Anda di halaman 1dari 15

Tugas biofisika

F2 (Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham)


Skizofrenia
Definisi :

Skizofrenia ( /sktsfrni/ atau /sktsfrini/) adalah gangguan mental yang


ditandai dengan gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi yang
lemah.[1] Keadaan ini pada umumnya dimanifestasikan dalam
bentuk halusinasi, paranoid, keyakinan atau pikiran yang salah yang tidak sesuai
dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika, dan
disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan. Gejala awal biasanya
muncul pada saat dewasa muda, dengan prevalensi semasa hidup secara global sekitar
0,3% 0,7%.[2] Diagnosis didasarkan atas pengamatan perilaku dan pengalaman
penderita yang dilaporkan.
Gejala :
Seseorang yang didiagnosis mengidap skizofrenia dapat mengalami halusinasi (kebanyakan
melaporkan adanya mendengar suara-suara), waham (biasanya aneh ataupenyiksaan secara
biasa), dan gangguan daya pikir dan bicara. Yang terakhir ini dapat berupa kehilangan urutan
berpikir, hingga kalimat yang artinya kurang berhubungan, sampai dengan ketidakpaduan yang
dikenal sebagai kata-kata yang berantakan pada kasus yang lebih parah. Menarik diri dari
lingkungan sosial, cara berpakaian yang berantakan dan tidak menjaga kebersihan, dan
kehilangan motivasi dan pertimbangan merupakan hal yang umum pada skizofrenia.[5] Biasanya
dapat diobservasi adanya pola kesulitan emosi, sebagai contoh tidak adanya sifat
responsif.[6] Gangguan dalam kognisi sosial diasosiasikan dengan skizofrenia,[7] demikian juga
dengan gejala paranoia ; isolasi sosial pada umumnya muncul.[8] Kesulitan
dalam bekerja dan daya ingat jangka panjang, perhatian, peran eksekutif, dan kecepatan
untuk mengolah juga sangat umum terjadi.

http://id.wikipedia.org/wiki/Skizofrenia
Faktor Penyebab Skizofrenia
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi) yang pasti mengapa seseorang menderita
skizofrenia, padahal orang lain tidak. Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan
tidak ditemukan faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir antara lain :
1. Faktor genetik;
2. Virus;
3. Auto antibody;
4. Malnutrisi.
Dari penelitian, diketahui peranan generik pada skizofrenia :
1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang tua 5,6%, saudara kandung 10,1%; anakanak 12,8%; dan penduduk secara keseluruhan 0,9%.
2) Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik 59,20%; sedangkan
kembar fraternal 15,2%.
Penelitian lain menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga mempunyai
peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari. Gangguan ini muncul, misalnya, karena

kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal. Penelitian mutakhir menyebutkan
bahwa meskipuna ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktorfaktor lainnya yang disebut epigenetik faktor.
Kesimpulannya adalah bahwa skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara abnormal gen
dengan :
a) Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat menganggu perkembangan otak janin;
b) Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan;
c) Komplikasi kandungan; dan
d) Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester kehamilan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa orang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila
mengalami stresor psikososial dalam kehidupannya, maka risikonya lebih besar untuk menderita
skizofrenia dari pada orang yang tidak ada faktor epigenetik sebelumnya.
Faktor Biologi
Komplikasi kelahiran
Bayi laki laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami skizofrenia, hipoksia
perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.
Infeksi
Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada
orang-orang dengan skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada
trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia.
Hipotesis Dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia.
Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor dopamin D2,
dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik diredakan.1
Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan bahwa gejala gejala skizofrenia disebabkan oleh
hiperaktivitas sistem dopaminergik.
Hipotesis Serotonin
Gaddum, wooley dan show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic aciddiethylamide (LSD)
yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis reseptor 5-HT. Temyata zatini
menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang normal. Kemungkinan serotonin berperan
pada skizofrenia kembali mengemuka karena penetitian obat antipsikotik atipikal clozapine yang
temyata mempunyai afinitas terhadap reseptor serotonin 5-HT~ lebih tinggi dibandingkan
reseptor dopamin D2.
Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia basalis. Otak
pada pendenta skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel teilihat
melebar, penurunan massa abu abu dan beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan
aktifitas metabolik. Pemenksaan mikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan
dalam distribusi sel otak yang timbul pada masa prenatal karena tidak ditemukannya sel glia,
biasa timbul pada trauma otak setelah lahir.

Gejala Skizofrenia
Ada 2 gejala skizofrenia yaitu:
1. Gejala positif /gejala tipe I
A. Delusi adalah kepercayaan yang tidak sesuai realita;.mis. Merasa dirinya Nabi
B. Halusinasi adalah pengalaman indrawi yang tidak nyata; mis. Merasa melihat,
mendengar, atau membaui sesuatu yang sebenarnya tidak ada
C. Pikiran dan bicara kacau adalah pola bicara yang kacau; mis. tidak nyambung,
menyambung kata berdasar bunyinya yang tidak ada artinya

D. Perilaku kacau atau katatonik adalah perilaku sangat tidak dapat diramalkan, aneh,
dan sangat tidak bertanggung jawab; mis. Tidak bergerak sama sekali dalam waktu
lama, tiba-tiba melompat-lompat tanpa tujuan.
2. Gejala negative/ gejala II
A. Afek datar adalah secara emosi tidak mampu memberi respon thd lingkungan
sekitarnya; mis. Ketika bicara ekspresi tidak sesuai, tidak ada ekspresi sedih ketika
situasi sedih.
B. Alogia adalah tidak mau bicara atau minimal; mis. Membisu beberapa hari.
C. Avolition adalah tidak mampu melakukan tugas berdasar tujuan tertentu (dalam
jangka lama); mis. Tidak mampu mandi sendiri, makan sampai selesai, dll.
http://geagreen.blog.com/2011/12/31/skizofrenia/

Hipotesis dopamin dari skizofrenia


Hipotesis dopamin pada skizofrenia adalah yang paling berkembang dari berbagai
hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Beberapa bukti yang
terkait menunjukkan bahwa aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi
penyakit tersebut :
(1) Kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat reseptor D2 pascasinaps di dalam
sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik frontal
(2) Obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa (suatu
prekursor), amfetamin (pelepas dopamin), atau apomorfin (suatu agonis reseptor dopamin
langsung), baik yang dapat mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien.
(3) Densitas reseptor dopamin telah terbukti, postmortem, meningkat di otak pasien
skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat antipsikosis
(4) Positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas reseptor
dopamin pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak dirawat, saat dibandingkan
dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita skizofrenia
(5) Perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah
homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamin, di cairan serebrospinal, plasma, dan urin.

Teori jalur dopamin yang berpengaruh dalam skizofrenia


Mesokortikal dopamin pathways.
Hipoaktivitas dari daerah ini menyebabkan simptom negatif dan gangguan kognitif.
Simptom negative dan kognitif disebabkan terjadi penurunan dopamine di jalur mesokortikal
terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks.
Defisit behavioral yang dinyatakan dalam suatu simptom negatif berupa penurunan aktivitas
motorik. Aktivitas yang berlebihan dari system glutamat yang bersifat eksitotoksik pada
system saraf (burn out) yang kemudian berlanjut menjadi suatu proses degenerasi di
mesokortikal jalur dopamin. Ini akan memperberat simptom negatif dan meningkatkan defisit
yang telah terjadi pada penderita skizofrenia.

Penurunan dopamine di mesokortikal dopamine pathway dapat terjadi secara primer maupun
sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamine yang berlebihan pada jalur
ini atau melalui blockade antipsikotik terhadap reseptor D2.

Peningkatan dopamin pada mesokortikal dopamine pathway dapat memperbaiki simptom


negatif atau mungkin juga simptom kognitif. Keadaan ini akan menjadi suatu dilemma karena
peningkatan dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatkan simptom positif, sementara
penurunan dopamine di jalur mesokortikal akan meningkatkan simptom negatif dan kognitif.

Hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian obat antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi
kedua) pada penderita skizofrenia. Antipsikotik jalur kedua menyebabkan dopamine di jalur
mesolimbik menurun tetapi dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat.
.
Mesolimbik dopamin pathways.
Hiperaktivitas dari daerah ini menyebabkan simptom positif dari skizofrenia.
Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi pendengaran,
waham dan gangguan pikiran. Psikostimulan seperti amfetamin dan kokain dapat
menyebabkan peningkatan dari dopamin melalui pelepasan dopamine pada jalur ini sehingga
hal ini menyebabkan terjadinya simptom positif dan menimbulkan psikosis paranoid jika
pemberian zat ini dilakukan secara berulang.
Antipsikotik bekerja melalui blockade reseptor dopamine khususnya reseptor D2 sehingga
simptom positif dapat menurun atau menghilang.
Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamine pathways menyebabkan simptom positif psikotik
meningkat. Keadaan ini dapat merupakan bagian dari skizofrenia, atau psikosis yang
disebabkan oleh zat, mania, depresi tau demensia.
Hiperaktivitas mesolimbik dopamin pathways mempunyai peranan dalam simptom
agresivitas dan hostilitas pada penderita skizofrenia terutama bila terjadi penyimpangan
control serotonergik dari dopamin.
Nukleus akumbens adalah bagian dari sistem limbik yang mempunyai peranan untuk
mempengaruhi perilaku, seperti pleasurable sensation (sensasi yang menyenangkan),
powerful euphoria pada individu yang memiliki waham, halusinasi serta pengguna zat.
Mesolimbik dopamin pathways selain dapat menyebabkan simptom positif , juga
mempunyai peranan dalam pleasure, reward dan reinforcing behavior. Pada kasus
penyalahgunaan zat dapat menimbulkan ketergantungan karena terjadi aksi di jalur ini.9

http://catatankuliahnyacalondokter.blogspot.com/2013/05/hubungan-skizofrenia-dengankadar_20.html

SEBAB-SEBAB (BIOPSIKOSOSIALSPIRITUAL)
Ada beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan penyebab skizofrenia. Adapun teoriteori tersebut seperti tersebut di bawah ini:
1. Teori Neurotransmitter
Di dalam otak manusia terdapat berbagai macam neurotransmitter, yaitu substansi atau
zat kimia yang bertugas menghantarkan impuls-impuls saraf. Ada beberapa neurotransmitter
yang diduga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Dua di antaranya yang paling jelas
adalah neurotransmitter dopamine dan serotonin. Berdasarkan penelitian, pada pasien-pasien
dengan skizofrenia ditemukan peningkatan kadar dopamine dan serotonin di otak secara
relatif.
Menurut Mesholam Gately et.al dalam jurnal Neurocognition in First-Episode
Schizophrenia: A Meta Analytic Review (2009), gangguan neurokognisi adalah fitur utama
pada episode pertama penderita skizofrenia. Gangguan tersebut membuat sistem kognisi tidak
dapat bekerja seperti kondisi normal.
2. Teori Genetik
Diduga faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Walaupun
demikian, terbukti dari penelitian bahwa skizofrenia tidak diturunkan secara hukum Mendeell
(jika orang tua skizofrenia, belum tentu anaknya skizofrenia juga).
Sampai saat ini, belum ada hal yang pasti mengenai penyebab skizopfrenia. Namun
demikian peneliti-peneliti meyakini bahwa interaksi antara genetika dan lingkungan yang
menyebabkan skizofrenia.
Penelitian lain dari Clarke et al yang berjudul Evidence for an Interaction Between
Familial

Liability

and

Prenatal

Exposure

to

Infection

in

the

Causation

of

Schizophrenia (2009), menyebutkan bahwa Komplikasi kelahiran dan keluarga yang


memiliki resiko psikotik terbukti menyebabkan skizofrenia dengan persentase resiko 38% 46%.
3. Predisposisi Genetika
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi
umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang
tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai
hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering
dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita
skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia
berpeluang 40%, satu orang tua 12 %

4. Abnormalitas Perkembangan Syaraf


Penelitian menunjukkan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi
berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan saraf dan diidentifikasi sebagai resiko yang terus bertambah, meliputi individu
yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua, individu yang mengalami trauma atau
cedera pada waktu dilahirkan, dan penganiayaan atau trauma di masa bayi atau masa anakanak.
5. Abnormalitas Struktur dan aktivitas Otak
Pada beberapa subkelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT, MRI, dan
PET) telah menujukkan adanya abnormalitas pada struktur otak yang meliputi pembesaran
ventrikel, penurunan aliran darah ventrikel, terutama di korteks prefrontal penurunan aktivitas
metaolik di bagian-bagian otak tertentu atrofi serebri. Ahli neurologis juga menemukan
pemicu dari munculnya gejala skizofrenia. Pada para penderita skizofrenia diketahui bahwa
sel-sel dalam otak yang berfungsi sebagai penukar informasi mengenai lingkungan dan
bentuk impresi mental jauh lebih tidak aktif dibanding orang normal.
6. Ketidakseimbangan Neurokimia (neurotransmitter)
Skizofrenia memiliki basis biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes.
Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu
sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut
neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter.
Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA
juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia. Majorie Wallace, pimpinan
eksekutif yayasan Skizofrenia SANE, London, berkomentar bahwa, di dalam otak terdapat
miliaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat untuk meneruskan maupun
menerima pesan dari sambungan sel lainnya. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia
yang disebut neurotransmitter yang menbawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke
ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak penderita skizofrenia, terdapat kesalahan atau
kerusakan pada sistem komunikasi tersebut. Biasanya mereka mengalami halusinasi.
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu
menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang datang. Penderita
skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada,
atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala
yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara dari dalam dirinya.
Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu
menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri. Gejala lain

adalah

menyesatkan

pikiran

atau

delusi,

yakni

kepercayaan

yang

kuat

dalam

menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya, pada


penderita skizofrenia, lampu lalu lintas di jalan raya yang berwarna merah kuning hijau,
dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa.
7. Proses Psikososial dan Lingkungan
Proses psikososial dan lingkungan juga sangat berpengaruh untuk menyebabkan
skizofrenia. Setiap orang pada umumnya memiliki kecenderungan untuk skizofrenia
1%. Pada individu yang memiliki hubungan dekat dengan seseorang yang terjangkit
skizofrenia, kecenderungannya sekitar 10%. Jika seseorang hidup dalam lingkungan yang
mendukung asosial, kemungkinan seseorang untuk mengidap skizofrenia tinggi. Namun bila
seseorang hidup dalam lingkungan yang terbuka, walaupun secara genetik dia memiliki
kecenderungan skizofrenia, hal itu bisa diminimalisisr bahkan dihilangkan.
Gangguan Sikzotipal

Skizopital adalah gangguan kepribadian dengan berkurangnya kemampuan untuk


melaksanakan hubungan interpersonaldistorsi kognitif sehingga mengakibatkan keanehan
berbicara, berperilaku dan berpenampilan.
Individu dengan gangguan kepribadian skizotipal hampir selalu bermasalah dengan
orang lain dan bersikap tidak ramah kepada siapapun. Kebanyakan dari individu dengan
gangguan kepribadian ini hidup dalam kesendirian, hal ini disebabkan lingkungan sekitar
yang mengisolasinya. Akibatnya, penyimpangan persepsi mengenai bentuk hubungan
interpersonal akan terus berkembang dalam diri individu itu. Selanjutnya, ia akan
menunjukkan perilaku yang aneh, respon yang tidak tepat dalam bersosialisasi dan sifat-sifat
yang tidak lazim.
Kemunculan gangguan kepribadian skizotipal dimulai pada awal memasuki masa
dewasa dan terus berkembang sepanjang masa hidupnya. Seperti gangguan kepribadian
lainnya, gangguan kepribadian skizotipal disebabkan perilaku dan pengalaman yang tidak
tepat pada masa kanak-kanak, sebagian besar dari gangguan tersebut disebabkan oleh
kesulitan dalam beradaptasi dan pengalaman terhadap penanganan distres.
Diantara individu yang mengalami gangguan kepribadian skizotipal diantara
mengalami gangguan dan kesulitan dalam memori, belajar dan perhatian (konsentrasi).
Beberapa gejala kemunculan gangguan tidak diikuti gejala psikotik seperti delusi dan
halusinasi, beda halnya pada gangguan skizofrenia yang disertai gejala psikotik secara
keseluruhan dan intens. Gangguan ini berjalan secara kronis dengan intensitas yang
fluktuatif, kadang-kadang berkembang menjadi skizofrenia.

Faktor Penyebab
Seperti jenis gangguan kepribadian lainnya, kemunculan gangguan kepribadian
skizotipal dimulai pada awal kanak-kanak, berkisar antara tahun pertama dan kedua masa
perkembangan. Kurangnya perhatian terutama pengenalan emosi, meskipun anak itu tumbuh
secara sehat. Kurangnya stimulasi sosial dari orangtua anak akan belajar menghindari dengan
sendirinya dan tidak mencari kesenangan diluar lingkungan rumahnya.
Pada masa perkembangan, anak akan melewati beberapa tahap-tahap kesiapan sosial
dan belajar menempatkan ekspresi emosi secara tepat (interaksi interpersonal) dengan orang
lain. Anak yang mengalami gangguan skizotipal akan mengalami hambatan dalam
bersosialisasi, mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak logis, tidak dapat
melepaskan diri atau berpikir hal-hal yang berkenaan dengan magis, dan bahkan paranoid.
Perilaku nyata nampak pada sikap anak yang membentengi dirinya dari rasa curiga ketika
digoda (diganggu) atau ketika mendapatkan perlakuan tidak adil/kasar.
Beberapa ahli memperkirakan anak-anak rentan (child abusive), anak yang
mengalami penolakan diri dari lingkungan sekitar, atau stres yang mengakibatkan disfungsi
otak tumbuh mengarah pada kemunculan gejala gangguan skizotipal. Faktor genetik dan
lingkungan ikut membantu berkembangnya gangguan ini dikemudian hari.
Keluarga, faktor keturunan keluarga (orangtua) yang memiliki gejala skizofrenia
dapat menjadi suatu kondisi adanya gangguan skizotipal pada anak, faktor-faktor dalam
keluarga lainnya yang memberi kontribusi gangguan kepribadian ini adalah kekerasan dan
penolakan terhadap anak.
http://rinaraka.blogspot.com/2012/10/skizofrenia-sikzotipal.html
Gangguan WAHAM
PENGERTIAN WAHAM
Waham (Delusi), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan, semacam itu merupakan
simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia.
Waham menurut Maramis (1998), Keliat (1998) dan Ramdi (2000) menyatakan bahwa itu
merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok
dengan intelegensia dan latar belakang kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara
kokoh dan tidak dapat diubah-ubah. Mayer-Gross dalam Maramis (1998) membagi waham dalam 2
kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham primer timbul secara tidak logis, tanpa penyebab dari
luar. Sedangkan waham sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara
untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah satunya
adalah waham kebesaran.
Psikologis
Intensitas kecemasan yang tinggi, perasaan bersalah dan berdosa, penghukuman diri, rasa tidak
mampu, fantasi yang tak terkendali, serta dambaan-dambaan atau harapan yang tidak kunjung

sampai, merupakan sumber dari waham. Waham dapat berkembang jika terjadi nafsu kemurkaan
yang hebat, hinaan dan sakit hati yang mendalam (Kartono, 1981).
Biologis
Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon/ oleh
perubahan- perubahan post mortem/ merupakan artefak pada waktu membuat sediaan. Gangguan
endokrin juga berpengaruh, pada teori ini dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia pada waktu
pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimaterium. Begitu juga dengan gangguan
metabolisme, hal ini dikarenakan pada orang yang mengalami skizofrenia tampak pucat dan tidak
sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Teori ini
didukung oleh Adolf Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/ penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid (Maramis, 1998).
Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa skizofrenia merupakan
kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel piramidal dalam otak, dimana sel-sel otak
tersusun rapi pada orang normal.
Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering berhubungan
dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis yang tidak disertai dengan
gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang kompleks. Sedangkan waham yang disertai
dengan gangguan kecerdasan sering kali berupa waham sederhana (Kaplan dan Sadock, 1997).
https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Waham
Penyebab :
1. Faktor Predisposisi

Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem syaraf yang berhubungan


dengan respon biologis yang maladaptif.

Neurobiologis : adanya gangguan pada konteks pre frontal dan korteks limbic.

Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin, dan glutamat.

Virus : paparan virus influensa pada trimester III

Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.


2. Faktor Presipitasi

Proses pengolahan informasi yang berlebihan

Mekanisme penghantaran listrik abnormal

adanya gejala pemicu

http://www.naqsdna.com/2012/07/waham-delusi-sebuah-gangguan-mental.html

F3 (Gangguan Suasana Perasaan (Mood / Afektif)


Mood didefinisikan sebagai alam perasaan atau suasana perasaan yang bersifat internal.
Ekspresi eksternal dari mood disebut afek, atau eksternal display. Sejak lama dalam literatur
psikiatri mood yang terganggu disebut gangguan afektif. Tapi kurang lebih dalam 5 tahun terakhir,
gangguan afektif ini diubah namanya dengan gangguan mood. Yang paling utama dalam

gangguanmood ini adalah mood yang menurun atau tertekan yang disebut depresi, dan moodyang
meningkat atau ekspansif yang disebut mania (manik). Baik mood yang menurun atau terdepresi
dan mood yang meningkat bersifat graduil , suatu kontinuum dari keadaan normal ke bent6uk yang
jelas-jelas patologik. Pada beberapa individu gejala-gejalanya bisa disertai dengan ciri psikotik.
Klasifikasi
Gangguan mood berbeda dalam hal manifestasi klinik, perjalanan penyakit, genetik, dan
respons pengobatan. Kondisi ini dibedakan satu sama lain berdasarkan: (1) ada tidaknya mania
(bipolar atau unipolar); (b) berat ringannya penyakit (mayor atau minor); (c) kondisi medik atau
psikiatrik lain sebagai penyebab gangguan. Maka diklasifikasikan sebagai berikut:
(I) Gangguan mood mayor : depresi mayor dan/ atau tanda-tanda gejala manik. Gangguan Bipolar I (
manik-depresi) mania pada masa lalu atau saat ini ( dengan atau tanpa adanya depresi atau
riwayat depresi). Gangguan Bipolar II hipomania dan depresi mayor mesti ada saat ini atau pernah
ada. Gangguan Depresi Mayor- hanya depresi berat saja.
(II) Gangguan mood spesifik lainnya. Depresi minor dan/atau gejala-gejala dan tanda-tanda manik.
Gangguan distimia depresi saja. Gangguansiklotimia depresi dan hipomanik saat atau baru saja
berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun).
(III) Gangguan mood akibat kondisi medik umum dan gangguan moodakibat zat.
(IV) Gangguan penyesuaian dengan mood depresi : depresi yang disebabkan oleh stressor.
Teori neurobiologik
Teori biologik memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5-HT). Hipotesis
katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya kadar NE otak, dan
peningkatan NE menyebabkan mania. Pada beberapa pasien kadar MHPG (metabolit utama NE
rendah). Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya neurotransmiter serotonin (5-HT) otak
menyebabkan depresi dan peningkatan serotonin (5-HT) dapat menyebabkan mania. Hipotesis lain
menyatakan bahwa penurunan NE menimbulkan depresi dan peningkatan NE menyebabkan mania,
hanya bila kadar serotonin 5-HT rendah.
Mekanisme kerja obat antidepresan mendukung teori ini antidepresan klasik trisiklik memblok
ambilan kembali (reuptake) NE dan 5-HT dan menghambat momoamin oksidase inhibitor
mengoksidasi NE. Penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat hipometabolisme otak di
lobus frontalis menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas fundamental ritmik sirkadian
pada pasien-pasien depresi.
Neurotransmiter dan sinapsis
Jaringan otak terdiri atas berjuta-juta sel otak yang disebut neuron. Sel ini terdiri atas badan
sel, ujung axon dan dendrit. Antara ujung sel neuron satu dengan yang lain terdapat celah yang
disebut celah sinaptik atau sinapsis. Satu neuron menerima berbagai macam informasi yang datang,
mengolah atau mengintegrasikan informasi tersebut, lalu mengeluarkan responsnya yang dibawa
suatu senyawa neurokimiawi yang disebut neurotransmiter. Terjadi potensial aksi dalam membran
sel neuron yang memungkinkan dilepaskannya molekul neurotransmiter dari axon terminalnya

(prasinaptik) ke celah sinaptik lalu ditangkap reseptor di membran sel dendrit dari neuron
berikutnya. Terjadilah loncatan listrik dan komunikasi neurokimiawi antar dua neuron. Pada reseptor
bisa terjadi supersensitivitas dan subsensitivitas. Supersensitivitas berarti respon reseptor lebih
tinggi dari biasanya, yang menyebabkan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik lebih banyak
jumlahnya yang berakibat naiknya kadar neurotransmiter di celah sinaptik tersebut. Subsensitivitas
reseptor adalah bila terjadi sebaliknya. Bila reseptor di blok oleh obat tertentu maka kemampuannya
menerima neurotransmiter akan hilang dan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik akan
berkurang yang menyebabkan menurunnya kadar (jumlah) neurotransmiter tertentu di celah
sinaptik.
Suatu kelompok neurotransmiter adalah amin biogenik, yang terdiri atas enam
neurotransmiter yaitu dopamin, norepinefrin, epinefrin, serotonin, asetilkholin dan histamin.
Dopamin, norepinefrin, dan epinefrin disintesis dari asam amino yang sama, tirosin, dan
diklasifikasikan dalam satu kelompok sebagai katekolamin. Serotonin disintesis dari asam amino
triptofan dan merupakan satu-satunya indolamin dalam kelompok itu. Serotonin juga dikenal
sebagai 5-hidroksitriptamin (5-HT).
Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino. Asam amino
dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua neurotransmiter utama dari asam amino ini adalah
gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamate. GABA adalah asam amino inhibitor (penghambat),
sedang glutamate adalah asam amino eksitator. Kadang cara sederhana untuk melihat kerja otak
adalah dengan melihat keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut.
Bila oleh karena suatu hal, misalnya subsensitivitas reseptor-reseptor pada membran sel
paskasinaptik, neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin menurun kadarnya pada
celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi. Demikian pula bila terjadi disregulasi asetilkholin yang
menyebabkan menurunnya kadar neurotransmiter asetilkolin di celah sinaptik, terjadilah gejala
depresi.
Monoamin dan Depresi
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang menyebabkan
berkurangnya monoamin, seperti reserpin, dapat menyebabkan depresi.Akibatnya timbul teori yang
menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan neurotransmiter monoamin, terutama NE dan
serotonin, dapat menyebabkan depresi. Teori ini diperkuat dengan ditemukannya obat antidepresan
trisiklik dan monoamin oksidase inhibitor yang bekerja meningkatkan monoamin di sinap.
Peningkatan monoamin dapat memperbaiki depresi.
Serotonin
Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke korteks serebri,
hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus. Proyeksi ke tempat-tempat ini
mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin,
5-HT1A dst yang terletak di lokasi yang berbeda di susunan syaraf pusat.
Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. Sistem serotonin yang
berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidurbangun, temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin bersama-sama dengan norepinefrin dan

dopamin memfasilitasi gerak motorik yang terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat perilaku
agresif pada mamalia dan reptilia.
Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian dengan alat pencitraan
otak terdapat penurunan jumlah reseptor pos-sinap 5-HT1A dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi
berat. Adanya gangguan serotonin dapat menjadi tanda kerentanan terhadap kekambuhan depresi.
Dari penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah prefrontal dan
temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat pengobatan. Kadar serotonin rendah
pada penderita depresi yang agresif dan bunuh diri.
Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun pada pasien depresi.
Penurunan kadar triptofan juga dapat menurunkan mood pada pasien depresi yang remisi dan
individu yang mempunyai riwayat keluarga menderita depresi. Memori, atensi, dan fungsi eksekutif
juga dipengaruhi oleh kekurangan triptofan. Neurotisisme dikaitkan dengan gangguan mood, tapi
tidak melalui serotonin. Ia dikaitkan dengan fungsi kognitif yang terjadi sekunder akibat
berkurangnya triptofan.
Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hidroxyindolaceticacid). Terdapat penurunan 5HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi. Penurunan ini sering terjadi pada penderita
depresi dengan usaha-usaha bunuh diri.
Penurunan serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG tidur dan HPA aksis.
Hipofontalitas aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa otak sesuai dengan penurunan
serotonin. Pada penderita depresi mayor didapatkan penumpulan respon serotonin prefrontal dan
temporoparietal. Ini menunjukkan bahw adanya gangguan serotonin pada depresi.
Noradrenergik
Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak dilocus ceruleus(LC)
batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal ganglia, hipotalamus dan
talamus. Ia berperan dalam mulai dan mempertahankan keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan
korteks). Proyeksi noradrenergik ke hipokampus terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap stressor
dan pemanjangan aktivasi locus ceruleus dan juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan
yang dipelajari. Locus ceruleus juga tempat neuron-neuron yang berproyeksi ke medula adrenal dan
sumber utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer.
Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi fungsi LC, fungsi
vegetatif seperti makan dan tidur menurun. Persepsi terhadap stressor ditangkap oleh korteks yang
sesuai dan melalui talamus diteruskan ke LC, selanjutnya ke komponen simpatoadrenalsebagai
respon terhadap stressor akut tsb. Porses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon
simpatoadrenal terhadap stressor akut tersebut.
Rangsangan terhadap bundel forebrain (jaras norepinefrin penting di otak) meningkat pada
perilaku yang mencari rasa senang dan perilaku yang bertujuan. Stressor yang menetap dapat
menurunkan kadar norepinefrin di forbrain medial. Penurunan ini dapat menyebabkan anergia,
anhedonia, dan penurunan libido pada depresi.

Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-hydroxyphenilglycol(MHPG). Penurunan


aktivitas norepinefrin sentral dapat dilihat berdasarkan penurunan ekskresi MHPG. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa MHPG mengalami defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG
yang keluar di urin meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi kejang listrik).
Dopamin
Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair, nigrostriatal, mesolimbik,
mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk mengatur motivasi, konsentrasi, memulai
aktivitas yang bertujuan, terarah dan kompleks, serta tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan
aktivitas dopamin pada sistem ini dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang
merupakan manifestasi simptom depresi.
Neurotransmiter lain
Neuron kolinergik mengandung setilkolin yang terdistribusi difus di korteks serebri dan
mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem monoamin. Abnormal kadar kolin (prekursor
asetilkolin) terdapat di otak pasien depresi. Obat yang bersifat agonis kolinergik dapat menyebabkan
letargi, anergi, dan retardasi psikomotor pada orang normal. Selain itu, ia juga dapat
mengeksaserbasi simptom-simptom depresi dan mengurangi simptom mania.
GABA (gamma-aminobutyric acid) memiliki efek inhibisi terhadap monoamin, terutama pada
sistem mesokorteks dan mesolimbik. Pada penderita depresi terdapat penurunan GABA. Stressor
khronik dapat mengurangi kadar GABA dan antidepresor dapat meningkatkan regulasi reseptor
GABA.
Asam amino glutamat dan glisisn merupakan neurotransmiter utama di SSP, yang terdistribusi
hampir di seluruh otak. Ada 5 reseptor glutamat, yaitu NMDA, kainat, L-AP4, dan ACPD. Bila
berlebihan, glutamat bisa menyebabkan neurotoksik. Obat-obat yang antagonis terhadap NMDA
mempunyai efek antidepresan.
HPA aksis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal)
Bila pengalaman yang berbentuk stressor dalam kehidupan sehari-hari kita tercatat dalam
korteks serebri dan sistem limbik sebagai stresor atau emosi yang mengganggu, bagian dari otak ini
akan mengirim pesan ke tubuh. Tubuh meningkatkan kewaspadaan untuk mengatasi stressor
tersebut. Target adalah kelenjar adrenal. Adrenal akan mengeluarkan hormon kortisol untuk
mempertahankan kehidupan. Kortisol memegang peranan penting dalam mengatur tidur, nafsu
makan, fungsi ginjal, sistem imun, dan semua faktor penting kehidupan. Peningkatan aktivitas
glukokortikoid (kortizol) merupakan respon utama terhadap stressor. Kadar kortisol yang meningkat
menyebabkan umpan balik, yaitu hipotalamus menekan sekresi cortikotropik-releasing
hormone(CRH) , kemudian mengirimkan pesan ini ke hipofisis sehingga hipofisi juga menurunkan
produksi adrenocortictropin hormon (ACTH). Akhirnya pesan ini juga diteruskan kembali ke adrenal
untuk mengurangi produksi kortisol.
Pengalaman buruk seperti penganiayaan pada masa anak atau penelantaran pada awal
perkembangan merupakan faktor yang bermakna untuk terjadinya gangguan mood pada masa
dewasa.

Sistem CRH merupakan sistem yang paling terpengaruh oleh stressor yang dialami seseorang
pada awal kehidupannya. Stressor yang berulang menyebabkan peningkatan sekresi CRH, dan
penurunan sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis. Stressor pada awal masa perkembangan ini
dapat menyebabkan perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik atau dapat membuat jejak
pada sistem syaraf yang berfungsi merespon respon tersebut. Akibatnya, seseorang menjadi rentan
terhadap stressor dan resiko terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dengan stressor meningkat,
seperti terjadinya depresi setelah dewasa.
Stressor pada awal kehidupan seperti perpisahan dengan ibu, pola pengasuhan buruk,
menyebabkan hiperaktivitas sistem neuron CRH sepanjang kehidupannya. Selain itu , setelah
dewasa, reaktivitas aksis HPA sangat berlebihan terhadap stressor.
Adanya faktor genetik yang disertai dengan stressor di awal kehidupan, mengakibatkan
hiperaktivitas dan sensitivitas yang menetap pada sistem syaraf. Keadaan ini menjadi dasar
kerentanan seseorang terhadap depresi setelah dewasa. Depresi dapat dicetuskan hanya oleh
stressor yang derajatnya sangat ringan.
Peneliti lain melaporkan bahwa respons sistem otonom dan hipofisis-adrenal terhadap
stressor psikososial pada wanita dengan depresi yang mempunyai riwayat penyiksaan fisik dan
seksual ketika masa anak lebih tinggi dibanding kontrol.
Stressor berat di awal kehidupan menyebabkan kerentanan biologik seseorang terhadap
stressor. Kerentanan ini menyebabkan sekresi CRH sangat tinngi bila orang tersebut menghadapi
stressor. Sekresi tinggi CRH ini akan berpengaruh pula pada tempat di luar hipotalamus, misalnya di
hipokampus. Akibatnya, mekanisme umpan balik semakin terganggu. Ini menyebabkan
ketidakmampuan kortisol menekan sekresi CRH sehingga pelepasan CRH semakin tinggi. Hal ini
mempermudah seseorang mengalami depresi mayor, bila berhadapan dengan stressor.
Peningkatan aktivitas aksis HPA meningkatkan kadar kortisol. Bila peningkatan kadar kortisol
berlangsung lama, kerusakan hipokampus dapat terjadi. Kerusakan ini menjadi prediposisi depresi.
Simptom gangguan kognitif pada depresi dikaitkan dengan gangguan hipokampus.
Hiperaktivitas aksis HPA merupakan penemuan yang hampir selalu konsisten pada gangguan
depresi mayor. Gangguan aksis HPA pada depresi dapat ditunjukkan dengan adanya
hiperkolesterolemia, resistennya sekresi kortisol terhadap supresi deksametason, tidak adanya
respon ACTH terhadap pemberian CRH, dan peningkatan konsentrasi CRH di cairan serebrospinal.
Gangguan aksis HPA, pada keadaan depresi, terjadi akibat tidak berfungsinya sistem otoregulasi atau
fungsi inhibisi umpan balik. Hal ini dapat diketahui dengan test DST (dexamethasone supression
test).
Neurotransmiter pada Mania (Gangguan Bipolar)
Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa pesan untuk
komunikasi berbagai beagian di otak dan sistem syaraf. Senyawa neurokimiawi ini, dikenal sebagai
neurotransmiter, sangat esensial bagi semua fungsi otak. Sebagai pembawa pesan, mereka datang
dari satu tempat dan pergi ke tempat lain untuk menyampaikan pesan-pesannya. Bila satu sel syaraf
(neuron) berakhir, di dekatnya ada neuron lainnya. Satu neuron mengirimkan pesan dengan

mengeluarkan neurotrasmiter menuju ke dendrit neuron di dekatnya melalui celah sinaptik,


ditangkap reseptor-reseptor pada celah sinaptik tersebut.
Neurotransmiter yang berpengaruh pada terjadinya gangguan bipolar adalahdopamin,
norepinefrin, serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin. Selain itu, penelitian-penelitian juga
menunjukksan adanya kelompok neurotransmiter lain yang berperan penting pada timbulnya mania,
yaitu golongan neuropeptida, termasuk endorfin, somatostatin, vasopresin dan oksitosin. Diketahui
bahwa neurotransmiter-neurotransmiter ini, dalam beberapa cara, tidak seimbang (unbalanced)
pada otak individu mania dibanding otak individu normal.
Misalnya, GABA diketahui menurun kadarnya dalam darah dan cairan spinal pada pasien
mania. Norepinefrin meningkat kadarnya pada celah sinaptik, tapi dengan serotonin normal.
Dopamin juga meningkat kadarnya pada celah sinaptik, menimbulkan hiperaktivitas dan nsgresivitas
mania, seperti juga pada skizofrenia. Antidepresan trisiklik dan MAO inhibitor yang meningkatkan
epinefrin bisa merangsang timbulnya mania, dan antipsikotik yang mem-blok reseptor dopamin yang
menurunkan kadar dopamin bisa memperbaiki mania, seperti juga pada skizofrenia.
http://dokterinuwicaksana.wordpress.com/2009/02/07/aspek-neuropsikologi-gangguan-mood/

Anda mungkin juga menyukai