I. PENDAHULUAN
Trauma laring eksterna adalah termasuk trauma yang tidak lazim, diperkirakan kurang lebih 1
dari 30.000 kunjungan UGD. Hal ini menguntungkan, sebab trauma laring dapat mengakibatkan
masalah obstruksi jalan nafas yang serius dan dapat merusak produksi suara bila tidak
didiagnosis dengan benar secepatnya. Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring
akut adalah melindungi jalan nafas. Fungsi vokal, selain merupakan prioritas kedua karena harus
mendahulukan keselamatan, biasanya ditentukan oleh efektifitas dari penanganan awal. Karena
itu, penting sekali bagi seorang otolaringologis untuk dapat mengenali dan mendiagnosis serta
mengetahui penanganan yang tepat bagi jenis trauma yang jarang, tetapi cukup serius ini.(1,3)
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka sayat, luka
tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat menghancurkan struktur
laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan
struktur lainnya. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh
tangkai pompa air, leher membentur dashboard dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tibatiba, tertendang, atau terpukul waktu olahraga beladiri, dicekik, atau usaha bunuh diri dengan
menggantung diri.(2)
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah kerusakan
organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan. Seperti kita ketahui,
dalam penanganan trauma dikenal primary survey yang cepat dilanjutkan resusitasi
kemudian secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Selama primary survey, keadaan yang
mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary
survey dikenal
sistem
ABCDE
(Airway,
Breathing,
Circulation,
Disability,
Exposure/Environmental control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi
prioritas utama penanganan adalah menjamin jalan napas terjaga adekuat. Oleh karena itu,
trauma jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan penanganan yang cepat dan efektif untuk
menghindari akibat yang tidak diinginkan.(1,3)
Penulis lain melaporkan insidensi trauma laring < 1% dari semua kasus trauma. Mortalitas
trauma laringotrakea cukup tinggi yaitu 20-40%. Penulis lain melaporkan bahwa 21% pasien
dengan trauma tumpul jalan napas meninggal pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di
UGD. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa trauma laringotrakea merupakan keadaan
yang jarang ditemukan namun mengancam jiwa, sehingga dipandang perlu untuk dibuat tinjauan
pustakanya.(3)
II. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun cenderung
meningkat. Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan 80% kasus terjadi pada 2,5
cm diatas carina.(3)
Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk, insiden trauma laringotrakea adalah
1:137.000. Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea (TLT) adalah 1 dari 30.000 kasus
trauma tumpul yang datang ke UGD. Bent dkk melaporkan 1 kasus TLT dari 5000 kasus trauma
tumpul dan tajam yang datang ke UGD. Gussack dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua
kasus trauma.(3)
Sabina dkk melaporkan 23 kasus TLT selama 1992-1998, 12 kasus cedera laring, 8 kasus
cedera trakea dan 3 kasus mengenai keduanya. Sembilan belas dari 23 kasus akibat trauma tajam
(82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul. Hal ini sesuai dengan penemuan dari Lee bahwa insiden
trauma laringotrakea berkisar 2-4 kasus/tahun. Shelly dkk, mendapatkan 65 kasus trauma
laringotrakea dari 700 kasus trauma leher dalam kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari
65 kasus tersebut (1,6%) mengalami trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%) mengalami trauma
tembus.(3)
TLT lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita.1,3,10 Symbas melaporkan
perbandingannya adalah 5:1, dan lebih sering ditemukan pada usia produktif (19-40 tahun).
Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena laki-laki lebih tinggi mobilitasnya dibandingkan
dengan wanita.(3)
III. ETIOLOGI
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas(2) :
1.
Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi
atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi endotrakea
atau pemasangan pipa nasogaster).
2.
Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia (cairan
alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
3.
4.
Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnya
V. PATOFISIOLOGI
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plia ariepiglotika dan plika
ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu
mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti dengan terbentuknya emfisema
subkutis. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan selulitis, abses, atau fistel.(2)
Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi. Kerusakan
pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang rawan, dan perikondritis.(2)
Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder, dapat
menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya stenosis.(2)
Boies (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul,
dalam 3 golongan(2) :
1. Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema submukosa,
luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan.
2. Trauma yang dapat mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries).
3. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.
Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan
trakea, yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat.
Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung mencederai
laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas bawah. Daerah yang terkena akan
menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang
terkena.(3)
Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan atau pun
karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder
akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff
volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira
setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering
menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal,
erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur bronkial. Jumlah
pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi sebenarnya masih belum jelas, namun
sebuah studi prospektif oleh Kambic dan Radsel melaporkan kira-kira 0.1 % pasien.(3)
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi yang
paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume tinggi tekanan
rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea pada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini
masih tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor
diatas ada beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi
(tabel 1).(3)
Tabel 1. Faktor resiko terjadinya trauma intubasi(6)
Faktor resiko yang pasti
Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh
hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada
dada.Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian membentur kemudi,
handle bars atau dash board. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan
darikendaraan dan terhimpit di antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.(3)
Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma langsung pada leher
bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea maupun laring. Berkowitz
melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher dapat menyebabkan ruptur trakea pars
membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis
yang tertutup akan menyobek bagian trakea yang terlemah (trakea pars
membranosa). Mekanisme lain yang cukup berperan adalah trauma tumpul akan menekan
kartilago trakea yang berbentuk U ke tulang vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang
terjadi cenderung sesuai level dari trumanya.(3)
Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai biasanya jarang
menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang didapat cukup keras. Hal tersebut
disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-anak masih sangat elastis dibandingkan
dengan orang dewasa. Namun kerusakan jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada
anak-anak dengan trauma tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa, hal ini
disebabkan karena struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perlekatan jaringan submukosa
dengan perikondrium.(3)
Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma
akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan
intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran
trakea.16 Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat
juga terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan
paru yang mendadak.(3)
Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti dikatakan oleh
Boyd dkk., bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan yang besar karena energi
kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga halnya dengan trauma tumpul. Energi yang
diterima permukaan tubuh akan dihantarkan ke sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan
sekitarnya. Berbeda dengan trauma tajam, permukaan tubuh yang menerima energi lebih kecil.
Selain itu energi yang diterima hanya diteruskan ke satu arah saja.(3)
Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan menjadi empat
yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi yang cepat, peningkatan
mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis yang tertutup dan trauma benturan
langsung.(3)
Trauma Tajam
Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling
banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau
clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam semakin
meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding
trauma tusuk. Crowded urban menurut beberapa penulis memang merupakan penyumbang
terbanyak pada trauma laringotrakea selain jalan bebas hambatan.1 Para penulis menyimpulkan
bahwa trauma tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin meningkat terutama
karena kejahatan.(3)
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea
merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang
mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian
lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini
biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.(3)
Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan
kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas, pernah dilaporkan
adanya trauma laringotrakea akibat : iatrogenik injuries (mediastinoskopi, transtracheal oxygen
therapy, mechanical ventilation), pisau cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar, dan
caustic injury.(3)
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.
Luka terbuka
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran nafas
dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah trakeotomi
dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah.
Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah
yang cedera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Untuk mencegah infeksi dan
tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti-tetanus.(2)
Luka tertutup (closed injury)
Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan
penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yaitu kesukaran
dekanulasi. Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1
minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat seminggu akan memberikan
hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari.(2)
Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan eksplorasi atau konservatif,
tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak langsung, foto jaringan
lunak leher, foto toraks, dan CT scan. Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat
suara, humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang
edem, hematoma, atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.(2)
Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah(2) :
1. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
2. Emfisema subkutis yang progresif.
3. Laserasi mukosa yang luas.
4. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
5. Paralisis bilateral pita suara.
Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya ialah untuk
melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi,
menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan gelambir (flap)
atau tandur alih (graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat digunakan stent atau mold
dari silastik, porteks atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu.(2)
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada luka terbuka adalah aspirasi darah, paralisis pita suara,
dan stenosis laring.(2)
MORBIDITAS DAN MORTALITAS
Pasien yang mengalami cedera berat laringotrakea biasanya akan mengalami gangguan
menetap jalan napas dan gangguan bersuara serta kesulitan memproteksi aspirasi isi faring.
Komplikasi ini terjadi karena kontraktur dari skar atau granulasi yang hebat / berlebihan. Pasien
dengan trauma tumpul leher cenderung mengalami komplikasi lambat yang banyak seperti
kesulitan fonasi dibanding pada trauma tajam. Komplikasi lambat lebih sering ditemukan bila
terapi definitif baru dilakukan setelah >24 jam pasca trauma.(3)
Lebih dari 75% trauma tumpul laringotrakea meninggal di tempat kejadian atau pada saat
menuju rumah sakit, dan setelah tindakan operatif-pun angka mortalitasnya masih mencapai 1425% akibat cedera lain yang menyertai.10 Penulis lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan
trauma tumpul jalan napas meninggal pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di
UGD.4 Mortalitas pasien dengan trauma jalan napas dilaporkan berkisar 15-30% dan biasanya
disebabkan karena syok yang irreversibel, aspirasi masif darah, cedera vaskuler di daerah
servikotorakal dan cedera organ ikutan.4Namun Lee dan Chagnon menyatakan bahwa penyebab
kematian tersering pada trauma laringotrakea adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi
darah.1 Mortalitas pada trauma tumpul lebih besar dibanding pada trauma tajam, dilaporkan pada
trauma tumpul 40% sedangkan pada trauma tajam hanya 20%.(3)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Quinn FB, Ryan MW. Laryngeal trauma. September 2003. Online [cited July 2009] available
from URL http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Laryng-Trauma-2003-0903/Laryng-trauma-20030902.htm.
2.
Soepardi EA, Iskandar HN (edit). Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok kepala
leher. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2001.p.170-2.
3.
Akhmadu, Wuryantoro. Trauma laringotrakea. 2007. Online [cited July 2009] available from
URLhttp://www.bedahtkv.com/index.php?/Paper/Referat-dan-Tinjauan-Pustaka/TraumaLaringotrakea.html
4.
Price SA, Wilson LM. Sistem respirasi. Patofisiologi:konsep klinis proses-proses penyakit
volume II edisi keenam. Jakarta:EGC;2005. p.737.
5.
Anonymous.
Larynx.
Online
[cited
July
2009]
available
from
URLhttp://en.wikipedia.org/wiki/Larynx
6.
Chen EH, Logman ZM, et al. A case of tracheal injury after emergent endotracheal intubation:
a review of the literature and causalities. Anesth Analg Case Report 2001;93:1270-1.