Anda di halaman 1dari 27

BAB V

PEMBAHASAN
5.1. Simplisia
Metode pemisahan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
memisahkan suatu senyawa atau zat hasil metabolisme dari bahan awalnya,
misalnya tumbuhan. Dalam tumbuhan terdapat dua hasil metabolisme, yaitu
metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer merupakan suatu
produk utama yang terdapat dalam tumbuhan, yang pada umumnya dimiliki oleh
semua tumbuhan walaupun berbeda famili, genus, ataupun spesiesnya. Misalnya
adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Sedangkan, metabolit sekunder
merupakan produk kedua yang tidak dimiliki oleh setiap tumbuhan, umumnya
berfungsi sebagai zat pertahanan dan zat penarik bagi lawan jenisnya misalnya
saja glikosida, flavonoid, alkaloid, dan lain sebagainya. Untuk memperoleh hasil
metabolit sekunder ini, biasanya dilakukan isolasi lebih lanjut sebab senyawa
metabolit sekunder diyakini dan telah diteliti dapat memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia, antara lain manfaatnya dalam bidang kesehatan, pangan dan
pertanian. Isolasi suatu senyawa kimia dari bahan alam merupakan suatu proses
yang menggunakan metode yang sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan sifat-sifat
dari senyawa aktif yang ada dalam tumbuhan tersebut berbeda-beda sehingga
untuk memperolehnya dalam bentuk tunggal juga diperlukan beberapa metode.
Sebelum dilakukan metode pemisahan, tumbuhan, hewan atau bagiannya
dibuat menjadi simplisia terlebih dahulu. Simplisia adalah bagian tanaman atau
bahan alam yang belum mengalami proses pengolahan apapun, kecuali dinyatakan
lain, berupa telah dikeringkan. Simplisia terbagi 3 jenis, yaitu simplisia nabati,
simplisia hewani, dan simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tanaman utuh, bagian dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni. Sedangkan
simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan, atau
zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.
Simplisia mineral (pelikan) adalah simplisia yang berupa bahan-bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan

belum berupa zat kimia murni. Pembuatan simplisia dilakukan dalam 8 tahap
yaitu tahap pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan,
pengeringan, sortasi kering, pengemasan dan pemeriksaan mutu. Simplisia yang
digunakan pada praktikum ini adalah batang keladi (Araceae caladium), kayu
secang (Caesalpinia sappan L.), buah dan daun mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa), daun sisik naga (Drymoglossum piloselloides L.) serta batang sirsak
(Annona muricata).
Tanaman keladi merupakan salah satu famili Araceae dimana ciri khas
keladi sesuai dengan ciri semua anggota Araceae adalah bentuk bunganya. Bunga
keladi mempunyai tonjolan bulat memanjang dengan ujung tumpul yang disebut
spadiks. Spadiks di bungkus oleh selundang yang disebut spata. Umumnya warna
spadiks sesuai dengan spatanya. Saat masih muda spata membungkus spadiks
dengan rapat kemudian mekar, sehingga spadiks akan terlihat dimana spata
memiliki warna yang beragam, tetapi satu spata umumnya hanya terdiri dari satu
atau dua warna. Kandungan kimia yang terdapat pada daun dan bunga keladi
adalah saponin, pada rimpang keladi mengandung flavonoida, serta bunga dan
rimpangnya mengandung polifenol.
Secang (Caesalpinia sappan L.) merupakan tanaman perdu yang umumnya
tumbuh ditempat terbuka sampai ketinggian 1000 m diatas permukaan laut.
Tingginya 5-10 m, batangnya berkayu, bulat dan berwana hijau kecoklatan. Pada
batang dan percabangannya terdapat duri-duri yang bentuknya bengkok dan
letaknya tersebar. Kayu secang mengandung asam galat, tanin, resin, resorsin,
brasilin,

brasilein,

d-alfa-phellandrene,

oscimene,

minyak

atsiri.

Daun

mengandung 0,16%-0,20% minyak atsiri yang berbau enak dan hampir tidak
berwarna. Kayu secang mempunyai berbagai macam khasiat antara lain sebagai
pewarna pada bahan anyaman, kue, minuman atau sebagai tinta. Karena Kayu
secang apabila direbus akan memberikan warna merah gading muda. Selain
khasiat tersebut di atas, kayu secang juga berkhasiat untuk obat berbagai macam
penyakit. Beberapa penyakit yang dapat diobati adalah diare, disentri, TBC, luka
dalam, sifilis, darah kotor, berak darah, memar berdarah, malaria, tetanus, tumor,
radang selaput lendir mata.

Mahkota dewa, atau yang dalam dunia biologi dikenal dengan nama
Phaleria Macrocarpa L ini, merupakan salah satu tanaman herbal yang populer
sebagai tanaman obat. Secara fisik, mahkota dewa terlihat sama dengan yang
lainnya. Namun para ahli tanaman membagi klasifikasi mahkota dewa ke dalam
1200 spesies yang disinyalir persebaran tumbuhnya tersebar ke 67 negara di
dunia. Meski klasifikasi mahkota dewa oleh para ahli dibagi ke dalam 1200 jenis,
namun secara umum khasiat tanaman ini sama antara jenis yang satu dengan jenis
lainnya. Tanaman mahkota dewa memang telah lama dikenal sebagai tumbuhan
obat yang ampuh melawan penyakit seperti eksim, tumor, kanker payudara,
kanker rahim, diabetes melitus, hepatitis, kolesterol, lemah syahwat, disentri,
leukemia dan masih banyak lagi lainnya. Mahkota dewa secara klinis tersusun
dari berbagai kandungan senyawa aktif yang masing-masing memiliki efek yang
baik untuk tubuh. Mahkota dewa juga memiliki sifat detoks sehingga baik untuk
membantu mengeluarkan racun dari dalam tubuh. Bagian dari tumbuhan yang
dijadikan sebagai sampel untuk dianalisis senyawa aktifnya dalam praktikum ini
adalah daun dan buah mahkota dewa. Buah mahkota dewa terdiri dari kulit,
daging, cangkang, dan biji. Buah berbentuk bulat dengan diameter 3-5 cm,
permukaan licin, beralur, ketika muda warnanya hijau dan merah setelah masak.
Daging buah berwarna putih, berserat dan berair. Kandungan kimia yang terdapat
pada buah mahkota dewa yaitu alkaloid, saponin, flavonoid, dan polifenol.
Daun sisik naga (Drymoglossum piloselloides L. Folium) bertangkai
pendek, berdaging tebal, berbentuk jorong atau jorong memanjang dan ujungnya
tumpul serta membundar. Jarak antara daun yang satu dengan yang lainnya sangat
dekat.
Batang sirsak (Annona muricata) berkayu keras dan bercabang sedikit. Arah
cabangnya tidak menentu atau berserakan sehingga sulit diatur. Batang sirsak
umumnya kecil, tetapi agak liat sehingga tidak mudah patah. Kulit batang pohon
sirsak mengandung senyawa tanin, fitosterol, ca-oksalat, murisine, dan alkaloid.
Kulit batang biasa dikonsumsi setelah direbus dengan air. Air rebusannya
digunakan untuk pengobatan penyakit asma, batuk, penenang dan hipertensi.

Masyarakat dari beberapa negara menggunakannya untuk menghangatkan tubuh,


mengobati flu, dan sebagai antiparasit.
Tahap pertama dalam pembuatan simplisia adalah pengumpulan bahan baku
dimana dapat dilakukan dengan mengambil serta memilah bahan baku tumbuhan
yang benar-benar baik untuk dapat dijadikan simplisia dimana kadar senyawa
aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda tergantung pada bagian tanaman yang
digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen,
lingkungan tempat tumbuh dari simplisia. Selanjutnya tahapan sortasi basah
dilakukan untuk membersihkan dan memisahkan kotoran-kotoran atau bahanbahan asing lainnya dari bahan simplisia. Setelah itu bahan baku dicuci untuk
membersihkan zat pengotor yang masih tertinggal. Bahan baku yang telah dicuci
kemudian dirajang atau dipotong kecil-kecil dengan tujuan untuk memudahkan
dalam proses pengeringan. Selanjutnya simplisia dikeringkan dimana bahan baku
ini tidak kontak langsung dengan cahaya matahari yang bertujuan untuk menjaga
sel-sel yang ada dalam sampel sehingga tidak merusak kandungan senyawa aktif
akibat paparan sinar UV yang dapat mengakibatkan sedikitnya senyawa aktif yang
akan didapatkan. Tujuan pengeringan yaitu agar didapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak dan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Dengan
mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan
mutu atau perusakan simplisia. Proses pengeringan dapat dihentikan apabila berat
sampel menjadi konstan setelah dilakukan tiga kali penimbangan. Dengan
demikian maka dapat dinyatakan bahwa kandungan air yang ada dalam sampel
sudah tidak ada kemudian dilakukan sortasi kering. Sortasi kering ini dilakukan
dengan tujuan untuk memisahkan benda-benda asing dan pengotor-pengotor lain
yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Setelah itu, simplisia
disimpan diwadah yang tertutup rapat. Bahan dan bentuk pengemasan harus
sesuai, dapat melindungi dari kemungkinan kerusakan simplisia, dan dengan
memperhatikan segi pemanfaatan ruang untuk keperluan pengangkutan maupun
penyimpanannya. Sebelum digunakan biasanya dilakukan pemeriksaan mutu
simplisia terlebih dahulu untuk mendapatkan simplisia yang benar-benar baik
hasilnya. Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau

pembelian dari pengumpul atau pedagang simplisia. Simplisia yang diterima harus
berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan umum.
Sampel basah batang keladi yang digunakan adalah 2 kg dan berat simplisia
kering yang diperoleh adalah sekita 700 gram. Simplisia kering kayu secang yang
diperoleh sebesar 3 kg. Sampel basah daun mahkota dewa yang digunakan adalah
3 kg dan setelah dilakukan tahapan pembuatan simplisia, didapat berat simplisia
kering adalah 2 kg. Sampel basah buah mahkota dewa adalah 5 kg sedangkan
setelah diperoleh simplisia kering beratnya adalah 700 gram. Sampel basah daun
sisik naga yang digunakan adalah 3 kg dan setelah dilakukan tahapan pembuatan
simplisia, didapat berat simplisia kering adalah 2 kg. Sampel basah kulit batang
sirsak yang digunakan adalah 2 kg dan sampel kering yang berhasil didapatkan
adalah 200 g.
5.2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah metode pemisahan berdasarkan kelarutan suatu zat yang
tidak saling campur atau kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cairnya. Salah
satu tujuan umum dari ekstraksi adalah untuk mengetahui identitas suatu senyawa
kimia yang terdapat didalam simplisia tersebut. Ada beberapa macam metode
ekstraksi, yaitu infudasi, maserasi, perkolasi, refluks, soxhlet, destilasi uap dan
evaporator. Metode ekstraksi yang digunakan untuk sampel kayu secang
(Caesalpinia sappan), yaitu metode refluks. Metode refluks memiliki prinsip
yakni sampel yang akan diekstraksi diletakkan didalam labu alas bulat bersama
dengan cairan penyari yang akan digunakan. Uap penyari mengalami kondensasi
oleh pendingin balik, embun yang terbentuk kemudian turun kembali ke dalam
labu sambil melarutkan zat aktif. Pelarut yang digunakan adalah etanol. Hal ini
dikarenakan sifat etanol yang semi polar sehingga dapat melarutkan atau menarik
senyawa dengan tingkat kepolaran yang tinggi dan senyawa dengan tingkat
kepolaran yang rendah, memiliki titik didih yang rendah sehingga mudah untuk
dipisahkan atau diuapkan antara ekstrak dengan cairan penyari. Dalam pemilihan
pelaru harus dipertimbangkan sifat-sifat dari pelarut mencakup titik didih,

kemudahan untuk terbakar, kamampuan untuk menguap, harga, serta tingkat


toksisitas pelarut. Kelebihan dari metode refluks adalah digunakan untuk
mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan terhadap
pemanasan langsung sedangkan, kerugiannya adalah membutuhkan volume total
pelarut yang besar.
Simplisa kering direfluks dengan pelarut etanol dalam labu alas bulat. Tidak
semua sampel digunakan sebab labu alas bulat yang digunakan hanya dapat
menampung beberapa gram sampel. Dipasangkan labu alas bulat pada rangkaian
alat refluks, tidak lupa menambahkan batu didih kedalam labu alas bulat untuk
menghindari terjadinya bumping dalam labu. Dinyalakan alat refluks dan direfluks
cairan selama kurang lebih 2 atau 3 jam. Selanjutnya ekstrak dipekatkan
menggunakan rotary evaporator dengan tujuan untuk memisahkan antara ekstrak
dengan sisa pelarut. Prinsip alat ini yaitu destilasi dalam kondisi vakum. Sampel
dipanaskan dalam kondisi vakum sehingga titik didih untuk pelarut menjadi turun
dan lebih cepat mengalami penguapan. Pelarut yang menguap terkondensasi dan
tertampung pada labu alas bulat lainnya. Kemudian ekstrak hasil rotary diuapkan
lagi pada waterbath untuk menguapkan secara sempurna pelarut yang masih
tertahan pada ekstrak. Sehingga diperoleh ekstrak dalam konsistensi lebih pekat
dengan warna coklat kemerahan seberat 20 gram.
Metode ekstraksi yang digunakan pada sampel kulit batang sirsak (Annona
muricata L) ialah metode sokletasi. Metode sokletasi ini dipilih karena pelarut
yang digunakan lebih sedikit dan larutan penyari yang dialirkan melalui sifon
tetap tinggal dalam labu, ekstraksi. Sokletasi merupakan ekstraksi padat-cair.
Ekstraksi padat cair digunakan untuk memisahkan analit yang terdapat pada
padatan menggunakan pelarut organik. Padatan yang akan diekstrak yaitu kulit
batang sirsak terlebih dahulu dihaluskan

dengan cara diiris-iris. Kemudian

sampel yang telah halus ditimbang lalu dibungkus dengan kertas saring. Setelah
itu dimasukkan ke dalam kelongsong. Pelarut yang digunakan ialah etanol. Etanol
digunakan karena dapat melarutkan hampir semua senyawa organik, baik polar
maupun non-polar, selain itu etanol dapat mudah menguap sehingga mudah
dipisahkan dari ekstrak. Selanjutnya labu kosong diisi dengan batu didih.

Batu didih merupakan benda yang kecil, bentuknya tidak rata dan berpori
yang biasanya dimasukkan ke dalam cairan yang sedang dipanaskan, batu didih
yang digunakan pada percobaan ini adalah batu didih sederhana yang dibuat dari
pecahan keramik karena tidak bisa larut dalam cairan yang dipanaskan serta tahan
terhadap pemanasan. Tujuan dari penambahan batu didih adalah untuk meratakan
panas dan menghindari terjadinya titik lewat didih. Pelarut organiknya yaitu
etanol dimasukan dalam labu alas bulat dan dimasukkan ke mantel pemanas
listrik. Kelongsong yang sudah berisi sampel, kemudian dipasang pada
seperangkat alat sokletasi. Kelongsong disambungkan dengan kondensor dan labu
alas bulat yang ditempatkan pada mantel pemanas listrik. Prinsip dasar metode ini
adalah cairan penyari dipanaskan, uap cairan penyari akan naik ke atas melalui
pipa samping naik kekondensor, uap pengembun dan menetes ke dalam kelonsong
berisi sampel yang diekstraksi. Ketika cairan penyari mencapai ketinggian ujung
sifon, seluruh cairan dalam kelongsong akan mengalir melalui sifon dan kembali
ke wadah labu alas bulat, proses ini disebut satu siklus. Proses ini akan terjadi
secara berulang-ulang. Semakin banyak terjadinya siklus maka proses pemisahan
akan maksimal dan proses ini dihentikan pada saat warna pelarut berubah menjadi
bening. Cara ini menguntungkan karena panas tidak melalui serbuk simplisia,
tetapi melalui pipa samping. Berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh
hasil ekstraksi dengan total 30 siklus dengan pangulangan ekstraksi sebanyak 5
kali.
Tahap selanjutnya adalah memekatkan ekstrak yang didapat dengan
menggunakan rotary evaporator dengan tujuan untuk memisahkan ekstrak dengan
pelarut. Evaporator adalah sebuah alat yang berfungsi mengubah sebagian atau
keseluruhan sebuah pelarut dari sebuah larutan dari bentuk cair menjadi uap.
Evaporator mempunyai dua prinsip dasar, untuk menukar panas dan untuk
memisahkan uap yang terbentuk dari cairan. Evaporator umumnya terdiri dari
tiga bagian, yaitu penukar panas, bagian evaporasi (tempat dimana cairan
mendidih lalu menguap) dan pemisah untuk memisahkan uap dari cairan lalu
dimasukkan ke dalam kondensor (untuk diembunkan atau kondensasi). Hasil dari
evaporator biasanya dapat berupa padatan atau larutan berkonsentrasi. Evaporasi

dilakukan pada suhu 70o untuk menghindari kerusakan senyawa metabolit


sekunder karena beberapa senyawa metabolit sekunder mudah rusak pada suhu
tinggi. Setelah dievaporator, diperoleh ekstrak kasar etanol berwana merah
kecoklatan dengan berat 11 gram.
Metode ekstraksi yang digunakan pada sampel daun sisik naga
(Drymoglossum piloselloides L.) adalah metode maserasi. Maserasi dipilih karena
pengerjaannya yang mudah dan hanya memerlukan peralatan yang sederhana.
Kekurangan dari maserasi adalah dibutuhkan volume pelarut ekstrak yang sangat
banyak dan wadah pengujian yang besar. Maserasi digunakan untuk penyarian
simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari,
tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari. Bahan
yang diekstraksi dalam metode ini adalah bahan yang tidak tahan terhadap panas,
dan simplisianya bertekstur lunak. Prinsipnya adalah simplisia akan direndam
dengan pelarut yang sesuai, sehingga pelarut akan masuk kedalam sel yang ada
dalam simplisia dan melarutkan zat yang ada dalam simplisia. Dalam pemilihan
pelarut dapat berdasarkan pada prinsip like dissolves like karena pelarut akan
menarik senyawa sesuai dengan tingkat kepolaran. Pelarut yang digunakan pada
tahap ini adalah pelarut etanol. Dalam pemilihan pelarut harus berdasarkan sifatsifat pelarut termasuk titik didih, kemudahan pelarut terbakar, harga, kemampuan
menguap serta tingkat toksisitas pelarut.
Sampel kering dengan berat 700 gram, direndam dengan pelarut etanol 2
liter. Dimasukkan dalam toples yang tertutup rapat dan diaduk sesekali. Hasil
akhir dari poses maserasi daun sisik naga menghasilkan laurutan ekstrak berwarna
hijau muda. Kemudian larutan ekstrak dipekatkan menggunakan rotary
evaporator. Hal ini bertujuan untuk memisahkan ekstrak dengan pelarut.
Kemudian ekstrak yang telah dipekatkan, diuapkan kembali pada water bath
untuk menguapkan secara sempurna pelarut yang masih tersisa pada ekstrak.
Hasilnya diperoleh ekstrak yang lebih pekat dengan warna hijau muda. Berat
ekstrak kental yang diperoleh adalah 53,1 gram.
Metode ekstraksi yang digunakan pada sampel batang keladi (Araceae
caladium) dan buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) adalah metode

maserasi juga. Hasil akhir dari poses maserasi batang keladi menghasilkan
laurutan ekstrak yang berwarna hijau pekat yang menandakan bahwa pigmen
warna pada batang keladi juga ikut larut dalam pelarut etanol. Setelah itu, larutan
ekstrak dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator yang bertujuan untuk
memisahkan ekstrak dengan pelarut yang digunakan. Kemudian ekstrak yang
telah dipekatkan dengan menggunakan alat rotary evaporator, diuapkan kembali
pada waterbath untuk menguapkan secara sempurna pelarut yang masih tersisa
pada ekstrak. Berat ekstrak kental sampel batang keladi yang diperoleh adalah
166,6 gram. Sedangkan, berat ekstrak kental sampel buah mahkota dewa adalah
31 gram dan 8,9 gram.
Metode ekstraksi yang digunakan pada sampel daun mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa) adalah metode perkolasi. Perkolasi merupakan cara
penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk
simplisia yang telah dibasahi. Prinsipnya adalah serbuk simplisia ditempatkan
dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan
penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk sampel, cairan penyari akan
melarutkan zat aktif dalam sel-sel yang dilalui mencapai keadaan jenuh. Sampel
kering dengan berat 700 gram, direndam dengan pelarut etanol 2 liter.
Dimasukkan dalam toples yang tertutup rapat dan diaduk sesekali. Hasil akhir dari
proses perkolasi daun mahkota dewa menghasilkan laurutan ekstrak berwarna
hijau muda. Kemudian larutan ekstrak dipekatkan menggunakan rotary
evaporator. Hal ini bertujuan untuk memisahkan ekstrak dengan pelarut. Prinsip
dalam alat ini adalah sampel dipanaskan menjadi vakum sehingga titik didih
pelarut menjadi turun dan lebih cepat mengalami penguapan. Pelarut yang
menguap akan terkondensasi dan tertampung pada labu alas bulat lainnya.
Kemudian ekstrak yang telah dipekatkan, diuapkan kembali pada water bath untuk
menguapkan secara sempurna pelarut yang masih tersisa pada ekstrak. Hasilnya
diperoleh ekstrak yang lebih pekat dengan warna hijau muda. Berat ekstrak kental
yang diperoleh adalah 53,1 gram.

5.3. Fraksinasi
Fraksinasi adalah metode pemisahan senyawa berdasarkan kelarutannya
didalam pelarut tertentu. Fraksinasi terbagi dalam beberapa metode, pemilihan
metode fraksinasi yang digunakan dalam situasi tertentu bergantung pada
beberapa faktor yaitu sifat senyawa yang terdapat dalam ekstrak, nasib awal fraksi
yang dipisahkan, keamanan, ketersediaan dan harga peralatan serta bahan yang
akan digunakan. Penggunaan metode fraksinasi pada percobaan ini adalah
ekstraksi cair-cair, ekstraksi cair-padat langsung dan ekstraksi cair-padat tak
langsung. Prinsip metode cair padat adalah sampel langsung dilarutkan dengan
pelarut yang akan digunakan, dimulai dari pelarut yang non-polar terlebih dahulu
lalu, ke pelarut polar. Alasan penggunaan metode ini, dikarenakan ekstrak yang
diperoleh sudah kental dan jumlahnya banyak sehingga dapat langsung dilarutkan
dengan pelarut yang akan digunakan. Kelebihan dari metode ini adalah fraksi
yang diperoleh lebih banyak daripada metode lain sedangkan, kerugian dari
metode ini adalah tidak ekonomis karena menggunakan banyak pelarut. Ekstraksi
cair-cair merupakan pemisahan komponen kimia diantara dua pelarut yang tidak
saling bercampur dimana sebagian komponen larut pada fase pertama dan
sebagian larut pada fase kedua. Proses fraksinasi ini dilakukan dengan
menggunakan corong pisah. Prinsip corong pisah adalah memisahkan zat atau
senyawa tertentu yang teerdapat dalam sampel berdasarkan perbedaan berat jenis
antara dua fase pelarut yang tak saling campur. Ekstraksi cair-padat tak langsung
yaitu ekstraksi cair-padat silika dimana pemilihan metode fraksinasi yang
digunakan bergantung pada beberapa faktor yaitu sifat senyawa yang terdapat
pada dalam ekstrak, nasib awal fraksi yang dipisahkan, ketersediaan dan harga
peralatan serta bahan yang akan digunakan serta keamanan.
Fraksinasi pertama menggunakan ekstrak etanol kayu secang (Caesalpinia
sappan). Mula-mula ekstrak dilarutkan dengan pelarut n-heksan sampai larut,
larutan yang diperoleh ditampung dalam botol kaca. Kemudian ekstrak dilarutkan
dengan pelarut etil asetat dan larutan ditampung dalam botol kaca yang berbeda.
Kemudian ekstrak dilarutkan dengan pelarut n-butanol dan larutan ditampung
dalam botol kaca yang berbeda. Terakhir dilarutkan dengan air dan ditampung

juga larutan dalam botol bensin yang berbeda. Setiap pelarut yang digunakan
diulang hingga warna larutan pada pelarut tersebut menjadi bening, barulah
dilanjutkan ke pelarut selanjutnya. Tujuan pengulangan ini adalah agar penarikan
atau pemisahan senyawa berlangsung sempurna dengan tingkat kepolaran yang
sesuai dengan masing-masing pelarut. Proses fraksinasi dimulai dari senyawa non
polar terlebih dahulu, disebabkan karena apabila yang digunakan adalah pelarut
polar, maka ditakutkan pelarut polar akan menarik semua senyawa yang terdapat
dalam ekstrak dan tidak terjadi pemisahan karena pelarut polar cenderung dapat
melarutkan senyawa polar maupun non polar. Sehingga digunakan pelarut non
polar terlebih dahulu karena pelarut non polar hanya dapat melarutkan senyawa
non polar, sehingga dapat terjadi pemisahan senyawa berdasarkan tingkat
kepolarannya.Hasil fraksinasi yang diperoleh diuapkan dalam wadah yang
berbeda-beda di atas penangas air untuk mendapatkan fraksi kering. Setelah
dilakukan penguapan, berat fraksi n-heksana yang diperoleh adalah 1,1 gram,
fraksi etil asetat 8 gram, fraksi n-butanol 1,5 gram, dan fraksi air 0,5 gram.
Fraksinasi kedua menggunakan ekstrak etanol batang sirsak (Annona
muricata). Ekstrak kasar etanol diencerkan dengan air lalu diaduk hingga
homogen, kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah. Lalu difraksinasi
berturut-turut dengan pelarut n-heksana, etil asetat, dan n-butanol. Terlebih dahulu
dimasukkan n-heksan ke dalam corong pisah yang berisi ekstrak lalu dilakukan
pengocokan hingga diperoleh fraksi n-heksana dan fraksi air dan ditampung fraksi
n-heksana. Hal ini dilakukan terus hingga fraksi bewarna jernih. Setelah jernih
dilakukan pergantian pelarut yaitu etil asetat dan dilakukan hal yang sama seperti
pengerjaan n-heksan hingga diperoleh fraksi etil asetat dan fraksi air. Selanjutnya
fraksi air difraksinasi dengan n-butanol hingga diperoleh fraksi n-butanol dan
fraksi air. Hasil ekstraksi cair-cair terhadap ekstrak etanol kental diperoleh fraksi
n-heksana sebanyak 0,4 g berwarna bening, fraksi etil asetat sebanyak 1 g
berwarna cokelat muda, dan fraksi n-butanol sebanyak 0,7 g berwarna cokelat tua.
Fraksinasi ketiga menggunakan ekstrak etanol buah mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa). Ekstrak yang dilarutkan terlebih dahulu dengan sedikit
etanol agar ekstrak dapat lebih mudah larut. Kemudian ditambahkan dengan

pelarut air, diaduk sampai homogen. Larutan ekstrak tersebut kemudian


dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan pelarut yang lebih non polar
terlebih dahulu, yaitu n-heksan. Kemudian campuran yang ada pada corong pisah
tersebut dikocok dengan kuat agar kedua larutan tersebut tercampur, kemudian
tutup corong pisah sesekali dibuka untuk melepaskan tekanan uap yang berlebihan
di dalam corong pisah. Corong pisah ini kemudian didiamkan agar pemisahan
antara dua fase berlangsung. Setelah terbentuk dua lapisan, maka lapisan bawah
diambil dan lapisan atas ditampung pada botol. Jika larutan pada lapisan atas
berwarna bening, maka pelarut n-heksana diganti dengan pelarut etil asetat.
Lapisan bawah yang berupa ekstrak dan pelarut air dimasukkan kembali ke dalam
corong pisah dan ditambahkan pelarut etil asetat, dan diulangi prosedur yang sama
seperti

pelarut

n-heksana.

Lalu

diulangi

prosedur

selanjutnya

dengan

menggunakan pelarut n-butanol dan air. Setelah dilakukan pemisahan pada corong
pisah dan pelarut-pelarut tersebut ditampung dalam wadah yang kemudian
diuapkan kembali untuk mendapatkan hasil dari fraksi yang selanjutnya
dilanjutkan dengan metode kromatografi lapis tipis.
Fraksinasi keempat menggunakan ekstrak etanol sisik naga (Drymoglossum
piloselloides). Sebelum dilakukan fraksinasi ditambahkan silika terlebih dulu
sebelum dilakukan fraksinasi. Hal ini dikarenakan larutan ekstrak daun sisik naga
yang tidak kering. Penambahan silika dengan perbandingan 1:1. Setelah itu pada
ekstrak yang telah bercampur dengan silika ditambahkan pelarut n-heksana,
kemudian etil asetat, n-butanol dan yang terakhir air. Hasilnya didapat bahwa
berat fraksi n-heksana yang diperoleh adalah 0,5 gram, berat fraksi etil asetat yang
diperoleh adalah 0,5 gram, berat fraksi n-butanol yang diperoleh adalah 1,1 gram,
dan berat fraksi air yang diperoleh adalah 22,89 gram. Fraksi yang dapat
dilanjutkan pada proses Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah fraksi yang
memiliki hasil lebih banyak yaitu fraksi n-heksana dan fraksi etil asetat. Alasan
tidak digunakan fraksi n-butanol dan air adalah karena jumlah senyawa yang
memiliki tingkat kepolaran serupa tidak dalam jumlah yang banyak.
Fraksinasi kelima menggunakan ekstrak etanol daun mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa). Sebelum dilakukan fraksinasi ditambahkan silika terlebih

dulu sebelum dilakukan fraksinasi. Hal ini dikarenakan larutan ekstrak daun
mahkota dewa yang tidak kering. Penambahan silika dengan perbandingan 2:1.
Setelah itu pada ekstrak yang telah bercampur dengan silika ditambahkan pelarut
n-heksana, kemudian etil asetat, n-butanol dan yang terakhir air. Hasilnya didapat
bahwa berat fraksi n-heksana yang diperoleh adalah 0,5 gram, berat fraksi etil
asetat yang diperoleh adalah 0,5 gram, berat fraksi n-butanol yang diperoleh
adalah 1,1 gram, dan berat fraksi air yang diperoleh adalah 22,89 gram. Fraksi
yang dapat dilanjutkan pada proses KLT adalah fraksi yang memiliki hasil lebih
banyak yaitu fraksi n-heksana dan fraksi etil asetat. Alasan tidak digunakan fraksi
n-butanol dan air adalah karena jumlah senyawa yang memiliki tingkat kepolaran
serupa tidak dalam jumlah yang banyak.
Fraksinasi keenam menggunakan ekstrak etanol batang keladi (Arecacea
caladium). Fraksinasi pengendapan ini diawali dengan penimbangan ekstrak
dimana ekstak yang digunakan ini tidak kental tetapi masih dalam keadaan cair
sehingga membutuhkan silika gel yang halus untuk menarik senyawa dari
senyawa non polar hingga senyawa polar. Komposisi silika yang ditambahkan
dengan ekstrak adalah sebanding dimana ekstrak yang berada dalam wadah
ditambahkan dengan silika sambil diaduk dengan cepat hingga semua ekstak
dapat meresap ke dalam silika kemudian ditambahkan dengan pelarut n-heksana
lalu diaduk agar mempercepat proses penarikan senyawa non polar yang terdapat
pada sampel kemudian yang larut pelarut n-heksana dipisahkan dengan endapan
dari silika gel dan pelarut n-heksana ditampung di dalam botol. Selanjutnya residu
yang tidak larut dengan n-heksana ditambahkan kembali dengan pelarut etil asetat
kemudian diaduk untuk mempercepat proses penarikan senyawa oleh pelarut lalu
yang larut pada pelarut etil asetat dipisahkan dengan endapan atau supernatannya
kemudian untuk pelarut n-butanol dapat dilakukan dengan menambahkan pelarut
n-butanol pada residu yang tidak larut pada pelarut etil asetat lalu diaduk dan
pelarut n-butanol ditampung. Setelah pelarut n-butanol lalu pelarut air dimana
residu yang tidak larut pada pelarut n-butanol ditambahkan kembali dengan
pelarut air lalu diaduk dan ditampung pelarut air pada botol. Setelah itu masingmasing pelarut diuapkan dengan menggunakan water bath untuk dapat

mengguapkan pelarut yang digunakan sehingga diperoleh fraksi ekstrak yang


diinginkan. Pada fraksi air yang telah diwater bath, fraksi ini mengalami
kegagalan karena terdapat jamur sehingga fraksi ini tidak digunakan untuk
pengujian selanjutnya. Air merupakan suatu media tumbuh yang baik untuk
bakteri, kapang dan khamir sehingga perlu penanganan yang lebih untuk
mendapatkan fraksi air.
5.4. KLT
KLT (Kromatografi Lapis Tipis) merupakan metode tahap awal yang
digunakan untuk mengetahui senyawa yang ada dengan eluen yang tepat untuk
melakukan pemisahan sehingga diperoleh kumpulan senyawa berupa noda yang
memisah. Kromatografi lapis tipis adalah teknik pemisahan suatu senyawa
berdasarkan tingkat kepolaran suatu senyawa dengan eluennya. Eluen merupakan
campuran dua atau lebih pelarut. Prinsip kerjanya memisahkan sampel
berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan.
Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari plat silika dan fase geraknya
disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran
antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak
tersebut. Keuntungan dari penggunaan kromatografi lapis tipis adalah lebih
mudah penggunaannya dan lebih murah. Kekurangan dari teknik ini adalah
prosedur pembuatan lempeng yang memerlukan tambahan waktu.
Sebelum digunakan, plat silika gel diaktifkan terlebih dahulu sehingga pada
saat digunakan plat silika gel dapat menjerap eluen dan berikatan dengan senyawa
dalam sampel. Plat silika gel diaktifkan dengan cara di oven pada suhu 110 0 C
selama 30 menit. Pengaktifan plat KLT berfungsi untuk menghilangkan uap air
dan udara sehingga eluen dapat bergerak ke batas atas. Eluen yang digunakan
pada percobaan ini ada 3 yaitu, metanol, etil asetat dan n-heksan dengan
perbandingan yang berbeda-beda. Perbandingan pelarut yang digunakan ini
dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan polaritas pelarut, sehingga dapat
menarik senyawa yang diinginkan. Eluen adalah campuran dua atau lebih pelarut

yang digunakan sebagai fase gerak. Sampel yang akan dianalisis dengan
menggunakan KLT yaitu fraksi-fraksi tiap sampel yang telah ditentukan.
Fraksi n-heksan, etil asetat dan atau fraksi n-butanol dari tiap sampel
dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut metanol : kloroform (1 : 1) secukupnya,
kemudian ditotolkan pada plat KLT dengan menggunakan pipa kapiler. Penotolan
pada plat KLT menggunakan pipa kapiler dilakukan bertujuan agar mempermudah
tempat penotolan pada plat KLT di tempat yang sama. Selain itu, ukuran pipa
kapiler yang kecil juga memungkinkan tidak menggunakan ekstrak yang banyak
dan menghasilkan noda yang sesuai. Pada plat KLT digunakan batas atas dan
batas bawah, batas atas berukuran 0,5 cm dan batas bawah berukuran 1 cm. Batas
atas berfungsi untuk mengetahui batas akhir eluen bergerak pada plat KLT dan
batas bawah merupakan tempat untuk penotolan ekstrak.
Eluen yang telah dibuat sesuai dengan perbandingan yang telah ditentukan
dijenuhkan terlebih dahulu dengan cara dimasukkan kertas saring ke dalam
chamber yang telah besisi eluen, namun kertas saring tidak boleh sampai
mengenai eluen langsung. Hal ini dikarenakan apabila kertas saring mengenai
eluen maka eluen dapat terserap oleh kertas saring dan dikhawatirkan konsentrasi
eluen dapat berubah sehingga proses elusi dapat terganggu. Selama proses
penjenuhan, chamber harus dalam keaadaan tertutup rapat untuk menghindari
terjadinya kontak eluen dengan udara. Penjenuhan eluen bertujuan untuk
menjadikan eluen memenuhi chamber dalam bentuk gas sehingga kromatografi
berjalan dengan baik. Jika eluen tidak memenuhi chamber, maka distribusi
daripada fase diam tidak akan dapat berjalan sehingga kromatografi gagal dan
hasil yang diperoleh tidak teliti. Padahal dalam kromatografi bertujuan untuk
menentukan senyawa apa yang terdapat dalam sampel dengan ditandai adanya
bercak/noda yang menunjukkan suatu senyawa. Tiap senyawa memiliki distribusi
yang berbeda-beda dalam suatu fase gerak. Digunakan kertas saring agar
diketahui apakah eluen sudah jenuh atau belum yang ditandai dengan basahnya
kertas saring sebagai tanda bahwa eluen telah jenuh. Setelah eluen jenuh, kertas
saring dikeluarkan kemudian dimasukkan plat yang telah ditotol dengan larutan
fraksi ke dalam chamber dengan posisi plat berdiri dengan kemiringan 5 dari

dinding chamber. Eluen yang merupakan fase gerak akan melarutkan komponen
zat campuran yang ditotolkan pada plat KLT. Komponen yang mudah tertahan
pada fase diam akan tertinggal, sedangkan komponen yang mudah larut dalam
fase gerak akan bergerak lebih cepat. Suatu pelarut yang bersifat polar akan
tertahan pada silika gel yang bersifat polar sedangkan komponen yang bersifat
non polar akan tertarik oleh eluen. Semakin dekat kepolaran antara senyawa
dengan eluen maka senyawa akan semakin terbawa oleh fase gerak. Hal ini
berdasarkan prinsip like dissolves like. Setelah eluen mencapai batas atas plat
diambil dan diamati di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm. Setelah diamati
dengan sinar UV, kemudian disemprotkan menggunakan H2SO4 10% dan diamati
kembali pada cahaya tampak dan dibawah sinar UV. Tujuan penyemprotan dengan
H2SO4 10% adalah untuk menampakan noda ekstrak pada plat KLT.
Mekanisme penampakkan noda pada sinar UV yaitu suatu molekul yang
mengabsorbsi cahaya ultraviolet akan mencapai keadaan tereksitasi dan kemudian
memancarkan cahaya tampak pada saat kembali ke tingkat dasar (emisi), emisi
inilah yang digambarkan sebagai fluoresensi (cahaya berwarna). Pada UV 254
nm, plat akan berfluoresensi sedangkan noda akan tampak berwarna gelap, karena
adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat
pada plat. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron tereksitasi dari tingkat energi
rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kekeadaan semula sambil
melepaskan energi. Pada UV 366 nm, noda akan berfluoresensi dan plat berwarna
gelap. Penampakan noda pada UV 366 nm adalah karena adanya interaksi antara
sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom yang ada pada noda
tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat
energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan
semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada UV 366 nm
terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluoresensi pada UV 366
nm. Tujuan penyemprotan dengan H2SO4 adalah untuk menampakan noda ekstrak
pada plat KLT. Pada cahaya tampak, terlihat noda naik pada plat. Hal ini karena

H2SO4 merusak gugus kromofor dan menyebabkan terjadinya pergeseran


batokromik yang sebelumnya hanya bisa terlihat di UV, tetapi setelah disemprot
H2SO4 dapat dilihat langsung. Pergeseran batokromik adalah pergeseran puncak
absorbsi ke arah panjang gelombang yang lebih besar (disebut juga red shift atau
batocrhromic shift). Hal ini terjadi karena pengaruh pelarut atau efek subsitusi.
Pergeseran hipsokromik (hipsocromic shift atau blue shift) adalah pergeseran ke
arah panjang gelombang yang lebih kecil/pendek.
Percobaan pertama menggunakan fraksi N-butanol, N-heksana, dan etil
asetat dari batang keladi. Eluen yang digunakan untuk fraksi n-heksana yaitu nheksana : etil asetat 4:1.. Eluen yang digunakan untuk fraksi etil asetat yaitu nheksana dan etil asetat dengan perbandingan 4:1 dan 3:1. Eluen yang digunakan
untuk fraksi n-butanol yakni metanol dan etil asetat dengan perbandingan 1:2 dan
1:1. Nilai Rf KLT menggunakan eluen metanol dan etil asetat 1:2 dan 1:1
berturut-turut dari penampakan noda di UV 254 nm dan 366 nm yakni 0,93, sinar
tampak dan setelah disemprot H2SOyakni 0,35.
Pada percobaan plat KLT dengan fraksi n-heksana, digunakan eluen yaitu nheksana dan etil asetat dengan perbandingan 4:1. Hasilnya ialah diperoleh noda
tampak namun masih berekor.Nilai Rf dari penampakan noda 366 nm yakni 0,44,
sinar tampak dan setelah disemprot H2SO4 yakni 0,67 Selanjutnya fraksi etil asetat
digunakan dengan eluen n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 4:1 dan
3:1. Hasil yang diperoleh yakni pada perbandingan 4:1 noda telah tampak pada
lampu UV 254 nm namun masih terdapat ekor. Sehingga dilakukan lagi dengan
perbandingan yang berbeda yakni 3:1, namun hasil noda yang diperoleh juga
kurang baik karena noda pada plat KLT masih berekor. Nilai Rf dari klt yang
dielusi dengan n-heksan dan etil asetat (4:1 dan 3:1) berturut-turut

dari

penampakan noda di UV 254 nm dan 366 nm yakni 0,33, 0.89 dan 0,67, 0,89,
sinar tampak dan setelah disemprot H2SOyakni 0,33 dan 0,44.
Adapun tujuan mengganti perbandingan dengan meningkatkan kepolaran
ialah agar noda yang dihasilkan tidak terlalu naik hingga mengenai batas atas.
Sedangkan tujuan menurunkan kepolaran ialah agar noda tidak berada terlalu
bawah. Karena diharapkan noda berada tepat di tengah plat KLT. Hasil pencarian

eluen yang baik dalam memisahkan noda atau senyawa pada plat KLT ini
kemudian dapat digunakan dalam pemisahan dengan metode kromatografi kolom.
Percobaan kedua menggunakan hasil dari fraksi n-heksana dan etil asetat
kayu secang karena paling banyak larut pada pelarut ini, sehingga kemungkinan
besar fraksi ini mengandung senyawa metabolit sekunder yang banyak. Eluen
yang digunakan pada fraksi n-heksana adalah n-heksana:etil asetat dengan
perbandingan 4:1. Awal elusidasi menggunakan eluen n-heksana : etil asetat
dengan perbandingan 4:1, noda yang tampak sudah memisah karena tidak berekor
dan tidak bertumpuk. Tetapi nodanya terlalu di atas, sehingga dilanjutkan dengan
peningkatan kepolaran dari eluen menjadi 4:3. Peningkatan kepolaran dengan
maksud agar diharapkan noda akan turun dan lebih terpisah lagi dengan senyawa
lainnya. Noda diturunkan agar terpisah dengan noda yang lainnya. Hasil elusidasi
dengan eluen 4:3 adalah noda yang tampak memisah dengan baik dan letaknya
tidak terlalu di atas seperti sebelumnya.Nilai Rf pada penampakan noda sinar UV
254 nm noda tidak tampak sedangkan pada UV 366 sebesar 0,82 dan setelah
disemprot H2SO4adalah 0,97.
Selanjutnya digunakan hasil fraksi etil asetat dengan eluen n-heksana:etil
asetat dengan perbandingan 1:4. Awal elusidasi menggunakan eluen n-heksana :
etil asetat dengan perbandingan 1:4, noda yang tampak bertumpuk dan berekor.
Noda berekor disebabkan fraksi yang digunakan terlalu pekat, sehingga fraksi
diencerkan lagi dengan pelarut etil asetat. Kemudian ditingkatkan kepolarannya
menjadi 1:5. Hasil dari elusidasi adalah noda sudah mulai memisah, tetapi masih
berekor. Nilai Rf pada fraksi n-heksana pada UV 254 nm dan 366 nm berturutturut adalah 0,91 dan 0,97. Setelah disemprot dengan H 2SO4memiliki nilai Rf
sebesar 0,80.
Percobaan ketiga menggunakan fraksi N-heksana dan etil asetat dari daun
mahkota dewa. Eluen yang digunakan untuk fraksi n-heksana yakni n-heksan dan
etil asetat dengan perbandingan 4:1 dan 4:3. Hasil noda pada perbandingan eluen
4:1 adalah noda yang tampak sudah memisah karena tidak berekor dan tidak
bertumpuk. Tetapi nodanya terlalu di atas, sehingga dilanjutkan dengan
peningkatan kepolaran dari eluen menjadi 4:3. Peningkatan kepolaran dengan

maksud agar diharapkan noda akan turun dan lebih terpisah lagi dengan senyawa
lainnya. Noda diturunkan agar terpisah dengan noda yang lainnya. Hasil elusidasi
dengan eluen 4:3 adalah noda yang tampak memisah dengan baik dan letaknya
tidak terlalu di atas seperti sebelumnya.
Selanjutnya fraksi etil asetat digunakan dengan eluen n-heksan dan etil
asetat dengan perbandingan 4:1 dan 1:4, eluen metanol dan n-heksana 1:4. Hasil
yang diperoleh yakni pada perbandingan 4:1 noda telah tampak pada lampu UV
254 nm namun masih berekor dan nodanya terlalu tinggi. Sehingga dilakukan lagi
dengan perbandingan yang berbeda yakni 1:4, namun hasil noda yang diperoleh
juga kurang baik karena noda pada plat KLT masih berekor. Kemudian eluennya
diganti dengan metanol dan n-heksana dengan perbandingan 1:4 noda yang
tampak memisah dengan baik dan nodanya tidak terlau tinggi. Nilai Rf pada
penampakan noda sinar UV 254 nm dan 366 yakni 0,95, 0,75, 0,22.
Pada sampel daun sisik naga digunakan fraksi n-heksana dan etil asetat.
Eluen yang digunakan yaitu eluen n-heksana dan etil asetat. Dimulai dari fraksi nheksana dengan menggunakan eluen n-heksana : etil asetat 4:1. Hasil noda yang
didapatkan terdapat enam noda yang memisah dengan baik. Kemudian dilanjutkan
dengan fraksi etil asetat dengan perbandingan eluen n-heksana : etil asetat 4:1.
Hasil noda yang didapatkan adalah terdapat penumpukkan noda dan selain itu
noda juga berekor. Hal ini dapat disebabkan karena masih banyaknya senyawa
yang belum dapat terbawa sesuai dengan kepolaran eluen yang telah ditentukan.
Sehingga, dilanjutkan dengan menurunkan kepolaran eluen menjadi 2:1.
Penurunan eluen diharapkan agar noda-noda yang menumpuk dapat terpisah
dengan baik. Hasilnya adalah noda yang telah memisah dan tidak menumpuk.
Pada fraksi n-heksana dengan eluen n-heksana : etil asetat (4:1) nilai Rf pada sinar
tampak adalah 0,27; pada sinar UV 254 nm adalah 0,33 dan pada UV 366 nm
adalah 0,33. Pada fraksi etil asetat dengan eluen n-heksana : etil asetat (4:1) nilai
Rf pada cahaya tampak adalah 0,14; pada UV 254 nm adalah 0,18 dan pada UV
366 adalah 0,18. Karakter senyawa pada fraksi etil asetat berdasarkan nilai Rf
tersebut yaitu bersifat polar. Hal ini dikarenakan kecenderungan dari noda yang

tidak mau mengikuti pergerakan eluen non polar dan cenderung tertahan pada plat
silika yang bersifat polar dilihat dari nilai Rf nya yang rendah.
Pada sampel kulit batang sirsak, fraksi yang pertama diuji adalah fraksi nheksan. Pada fraksi n-heksan digunakan eluen n-heksan : etil asetat dengan
perbandingan (4 : 1), eluen ini merupakan eluen yang sifatnya kurang polar. Hasil
yang didapatkan dari hasil KLT fraksi n-heksan yaitu terlihat satu noda pada
pengamatan dengan sinar UV 254 nm, namun tidak terlihat adanya noda pada
pengamatan dengan sinar UV 366 maupun setelah disemprot dengan H2SO4 10%.
Selanjutnya dilakukan pengujian KLT lagi pada fraksi etil asetat batang sirsak
menggunakan eluen n-heksan : etil asetat (4 : 1). Sifat dari eluen ini adalah non
polar. Hasil yang didapatkan adalah tidak ada noda yang tampak baik pada
pengamatan dengan sinar UV 254 nm, 366 nm maupun setelah disemprot dengan
H2SO4 10%. Tidak adanya noda yang naik ini dapat disebabkan karena
kemungkinan senyawa yang ada tidak bersifat bersifat non polar, sehingga
nodanya tidak naik. Setelah itu, eluen diganti menjadi n-heksan : etil asetat (1 : 4)
dimana sifat dari eluen ini adalah polar. Hasil yang didapatkan adalah tidak ada
noda yang tampak baik pada pengamatan dengan sinar UV 254 nm, 366 nm
maupun setelah disemprot dengan H2SO4 10%. Hal ini dapat disebabkan karena
senyawa yang ada sifatnya semi polar, sehingga nodanya tidak naik meskipun
telah digunakan eluen yang non polar maupun eluen yang polar. Selanjutnya eluen
diganti dengan metanol : etil asetat (3 : 1). Hasil yang didapatkan adalah tidak ada
noda yang tampak baik pada pengamatan dengan sinar UV 254 nm, 366 nm
maupun setelah disemprot dengan H2SO4 10%. Eluen keempat yang digunakan
adalah metanol : etil asetat (2:1) dimana sifat dari eluen ini adalah semi polar.
Hasil yang didapat dari pengujian ini adalah noda terlihat naik saat diamati
dengan sinar UV 254 nm, UV 366 nm maupun saat disemprot dengan H2SO4 10%,
namun noda yang terlihat seperti garis lurus, hal ini dapat disebabkan karena eluen
yang digunakan belum tepat sehingga senyawa yang ada belum terpisah dengan
baik. Selanjutnya eluen yang digunakan adalah metanol : etil asetat (1 : 1). Hasil
yang didapat dari pengujian ini adalah noda terlihat naik saat diamati dengan sinar
UV 254 nm, UV 366 nm maupun saat disemprot dengan H2SO4 10%. Pada

pengamatan di sinar UV 254, terlihat 4 titik noda, sedangkan pada sinar tampak
maupun UV 366, noda terliihat seperti garis lurus yang tebal. Selanjutnya
dilakukan pengujian KLT lagi pada fraksi n-butanol batang sirsak menggunakan
eluen metanol : etil asetat (1 : 1). Hasil yang didapatkan yaitu noda terlihat naik
baik pada pengamatan di sinar UV 254, UV 366 maupun setelah disemprot H 2SO4
10%. Pada pengujian ini terlihat 2 noda yang ada pada plat KLT. Eluen yang
selanjutnya digunakan adalah metanol : etil asetat (2 : 1). Hasil yang didapatkan
yaitu noda terlihat naik, baik pada pengamatan di sinar UV 254, UV 366 maupun
setelah disemprot H2SO4 10%. Pada pengujian ini terlihat noda yang berbentuk
seperti garis lurus, dan pada sinar UV 254 juga terlihat noda yang berbentuk bulat
yang ada pada plat KLT Pada fraksi etil asetat dengan eluen etil asetat : metanol
(3:1) nilai Rf pada sinar tampak adalah 0,3; pada sinar UV 254 nm adalah 0,32
dan pada UV 366 nm adalah 0,32. Pada eluen etil asetat : metanol (2:1) nilai Rf
pada cahaya tampak adalah 0,17; pada UV 254 nm adalah 0,19 dan pada UV 366
adalah 0,19. Karakter senyawa pada fraksi etil asetat berdasarkan nilai Rf tersebut
yaitu bersifat polar. Hal ini dikarenakan kecenderungan dari noda yang tidak mau
mengikuti pergerakan eluen semi-polar dan cenderung tertahan pada plat silika
yang bersifat polar dilihat dari nilai Rf nya yang rendah.
Pada sampel buah makota dewa, fraksi yang diuji menggunakan KLT adalah
fraksi n-heksana, etil asetat dan n-butanol. Eluen yang digunakan pada fraksi nheksana adalah n-heksana : etil asetat (4:1) dan n-heksana : metanol (4:1). Pada
fraksi etil asetat, eluen yang digunakan adalah n-heksana : etil asetat (4:1), nheksaan : etil asetat (1:4), n-heksana : etil asetat (1:8), n-heksana : etil asetat
(1:10) dan metanol : etil asetat (1:1). Pada fraksi n-butanol, eluen yang digunakan
adalah n-heksana : etil asetat (4:1), metanol : etil asetat (7:4), metanol : etil asetat
(4:7), metanol : etil asetat (5:6) dan metanol : etil asetat (2:7). Pada fraksi nheksana, noda yang teramati tidak bergerak dari batas bawah jika dilihat pada
sinar tampak maupun pada sinar UV. Pada fraksi etil asetat, noda yang teramati
pada sinar UV tampak berekor, sedangkan pada fraksi n-butanol, noda yang
teramati juga tampak berekor pada sinar UV. Nilai Rf yang didapat pada fraksi etil
asetat menggunakan metanol : etil asetat (1:1) adalah 0,88 pada sinar tampak,

pada UV 254 nm adalah 0,91 dan pada UV 366 nm 0,91. Pada fraksi n-butanol
dengan eluen metanol : etil asetat (2:7) nilai Rf pada sinar tampak adalah 0,77,
pada sinar UV 254 nm adalah 0,87 dan pada UV 366 nm adalah 0,87. Pada eluen
metanol : etil asetat (5:6) pada cahaya tampak adalah 0,74, pada UV 254 nm
adalah 0,79 dan pada UV 366 adalah 0,79. Eluen metanol : etil asetat (7:4) pada
cahaya tampak adalah 0,85, pada UV 254 nm adalah 0,90 dan UV 366 nm adalah
0,90. Jumlah noda yang didapatkan adalah 4 noda. Karakter warna noda pada
sinar tampak adalah berwarna kuning, pada UV 254 nm adalah coklat dan pada
UV 366 nm adalah hijau kehitaman, Karakter bentuk noda ada yang berekor dan
bertumpuk. Pada fraksi etil asetat dapat teramati karakter senyawa dari nilai Rf
nya yaitu bersifat semi-polar karena kemampuannya mengikuti eluen semi-polar
tinggi. Pada fraksi n-butanol dapat teramati karakter senyawa dari nilai Rf nya
yaitu cenderung bersifat polar. Hal ini dapat terlihat dari tingginya nilai Rf pada
saat elusi menggunakan eluen bersifat polar.
5.5. Isolasi
5.5.1.Kromatografi Kolom Konvensional
Metode

kromatografi

kolom

konvensional

adalah

suatu

metode

kromatografi klasik yang didasarkan pada pemisahan daya adsorbsi suatu


absorben terhadap suatu senyawa, baik pengotornya maupun hasil isolasinya.
Prinsip dari metode kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan daya
serap dari masing-masing komponen. Pada kromatografi kolom, campuran yang
akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom, penjerap yang
berada dalam tabung kaca, tabung logam atau bahkan tabung plastik. Pelarut (fase
gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya
berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa bergerak melalui kolom dengan
laju yang berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari alas
kolom. Alat yang digunakan adalah kolom gelas yang diisi dengan zat padat aktif
seperti silika gel sebagai fase diam. Zat yang dimasukkan melalui puncak kolom
akan mengalir ke dalam zat penyerap. Zat diserap dari larutan secara sempurna
oleh zat penyerapan berupa pita sempit pada ujung kolom dengan kecepatan yang
berbeda, sehingga terjadi pemisahan dalam kolom.

Pada kromatografi kolom konvensional hanya digunakan fraksi batang


keladi. Tahap diawali dengan dilakukan preparasi kromatografi kolom yang
dilakukan dengan membuat bubur silika. Pembuatan bubur silika dengan
perbandingan eluen dan silika adalah 1:1. Perbandingan yang digunakan harus
sesuai, jika silikanya terlalu sedikit maka tidak dapat memisahkan senyawa
dengan maksimal, sedangkan jika eluennya terlalu sedikit maka dikhawatirkan
tidak dapat mengelusi senyawa dengan optimal sehingga pemisahan menjadi tidak
baik. Setelah silika siap, maka dimasukkan di dalam kolom, lalu dipipet sampel
dan dimasukkan dalam kolom melalui dinding kolom sedikit demi sedikit. Kran
dibuka dan diatur tetesannya dan ditambahkan cairan pengelusi. Lalu ditampung
tetesan-tetesan yang keluar pada botol vial. Adapun alasan harus dibukanya kran
pada saat awal ialah agar tidak terjadi keadaan mampat oleh silika gel di
keseluruhan tabung kromatografi kolom.Lalu ditutup kran agar eluen tidak keluar
atau terbuang selama pengisian berlangsung.
N-butanol digunakan dalam tahap ini karena telah teramati pemisahan
dengan baik pada proses KLT. Eluen yang digunakan yakni n-heksana dan etil
asetat dengan variasi perbandingannya yaitu 4:1, 3:1, 2:1, 1:2, 1:4, 1:9, serta etil
asetat dan methanol dengan perbandingan 1:1. Adapun tujuan dari dilakukannnya
variasi perbandingan eluen terhadap fraksi n-butanol ialah untuk memastikan
keberadaan senyawa di dalam sampel dengan baik dari tahap pemurnian senyawa
aktif. Hasil dari fraksi-fraksi tersebut akan diperoleh dalam jumlah banyak sesuai
dengan pemakaian volume eluen. Botol vial yang digunakan untuk menampung
tetesan harus segera diganti dengan botol vial yang lain ketika terjadi perbedaan
warna dari tetesan tersebut. Terjadinya perubahan warna kemungkinan
dikarenakan terdapatnya perbedaan kandungan dan konsentrasi senyawa serta
keberadaan pengotor di dalam sampel.

5.5.2. Kromatografi Cair Vakum (KCV)

Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi


yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih
sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan
aliran fasa geraknya dibantu dengan pompa vakum. Fasa diam yang digunakan
dapat berupa silika gel. Prinsip dasar KCV ini adalah pemisahan secara adsorpsi
dan partisi yang dipercepat dengan bantuan pompa vakum. Keuntungan KCV
dibandingkan dengan kromatografi konvensional terletak pada jumlah fase gerak
yang digunakan. Pada KCV, konsumsi fase gerak hanya 80% atau lebih sedikit
dibandingkan dengan kromatografi konvensional, sedangkan kekurangan metode
ini adalah membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pada KCV hanya menggunakan fraksi etil asetat kayu secang. Fase diam
yang digunakan adalah campuran silika gel kasar dan halus dengan perbandingan
2:1. Silika yang digunakan adalah GF254 dan H. Pada GF254, G berarti gypsum
(CaSO4) sebagai perekat, F berarti fluoresensi hingga plat berpendar di bawah
sinar UV 254 nm, angka 254 menunjukkan besarnya panjang gelombang yaitu
254 nm. Sedangkan silika gel H adalah silika gel dengan tanpa adanya gypsum
dan fluoresensi. Silika jenis ini biasa digunakan pada kromatografi kolom. Fase
diam dengan perbandingan 10:1 dengan ekstrak ini dimasukkan ke dalam kolom
vakum yang terlebih dahulu telah dibilas dengan metanol. Dilakukan pemampatan
silika gel dengan cara dimasukkan n-heksana ke dalam kolom vakum dan vakum
dijalankan. Tetapi pada saat percobaan berlangsung, tidak dilakukan pemampatan
dengan n-heksana. Kemudian dimasukkan campuran bubur silika dengan ekstrak
yang telah telah dilarutkan menggunakan metanol dan bagian atasnya ditutupi
dengan kertas saring dan kapas agar menghindari percikan pada waktu
penambahan eluen. Dilarutkan menggunakan metanolagar terjadi proses
rekristalisasi (pembentukan kristral kembali). Ditambahkan 5 eluen secara
berututan, yaitu n-heksana, n-heksana:etil asetat (1:3), n-heksana:etil asetat (1:4),
n-heksana:etil asetat (1:5) dan metanol. Ditampung ke dalam botol kaca dengan
volume 100 mL. Tujuan penggunaan eluen yang bervariasi adalah untuk
memastikan keberadaan senyawa dalam sampel dengan baik dari tahap pemurnian
senyawa aktif yang nantinya akan terbentuk kristal. Kemudian dipilih beberapa

dari noda yang didapatkan untuk diujikan menggunakan KLT. Hasil dari KCV
adalah noda I berwarna merah kecokelatan yang memisah dengan minyak, noda II
berwarna jingga, noda III berwarna merah jingga, noda IV berwarna kuning
kecokelatan, noda V berwarna cokelat muda, noda VI berwarna merah
kecokelatan, noda VII berwarna kuning kehitaman, noda VIII berwarna kuning
kecokelatan, noda IX berwarna merah kehitaman, noda X berwarna merah
kehitaman, noda XI berwarna merah kehitaman, noda XII berwarna merah, noda
XIII berwarna merah dan endapan berwarna hitam kecokelatan. Diambil 5 noda
untuk dielusidasi dan diambil noda ketiga untuk dilanjutkan pada tahap KLTP.
Hanya diambil 5 noda karena pada noda-noda tersebut dianggap memiliki
senyawa metabolit sekunder yang terbanyak dan sebagai perwakilan pada seluruh
noda-noda yang didapatkan.
5.5.3. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)
Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode
pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang
sering dipakai adalah 0,5-2 mm, ukuran plat kromatografi biasanya 20x20 cm.
Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah
bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum
digunakan adalah silika gel. Plat yang digunakan terbuat dari lempengan kaca
dengan bubur silika yang dicetak di lempengan kaca.
Pada KLTP menggunakan fraksi kayu secang dibuat bubur silika dengan
perbandingan 1:2 dengan menggunakan pelarut air. Dihomogenkan di dalam
Erlenmeyer bertutup dengan cara digojog hingga homogen. Hasil fraksi kayu
secang yang telah dilarutkan ditotolkan pada plat silika gel dengan cara ditotolkan
dari kiri ke kanan hingga membentuk seperti pita. Fraksi yang digunakan adalah
noda Ia, noda Ib, noda III, noda V dan noda VI. Noda I dibagi menjadi 2, yaitu
berwarna kuning muda dan merah kecokelatan. Tetapi perlu diperhatikan pada
saat penotolan diusahakan tidak merusak atau membentuk lubang pada silika gel
yang nantinya akan membuat hasil elusi yang miring dan noda yang tidak bulat.
Kemudian dimasukkan ke dalam chamber yang berisi eluen n-heksana:etil asetat

(1:3) yang telah dijenuhkan. Hasil dari elusidasi ini akan dikerik dan akan
dilanjutkan dengan KLT 2 dimensi. Pita yang dikerok adalah pita yang berwarna
ungu muda.Alasannya penggunaan pita ini karena terpisah dengan baik, bagian
atas dan bawahnya tidak berwarna (tetap putih), serta pita ini memiliki warna dan
batas yang jelas.
Pada KLTP menggunakan fraksi batang keladi, terlebih dahulu menyiapkan
bubur silika dengan perbandingan eluen dan silika 1:1. Hasil pemilihan fraksi
pada kromatografi kolom yaitu vial 18, dari proses kromatografi kolom
konvensional, ditotolkan pada plat KLT yang telah diaktifkan, dari kiri ke kanan
secara berulang hingga larutan habis. Kemudian dikerik plat KLT dimana yang
diambil ialah pita yang lurus dan berpisah dari pita-pita lainnya agar
mempermudah dalam mendapatkan senyawa tunggal. Dikerik pada deret silika
yang terdapat noda dan dikumpulkan dalam satu wadah yang diekstraksi
menggunakan larutan metanol. Dipipet hasil ekstraksi pada bagian atas dalam
tabung sentrifugasi, karena pada bagian bawahnya ialah endapan silika. Adapun
tujuan dari sentrifugasi adalah memisahkan antara endapan silika dengan senyawa
hasil ekstraksi. Hasil dari KLTP ini kemudian akan di KLT lagi untuk melihat
profil senyawa. Hasil yang diperoleh dalam pengujian ini ialah noda yang tidak
tampak secara jelas. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan larutan yang ditotol
terlalu encer sehingga tidak terlihat baik pada UV 254 nm atau 366 nm. Selain itu
dapat

juga disebabkan

karena pemisahan

senyawa

dengan

silika gel

menggunakan sentrifuge tidak berjalan optimal dimana masih banyak ekstrak


yang menyelebungi silika gel dan tidak larut dalam pelarut sehingga pengujian
tidak dapat dilanjutkan pada KLT dua dimensi.
5.5.4. Kromatografi Dua Dimensi
KLT 2 dimensi atau KLT 2 arah ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi
sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang
hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asamasam amino. Rf (retention factor) merupakan nilai jarak relatif Rf pada pelarut.
Harga Rf dihitung sebagai jarak yang ditempuh oleh eluen. Senyawa yang

memiliki nilai Rf lebih besar, berarti memilki kepolaran yang rendah dan senyawa
yang memiliki nilai Rf kecil berarti memiliki kepolaran yang tinggi. Selain itu,
sistem 2 fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada
suatu campuran sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang
mempunyai tingkat polaritas yang berbeda.
KLT dua arah pada fraksi kayu secang dilakukan dengan melakukan
penotolan sampel pada salah satu sudut plat KLT dan dielusi menggunakan eluen
n-heksana:etil asetat (1:3). Setelah eluen naik hingga batas atas, plat KLT
dikeluarkan dan kemudian dielusi lagi dengan keadaan diputar ke arah kiri 90 o.
Kemudian hasil elusidasi diamati pada sinar lampu UV 254 nm dan 366 nm. Hasil
elusidasinya adalah noda berekor. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh eluen
yang digunakan adalah eluen yang sama, tanpa diganti dengan eluen yang lain.

Anda mungkin juga menyukai