Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Sinergisme dalam surfaktan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana campuran surfaktan memiliki
sifat yang lebih baik dibandingkan surfaktan tunggalnya. Umumnya sinergisme ditunjukkan oleh campuran
surfaktan anionik-nonionik yang diakibatkan oleh gaya columbik, interaksi ion-dipol atau ikatan hidrogen yang
terjadi diantara gugus polar. Surfaktan nonionik dengan interaksi antarmolekular yang minimum memiliki
sinergisme terkecil dari semua campuran surfaktan. (Rosen, M.J., 1989).
Sinergisme dalam campuran surfaktan nonionik sudah dilaporkan sebelumnya untuk surfaktan dari kelompok
senyawa nonylphenylethoxylate (Huibers P.D.T, 1997) Penggunaan surfaktan sorbitol ester (Span) dan
polioksietilenasi sorbitol ester (Tween) sebagai campuran emulsifier telah banyak diteliti (Jiao, J., 2003; Opawale,
F.O., 1998; Sepulveda, E.,2003). Pada studi ini diteliti pengaruh campuran surfaktan Span dan Tween sebagai
emulsifier pada kestabilan emulsi ganda air-minyak-air (w/o/w) yang digunakan untuk mengekstraksi ion logam
merkuri.
Jika masing masing kelompok surfaktan nonionik ini digunakan sebagai surfaktan tunggal maka surfaktan
sorbitol ester (span) umumnya menghasilkan emulsi tipe W/O sedangkan surfaktan polioksietilenasi sorbitol ester
(tween) umumnya menghasilkan emulsi tipe O/W. Sorbitol mono-oleat (Span-80) banyak digunakan pada teknik
pemisahan membran cair emulsi (ELM) karena tidak beracun dan tidak korosif, gugus polarnya mudah larut dalam
air, memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan karena memiliki gugus hidrofilik dan lipofilik
yang berada pada antarmuka fasa akuatik dan fasa organik. (Abou-Nemeh,I., 1992).
Pada penelitian ini dilaporkan terdapatnya sinergi campuran surfaktan nonionik melalui pengamatan kelarutan
fasa akuatik maksimum dalam emulsi w/o dengan fasa akuatik yang mengandung asam sulfat pekat dan fasa organik
terdiri dari kerosen dan surfaktan dari kelompok sorbitol ester (span) dan polioksietilenasi sorbitol ester (tween).
Struktur molekul Span-80 dan Tween-20 dapat dilihat pada gambar 1. berikut.
20
Pada studi ini diteliti juga tegangan permukaan dan tegangan antarmuka fasa akuatik dan fasa organik yang
mengandung surfaktan untuk menunjukkan adanya surfaktan pada antarmuka/permukaan yang menurunkan
tegangan permukaan/antarmuka.
Pengamatan kelarutan maksimum fasa akuatik dalam fasa organik untuk campuran surfaktan digunakan untuk
membandingkan kinerja surfaktan tunggal dibandingkan surfaktan campuran. Adanya sinergisme pada campuran
surfaktan telah dijumpai pada campuran surfaktan dari golongan Igepal CO ( nonilfeniletoksilat) (Hubers,
P.D.T.,1997). Karena surfaktan digunakan sebagai emulsifier, maka diamati kestabilan emulsi yang menggunakan
campuran surfaktan pada beberapa komposisi.
2. Penelitian
Bahan
Surfaktan Span 80 , tween ( 20, 80, 81, 85 ) (p.a) produksi Aldrich chemical, pelarut kerosin berfungsi
sebagai pembentuk fasa organik. Larutan H2SO4 berfungsi sebagai stripper.
2.1.
2.2
Peralatan
Biuret digunakan untuk menentukan kelarutan fasa air. Tensiometer digunakan: mengukur nilai tegangan
permukaan dan tegangan antarmuka cairan. Magnetik stirer digunakan untuk mengaduk larutan yang sedang dititrasi
serta pengaduk emulsi.
2.3.
Prosedur
yang mana fA adalah fraksi berat surfaktan A dalam campuran surfaktan A dan B. Penggunaan metode HLB untuk
menentukan surfaktan terbaik sebagai emulsifier memerlukan eksperimen sejumlah surfaktan dengan berbagai nilai
HLB. Seringkali campuran surfaktan menyebabkan kestabilan emulsi yang lebih tinggi dibandingkan surfaktan
tunggal dengan nilai HLB yang sama. (Myers, D., 1991)
Kelarutan maksimum fasa akuatik dalam fasa organik diamati sewaktu terjadi perubahan pada fasa organik
dari transparan menjadi keruh. Titrasi larutan organik dilakukan dalam keadaan diaduk perlahan pada suhu ruang
28C. Kelarutan maksimum ditampilkan sebagai nilai rasio berat fasa akuatik terhadap berat fasa organik yang
mengandung surfaktan 3% berat. Nilai kelarutan maksimum di plot sebagai fungsi nilai HLB campuran surfaktan
untuk menentukan komposisi campuran surfaktan terbaik yang memiliki kelarutan tertinggi.
B. Penentuan tegangan antarmuka fasa organik-fasa akuatik
Studi terhadap nilai tegangan permukaan dan tegangan antarmuka cairan dilakukan menggunakan
Tensiometer. Hal yang diukur adalah tegangan permukaan larutan satu fasa dan tegangan antarmuka fasa akuatik
dan fasa organik dalam larutan dengan dua fasa. Keberadaan molekul surfaktan pada antarmuka akan
menyebabkan rendahnya nilai tegangan antarmuka fasa akuatik dan fasa organik yang mengandung surfaktan.
Perubahan tegangan permukaan atau antarmuka berdasarkan persamaan adsorpsi Gibbs untuk larutan encer
yang mengandung surfaktan nonionik kurang dari 10-2 M dapat ditampilkan dalam persamaan
d = 2.303RT1d log C1
yang mana adalah tegangan permukaan atau antarmuka, adalah konsentrasi surfaktan pada permukaan dan C1
konsentrasi total molar surfaktan. (Rosen, M.J., 1989).
C. Penentuan kestabilan emulsi air-minyak
Emulsi air-dalam-minyak (w/o) dibentuk dengan menggunakan berbagai surfaktan yang memiliki nilai HLB
berbeda. Pengamatan kestabilan dilakukan pada sistem dengan fasa akuatik yang mengandung Asam Sulfat pekat
6N dan fasa organik yang terdiri dari kerosin dan surfaktan 3% berat serta asam oleat sebanyak 0.3M. Rasio volum
fasa akuatik dan fasa organik adalah 1:1 dan pengadukan dilakukan pada kecepatan 2000 rpm selama 30 menit.
Pengamatan dilakukan setelah pengadukan dihentikan. Fasa organik yang segera terpisah dari fasa emulsi
menunjukkan emulsi yang tidak stabil. Volume fasa organik yang terpisah dan volume emulsi tertinggal dapat
diukur sebagai fungsi waktu. Pengamatan terpisahnya fasa organik dan akuatik dari fasa emulsi diamati selama 9
jam.
D. Ekstraksi ion merkuri (II) melalui emulsi ganda w/o/w
Studi ekstraksi kation merkuri (II) dari fasa umpan (eksternal) dilakukan dengan menggunakan membran cair
emulsi w/o dari hasil uji kestabilan yang paling optimum. Selanjutnya dilakukan pengamatan pada larutan umpan
dan membran cair emulsi I, antara lain dengan mengubah rasio volume umpan terhadap membran cair emulsi I,
waktu pengadukan dan kecepatan pengadukan.
Ekstraksi ion merkuri (II) ini menggunakan larutan merkuri (II) 50 ppm sebagai fasa akuatik umpan dari
kristal Hg(NO3)2.H2O yang dicampurkan perlahan lahan kedalam emulsi w/o dengan perbandingan tertentu sambil
diaduk dengan kecepatan tertentu. Fasa akuatik setelah ekstraksi selesai dianalisis menggunakan metode
Spektrofotometri untuk menentukan konsentrasi merkuri(II) yang tersisa.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil pengamatan dan pembahasann tentang kestabilan emulsi w/o dan aplikasi emulsi ganda w/o/w pada
ekstraksi ion merkuri dilaporkan sebagai berikut.
3.1. Hubungan nilai HLB campuran terhadap nilai kelarutan
Melalui komposisi dua surfaktan yang diatur sehingga diperoleh nilai HLB yang bervariasi dilakukan penelitian
terhadap kemampuan kelarutan fasa akuatik dalam fasa organik dalam pembentukan emulsi w/o. Dua jenis surfaktan
yang digunakan adalah surfaktan untuk emulsi w/o dari sorbitan mono oleat (span-80) sorbitan mono oleat (span80) dengan nilai HLB 4,3, dan jenis surfaktan o/w dari polyoxyethylene sorbitol ester (tween; 20, 80, 81dan 85)
dengan nilai HLB masing masing berturut-turut adalah 16.7, 15, 10,dan 11).
Pada emulsi w/o yang terbentuk dari air dalam kerosin, surfaktan campuran lebih baik dari surfaktan tunggal.
Dari gambar 1, terlihat penggunaan span 80 sebagai surfaktan tunggal memiliki kelarutan fasa akuatik dalam fasa
organik yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan span-80 yang telah dicampur dengan tween-20
dalam komposisi tertentu yang menghasilkan nilai HLB 4,8. Kombinasi campuran surfaktan antara span-80 dan
tween 80, 81, 85 tidak menghasilkan kelarutan maksimum setinggi kombinasi span-80 dengan tween-20 pada nilai
0,227, untuk nilai HLB 4,8.
Solubilization
(water-to-kerosene weight ratio)
0.25
Span-80 - Tween-20
Span-80 - Tween-80
Span-80 - Tween-81
Span-80 - Tween-85
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
10
12
14
16
18
HLB
Gambar 1. : Hubungan nilai HLB campuran surfaktan terhadap kelarutan maksimum dalam air
(komposisi: fasa air = H2SO4 6N, fasa minyak = 3% (w) surfaktan campuran dan 97%(w) pelarut kerosin ).
Hasil ini menunjukkan kombinasi surfaktan span-80 dan tween-20 pada komposisi tersebut memiliki
karakteristik hidrofilik dan lipofilik yang seimbang, sehingga campuran surfaktan cenderung lebih senang berada di
antarmuka fasa akuatik dan fasa organik yang berasal kerosin.
3.2. Tegangan antarmuka fasa akuatik dan fasa organik
Bila surfaktan yang digunakan sebagai emulsifier berada di antarmuka, maka akan semakin rendah tegangan
antarmuka kedua fasa. Penggunaan surfaktan yang sesuai yang memiliki sifat hidrofilik dan lipofilik yang seimbang
dapat menghasilkan emulsi yang stabil. Semakin tinggi kemampuan larut fasa akuatik dalam fasa organik maka
semakin kuat pengaruh surfaktan tersebut pada antarmuka yang dapat diamati dari rendahnya tegangan antarmuka.
Tabel 1. tegangan antarmuka air-kerosin
Komponen
Air kerosin
Air +H2SO4 6N-kerosin
H2SO4 6N 3%( span-80 & Tween-20)
4,8 dalam kerosin
H2SO4 6N 3%( span-80 & Tween-80)
4,8 dalam kerosin
H2SO4 6N 3% (span-80 & Tween-85)
4,8 dalam kerosin
H2SO4 6N 3% (span-80 & Tween-81)
4,8 dalam kerosin
=dyne/cm2
54.6911
40.8086
27.5271
27.5646
27.6522
27.6898
Ketika dua fasa bercampur, air dan kerosin, maka tegangan antar muka yang terukur adalah 54.6911
dyne/cm2. Sewaktu fasa air dicampur dengan senyawa elektrolit seperti H2SO4 yang maka tegangan antarmukanya
menurun sedikit menjadi 40.8086 dyne/cm2. Penambahan surfaktan campuran 3% pada fasa organik (kerosin)
menurunkan tegangan antarmuka menjadi sekitar 27 dyne/cm2.
Konsentrasi surfaktan yang rendah (3% berat) menyebabkan tidak terlihat pengaruh penurunan tegangan
antarmuka yang besar antara penggunaan surfaktan campuran span-80 dan tween-20 dengan surfaktan tween lainnya.
Walaupun kecil, tapi dari data di tabel tersebut tampak bahwa campuran surfaktan span-80 dan tween 20
menghasilkan tegangan antarmuka terendah.
Hasil ini menunjukkan bahwa komposisi span-80 dan tween-20 dengan nilai HLB 4.8 menghasilkan
pengurangan tegangan antarmuka terbesar, sehingga diharapkan emulsi w/o yang dibentuk akan lebih stabil.
3.3. Kestabilan emulsi w/o
Berdasarkan pengamatan tentang kelarutan maksimum fasa akuatik dalam fasa organik serta turunnya
tegangan antarmuka kedua fasa, maka dilakukan pengamatan kestabilan emulsi w/o sebagai fungsi waktu.
Pengamatan dilakukan dengan mendiamkan emulsi w/o yang dibentuk dengan pengadukan 2000 rpm. Setelah
pengadukan dihentikan emulsi yang terbentuk dapat terdeemulsifikasi spontan membentuk kembali fasa akuatik dan
fasa organiknya, sehingga dapat diamati penurunan volum emulsi w/o sebagai fungsi waktu.
Kecepatan pengadukan pada waktu pembentukan emulsi w/o berpengaruh pada kestabilan emulsi. Semakin
lama waktu pengadukan semakin lama emulsi w/o bertahan. Dengan memvariasikan waktu pengadukan pada 2000
rpm dari 5 menit sampai 30 menit, tampak bahwa pengadukan selama 30 menit menghasilkan emulsi w/o yang lebih
stabil.
Menggunakan waktu pengadukan 30 menit dan kecepatan pengadukan 2000 rpm, diperoleh hasil pengamatan
selama sembilan jam terhadap kestabilan emulsi w/o menggunakan surfaktan span-80 tunggal dan surfaktan
campuran span 80 dan tween-20 dengan nilai HLB 4,8.
105.0
100.0
95.0
90.0
85.0
80.0
0
10
Gambar 2. Kestabilan emulsi w/o yang menggunakan surfaktan tunggal span-80 dan surfaktan campuran span-80
dan tween-20. Ket.: konsentrasi surfaktan 3% (berat), fasa organik=kerosin, rasio volum fasa akuatik:fasa organik =
1:1, kecepatan pengadukan 2000 rpm dan waktu pengadukan 30 menit.
Secara keseluruhan selama waktu pengamatan sembilan jam, kedua emulsi relatif stabil. Akan tetapi untuk
aplikasi emulsi w/o akan diperlukan emulsi yang memiliki kestabilan tinggi selama waktu aplikasinya. Dari gambar
2 tampak bahwa emulsi w/o yang menggunakan surfaktan tunggal span-80, setelah pengadukan dihentikan, langsung
terde-emulsifikasi perlahan-lahan sehingga setelah tiga jam volume emulsi berkurang dengan signifikan.
Pengamatan pada emulsi w/o dengan surfaktan campuran span-80 dan tween- 20 menunjukkan setelah pengadukan
selesai emulsi lebih stabil. Pada pengamatan tiga jam setelah pengadukan berhenti, hampir tidak ada emulsi yang
terdeemulsifikasi.
Hasil pengamatan ini menunjukkan, bahwa kestabilan emulsi w/o dengan surfaktan campuran lebih baik
dibandingkan kestabilan emulsi dengan surfaktan tunggal span-80. Penggunaan surfaktan tween-20 dalam jumlah
kecil ke dalam span-80 sehingga menghasilkan nilai HLB sebesar 4.8 ternyata mampu meningkatkan kinerja
surfaktan sebagai emulsifier pada sistem emulsi air/kerosin. Dengan demikian pada pencampuran dua surfaktan
tersebut terjadi sinergisme yang menyebabkan kestabilan emulsi yang lebih tinggi.
Kekuatan mekanik lapisan antarmuka adalah faktor utama kestabilan emulsi. Kestabilan emulsi yang lebih
tinggi dengan menggunakan emulsi campuran terjadi karena gugus lipofilik dan hidrofilik dari kedua surfaktan pada
antarmuka menyusun diri sedemikian rupa sehingga kerapatan gugus tersebut pada antarmuka air/kerosin menjadi
tinggi. Kerapatan gugus lipofilik dan hidrofobik yang tinggi menghasilkan kekuatan interaksi lateral dan elastisitas
lapisan yang tinggi.
Penyusunan gugus lipofilik dan hipofilik surfaktan span-80 dan tween-20 dapat terjadi sebagai berikut:
20
water
oil
Gambar 3. Penyusunan molekul surfaktan Span-80 dan Tween-20 pada antarmuka air-minyak (kerosin)
Surfaktan tunggal jenis emulsifier w/o memiliki kelarutan lebih tinggi pada fasa organik dibandingkan fasa
akuatiknuya, sebaliknya terjadi dengan surfaktan jenis emulsifier o/w. Pencampuran surfaktan jenis w/o dengan
sedikit surfaktan jenis o/w dapat menyebabkan keseimbangan kekuatan sifat hidrofilik dan lipofilik sehingga kedua
surfaktan akan cenderung lebih banyak berada di antarmuka dan sedikit yang terlarut pada fasa ruah masing-masing.
3.4. Kemampuan membran cair emulsi mengekstraksi ion Hg(II)
Pada tahapan ini dilakukan pengamatan terhadap kemampuan membran cair emulsi mengekstraksi ion
merkuri (II) dari larutan umpan. Pengamatan dilakukan terhadap faktor- faktor yang mempengaruhi kemampuan
ekstraksi tersebut seperti kecepatan pengadukan, rasio emulsi terhadap fasa umpan dan waktu pengadukan
Gambar 4. menunjukan pengamatan kemampuan membran emulsi untuk mengekstraksi ion merkuri (II) dari
larutan umpan pada berbagai kecepatan pengadukan dengan rasio volume emulsi terhadap fasa umpan sebesar 3:8.
Pada kecepatan pengadukan 300 rpm kemampuan ekstraksi paling tinggi dicapai sebesar 97,24 %.
% ekstraksi Hg(II)
100
95
90
85
5
10
15
20
25
30
35
40
45
300 rpm
400 rpm
Gambar 4 . Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kemampuan ekstraksi dengan rasio volume emulsi w/o
terhadap fasa umpan sebesar 3:8
Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 4. dapat disimpulkan bahwa pada kecepatan pengadukan 300
rpm dengan rasio emulsi terhadap fasa umpannya adalah 3:8 kemampuan mengekstraksi ion Hg(II) lebih tinggi
dibandingkan dengan menggunakan kecepatan pengadukan 200 dan 400 rpm. Hal ini diperkirakan pada kecepatan
300 lebih sedikit terjadi kebocoran emulsi.
Kebocoran bisa diakibatkan karena swelling ( penggelembungan), dimana sejumlah air dari fasa umpan
masuk kedalam fasa penerima. Selain itu bisa diakibatkan oleh gesekan mekanis antara butiran emulsi yang terjadi
pada kecepatan yang tinggi. Akibatnya ion merkuri (II) yang telah terekstraksi atau yang terikat pada fasa penerima
kembali lagi ke fasa umpan sehingga kemampuan ekstraksi ion merkuri(II) yang telah dicapai akan turun (Yinhua
dan Xiujuan, 2002).
4. Kesimpulan
Hasil pada penelitian menunjukkan kombinasi surfaktan span-80 dan tween-20 pada komposisi dengan nilai
HLB 4,8 memiliki kelarutan maksimum air dalam organik tertinggi. Hal ini menyimpulkan bahwa campuran
tersebut memiliki karakteristik hidrofilik dan lipofilik yang seimbang, sehingga molekul surfaktan cenderung
lebih senang berada pada antarmuka fasa akuatik dan fasa organik (kerosin).
Komposisi span-80 dan tween-20 dengan nilai HLB 4.8 menghasilkan pengurangan tegangan antarmuka
terbesar, sehingga emulsi w/o yang dibentuk akan lebih stabil.
Kestabilan emulsi w/o dengan surfaktan campuran lebih baik dibandingkan kestabilan emulsi dengan surfaktan
tunggal span-80. Penggunaan surfaktan tween-20 dalam jumlah kecil ke dalam span-80 yang menghasilkan nilai
HLB sebesar 4.8 ternyata mampu meningkatkan kinerja surfaktan sebagai emulsifier pada sistem emulsi
air/kerosin. Dengan demikian pada pencampuran dua surfaktan tersebut terjadi sinergisme yang menyebabkan
kestabilan emulsi yang lebih tinggi.
Kestabilan emulsi yang lebih tinggi dengan menggunakan emulsi campuran terjadi karena gugus lipofilik dan
hidrofilik dari kedua surfaktan pada antarmuka menyusun diri sedemikian rupa sehingga kerapatan gugus
tersebut pada antarmuka air/kerosin menjadi tinggi. Kerapatan gugus lipofilik dan hidrofobik yang tinggi
menghasilkan kekuatan interaksi lateral dan elastisitas lapisan yang tinggi.
Sistem Membran Cair Emulsi yang terdiri dari fasa akuatik dalam dengan asam sulfat 6N, fasa organik dengan
pelarut kerosin yang mengandung asam oleat 0,3M sebagai ekstraktan, dan surfaktan campuran (span-80 dan
tween-20) dapat mengekstraksi ion merkuri (II) sebesar 97,3% dalam waktu ekstraksi 35 menit.
Daftar Pustaka
1.
Abou-Nemeh,I., and A.P. Van Peteghem, (1992), Kinetic Study of the Emulsion Breakage during Metal
Extraction by Liquid Surfactant Membrane (LSM) from Simultaded and Industrial Effluen, Journal of
Membrane Science, vol. 70.
2.
Huibers, P.D.T., and Dinesh O.Shah, (1997),Evidence for Synergism in Nonionic Surfactant Mixtures:
Enhancement of Solubilization in Water-in-Oil Microemulsions, Langmuir, 13, 5762-5765.
3.
Jiao J, and Burgess Dj, (2003),Rheology and stability of water in oilin water multiple emulsions containing
Span 83 and Tween 20, AAPS PharmSci, 5(1),E7;
4.
Opawale F.O., and Burgess Dj, (1998), Influence of interfacial rhological properties of mixed emulsifier films
on the stability of wate-in-oil-in-water emulsions, J.Pharm Pharmacol. Sep; 50(9):966-73;
5.
Rosen, M.J., (1989),Surfactants anda Interfacial Phenomena, 2nd. Ed, Wiley, New York.
6.
Rosen, M.J., (1992), Mixed Surfactant Systems, P.M.Holland and D.N.Rubingh, eds. American Chemical
Society, Washington D.C.
7.
Sepulveda E, Kildsig DP, and Ghaly ES, (2003), Relationship between internal phase volume and emulsion
stability: the cetyl alcohol/stearyl alcohol system, Pharm Dev Technol, 8 (3) : 263-75).
8.
Shinoda, K. and H.Kunieda, (1977),Microemulsions: Theory and Practice, L.M. Prince, Ed.: Academic Press,
New York, chapter 4.
9.
Yinhua, W and Xiujuan, Z., (2002), Swelling Determination of W/O/W Emulsion Liquid Membranes,
Journal of Membrane Science, 195, 185 201.