Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Luthfi
Malik
2008-05-26 03:37:17 - by : admin
Kondisi dilematis yang menyertai perjalanan suatu daerah pemekaran baruseperti halnya
Buton Utarakarena masih tetap menguatnya klaim-klaim kepentingan yang bersifat
elitis ketimbang aspiratif dan partisipatif dari semua elemen masyarakatnya. Karena itu,
pragmatisme kepentingan elite menjadi semacam refrensi sakral yang perlu dijadikan
rujukan untuk menentukan berbagai hal yang berkaitan dengannya, seperti: penentuan posisiposisi penting di pemerintahan, penjatahan dalam penerimaan CPNS, figur mana yang dijagokan
untuk tampil dalam pemilihan Bupati defenitif, dan termasuk penempatan ibukotanya.
Berlangsungnya situasi yang demikian itu, tentu saja tidak muncul dengan tiba-tiba atau
secara kebetulan. Melainkan bermuara pada euforia poltik keberhasilan pemekaran yang
terabstraksi dengan tinta emas kesuksesan dalam konsepsi pemikiran kalangan
elitenyaindividu dan kelompok kepentinganyang ikut berperan aktif dalam proses
perjuangan pemekaran; dengan meninggalkan setumpuk suka-duka dan seberkas harapan.
Misalnya, bagaimana harus berhadapan dengan alotnya tarik-ulur kepentingan politik dan
ekonomi pemerintah induk, yang kemudian bersikap anti-pati untuk melepaskan sebagian
wilayahnya. Belum lagi ditambah dengan harus menyediakan karung rupiah sebaagai
upeti untuk lebih memuluskan jalannya pemekaran. Dan sebagai klimaksnya, setelah
mendapatkan
pengakuan
secara
legal-formal
dari
pemerintah
pusat.
Problemnya adalah jika elemen-elemen pemerintahnya (eksekutif dan legislatif) ikut masuk
dalam hiruk-pikuknya euforia politik keberhasilan pemekaran tersebut. Sehingga, sulit
diharapkan untuk mereflesikan gagasan-gagasan cerdas yang bersifat konstruktif,
strategis, dan berkesinambungan, demi masa depan daerah, dengan berbagai konsekwensi pilihan
rasionalitasnya. Sementara itu, dengan kekuatan spirit dan etika kolektivitas
masyarakatnya yang majemuk, kekayaan SDA yang berlimpah: Butur memiliki prospek
yang sangat menjanjikan untuk memulai meletakan kerangka dasar pembangunan secara
berkelanjutan (sustainable development). Namun, sangat disayangkan kalau perjalanan
panjang dalam proses pembangunan daerah ini, yang kerangka dasarnya baru diletakan sudah
terdistorsi oleh kecenderungan egosentris dari elite masyarakatnya dan ketidak-mampuan
pemerintahnya
dalam
menentukan
arah
kebijakan
daerahnya.
Menguatnya fenomena tersebut, bisa dibuktikan dengan perjalanan pemerintahannya yang
cenderung stagnan, etos birokratik yang tidak jelas, dan perencanaan pembangunan daerah yang
belum representatif (makro, menengah, dan mikro). Argumen dari pemikiran kritis ini, tidak
hanya merujuk pada bagaimana realitas sosio-politik yang berkembang di Butur selama
terbentuknya pemerintahan sendiri; tetapi juga kerangka analisis konseptual pembangunan untuk
konteks Indonesia. Secara hipotetis bahwa memang begitu banyak deviasi pembangunan
yang terjadi pada level lokal, setelah otonomi daerah. Karena anatara politik kekuasaan dan
pemerintahan di suatu daerah, berkorelasipositif atau negatifdengan politik
pembangunannya. Pembuktian dari pernyataan ini, menunjuk pada berbagai kenyataan yang
merefleksikan bagaimana tampilnya raja-raja kecil yang begitu berkuasa di daerah,
dengan serangkaian kebijakan pembangunannya yang bersifat mercusuar untuk
mendapatkan
popularitas
politik.
Oleh karena itu, ketika kita mencermati secara kritis dan analitis bagaimana jalannya politik
kekuasaan dan pemerintahan di Butur sejak terbentuknya hingga saat ini, agaknya belum
memiliki potret yang jelas untuk mengawali proses pembangunannya. Namun hal
tersebut, sudah menjadi semacam konsekwensi logis yang harus diterima; meskipun dalam
konteks ini, memprihatinkan bagi kalangan yang perduli terhadap pembangunan daerah dan
masyarakatnya.
Ibukota
Butur:
Idealnya
Ereke
atau
Buranga?
Sikap ogah-ogahan pemerintah Butur untuk mengembalikan ibukota kabupatennya dari Ereke
ke Buranga, agaknya juga perlu diletakan dalam konteks terbentuknya psiko-sosio-politik elite
masyarakatnya. Makin menguatnya kondisi tersebut adalah sebagai bias yang berkepanjangan
dari euforia keberhasilan mereka ketika mensukseskan perjuangan pemekaran. Agaknya,
kekuatan ini yang terus mengawal jalannya pemerintahan di Butur. Karena itu, maka untuk
menjawab pertanyaan: mengapa pemerintah Butursejak awal terbentuknya cenderung
memilih Ereke sebagai pusat aktivitas pemerintahannya? Apakah Bupati Butur yang justru lebih
memahami
aturan
perundang-undangan,
tidak
menyadari
bahwa
penempatan
ibukotasementara atau seterusnyadi Ereke, baik dari aspek moralitas kepemimpinan
maupun legal-formal-nya mengabaikan amanah undang-undang? Adalah merupakan suatu hal
yang
mustahil
untuk
tidak
diketahui
atau
pun
tidak
disadari!
Menurut hemat saya, substansi persoalannya bukan terletak pada konteks pemahaman atau
tidaknya terhadap undang-undang. Namun, begitu kuatnya pengaruh pragmatisme kepentingan
elite masyarakatnya, yang terus membayangi jalannya roda pemerintahan. Dalam
terminologi lain, pemerintah Butur: secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau pun tidak sengaja,
terbelenggu dalam konstelasi sosio-struktural-elitis yang menggorogoti legitimasi politik
kekuasaan dan mendistorsi berbagai kebijakan yang terkait dengan kepentingan
kolektivitas
masyarakat,
termasuk
penempatan
ibukotanya
di
Buranga.
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: apakah yang menjadi pertimbangan mendasar untuk
penempatan ibukota suatu daerah hasil pemekarankhususnya Buton Utarahanya sekedar
mengikuti amanat undang-undang atau ketersediaan sarana pendukung pemerintahan? Dalam
perspektif pilihan rasionalnya, tidak demikian. Sebab, kalau hanya dua faktor yang bersifat
formalis tersebut yang dijadikan dasar pertimbangan, agaknya sulit dirasionalisasikan ketika
dikaitkan
dengan
kepentingan
perencanaan
pembangunan
jangka
panjang.
Ereke misalnya, kalau menggunakan paradigma dan strategi pembangunan kawasan yang
berorientasi jangka panjangmisalnya 25-30 tahun ke depandan berkelanjutan antar
generasi, bisa diprediksi bahwa infra-struktur wilayah yang direncanakan untuk dibangun
sebagai ruang-ruang publik, sarana pemerintahan, pemukiman penduduk, dan pengembangan
ekonomi, maka pada rentang waktu tertentu sudah berbenturan dengan kepentingan masyarakat.
Artinya, kota Ereke memiliki keterbatasan untuk pengembangan kawasan perkotaan yang
sustainability. Asumsi dasar pemikirannya, adalah di satu pihak kepadatan penduduk terus
bertambah; di pihak lain, wilayah pemukiman terus berkurang lantaran dipadati oleh sarana
pembangunan fisik kota yang setiap saat bertambah. Kalau juga tetap dipaksakan, sebagai
implikasinya adalah bahwa dalam proses pembangunan jangka panjang dalam pengembangan
wilayah perkotaan di Ereke, menjadi berbanding terbalik dengan persiapan kawasan
pemukimannya.
Letak geografis Ereke yang memanjang dari Selatan (Lemo) ke Utara (Wa Ode Buri); pada
bagian Timur membentang Laut Banda dengan tebing-tebing cadasnya yang curam; kemudian di
bagian Barat terdapat teluk kecil yang melingkar dan mengitari pemukiman pantai kota yang
sempit. Belum lagi posisinya yang berada di ujung Timur pulau Buton. Dalam potret
bervariasi sesuai dengan penonjolan predikat yang dimilikinya. Dalam konteks ini, kota tidak
hanya sekedar berfungsi sebagai pusat pengendalian administrasi pemerintahan dan
pembangunan; tetapi juga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi, perdagangan barang dan
jasa, pengolahan industri (tambang, kimiawi, pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan).
Dengan demikian, adalah suatu hal yang biasa jika pada waktu tertentu terjadi pencemaran
lingkungan yang mencemari pemukiman warga yang ada di sekitarnya.
Pertumbuhan wilayah perkotaan, pada hakekatnya adalah suatu hal yang naf jika dalam
perencanaan pembangunannya hanya dikaitkan dengan pencitraan infra-struktur fisiknya,
misalnya: memiliki bangunan-bangunan megah, jalur jalan yang mulus, bersih, nyaman, dan
indah; atau sebaliknya: kotor, kumuh, dan bahkan menjadi langganan banjir. Tetapi, adalah
bagaimana struktur kehidupan masyarakat kota yang cenderung majemuk dengan
menampakkan lambang-lambang kekuasaan dominatif dalam hamparan ruang-ruang fisik dan
sosialnya (Evers, 2002). Dari berbagai kota besar dan kecil di Indonesia, penguasaan ruangruang fisik dan sosial justru didominasi oleh para pejabat negara dan pemerintah, pemilik
modal
ekonomi,
kalangan
intelektual,
dan
para
pekerja
profesional.
Dalam konteks perkembangan wilayah perkotaan yang berpredikat sebagai kota-kota
megapolitan, telah menciptakan citra kemodernan secara sosio-kultural dari
lapisan menengah-atas masyarakat. Indonesia. Namun, dalam cerminan yang lebih menonjol dan
kontra-produktif, ruang-ruang fisik dan sosialnya, mayoritas dipadati oleh masyarakat lapis
bawah (grassroot). Oleh karena mereka tidak memiliki akses yang jelas terhadap sumbersumber daya ekonomi di wilayah perkotaan, maka ketika berlangsung kenduri politik lima
tahunanmisalnya pilkada, pemilu, dan pilpresmereka hanya dijadikan sebagai obyek
mobilisasi
massa.
Perkembangan kota-kota di Indonesia telah melewati rentang waktu yang berabad-abad
lamanya. Masa kerajaan, kolonial, kemerdekaan, pembangunan dan industrialisasi, pasar bebas
dan globalisasi ekonomi. Oleh karena itu, perubahan-perubahan struktur fisik dan ruang-ruang
sosialnya pun terus berlangsung dengan setting kehidupan perkotaan yang multi-fungsi secara
berlebihan. Jakarta, sebagai kota metropolitan atau megapolitan, menyandang berbagai predikat
dengan beban fungsi yang berlebihan. Semuanya menjadi pusat: (1) ibukota negara; (2) kendali
pemerintahan; (3) penguatan kontrol pertahanan dan keamanan; (4) pertumbuhan ekonomi; (5)
transaksi perdagangan pasar global; (6) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; (7) urbanisasi
dan migrasi desa-kota; (8) kepadatan penduduk dan pemukinan kumuh; (9) perbelanjaan dan
hiburan.
Berbeda dengan Jakarta, perkembangan Surabaya lebih terfokus pada fungsi aktivitas
ekonomi perdagangan dan industrialisasi. Munculnya bencana lumpur Lapindo misalnya, yang
kemudian mengancam kehidupan masyarakatnya, adalah terkait dengan optimalisasi fungsional
kota Surabaya sebagai pengembangan industri dan perdagangan. Karena itu, kota pahlawan ini
sebagaimana kondisi Jakarta, atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, dalam proses
pertumbuhannya disertai dengan penonjolan ketimpangan struktur fisik dan ruang-ruang
sosialnya.
Membangun
Buranga
dengan
Strategi
Agropolitan
Peletakan fondasi dasar pembangunan wilayah (desa-kota), teruatama bagi daerahdaerah pemekaran seperti Butur, perlu menggunakan pendekatan paradigma dan strategi
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsekwensi logis dari pilihan
ini, sejak perencanaan awal sudah memerlukan kerangka pemikiran yang berorientasi pada
perencanaan pembangunan. Dengan demikian, maka pengembangan agropolitan bagi daerahdaerah baru sebagaimana halnya Buranga, dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development), pada prinsipnya untuk memberikan rangsangan terhadap
pertumbuhan wilayah pusat dengan strategi mengedepankan keseimbangan baru
yang meliputi pembangunan industri dan pertanian, yang terintegrasi dalam entitas agropolitan.
Sebagai implikasi jangka panjangnya, mempercepat dan memperkuat proses wilayah perkotaan
dan pedesaan secara integratif dan sinergisitas. Karena pembangunan tidak terjadi secara
serentak di mana-mana, tetapi muncul pada beberapa wilayah tertentu dengan intensitas yang
berbeda-beda. Pada wilayah-wilayah inilah yang disebut kutub-kutub pertumbuhan.
Dalam proses pembangunan, berfungsi sebagai penggerak kawasan untuk menyebar di berbagai
wilayah
sekitarnya.
Pendekatan pembangunan desa-kota yang menggunakan strategi agropolitan, tentu
saja memiliki landasan pemikiran kontekstual (Abustam, 1990). Substansinya, adalah
memperkenalkan unsur-unsur kemodernan pada tatanan kehidupan masyarakat pedesaan, namun
tetap berpijak pada lingkungan sosial budaya dan agamanya. Dengan demikian, dalam proses
perubahan sosial mereka: ekonomi, politik, dan budaya, terbangun suatu model baru
yang disebut agropolis. Tujuan akhirnya memperkecil pertentangan yang tajam dan
kesenjangan yang melebar antara wilayah pedesaan dengan perkotaan. Selain memperkecil
keretakan sosial masyarakat desa-kota yang berpotensi menyimpan bibit konflik
(latent conflict), orientasi jangka panjangnya dapat merangsang pertumbuhan wilayah-wilayah
agropolitan menjadi rangkaian kekuatan ekonomi yang prospektif di level lokal, regional,
nasional,
dan
boleh
jadi
secara
global.
Butur sebagai kabupaten yang baru terbentuk di Sulawesi Tenggaradengan pilihan
ibukotanya Burangamemiliki potensi sumber daya pertanian yang begitu besar untuk
diproyeksikan dalam proses pembangunan berkelanjutan, dengan menggunakan strategi
pendekatan agropolitan. Buranga berfungsi sebagai pusat penggerak untuk merangsang
pertumbuhan daerah-daerah satelitnya, yang membentuk lingkaran elips pembangunan
dengan penguatan jaringan institusi ekonominya dalam skala lokal dan regional. Namun, semua
ini terpulang pada bagaimana kemauan politik pembangunan pemerintah Butur untuk
mengantarkan masyarakat daerahnya dalam konteks yang lebih rasional, terencana, dan memiliki
keunggulan kompetitif, ketika memasuki kancah persaingan pasar bebas dalam
perekonomian
dunia
global.
Penulis: Master Studi Pembangunan UGM dan Candidat Doctor Sosiologi Ekonomi UI
Kendari Pos : Aspirasi & Inspirasi Masyarakat Sultra : http://kendaripos.co.id
Versi Online : http://kendaripos.co.id/?pilih=news&aksi=lihat&id=265