Anda di halaman 1dari 5

C-Reactive Protein

CRP adalah salah satu protein fase akut yang terdapat dalam serum normal walaupun
dalam jumlah kecil. Dalam beberapa keadaan tertentu dengan reaksi radang atau kerusakan
jaringan (nekrosis), baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan oleh karena
infeksi, kadar CRP dalam serum dapat meningkat sampai 1000 kali. Indikasi pemeriksaan CRP :
a. Membantu menegakkan diagnosis dari keadaan atau penyakit yang berhubungan dengan
proses keradangan, dan nekrosis jaringan.
b. Memantau hasil pengobatan (effectiviness of therapy) dan beberapa penyakit dengan
keradangan akut atau kerusakan jaringan.
c. Pertanda inflamasi pada penyakit kardiovaskular untuk meramal kemungkinan adanya
serangan jantung koroner dan menambah informasi faktor risiko tradisional (Handojo, 2003).

Sintesis CRP terutama di hati, yaitu oleh beberapa sel hepatosit. Menurut beberapa
sarjana, ada kemungkinan bahwa CRP juga disintesis oleh beberapa selain di luar hati. Dalam
waktu yang relatif singkat (6-8 jam) setelah terjadinya reaksi radang akut atau kerusakan
jaringan, sintesis, dan sekresi dari CRP meningkat tajam, dan hanya dalam waktu 24-43 jam
telah mencapai puncaknya. Kadar dari CRP akan menurun dengan tajam pula bila keradangan
atau kerusakan jaringan telah mereda. Dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai normalnya
kembali. Kemungkinan sangat besar bahwa produksi CRP tersebut dipengaruhi oleh suatu
mediator humoral, seperti interleukin-6 (IL-6). Sitokin lain yang ikut berperan dalam sintesis
CRP, yaitu Tumor Necrosis Factor Apha (TNF-) dan Transforming Growth Factor (TGF).
Hanya colchicine saja yang dapat menghambat produksi dari CRP sedangkan obat imunosupresif
(corticosteroid dan lain sebagainya) atau obat anti radang (NSAID) tidak menghambat
sekresinya. Fungsi dan peran CRP di dalam tubuh belum diketahui seluruhnya, banyak hal yang
masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP bukan suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai fungsi
biologis yang menunjukkan peranannya pada proses keradangan, dan mekanisme daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Beberapa hal yang diketahui tentang fungsi biologis CRP adalah, sebagai
berikut :
a. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri melalui reaksi presipitasi
atau aglutinasi.

b. CRP dapat meningkatkan aktivitas, dan motilitas sel fagosit seperti granulosit, dan monosit
atau makrofag.
c. CRP dapat mengaktifkan komplemen, baik melalui jalur klasik mulai dengan C1q maupun
jalur alternatif.
d. CRP dapat menghambat agregasi trombosit, baik yang ditimbulkan adrenalin, ADP maupun
kolagen.
e. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T . Dalam hal ini diduga CRP
memegang peranan dalam pengaturan bebrapa fungsi tertentu selama proses keradangan.
f. CRP mengenal residu fosforiklorin dari fosfolipid, lipoprotein membran sel rusak, kromatin
inti, dan kompleks DNA-histon.
g. CRP dapat mengikat, dan mendetoksifikasi bahan toksin endogen yang terbentuk sebagai
hasil kerusakan jaringan (Handojo, 2003).

Pada penentuanya, CRP dianggap sebagai antigen yang akan ditentukan dengan
menggunakan suatu antibodi spesifik yang diketahui jenisnya (antibodi anti CRP). Jadi
penentuan CRP merupakan suatu reverse serologi. Dengan suatu antisera yang spesifik, CRP
(merupakan Ag yang larut) dalam serum dan mudah dipresipitasikan. Menurut prinsip dasarnya
penentuan CRP dibagi sebagai berikut :
a. Tes Presipitasi
Sebagai antigen ialah CRP yang akan ditentukan, dan sebagai antibodi adalah anti CRP yang
telah diketahui.

b. Aglutinasi pasif
Pada penentuan CRP, antibodi yang disalutkan pada partikel untuk menentukan adanya
antigen di dalam serum.

c. Uji ELISA
Biasanya dipakai teknik Double Antibody Sandwich ELISA. Antibodi pertama (antibodi
pelapis) dilapiskan pada fase padat, kemudian ditambahkan serum penderita. Selanjutnya
ditambahkan antibodi kedua (antibodi pelacak) yang berlabel enzim. Akhirnya ditambahkan
substrat, dengan reagen penghenti reaksi. Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif.

d. Imunokromatografi
Uji imunokromatografi untuk CRP merupakan asai Sandwich imunonumetrik. Pada tes ini
antibodi monoklonal terhadap CRP diimobilisasi pada membran selulose nitrat di garis
pengikat (capture line). Bila ditambahkan serum yang diencerkan sampai ambang atas titer
rujukannya pada bantalan sampel (sample pad) maka CRP dalam sampel akan dihisap oleh
bantalan absorban menuju bantalan konjugat, dan akan diikat oleh konjugat (antibodi
monoklonal) pertama, berlabel emas koloidal. Selanjutnya CRP yang telah mengikat
konjugat akan dihisap oleh bantalan absorban menuju ke garis pengikat yang mengandung
antibodi monoklonal kedua terhadap CRP sehingga berubah warna menjadi merah. Sisanya
yang tidak terikat pada garis pengikat (capture line) akan bergerak menuju garis kontrol yang
mengandung antibodi anti tikus yang mengikat sisa konjugat yang tak terikat pada garis
pengikat. Konjugat yang tidak terikat dibersihkan dari membran dengan larutan pencuci yang
selanjutnya dihisap oleh membran absorban. Bila kadar CRP lebih tinggi daripada ambang
atas titer rujukannya, akan terbentuk warna merah coklat pada garis pengikat di membran
yang intensitasnya berbanding lurus dengan kadar CRP dalam serum. Pembacaan hasil secara
kuantitatif dapat dilakukan dengan Nycocard reader II.

e. Imunoturbidimetri

Merupakan cara penentuan CRP secara kuantitatif. Prinsip dasarnya hampir sama dengan
penentuan kadar protein lain secara turbidimetris. Jadi CRP dalam serum akan mengikat
antibodi spesifik terhadap CRP membentuk suatu kompleks imun. Kekeruhan (turbidity)
yang terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris. Konsentrasi dari CRP
ditentukan secara kuantitatif dengan pengukuran turbidimetrik (Handojo, 2003).

KORELASI PATOFISIOLOGIS
Dalam studi yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada tahun 2007,
kadar High Sensitive CRP (hs-CRP) dan Interleukin 6 (IL-6) secara signifikan terkait dengan
risiko DM terlepas dari kelompok etnis. Studi ini memberikan dukungan untuk peran kronis
peradangan dalam pengembangan DM tipe 2 pada perempuan. Menariknya, Tumor Nekrosis
Faktor alfa (TNF-alfa) menghambat langsung sinyal dari insulin mungkin berperan penting
dalam menginduksi resistensi insulin perifer pada orang obesitas. Peradangan sistemik,
ditunjukkan dengan adanya peningkatan penanda seperti hs-CRP, TNF-alfa, dan IL-6, mungkin
juga berperan penting dalam pengembangan berikutnya dari DM tipe 2.
Dalam studi in vitro telah membuktikan bahwa penurunan pengaturan dari endotel nitrat
oksida sintetase oleh hs-CRP dapat menyebabkan disfungsi endotel yang meningkatkan
resistensi insulin dengan menghasilkan produksi berlebih dari molekul adhesi endotel, yang
menginduksi resistensi insulin. Obesitas terkait inflamasi dan stress metabolik menginduksi
resistensi insulin menghambat aktivitas reseptor insulin. Selain itu, keadaaan resistensi insulin
yang meningkatkan produksi hepatik hs-CRP sejak insulin memiliki efek anti-inflamasi
sedangkan glukosa mempromosikan produksi asam lemak bebas, sehingga hasilnya peningkatan
stres oksidatif dan peningkatan hs-CRP (Codario, 2010).
Kadar CRP meningkat normal pada pasien DM tipe 2, dan CRP berkorelasi positif
dengan derajat aterosklerosis dan berisiko terkena penyakit jantung. CRP memiliki efek
prokoagulan terkait dengan faktor jaringan dan juga menghambat nitrat oksida sintase, yang
meningkatkan tekanan vaskular. CRP juga berpotensi dalam pembentukan bekuan dengan
menghambat plasminogen aktivator inhibitor-1. Pasien DM tipe 2 menunjukan disfungsi endotel
yang sangat besar. Sel endotel berperan penting dalam aktivasi trombosit dan migrasi sel otot
polos. Pada pasien DM produksi nitrat oksidase endotel menurun, memungkinkan proliferasi sel
otot polos dan agregasi platelet tidak terkendali, menyebabkan cedera pembuluh darah

meningkat dan selanjutnya terjadi aterosklerosis. Pada penderita DM terjadi peningkatan tekanan
vaskular dan migrasi otot polos vaskuler karena kenaikan vasokonstriksi, terutama endotelin-1.
Proses bermigrasinya otot-otot polos dari tunika media ke tunika intima, diperkirakan berperan
penting dalam pembentukan ateroma. Tidak seperti ateroma pada pasien nondiabetes, ateroma
pada diabetes itu jauh lebih stabil karena hiperglikemia menginduksi perubahan lipid,
meningkatkan apoptosis pada plak sel-sel otot polos menyebabnya pecahnya plak dan terjadi
penyakit jantung (Feinglos, 2008).

Penelitian Terkait
Pada peneletian yang dilakukan Rahman dan kawan-kawan (2009) DM tipe 2 dikaitkan
dengan peningkatan penanda pada penyakit mikro dan makrovaskular aterosklerosis yang
melibatkan jantung, serebral danpembuluh besar perifer. Penanda sub klinik inflamasi sistemik
CRP mungkin positif berhubungan dengan risiko aterosklerosis penyakit arteri koroner di masa
depan, penyakit serebrovaskular atau penyakit arteri perifer. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Rahman dan kawan-kawan kadar CRP serum (p < 0,05) lebih tinggi pada pasien DM tipe 2
dibandingkan dengan pasien kontrol sehat. Sangat signifikan (p < 0,001) korelasi positif
ditemukan antara CRP serum dan kadar glukosa darah puasa pasien DM tipe 2. Oleh karena itu,
diasumsikan dari penelitian tersebut bahwa peningkatan kronis kadar CRP merupakan indikasi
risiko pembentukan ateroklerosis.
Menurut penelitian Coban dan Sari (2003) dinyatakan bahwa Hs-CRP pada orang normal
cenderung rendah dan pada pasien dengan glukosa puasa yang meningkat kadar Hs-CRPnya
meningkat, jadi pada pasien dengan glukosa darah puasa yang meningkat berisiko terkena
penyakit kardiovaskular dibanding orang normal.
Menurut penelitian yang dilakukan Bhowmick dan kawan-kawan dinyatakan bahwa CRP
sebagai penanda adanya mikroalbuminuria pada pasien DM tipe 2 dengan kontrol glikemik yang
buruk. Penelitian ini mendukung hipotesis bahwa disfungsi endotel dan aktivitas inflamasi yang
terlibat dalam patogenesis mikroalbuminuria dan menggarisbawahi pentingnya kontrol glikemik
dalam perkembangan peradangan pada diabetes.

Anda mungkin juga menyukai