleh pihak
berwenang untuk melaksanakan ujian standar.
Standar vs. Skandal
Di berbagai negara, ujian standar dipilih dengan mengandaikan kelebihan dari IRT
yang dapat mengukur secara ajeg capaian siswa. Kebakuan tersebut dilihat dari
segi daya banding dan kehandalannya dalam mengukur perilaku dan
perkembangan siswa terhadap standar tertentu yang ditetapkan. Namun demikian,
terdapat dua pendekatan berbeda dalam penerapan ujian standar tersebut: model
sampling vs. sensus.
Finlandia merupakan negara yang berhasil menerapkan pendekatan sampling
secara produktif. Dalam praktiknya, ujian diberlakukan secara acak dan sukarela
pada sejumlah siswa dari sejumlah sekolah tertentu. Hasil ujian standar itu tidak
menentukan kelulusan siswa. Tujuannya bersifat diagnosis terhadap perkembangan

dan capaian belajar siswa sebagai bahan evaluasi perbaikan kurikulum, pengajaran
dan pengembangan profesional guru (Sahlberg, 2011). Pendekatan ini dipandang
tidak memiliki muatan beban baik bagi siswa, guru maupun pemangku kepentingan
lainnya.
Sebaliknya, di negara dimana pendekatan sensus dilakukan, semua siswa dari
semua sekolah mengikuti ujian standar untuk menentukan kelulusannya (bersifat
high-stakes testing). Seringkali terjadi jika ada anak yang tidak lulus, maka sekolah
dan guru sering disalahkan. Hal inilah yang dipandang menumbuhkan beban dan
tekanan kuat bagi siswa, guru bahkan masyarakat. Jika orang sudah tertekan,
banyak cara dilakukan sebagai upaya mempertahankan diri. Isu mengenai
kebocoran, kecurangan dan mencontek seringkali mengiringi wajah ketidakjujuran
ujian nasional. Apakah itu yang diukur oleh pendekatan sensus yang bersifat highstakes?
Inilah skandal yang mengiringi ujian standar. Tentunya bukan lagi rahasia umum
karena fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Dugaan serupa juga terjadi di
Amerika Serikat terutama sejak kebijakan No Child Left Behind di era Bush yang
dilanjutkan dengan Race to the Top oleh Obama (Ravitch, 2010). Sifat ujian yang
berdampak pada kelulusan mendorong kecurigaan terhadap praktik penggantian
jawaban siswa oleh beberapa sekolah di District of Columbia. Beberapa media
utama di sana mewartakan penyelidikan terhadap lembar jawaban siswa
menunjukkan pola penghapusan jawaban salah diganti dengan jawaban benar
hingga 85%. Tentunya yang paling menghebohkan adalah laporan investigasi 800
halaman terkait fenomena serupa di Atlanta. Mungkin di Indonesia modusnya lebih
canggih. Pengalaman sebelumnya diduga bahwa tidak sekedar mengganti jawaban,
bahkan sebelum tes jawabannya sudah tersedia!
Masa Depan Penilaian
Hingga kini, kebanyakan ujian standar lebih mengukur capaian tertentu dari peserta
ujian. Selain itu, ujian standar jarang memberikan informasi umpan-balik langsung
bagi peserta ujian terkait apa yang harus dilakukan selanjutnya. Mereka hanya
mendapat kriteria kelulusan atau ranking tertentu. Terlebih bagi guru, hasil ujian
nasional jarang dimanfaatkan untuk merefleksikan sebesar apa dampak guru
terhadap siswanya. Di sini, ada faktor ketidakpercayaan dan kesenjangan antara
penilaian dengan pengajaran.
Terlepas dari itu, masa depan penilaian perlu dimaknai dari segi seberapa besar
peran guru terhadap pembelajaran siswa. Hal ini memungkinkan terjadi setelah
para ahli pengukuran memanfaatkan perkembangan ICT dalam memutakhirkan
praktik penilaian. IRT modern (2000an) dikembangkan untuk mengukur waktu
penyelesaian, keragaman upaya dan kemampuan yang dicurahkan terhadap soal
tertentu. Contohnya adalah tes TOEFL berbasis internet. Melalui computer-based
testing para ahli penilaian mengembangkan reporting engines, penskoran soal esai

dan analisis integrasi proses kognitif yang memungkinkan pengembangan terpadu


antara penilaian dengan pengajaran.
Bagi praktik pendidikan sekolah, upaya ke arah itu memerlukan perubahan desain
penilaian yang lebih terfokus pada penyediaan umpan balik bagi guru ketimbang
penentuan kelulusan bagi siswa, pemodelan penilaian yang konstruktif ketimbang
pencapaian skor tes belaka, menempatkan penilaian sebagai bagian dari
pengajaran dan bukan sebaliknya, serta mendorong upaya mencapai kemajuan
belajar (success criteria) ketimbang menargetkan standar tertentu (Hattie, 2009).
Paradigma tersebut dipandang membantu guru melihat, mendengar dan
merefleksikan dampak pengajarannya terhadap pembelajaran siswanya. Ini yang
akan membuat guru menjadi lebih peka dalam memahami siswanya sebagai tujuan
moral dan tindakan profesional dari melakukan penilaian pendidikan.

Rujukan
Hattie, J. (2009). Visible learning: A synthesis of over 800 meta-analyses relating to
achievement. London: Routledge.
Ravitch, D. (2010). The death and the life of the great American school system: How testing
and choice are undermining education. New York: Basic Books.
Sahlberg, P. (2011). Finnish Lessons. What can the world learn from educational change in
Finland?. New York: Teacher College Press.
Tentang Penulis
Tatang Suratno merupakan staf pengajar di Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Serang. Sejak tahun 2007 berperan aktif dalam
pengkajian praktik pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan dan pengembangan
professional guru dan reformasi sekolah menerapkan Lesson Study. Ia berpengalaman
mengelola dan memfasilitasi kegiatan Lesson Study berskala luas di beberapa
kabupaten/kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan yang melibatkan ratusan guru
dan puluhan sekolah. Selain itu, ia juga aktif di berbagai kegiatan pertukaran pengalaman
dengan institusi dari Jepang (Japan International Cooperation Agency) dan dari negaranegara Asia-Afrika-Pasific melalui Asia-Africa Dialogue dan Center for Educational Research
and Innovation (CERI) Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Ia
merupakan anggota dari World Association of Lesson Studies (WALS), Comparative
Education Society of Asia (CESA), Australian Association for Research in Education (AARE)
dan penggiat di Indonesia Center for Lesson Study (ICLS). Puluhan artikel dan bab buku telah
dipublikasikan di berbagai forum, jurnal dan buku baik di tingkat nasional maupun
internasional. Minat penelitian mencakup bidang pendidikan sekolah dasar, pendidikan MIPA,
pendidikan guru serta kebijakan pendidikan.
Kontak:
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Serang
Jl. Ciracas No. 18, Serang 42116 Banten
Tel./Fax. +62 254 200277
Mobile. +62 812 230 1997
Email. tatangsan@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai