Anda di halaman 1dari 15

2.4.

Pengolahan Efluen Uranium dengan Cara Pengeringan


Percobaan terhadap efluen proses kimia yang ada di 6 jeligen yang mengandung uranium

berkisar 0,19 s/d 1 g/l dengan cara pengeringan. Tujuannya adalah pemungutan uranium dari
efluen dan filtratnya dikeringkan untuk disimpan sementara dalam bentuk padatan kering. Cara
yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode gravimetri. Mula-mula 50 ml efluen uranium
dengan keasaman 2,71 s/d 5,94 N dinetralkan dengan natrium hidroksida teknis sampai dengan
pH = 7, disaring dan filtratnya panaskan sampai kering, hasilnya ditimbang dan disimpan dalam
keadaan kering. Dari hasil pengeringan dapat dihitung berat efluen uranium kering yang
dihasilkan dan natrium hidroksida teknis yang dibutuhkan untuk memproses efluen uranium yang
ada di ruang HR 24A gedung 65 B3N - PTBN. Dari percobaan diperoleh hasil bahwa dari 6
varian efluen uranium (masing - masing 50 ml) yang dikeringkan menghasilkan efluen uranium
kering berkisar antara 7,88 s/d 21,34 g dan membutuhkan natrium hidroksida berkisar antara 4,78
s/d 10,91g. Dari data percobaan ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengeringkan efluen
uranium sebanyak 120 L dihasilkan padatan kering sebanyak 28,69 kg dan dibutuhkan 16,67 kg
natrium hidroksida teknis (kristal) (Yudhi, dkk., 2009).

Mulai

Penetralan dengan NaOH

Filtrasi

Filtratnya dipanaskan hingga


kering
Penimbangan Filtrat

Disimpan dalam keadaan kering

Selesai

2.1 Aplikasi Kromatografi Kertas Identifikasi Zat Warna Sintetis pada Agar-Agar Tidak
Bermerk yang Dijual di Pasar Doro Pekalongan dengan Metode Kromatografi Kertas
Makanan agar-agar merupakan salah satu produk makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat
terutama anak-anak. Dalam perkembangannya, makanan telah banyak diproduksi dengan beraneka
ragam warna dan rasa yang enak, salah satunya adalah makanan agar-agar yang dijual di Pasar Doro
Pekalongan.
Makanan agar-agar yang diambil untuk penelitian diambil langsung dari pasar yang ada di Doro
Pekalongan. Sampel diambil empat macam warna diantaranya merah, hijau, kuning dan orange dari
lima jumlah warna.
Prosedur pemeriksaan secara kualitatif dengan metode kromatografi kertas adalah sebagai
berikut :
1.

Sejumlah 3 buah agar-agar dimasukkan dalam beaker glass dan diasamkan dengan CH3COOH 6
% dengan pH 4.

2.

Bulu domba di cuci dengan rinso kemudian direndam selama 24 jam, di kering anginkan sampai
benar-benar kering dan dijenuhkan dengan eter.

3.

Sampel dipanaskan sampai zat warnanya dapat terserap pada bulu domba.

4.

Benang wol diambil, dirnasukkan cawan porselen kemudian dicuci berulang-ulang dengan air
hingga bersih.

5.

Ditambahkan ammonium hidroksida l2,5 % dan dipanaskan hingga zat wama pada benang wol
luntur.

6.

Benang wol diambil dan lunturan dipekatkan.

7.

Hasil pekatan ditotolkan pada kertas kromatografi dan ditotolkan juga baku pewarna yang sesuai
dengan warna sampel. Dieluasikan dengan jarak rambat eluasi 12 cm, penotolan contoh 2 cm
dari tepi bawah kertas kromatografi.

8.

Diencerkan 5 ml amoniak pekat dengan aquades hingga 100 ml dan ditambahkan 2 gr trinatrium
sitrat untuk larutan pengembang, lalu lakukan metode kromatografi kertas terhadap sampel.
(Susilowati, 2006)

2.5.1 Flowchart Aplikasi Identifikasi Zat Warna Sintetis pada Agar-Agar Tidak Bermerk
yang Dijual di Pasar Doro Pekalongan dengan Metode Kromatografi Kertas
Mulai
Dimasukkan agar agar ke dalam beaker glass

Diasamkan dengan CH3COOH 6% dengan pH 4


Bulu domba direndam selama 24 jam
dikeringkan hingga benar benar kering

Dijenuhkan dengan eter

Benang wol dimasukkan ke dalam cawan


porselen, dicuci berulang ulang dengan air

Ditambahkan amonium hidroksida 12,5 %

Dipanaskan hingga zat warna wol luntur

Benang wol diambil dan lunturan dipekatkan

Diencerkan 5 ml amoniak pekat dengan aquades hingga 100


ml dan ditambahkan 2 gr trinatrium sitrat untuk larutan
pengembang
Dilakukan kromatografi kertas

Selesai

NITRASI
Sintesis dan Karakteristisasi Poli (eter-sulfon) dan Poli ( eter sulfon) Ternitrasi sebagai
Material Membran untuk Imobilisasi Lipase
Enzim merupakan katalis yang potensial digunakan dalam skala laboratorium maupun skala
industri karena sifatnya yang menguntungkan. Akan tetapi, penggunaan enzim juga memiliki berbagai
keterbatasan seperti tidak dapat digunakan kembali setelah digunakan, biaya operasional yang mahal,
serta ketidakstabilannya terhadap suhu yang tinggi, pelarut organik, asam, basa, maupun pengocokan
secara mekanik. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan imobilisasi enzim pada solid support yang
sesuai. Salah satu polimer yang potensial untuk dijadikan solid support bagi enzim seperti lipase
adalah poli(eter sulfon) yang memiliki stabilitas termal yang tinggi, ketahanan mekanik yang baik,
serta resistan terhadap berbagai zat kimia. Modifikasi terhadap PES dilakukan untuk meningkatkan
kemampuannya sebagai solid support bagi lipase. Salah satu modifikasi yang perlu dilakukan dan
dioptimasi lebih lanjut adalah dengan menambahkan gugus nitro pada PES. Sehingga menghasilkan
PES dan PES ternitrasi sebagai starting material untuk imobilisasi lipase. Pertama-tama dilakukan
sintesis poli (eter-sulfon) dengan tiga cara yang berbeda. Selanjutnya dilakukan sintesis
nitrohidrokuinon. Kemudian dilakukan sintesis PES ternitrasi. Dan langkah terakhir adalah penentuan
massa molekul dan viskositas intrinsik polimer (Handayani, dkk, 2010).

Mulai
Dilakukan Sintesis Poli (eter-sulfon) dengan prosedur keitoko
Disintesis Poli (eter-sulfon) dengan polimerisasi kondensasi tanpa toluena

Disintesis Poli (eter-sulfon) dengan polimerisasi melalui bantuan microwave


Dilakukan Sintesis Hidrokuinon
Dilakukan Sintesis PES ternitrasi
Ditentukan Massa Molekul dan Viskositas Intrinsik Polimer
Selesai

ISOLASI ZAT WARNA


PROFIL KROMATOGRAM DAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN
KEMUNING (Murraya paniculata (L.) Jack.) TERHADAP BAKTERI Escherichia Coli IN
VITRO
Daun kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) mengandung senyawa kimia yang merupakan
metabolit sekunder seperti minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, saponin, damar, dan tanin. Untuk
mengetahui kandungan senyawa kimia dalam suatu tanaman dapat digunakan metode KLT
(kromatografi lapis tipis).
Ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack.) diperoleh dengan cara maserasi
menggunakan pelarut etanol 40 %. Direndam dan didiamkan selama 1 hari. Disaring dengan kain
flanel ke dalam mangkuk porselain. Sisa ampas direndam lagi dengan etanol dan diperlakukan sama
dengan sebelumnya. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan diatas tangas air dengan suhu 55 oC
hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh dilakukan uji profil kromatogram.
Untuk profil kromatogram, sebanyak 5 mg ekstrak kental dilarutkan dalam alkohol absolut
kemudian ditotolkan pada lempeng KLT Silikagel GF 254 (eMerck) Masukkan ke dalam bejana
pengembang yang berisi cairan pengembang yaitu eluen etil asetat. Kemudian dieluasi sampai batas
10 cm dari titik pusat awal penotolan. Setelah sampai batas, lempeng KLT diangkat dan dibiarkan
mengering. Kemudian diamati dibawah lampu UV Spectroline model ENF - 280 C/FE dengan

panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Bercak yang nampak dihitung jumlah dan lihat warna
fluoresensi yang nampak. Setelah itu diukur harga Rf-nya. Jumlah bercak menggambarkan banyaknya
komponen senyawa yang ada didalamnya, harga Rf dan warna bercak dicocokkan dengan pustaka
untuk mengetahui golongan senyawanya (Dwi, 2007).

Mulai
Ditimbang daun kemuning kering sebanyak 200 gram
Diekstrak dengan cara maserasi
menggunakan pelarut etanol 40 %
Direndam dan didiamkan selama 1 hari
Disaring dengan kain flanel ke dalam mangkuk porselain
Residu direndam lagi dengan etanol dan diperlakukan sama dengan
sebelumnya
Ekstrak diuapkan di atas tangan air dengan suhu 55 oC hingga kental
Sebanyak 5 mg ekstrak kental
dilarutkan dalam alkohol absolut
Larutan ditotolkan pada lempeng KLT Silikagel GF 254 (eMerck)
Masukkan ke dalam bejana pengembang berisi eluen etil asetat
Dieluasi sampai batas 10 cm dari titik pusat awal penotolan
Lempeng KLT diangkat dan dibiarkan mengering
Diamati di bawah lampu UV Spectroline model ENF 280 C/FE dengan
panjang gelombang 254 nm dan 366 nm
A

Dihitung jumlah bercak yang nampak dan lihat warna fluorensi yang nampak
Diukur harga Rf-nya
Uji aktivitas antibakteri
Selesai

SABUN
Pembuatan Sabun Mandi Gel Alami dengan Bahan Aktif Mikroalga dan Minyak Atsiri
Dewasa ini, sabun mandi sudah menjadi kebutuhan primer untuk semua manusia. Banyak
jenis sabun mandi yang ada di pasaran, salah satunya adalah sabun mandi gel yang kebanyakan
menggunakan bahan sintetik sebagai komponen penyusunnya sehingga berbahaya bagi kulit manusia.
Oleh karena itu, diperlukan inovasi baru menggunakan bahan aktif alami sebagai komponen
penyusunnya seperti serbuk Chlorella pyrenoidosa dan minyak atsiri yang memiliki sifat anti bakteri.
Metode pembuatan sabun mandi gel alami dibagi menjadi dua tahap yaitu pembuatan sabun
mandi cair terlebih dahulu dilanjutkan dengan proses perubahan sabun mandi cair menjadi sabun
mandi gel. Cara pembuatan sabun mandi gel alami berawal dari pencampuran minyak-minyak yang
digunakan ke dalam crock pot sambil dipanaskan, lalu pencampuran larutan alkali (KOH dan K2CO3)
dengan aquadest pada wadah yang lain. Lalu, larutan alkali dituangkan ke dalam campuran minyak
sambil diaduk hingga mencapai tahap trace (menyusut, mengental membentuk padatan). Dilakukan
pengadukan dengan interval waktu 20 menit selama 2,5-3 jam. Ketika telah padat dan lunak, pasta
sabun didilusikan dengan air agar menjadi sabun cair. Selanjutnya sabun cair dirubah menjadi sabun
gel. Pertama, mendispersikan sepimax zen dengan aquadest panas lalu diaduk hingga rata. Sabun cair
yang sudah dingin dimasukkan ke dalam campuran tersebut sedikit demi sedikit sambil terus diaduk
perlahan. Ditunggu sabun hingga dingin, dimasukkan bahan aktif alami. Sabun mandi gel alami
selesai dibuat (Nurhadi, 2012).

Mulai

Dimasukkan minyak - minyak ke dalam crock pot

Campuran minyak dipanaskan

Dicampurkan KOH dan K2CO3 dengan aquadest dalam wadah lain


Dituang larutan alkali ke dalam campuran minyak sambil diaduk

Pasta sabun didilusikan dengan air membentuk sabun cair

Didispersikan sepimax zen dengan aquadest panas


pada wadah lain lalu diaduk

Sabun cair yang sudah dingin dimasukkan ke dalam


campuran tersebut sedikit demi sedikit

Ditunggu hingga sabun dingin

Dimasukkan bahan aktif alami

Selesai

Kajian Penggunaan Selulosa Mikrobial Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kertas


Selulosa mikrobial merupakan jenis selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti
genus Acetobacter, Agrobacterium, Rhizobium, Sarcina, dan Valonia. Namun, Penghasil selulosa
mikrobial yang paling efisisen adalah dari genus Acetobacter terutama bakteri Acetobacter xylinum.
Selulosa mikrobial mempunyai karakteristik yang unik dan relatif lebih unggul dari selulosa kayu
terutama tingkat kemurniaannya.
Proses pembuatan media untuk starter diawali dengan penyaringan air kelapa. Air kelapa
yang telah disaring kemudian dimasak selama 2 jam setelah itu ditambahkan gula dan asam asetat.
Dengan komposisi dalam 1 litter air kelapa, membutuhkan 40 gram gula dan 6 ml asam asetat.
Setelah itu, media diletakan dalam wadah berukuran 30 x 30 cm untuk didinginkan selama 1 hari.

Media yang telah dingin dicampurkan dengan starter dan difermentasi. Perbedaan media untuk
starter dan produksi selulosa mikrobial terdapat pada jumlah gula dan asam asetat yang
ditambahkan.
Proses purifikasi dilakukan dengan pemasakan selulosa mikrobial menggunakan NaOH 1 %
pada 60 oC selama 20 menit.
Menurut Scramm dan Hestrin (1954) sintesis selulosa dari glukosa dalam suspensi bakteri
yang berkembang biak merupakan pengaruh dari fungsi oksigen. Produksi selulosa tidak terlalu
banyak dipengaruhi oleh nitrogen. Kecepatan produksi selulosa dapat disebabkan karena
konsentrasi sel pada pertumbuhan kultur dalam zona permukaan yang diaerasi. Gas CO2 dihasilkan
bersamaan dengan pertumbuhan kultur ditandai dengan munculnya gas CO2 yang mengangkat
jaringan ke permukaan (Hardiyanti, 2010).
Mulai

Disaring 1 liter air kelapa

Ditambahkan Gula 26,67 g


dan Asam asetat 4,8 ml
Dilakukan pemasakan 2 jam

Didinginkan selama 1 malam

Inokulasi dengan Acetobacter xylinum


48 %

Dihasilkan selulosa mikrobial

Selulosa mikrobial dipanaskan


dengan suhu 60 oC

Ditambahkan NaOH 1%

2.2.1 Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Kelarutan Kukurmin dari Tepung Kunyit
(Cucurma domestica Val ) pada Berbagai Suhu Air
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rimpang kunyit yang diperoleh dari pasar
tradisional dengan jenis rimpang adalah rimpang jari (fingers) dan diupayakan untuk jenis serta
ukuran yang relatif sama. Di samping rimpang kunyit, bahan lainnya adalah aquadest. Adapun alat
yang digunakan adalah pisau stainless steel, timbangan analitik dan triple beam balance, panci
perebusan, kompor gas, beaker glass, erlenmeyer, gelas ukur, stirrer dan magnetik, pengaduk, kertas
saring, oven biasa, baskom, blander, saringan, alu dan mortal, label, tissue, sendok, plastik kemasan,
packing plastik, Lovibond.
2.2.1.1 Penyediaan Bahan
Rimpang kunyit dengan jenis rimpang jari (fingers) yang diperoleh dari pasar tradisional,
terlebih dahulu disortasi dengan tujuan memisahkan rimpang yang benar-benar berkualitas baik
dengan jenis rimpang yang kisut, rusak, serta dari bahan lain yang mungkin sebagai bahan
kontaminasi. Selanjutnya dicuci bersih untuk membuang kotoran yang mungkin melekat, kemudian
ditiriskan untuk mendapatkan kondisi yang kering.
2.2.1.2 Pembuatan Bubuk Kunyit
A. Peeling dan Trimming
Perlakuan peeling ditujukan untuk membuang kulit rimpang kunyit dan trimming adalah
tindakan untuk membuang bagian sisa (material waste). Setelah peeling dan trimming, dilakukan
pencucian ulang untuk memperoleh kondisi yang lebih bersih.
B. Blanching
Rimpang kunyit diblanching dengan uap air yaitu dengan cara mengkukus rimpang pada suhu
o

82 C-85 oC selama 4-5 menit. Alasan penggunaan uap air adalah untuk menghindari / mengurangi
kemungkinan terlarutnya warna kuning dalam air saat blanching.
C. Perolehan Bubur Kunyit
Rimpang kunyit yang telah diblanching selanjutnya diblander untuk mendapatkan fase bubur
yang relatif halus. Diupayakan agar saat pemblanderan, penambahan air tidak terlalu banyak sehingga
bubur yang diperoleh tidak mengandung air yang berlebih dan mudah untuk dikeringkan.
D. Pengeringan Bubur
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven biasa pada suhu yang berbeda, sesuai
dengan perlakuan yang diinginkan dan lamanya waktu yang diperlukan. Pada saat pengeringan, secara
pasti bubur akan memadat atau membatu. Di kala kondisi seperti ini dapat dilakukan upaya
penggilingan ulang dengan mortal, selanjutnya hasil gilingan dapat diovenkan kembali. Jika
dibutuhkan, penggilingan dengan mortal dapat dilakukan untuk kedua kalinya. Kondisi bubuk kering
yang diinginkan, jika bahan yang dikeringkan telah memberikan penampakan gembur-gersang
sebagaimana kondisi tepung kering. Proses pengeringan dapat dihentikan bila bahan yang dimaksud

sudah memberikan penampakan yang benar-benar gembur-gersang sebagaimana kondisi tepung


diterima oleh masyarakat secara umum
Kelarutan kurkumin atau daya pewarnaan tepung kunyit :
- Ditimbang masing-masing sampel tepung kunyit yang telah diperoleh melalui pengeringan pada
suhu yang berbeda sebanyak 0,2 gr.
- Kemudian dimasukkan dalam air pelarut sesuai dengan suhu air pelarut yang diinginkan yaitu suhu
air kran, 40 oC, 55oC, 70 oC, 85 oC dan 100 oC.
- Dikocok selama 1 menit, setelah itu disaring dan diamati dalam Tintometer-Lovibond.
- Data yang diperoleh dari Lovibond (dengan derajat kemerahan dan kekuningan) dikonversi dalam
rumus :
D = 10R + Y
Di mana; R = Red/merah
Y= Yellow/kuning
- Sehingga diperoleh suatu angka mutlak
Misalkan : dari pengamatan Lovibond diperoleh merah 6,7 dan kuning 63,2
Maka; D = 10R + Y
= 10(6,7) + 63,2
= 130,2 = angka mutlak
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, secara umum dapat diketahui bahwa suhu
pengeringan dan suhu air pelarut memberi pengaruh terhadap kelarutan senyawa kurkumin atau
kurkuminoid. Pengaruh dari kedua factor tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Kelarutan Kurkumin
Taraf Suhu
Pengeringan
B1 ( 50 oC)
B2 ( 60 oC)
B3 (70 oC)
Setelah dilakukan analisa statistik, diketahui

Kelarutan
Kurkumin
5,63
5,65
5,44
bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh

yang berbeda terhadap kelarutan kurkumin. Untuk mendapatkan tingkat kelarutan kurkumin yang
tertinggi maka suhu pengeringan yang baik adalah 60 0C.

Tabel 2.2 Pengaruh Suhu Air Pelarut Terhadap Kelarutan Kurkumin


Taraf Suhu Air
Kelarutan
Pelarut
Kurkumin
P1 (air keran)
1,83
P2 (40 0C)
2,84
0
P3 (55 C)
3,00
P4 (70 0C)
4,83
P5 (85 0C)
7,79
P6 (100 0C)
13,14

Dari Tabel 2.2 di atas dapat dilihat bahwa tingkat kelarutan kurkumin yang tertinggi
ditunjukkan oleh P6 (100 0C) sebesar 13,14 dan yang terendah adalah P1 (air kran)sebesar 1,83.
Kelarutan kurkumin yang diujikan pada beberapa taraf suhu air suhu maksimum 100 oC artinya, suhu
air yang semakin meningkat maka jumlah kurkumin yang dapat larut akan semakin besar (Naibaho &
Sinambela, 2011).

Mulai
Rimpang kunyit disortasi lalu dicuci bersih kemudian ditiriskan

Kulit dan bagian sisa rimpang kunyit dibuang lalu dicuci ulang
Rimpang kunyit dikukus pada suhu 82 oC-85 oC selama 4-5 menit
mengkukus rimpang pada suhu 82 oC-85 oC selama 4-5 menit
Rimpang kunyit diblander
Rimpang kunyit dikeringkan denganomenggunakan
oven biasa pada
mengkukus rimpang pada suhu 82 oC-85 oC
o selama
o 4-5 menit
suhu yang berbeda (50 C, 60 C, 70 C)
Bubur kunyit yang memadat atau membatu digiling ulang dengan
mortal dan diovenkan kembali
Bubur kunyit disaring

Apakah bubuk kunyit sudah


kering seperti tepung?
Ya

Ya
Dilakukan uji kelarutan kurkumin pada
berbagai suhu air

Selesai

Tidak

Aplikasi Kenaikan Titik Didih Pemisahan Kardanol dari Minyak Kulit Biji Mete dengan
Metode Destilasi Vakum
Potensi jambu mete (Anacardium occidentale) di Indonesia cukup besar. Produksi jambu mete
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 1999
produksi jambu mete mencapai 88.658 ton gelondong, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi
94.439 ton. Produksi ini akan terus meningkat, mengingat Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan telah melaksanakan berbagai program untuk memacu perluasan dan peningkatan produksi
jambu mete, khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Tanaman jambu mete memiliki keunggulan
karena dapat dikembangkan pada daerah yang memiliki kondisi agroekologi marginal dan beriklim
kering, sehingga merupakan komoditas andalan di Kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Produk utama tanaman jambu mete
(Anacardium occidentale) adalah kacang mete, sedangkan produk ikutannya buah semu dan minyak
kulit biji mete (CNSL). Sampai saat ini, baik buah semu maupun kulit mete belum dimanfaatkan
secara maksimal, sebagian besar masih merupakan limbah. Potensi produksi CNSL di Indonesia
cukup besar. Menurut Muljohardjo, persentase kulit mete di dalam gelondong sekitar 45 - 50%, dan
kandungnan CNSL di dalam kulit sekitar 18 - 23%.
Komponen utama penyusun CNSL terdiri atas asam anakardat, kardanol dan kardol. Komponenkomponen ini merupakan senyawa fenolik yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai cabangnya.
Senyawa kardanol mempunyai struktur kimia yang mirip dengan fenol, sehingga berpeluang
mensubstitusi senyawa fenol. Perbedaannya, senyawa kardanol memiliki rantai cabang tak jenuh
(C15) pada posisi meta dari inti fenolnya. CNSL dan kardanol memiliki kegunaan yang luas dalam
industri kimia. Resin berbasis kardanol banyak digunakan untuk kanvas rem kendaraan sebagai
pengikat atau bubuk friksi, pelapis permukaan seperti cat anti karat, vernis dan laminating. Kardanol
juga dapat digunakan sebagai bahan pengikat bata, beton, baja dan kayu lapis, dan memiliki sifat
tahan terhadap kelembaban, asam dan alkali. Produk kardanol lainnya yang telah dimanfaatkan
diantaranya sulphonated ether cardanol sebagai wetting agent pada industri tekstil, dan amino
cardanol ether sebagai aditif pada minyak mineral karena dapat memperbaiki viksositas minyak
mineral, menghambat pembentukan endapan dan memiliki sifat antioksidan. Wax dengan titik lebur
yang tinggi dapat dibuat dari resin kardanol, dengan mereaksikan kardanol (3 pentadecyl phenol)
dengan Dichlorobutane. Wax tersebut lebih murah dan memiliki titik lebur 90-93 oC (Risfaheri, dkk,
2004).

2.1

Aplikasi Fermentasi (Pembuatan Tempe)


Pembuatan Ragi Tempe dari Beras
Ragi tempe merupakan bibit yang dipergunakan untuk pembuatan tempe. Oleh karena itu

sering pula disebut sebagai starter tempe. Ragi tempe mengandung jamur Rhizopus sp. yang dikenal
pula sebagai jamur tempe. Secara tradisional, jamur untuk starter pembuatan tempe biasanya diambil
dari daun pisang bekas pembungkus tempe pada waktu pembuatan, atau daun aru atau jati yang
dikenal dengan sebutan usar. Namun demikian, penggunaan daun pisang atau usar ini sangat
terbatas dan hanya untuk produksi kecil-kecilan. Untuk produksi yang lebih besar, starter tempe
dibuat dengan memperbanyak jamur tempe (Rhizopus sp.) pada media tertentu. Selanjutnya, spora
yang dihasilkannya diawetkan dalam keadaam kering bersama medium tempat tumbuh jamur tempe
tersebut. Dengan teknik seperti ini kualitas tempe yang diproduksi akan terjamin, karena dosis
penggunaan starter dapat diatur.
Proses pembuatannya adalah, pertama beras dicuci sampai bersih, kemudian ditanak hingga
menjadi nasi dan didinginkan. Pada nasi tersebut kemudian ditaburkan tepung tempe sebanyak 1%
dari berat beras yang digunakan dan diaduk sampai merata. Simpan nasi yang telah ditaburi bubuk
tempe di atas tampahbambu yang bersih dan diatasnya ditutupi dengan lembaran plastik atau daun
pisang. Simpanlah tampah yang berisi nasi tadi di tempat pemeraman yang bersih hingga seluruh nasi
ditumbuhi dengan jamur tempe. Jamur tempe yang telah menghasilkan spora akan tampak berwarna
hitam. Tutup plastik atau daun pisang sewaktu-waktu harus dibuka. Jemurlah nasi yang telah
ditumbuhi jamur tadi di bawah terik matahari hingga kering merata. Tumbuk atau giling nasi yang
telah kering sampai halus dan selanjutnya diayak. Bagian yang halus dari hasil saringan ini
merupakan starter tempe. Encerkan starter tempe ini dengan tepung beras yang telah digoreng sangan.

Untuk setiap 10 gram starter tempe tambahkan 50-100 gram tepung beras. Simpanlah starter yang
telah diencerkan dalam kantong-kantong plastik (Rochintaniawati, 2010).

Mulai
Beras dicuci sampai bersih
Ditanak hingga menjadi nasi
Ditambahkan tepung tempe sebanay 1%
dari berat beras
Diaduk sampai rata
Simpan ditempat yang bersih hingga nasi
ditumbuhi jamur
Jemur dibawah sinar matahari
hingga kering
Tumbuk nasi yang telah kering kemudian
diayak
Bagian halus hasil saringan adalah starter
temep
Selesai
ALKOHOL
Sakarifikasi Simultan dan Fermentasi Tongkol Jagung menjadi Bio-Etanol oleh
Aspergillus Niger dan Saccharomyces Cerevisiae
Produksi bio - etanol dari jagung adalah teknologi yang tidak membuat penurunan yang
signifikan dalam biaya produksi. Pengurangan biaya besar mungkin jika selulosa berbasis
limbah pertanian seperti tongkol jagung digunakan sebagai pengganti jagung. Dalam studi ini,
tongkol jagung yang berada di kelimpahan dan tidak mengganggu ketahanan pangan
disakarifikasi simultan dan difermentasi dengan Aspergillus niger dan Saccharomyces
cerevisiae selama 7 hari.
Tongkol jagung yang dikeringkan, digiling menjadi bubuk menggunakan palu
penggilingan dan disimpan pada suhu kamar (25 oC) sebelum digunakan. Media tumbuh yang
digunakan untuk kultur Aspergilus niger dan Saccharomyces cerevisiae inokulum yang
disiapkan masing-masing. Parameter seperti hasil biomassa, berat kering, konsentrasi gula
pereduksi, pH fermentasi menengah dan hasil etanol ditentukan pada interval 24 jam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragi dan biomassa kapang hasil yang diperoleh dari
tongkol jagung hari ke-7 adalah 0,59 ( OD ), sedangkan berat kering sel mikroba diperoleh
pada hari yang sama adalah 0,88 mg/cm3. Substrat dihidrolisis untuk menghasilkan 0,63
mg/cm3 konsentrasi gula pereduksi. Nilai pH dari medium fermentasi bervariasi antara 3,05
dan 7,58. Hasil etanol yang optimal dari 10.08 v / v diperoleh setelah 7 hari fermentasi. Hasil
ini menunjukkan bahwa limbah pertanian yang mengandung gula difermentasi tidak bisa lagi
dibuang ke dalam lingkungan kita, tetapi harus dikonversi ke produk yang bermanfaat seperti
bio - etanol (Itelima, dkk., 2013).

Mulai
70 120 gran tongkol jagung dikeringkan

Tongkol jagung yang sudah kering ditumbuk dan


disaring dengan saringan halus
45 gram bubuk tongkol jagung ditambahkan 500 ml air

Diautoklaf pada suhu 121 oC

Didinginkan pada suhu ruangan

Diinokulasi dengan 0,11 (OD)


spora A. Niger

Diinkubasi pada shaker dengan kecepatan pengadukan 300


rpm selama 5 hari
Dianalisa etanol yang dihasilkan

Selesai

Anda mungkin juga menyukai