Biologi
Biologi
I. PENDAHULUAN
Palatum sekunder adalah struktur di langit-langit mulut yang membatasi
rongga mulut dengan rongga nasofaring. Perkembangan palatum sekunder pada
vertebrata dari penonjolan jaringan di kedua sisi dalam maksila hingga menjadi
struktur fungsional yang memisahkan kedua rongga itu terjadi melalui serangkaian
proses yang rumit dan bervariasi antar kelas. Pada mencit, sebagaimana pada
hewan mamalia pada umumnya, proses ini melibatkan sejumlah kejadian dasar yang
penting pada perkembangan hewan, yaitu gerakan morfogenesis, sintesis senyawa
matriks spesifik, adesi sel, kematian sel, dan transdiferensiasi. Seluruh rangkaian
proses harus terkoordinasi dengan tepat, baik dari segi waktu maupun dari segi
jumlah dan jenis senyawa yang terlibat, Karena jika tidak demikian dapat
menyebabkan kegagalan penutupan palatum (Ferguson, 1988) .
Kegagalan penutupan palatum pacta masa embrio akan terwujud sebagai
cacat langit-langit mulut bercelah ( cleft palate) pada saat lahir. Pada manusia, cacat
jenis ini memiliki angka kejadian yang tinggi. Gorlin dkk dalam Kerrigan, dkk. (2000)
menempatkan cleft palate and lip di urutan tertinggi dari seluruh jenis cacat bawa
lahir yang dikenal pada penduduk dunia dengan angka rata-rata 1 kejadian per 700
kelahiran. Sampai saat ini etiologi cleft palate belum sepenuhnya terungkap, tetapi
telah diketahui bahwa faktor genetis dan faktor paparan agensia-agensia toksik dari
lingkungan (seperti etanol, retnoid, kafein, dioksin, dan berbagai jenis obat-obatan)
terhadap embrio yang sedang berkembang terminate di dalamnya.
Berdasarkan urutan kejadian perkembangannya, proses penutupan palatum
sekunder dapat dibagi ke dalam 4 tahapan, yaitu: 1.pertumbuhan vertikal 2.bilah
palatum dari tonjolan bilateral maksila, diikuti pertumbuhan menaik ( shelf
elevation) , dilanjutkan dengan tumbuh horizontal, dan diakhiri dengan fusi kedua
bilah palatum (palatal fusion) membentuk struktur sinambung yang menutup
sempurna langit-langit mulut. Fusi sinambung 2 bilah paltum dimungkinkan terjadi
Karena ujung epitel dari kedua sisi (Medial Edge Epithelia / MEE) bertransdiferensiasi
menjadi mesenkim (Kaartinen dkk) 1997; Martinez-Alvarez dkk., 2000). Shelf
elevation dan palatal fusion adalah 2 tahap paling genting dari proses palatogenesis.
Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa antikonfulsi fenitoin (5,5difenilhidantoin) yang diberikan pada induk mencit bunting selama masa
organogenesis berlangsung dapat menginduksi cleft palate pada hingga 31,1 % dari
fetus hidup yang diperoleh (Hutahaean, 1998). Dari penelitian tersebut diduga "
hambatan penutupan palatum akibat fenitoin terjadi tahap akhir yaitu sebagai
gangguan transdiferensiasi pada tahap fusi. Dugaan tersebut masih perlu di teliti
penelitian ini dilakukan untuk mengkaji lebih lanjut tahapan spesifik perkembangan
palatum yang dihambat fenitoin .
Dengan demikian perubahan konsentrasi hialuronan yang kecil saja di suatu wilayah
jaringan dapat menimbulkan perubahan kesetimbangan osmosis yang besar
(Ferguson, 1988) .
Akumulasi hialuronan yang lebih tinggi di aspek oral bilah palatum memicu
hidrasi dan pembengkakan wilayah setempat sehingga densitas sel di wilayah
tersebut menjadi lebih rendah. Densitas sel yang lebih rendah mendorong
pembelahan sel yang lebih giat sehingga pertumbuhan aspek oral menjadi lebih
cepat dibandingkan dengan pertumbuhan aspek nasal menyebabkan ujung- ujung
bilah menjadi tumbuh seperti mendaki. Selain hialuronan, kolagen tipe I juga turut
membangun daya ungkit diri bilah palatum dengan cara mengorganisasi diri dalam
bentuk berkas memanjang dari dasar hingga ujung bilah. Sintesis hialuronan di bilah
palatum distimuIasi oleh EGF dan TGF-1 (Ferguson, 1988).
Tahap pertumbuhan mendaki hanya membutuhkan waktu yang singkat yaitu
beberapa menit hingga jam. Setelah itu bilah palatum yang kini sudah menempati
posisi di atas lidah akan tumbuh saling mendekat secara horizontal dari kedua arah
hingga terjadi kontak antara kedua ujungnya. Proses tumbuh horizontal melibatkan
aktivitas pembelahan sel dan sintesis senyawa matriks ekstrasel (Ferguson, 1988).
Kontak antara 2 ujung bilah palatum memicu serangkaian proses yang
diarahkan pada keberhasilan fusi palatum membentuk struktur sinambung yang
kokoh menutup sempurna langit-langit mulut. Sebelum kontak terjadi bilah palatum
telah rnemiliki struktur histologi seperti pada Gambar 4, yaitu jaringan mesenkim
sebagai struktur tubuh bilah palatum dan jaringan epitel melapisi sisi luarnya.
Demikian juga telah dapat dibedakan epitel di 3 wilayah, yaitu di aspek oral, epitel
aspek nasal dan epitel aspek medial (Medial Edge Epithelium/MEE). Kontak terjadi
antar MEE dari kedua bilah yang segera diikuti oleh pembentukan anyaman epitel.
Usia anyaman epitel tersebut ternyata sangat singkat Karena setelah anyaman
terbentuk sel-selnya dengan segera terdegradasi. Degradasi MEE menyebabkan
lapisan mesenkim dari kedua arah dapat tumbuh membentuk struktur sinambung
(Kaartinen dkk, 1997; Griffith & Hay, 1992). Terdapat beberapa pendapat tentang
degradasi anyaman epitel MEE, yaitu melalui kematian sel (apoptosis) ( Shapiro &
Sweney dalam Kerrigan, 2000) atau melalui migrasi sel ke aspek oral dan nasal bilah
(Bittencourt & Bolognese, 2000) atau melalui transdiferensiasi epitel menjadi
mesenkim (Kaartinen,dkk.1997). Pendapat yang umum diterima saat ini adalah
bahwa kemungkinan ketiga kejadian tersebut terminate dalam fusi bilah palatum
tetapi pada wilayah epitel yang berbeda (Kerrigan, 2000).
Growth factor kunci yang berperan dalam, transdiferensiasi MEE adalah
Transforming Growth Factor-3 (TGF-3). Taya, dkk. (1999) melaporkan bahwa
mencit TGF-3 knockout ternyata lahir dengan cacat celah langit-langit. Demikian
juga telah dilaporkan bahwa pada palatum ayam yang secara normal sel-selnya tidak
Mengekspresikan TGF-3 kondisi langit-langit mulutnya selalu bercelah (celah langitlangit fisiologis). Pada percobaan invitro ternyata celah tersebut dapat distimulasi
menutup melalui pemberian TGF-3 (Sun, dkk., 1998).
Selain growth factor, senyawa matriks ekstrasel hialuronan diperkirakan turut
berperan dalam transdiferensiasi MEE. Yamada (1983) mengemukakan bahwa agar
transdiferensiasi epitel ke mesenkim dapat berlangsung dibutuhkan 3 syarat, yakni
degradasi membrana basalis, pelonggaran tautan sel, dan tersedianya ruang antarsel
yang lebih longgar.
Kerja TGF-3 dalam transdiferensiasi MEE Blavier (2001) ditunjukkan terkait
dengan sintesis enzim-enzim Matrix Metalloproteinase (MMP) khususnya hidrasi
jaringan yang dipicunya melengkapi 2 kondisi lain yang diperlukan untuk
transdiferensiasi tersebut.
Cacat celah langit-langit (cleft palate) termasuk salah satu jenis cacat bawa
lahir yang sering dijumpai di masyarakat. Berdasarkan data yang dikumpulkan sejak
tahun 1991 hingga 1994 dari 14 Rumah Sakit di 11 propinsi di Indonesia cacat celah
langit-langit dan celah bibir (cleft palate and lip) ditempatkan oleh Kadri, dkk. (1995)
di urutan ke-5 dari seluruh kejadian kecacatan yang di temukan. Gorlin dkk., dalam
Kerrigan, dkk. (2000) bahkan menempatkan cleft palate and lip di urutan tertinggi
dari seluruh jenis cacat bawa lahir yang dikenal pada penduduk dunia dengan angka
rata-rata 1 kejadian per 700 kelahiran.
Cacat celah langit-langit adalah manifestasi dari gangguan yang terjadi di
salah satu titik sepanjang proses palatogenesis. Kerrigan, dkk. (2000) menyatakan
bahwa terdapat 2 titik kritis dalam palatogenesis, yaitu keberhasilan bilah palatum
membentuk daya ungkit diri pada tahap shelves elevation dan keberhasilan
transdiferensiasi epitel ke mesenkim pada tahap fusi palatum.
Cacat celah pacta manusia menurut Wyzynski & Beaty (1996) telah dipastikan
antara lain dapat diinduksi oleh tembakau (merokok) , defisiensi vitamin tetapi juga
kelebihan terutama vitamin A, epilepsi dan obat-obatan antiepilepsi, pelarut organik,
alkohol, dan bahan-bahan kimia pertanian.
Penanganan cacat celah langit-langit yang dilakukan saat ini adalah melalui
tindakan operasi. Tergantung pada derajat abnormalitas struktur serta gangguan
perkembangan struktur lain di sekelilingnya, Tsukada dan Taniguchi (1993).
Menggambarkan prosedur operasi untuk koreksi cacat celah langit-langit sebagai
operasi yang mungkin mahal dan lama. Oleh karena itu upaya preventif menjadi
pilihan tindakan paling rasional dalam menekan angka kejadian cacat bawa lahir.
Upaya preventif seperti itu membutuhkan lnformasi tentang agensia potensial
penginduksi cacat dan mekanisme kerja hambatannya (Czeizel, 2001).
Fenitoin (5,5-difenilhidantoin) adalah senyawa sintetik yang digunakan
sebagai obat antikonfulsi (antiepilepsi, antikejang). Fenitoin yang diberikan pada ibu
hamil telah sering dilaporkan dapat menginduksi kelainan perkembangan pada bayi
yang secara umum disebut fetal hydantoin syndrome, dengan salah satu wujud
kecacatan berupa langit-langit mulut bercelah. Pada mencit percobaan, fenitoin yang
diberikan selama masa organogenesis(kebuntingan hari ke-7 hingga hari ke16)mampu menginduksi hingga 31 % cacat cleft palate pada fetus yang dihasilkan
(Hutahaean, 1998).
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini,bertujuan untuk:
1. Mengkaji pengaruh fenitoin terhadap proses penutupan palatum sekunder
mencit secara in vitro
2. Memperoleh gambaran histologis palatum mencit akibat pemberian fenitoin
3. Menentukan tahapan spesifik palatogenesis mencit yang dihambat fenitoin.
Sedangkan manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dalam kerangka
memperoleh informasi tentang mekanisme hambatan palatogenesis oleh fenitoin.
Informasi tentang mekanisme induksi cacat oleh berbagai agensia sangat penting
diungkap khususnya pada jenis cacat yang bersifat multi-causal seperti cleft palate.
cara tersebut dibagi ke dalam 2 kelompok.
Pengembangan upaya pencegahan cleft palate hanya mungkin dilakukan
apabila informasiinformasi dasar tentang seluk-beluk palatogenesis dan mekanisme
gangguan perkembangan palatum oleh berbagai agensia telah dipahami
3 . Pelaksanaan biakan
Menjelang pelaksanan biakan, 1 ml medium dimasukkan ke dalam wadah
kultur, lalu di bagian
Jumlah
Induk
Hidup
0
6
10,50a
150
6
10,33a
Keterangan : huruf yang sama pada kolom
perbedaan yang nyata (P<0,05)
iksik dengan
Jumlah
eksplan
0
200
12
12
Eksplan
hidup
8
7
Eksplan
mati
4
5
Platum
Fusi(%)
8
7
Gambar 2. Irisan histologi palatum hasil biakan. Pada A (kontrol) dan B (perlakuan)
fenitoin 200 g/ml(medium) palatum penutup (tanda panah). Pada C susunan
kelom[pok perlakuan lebih padat densitasnya dibandingkan dengan kelompok kontrol
(D). sn : septum nasalis; bp ; bilah palatum.
Meskipun demikian pada percobaan ini hambatan tersebut belum mampu
mengindukdi cleaft plate, kemungkinan karena terjadi setelah shelves elevation dan
diperoleh ini bersesuaian dengan pengamatan in vivo bahwa, horizontal growth telah
terlampaui. Hambatan sintesis matriks ekstasel jika terjadi lebih awal akan menekan
pertumbuhan bilah karena sel-sel yang padat densitasnya akan terhalang
berproliferasi demikian juga shelves elevation dapat tertunda karena proses genting
tersebut membutuhkan senyawa matriks dengan jumlah dan distribusi spesifik di
jaringan palatum. Lebih jauh lagi gangguan komposisi matriks ekstrasel dapat
mengganggu kemampuan sel-sel mesenkim menginduksi transdiferensiasi epitel
MEE.
VI. KESIMPULAN
1. Fenitoin menginduksi cleft palate mencit jika diberikan pada tingkat awal hingga
pertengahan perkembangan palatum, tetapi tidak pada tahap khirnya. Secara
spesifik hambatan terjadi sebelum transdiferensiasi sel MEE pada tahap fusi
berlangsung.
2. Efek induksi cleft palate oleh fenitoin diperkirakan melibatkan hambatan sintesis
senyawa matriks ekstra sel.
DAFTAR PUSTAKA
Bittencourt, M.A.V., dan A.M. Bolognese.2000 Epithelial alterations of secondary
palate formation. Braz Dent J 11(2) :117-126.
Blavier, L., A. Lazaryev, J. groffen, N. Heisterkamp, , Y.A. DeClerck, dan V.
Kaartinen. 2001. TGF-3-Induced Palatogenesis Requires Matrix
Metalloproteinases. Molecular Biology of the Cell 12: 1457-1466.
Czeizel, A.E. 2001. Primary Prevention of Congenital Abnormalities. Congo Anom.
41:124-125.
Drury, R.A.B., daD E.A. Wallington. 1976. Charleton's Histological Technique. Oxford
Uni v. Press. Edelman, G.M. 1983. 19:450-457.
Ferguson, M.Q.J. 1988. Palate Development. 103 (Suppl): 41-60.
Freshney, R.I. 1989. Animal cell culture: a practical approach. IRL Press. Oxford,
Washington DC.
Griffith, C.M., daD E.D. Hay. 1992. Epithelia Mesenchymal Transformation During
Palatal Fusion: Carboxy fluorescein Traces Cells at Light and Electron
Microscopic Levels. Development 116: 1087-1099. .
Hutahaean, S. 1998. Pen ga ruh Fenitoin terhadap Kalsifikasi Skeleton, Pengapuran
Arteri dan Kecacatan Fetus Mencit (Mus musculus L). UGM, Yogyakarta,
tesis 82.
10