PERTEMUAN KE-1
Nama :
Anisa Listi (3215076855)
Aniza Puspiyanti(3215076817)
Eni Setiowati(3215076857)
PENDIDIKAN FISIKA 2007 (NR)
ARTIKEL KOMPETENSI GURU
yang
dimaksud
dengan
kompetensi
itu
Louise
Moqvist
(2003)
Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama,
yaitu:
1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a)
penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru
tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa
secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to
Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran
untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b)
kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan
usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning
mencakup:
(a)
penggunaan
berbagai
metode
dalam
pencapaian
tujuan
memberikan
ganjaran
(reward) atas
keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran
akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from
Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih
keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan
melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek
pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru
memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan
kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c)
guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi
rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka
Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak
mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan
tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada
masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.
Guru
harus
harus
lebih
dinamis
dan
kreatif
dalam
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki
kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita
selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi,
sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan
pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang
sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala
sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa
kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel,
terutama meningkatkan kompetensi profesional guru. Perlu digarisbawahi bahwa
yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan
dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi
kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh
peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer;
(3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta
iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh
Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara
peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru
merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala
sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat
memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan
senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara
yaitu
kepemimpinan
yang
berorientasi
pada
tugas
dan
prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila
kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu
disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga
mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam
penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari
setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun
sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi
kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari
pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa,
2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan
kompetensi
guru,
maka
kepala
sekolah
seyogyanya
dapat
menciptakan
memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto
dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa educational change depends on
what teachers do and think. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa
perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada what
teachers do and think . atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan
kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih
beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis
pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work
performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum
sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh
karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi
guru.
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana
upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala
sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi
bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
B. Hakekat Kompetensi Guru
Apa
yang
dimaksud
dengan
kompetensi
itu
Louise
Moqvist
(2003)
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi
pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat
dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan,
perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja
seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang
pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru
dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan
seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan,
berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam
(2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi
yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam
proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa,
sesama guru, maupun masyarakat luas.
3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut
diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang
pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah
merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam
1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a)
penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru
tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa
secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to
Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran
untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b)
kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan
usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning
mencakup:
(a)
penggunaan
berbagai
metode
dalam
pencapaian
tujuan
memberikan
ganjaran
(reward) atas
keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran
akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from
Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih
keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan
melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek
pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru
memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan
kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c)
guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi
rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka
Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak
Guru
harus
harus
lebih
dinamis
dan
kreatif
dalam
selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi,
sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan
pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang
sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala
sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa
kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel,
terutama meningkatkan kompetensi profesional guru. Perlu digarisbawahi bahwa
yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan
dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi
kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh
peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer;
(3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta
iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh
Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara
peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru
merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala
sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat
memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan
senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara
terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar
dapat berjalan efektif dan efisien.
besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya
kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka.
Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul
menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat
memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak
menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuhsuburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi
guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya
kepemimpinan
yaitu
kepemimpinan
yang
berorientasi
pada
tugas
dan
disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga
mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam
penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari
setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun
sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi
kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari
pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa,
2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan
kompetensi
guru,
maka
kepala
sekolah
seyogyanya
dapat
menciptakan
3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru
pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.
4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan
kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator,
supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang
diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat
membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Sumber Bacaan :
Bambang Budi Wiyono. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat
Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu
Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri
Malang. (Accessed, 31 Oct 2002).
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK,SD, SMP, SMA, SMK &
SLB, Jakarta : BP. Cipta Karya
. 2006. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/ inlink. (accessed 9 Feb 2003).
Louise Moqvist. 2003. The Competency Dimension of Leadership: Findings from a
Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public
Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation,
Linkping University.
Mary E.Dilworth & David G. Imig. Professional Teacher Development and the
Reform Agenda. ERIC Digest. 1995. . (Accessed 31 Oct 2002 ).
National Board for Professional Teaching Standards. 2002 . Five Core Propositions.
NBPTS HomePage.. (Accessed, 31 Oct 2002).
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia
Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah staf pengajar di Pendidikan Ekonomi FKIPUNIKU dan Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten
Kuningan
SUARA MERDEKA
Senin, 06 Februari 2006
Sertifikasi Profesi Pendidik
Oleh Mungin Eddy Wibowo
PERKEMBANGAN dalam bidang pendidikan selama 30 tahun terakhir membawa
berbagai masalah berkenaan dengan pengadaan dan pendayagunaan guru.
Meliputi perhitungan kebutuhan, pengadaan dan penyebaran.
Masalah penyebaran guru dan ketidakcocokan latar belakang pendidikan dan
penugasan guru merupakan masalah yang sangat signifikan. Dalam menangani
masalah, pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui
penataran dan pemberian kesempatan tugas belajar.
Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju menuntut profesi
guru menyesuaiakan diri dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Perlu dilakukan perbaikan mendasar mengenai arah, pengembangan, dan
implementasi program kependidikan yang bertumpu pada standar profesional yang
seharusnya telah ditetapkan, khususnya standar profesi pendidik. Demikian juga
mengenai penempatan, penggajian, dan perlindungan karirnya.
Pelayanan pendidikan dalam kehidupan global menuntut standar profesi pendidik.
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum NKRI.
Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria kelayakan fisik maupun
mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik adalah tenaga kependidikan
yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara,
tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya,
serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (UU No 20 Th 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Komitmen pemerintah terhadap penjaminan mutu makin kuat ditandai dengan
lahirnya UU No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 14 Th 2005
tentang UU Guru dan Dosen, dan PP No 19 Th 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Dalam UU dan PP tersebut dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikat kompetensi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar.
Sertifikat pendidik merupakan pengakuan terhadap kompetensi seseorang untuk
melakukan pekerjaan sebagai pendidik.
Tujuan
Tujuan sertifikasi adalah menentukan kelayakan seseorang sebelum memasuki atau
memangku jabatan profesional sebagai pendidik. Manfaat sertifikasi, yaitu satu,
melindungi profesi pendidik dari praktik-praktik yang tidak kompeten yang dapat
merusak citra pendidik. Dua, melindungi masyarakat dari penyelenggaraan
pendidikan yang tidak profesional dan bertanggungjawab.
Tiga, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan
tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Empat, menjadi sarana penjaminan mutu pendidik.
tenaga
kependidikan
yang
terakreditasi
dan
ditetapkan
oleh
pemerintah.
Dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Setiap orang yang telah
memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat
menjadi pendidik pada satuan pendidikan tertentu.
Pemerintah Pusat dan daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan
kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang
diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yang dimaksud
adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi dengan ijazah dan/atau
sertifikat keahlian yang relevan. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan
kompetensi sosial.
Yang dimaksud kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berahlak
mulai.
Kompetensi
profesional
adalah
kemampuan
penguasaan
materi
ikut uji sertifikasi, dengan syarat memperoleh rekomendasi dari atasan yang
didasarkan atas prestasi kinerja dan hasil uji kompetensinya.
Jika lulus akan memperoleh sertifikat profesi pendidik dan jika tidak lulus diberi
kesempatan uji ulang maksimal 2 kali. Sedangkan guru berkualifikasi S1 atau D4
dengan pengalaman kerja kurang dari lima tahun pada tanggal 1 Juli 2006, harus
mengikuti pendidikan profesi sebelum mengikuti uji sertifikasi.
Guru yang berlatar belakang pendidikan dibawah S1, harus mengikuti peningkatan
kualifikasi menjadi S1, baru setelah itu berlaku ketentuan untuk mengikuti uji
sertifikasi. Guru yang berumur minimal 56 tahun tidak wajib ikut uji sertifikasi.
Kepada yang bersangkutan diberikan "tunjangan pengabdian" atau "tunjangan
lain" yang setara dengan tunjangan profesi. (11)
- Prof Dr H Mungin Eddy Wibowo,M Pd,Kons, pembantu rektor I Unnes, anggota
Badan Standar Nasional Pendidikan-BSNP.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/06/opi04.htm
samudra
tersebut,
dan
terus-menerus
berubah
serta
mempengaruhi kelangsungan hidup apa saja baik yang berada di atas samudra,
maupun yang berada di dalam perahu tersebut. Dalam konteks organisasi,
globalisasi telah menciptakan lingkungan vertikal di mana berbagai organisasi
harus bertanding/berkompetisi di atas perahu yang terus bergoyang dengan keras
dan kencang. Era globalisasi yang bercirikan persaingan tersebut akan ditentukan
oleh kualitas SDM. Kalau kita boleh sepakat bahwa kualitas bangsa ini akan sangat
tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Demian pula dalam konteks
organisasi, maka kualitas dan kompetensi para SDM yang menjadi asset organisasi,
termasuk SDM organisasi pemeritah yaitu PNS perlu terus ditingkatkan. Lembaga
diklat merupakan salah satu pintu utama untuk memasukinya. Human investment
melalui diklat bermutu, akan melahirkan SDM aparatur bermutu yang pada
akhirnya diharapkan akan membawa Indonesia untuk dapat bersaing dengan
bangsa-bangsa lain. Salah satu komponen diklat yang mempunyai peranan penting
adalah
pengajar
atau
widyaiswara.
Widyaiswara
memiliki
tugas
pokok,
Widyaiswara
yang
kompeten
akan
lebih
mampu
membawa dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif serta
akan lebih mampu mengelola kelasnya dan membawa peserta diklat pada
pencapaian hasil belajar yang optimal. Seandainya diklat dapat diasosiasikan
sebagai sebatang pohon yang indah maka widyaiswara lebih tepat diibaratkan
sebagai akar pohon tersebut. Kekuatan dan kesuburan pohon diklat amat
tergantung kepada kualitas akarnya. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah
sudah profesionalkah kita sebagai widyaiswara? Dengan kata lain, apakah kita
sebagai widyaiswara telah menjadi akar yang kuat bagi pohon diklat? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, widyaiswara perlu lagi menjawab pertanyaan
berikut, yaitu: sudahkah kita sebagai widyaiswara mau dan mampu untuk
meningkatkan
Kata
kompetensi
merupakan
saduran
dari
bahasa
Inggris
menjadi pembeda antara performance yang sangat baik dengan performance yang
biasa dalam suatu pekerjaan atau organisasi. Ife (1995) menyatakan bahwa secara
umum kompetensi dimaknai sama dengan keterampilan-keterampilan yang dimiliki
oleh seseorang (skills) untuk melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan, Mendiknas
dalam Surat Keputusan No. 045/U/2002 menyatakan bahwa kompetensi merupakan
seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu. Istilah profesional berarti a vocation in
which professional knowledge of some department a learning science is used in its
application to the of other or in the practice of an art found it (Usman, 1997). Dari
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat
profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari
dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengertian ini,
ternyata pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya, karena suatu
profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan
profesinya. Dari kedua pengertian di atas, terdapat benang merah antara
kompetensi
dan
profesionalisme
widyaiswara.
Artinya,
dalam
membahas
itu
widyaiswara
harus
berupaya
secara
terus
menerus
untuk
tidaknya relatif sama, sehingga kredibilitas widyaiswara itu sendiri dimata peserta
diklat dapat terjaga bahkan bisa semakin meningkat.
Setiap individu widyaiswara hendaknya menyadari bahwa mereka dituntut untuk
dapat secara mandiri mengembangkan dirinya, agar selalu belajar terus menerus
dan berusaha agar dirinya dapat mencapai derajat profesionalisme mengingat
tuntutan dan harapan masyarakat serta tantangan pekerjaan yang semakin
meningkat. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Dr. J. Basuki, M.Psi
(ketika masih menjabat Kepala Direktorat Pembinaan Widyaiswara LAN) dalam
majalah Interaktif IWI Volume 2, September 2005 bahwa perlu adanya
pengembangan Individu widyaiswara yang meliputi: pengembangan wawasan,
pengembangan intelektual, pengembangan content expert, pengembangan dan
peningkatan kemampuan dan keterampilan transfer expert, dan sikap mental serta
prilaku. Apa yang disampaikan oleh Dr. Basuki tersebut hendaknya menjadi
motivasi bagi para widyaiswara agar mereka mau dan mampu secara mandiri
mengaplikasikannya artinya tidak perlu menunggu action yang dilakukan oleh
lembaga atau intansi di mana widyaiswara tersebut bernaung. Sejalan dengan
pendapat Ife (1995) bahwa kompetensi merupakan keterampilan-keterampilan
yang perlu dimiliki oleh seseorang, Andrew Singh (dalam Suprayitno, 2006),
seorang pakar manajemen dari Singapura, menyatakan bahwa sumberdaya
manusia dikatakan berkualitas di era modern ini apabila memiliki enam
keterampilan, yaitu: speaking skill, thinking skill interpersonal skill, network skill,
growth, dan discipline. Mengadopsi pendapat pakar tersebut, menurut penulis
keterampilan-keterampilan tersebut dapat pula diaplikasikan kedalam profesi
widyaiswara sebagai berikut: Speaking Skill (Keterampilan Menyampaikan
Gagasan/Berbicara) Sebagai pengajar, setiap widyaiswara diharapkan memiliki
keterampilan berbicara, bagaimana mengungkapkan gagasan dan pendapat dengan
baik, serta memberikan pengarahan dengan baik. Keterampilan ini dalam dunia
kewidyaiswaraan merupakan kemampuan menyampaikan materi pelajaran dengan
baik atau transfer expert. Dengan demikian widyaiswara diharapkan dapat
berkomunikasi secara efektif. Untuk itu diperlukan penguasaan tidak hanya
keterampilan berkomunikasi secara verbal, tetapi juga secara non verbal, agar
dapat mengkomunikasikan ide dengan jelas dan sistematis, dan jika terpaksa
melontarkan kritik tidak sampai menyinggung perasaan peserta diklat, serta
mampu merangsang audience (peserta diklat) untuk menanggapi usul yang
dikemukakan. Thinking Skill (Keterampilan Berpikir/Intelektual) Kemampuan
untuk mendayagunakan otak dengan optimal. Berpikir merupakan sebuah proses
memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making),
memecahkan masalah (problem solving), untuk itu diperlukan kemampuan
berpikir kreatif, sistematis, integratif, logis/rasional, jernih, dan kritis. Dengan
mengoptimalkan
kemampuan
berpikir
maka
para
widyaiswara
dalam
widyaiswara
kemungkinan
diharapkan
penjelasan
dari
mampu
suatu
menelaah
realitas
dan
meneliti
berbagai
eksternal
maupun
internal.
dengan
penyelenggara
diklat.,
saling
membuka
diri,
tidak
mungkin mampu meredam timbulnya bibit-bibit konflik dan apabila terjadi konflik
mampu mengelola konflik dengan baik sehingga tidak berlarut dan meluas.
Network Skill (Keterampilan Mengembangkan, Membangun Jaringan atau
Meluaskan Hubungan Kerja) Widyaiswara diharapkan berjiwa kosmopolit, yaitu
mampu membangun kontak dengan dunia luar organisasi kediklatan. Dengan
membangun jaringan ke luar, maka akan bertambah wawasan, pandangan dan
pola pikir. Para widyaiswara akan banyak terbantu dalam menyelesaikan berbagai
persoalan tertentu dengan adanya informasi-informasi dari luar. Growth
(Keterampilan Mengembangkan Diri) Para widyaiswara diharapkan, secara sadar,
mau dan mampu untuk secara terus menerus mengembangkan diri ke arah yang
lebih baik mampu memperlihatkan kemampuan diri secara optimal, dan mampu
mendorong diri sendiri untuk mengembangkan kapasitas prestasi secara optimal.
Perlu kesadaran yang timbul dari dalam diri untuk mau menjadi manusia
pembelajar. Dicipline (Disiplin) Ketaatan dan kepatuhan serta kerelaan dalam
menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Setiap widyaiswara secara
sadar dan sukarela harus taat pada berbagai ketentuan yang berlaku dan
memenuhi standar nilai atau norma yang telah ditetapkan baik yang berlaku di
lingkup organisasi, masyarakat, dan agama. Perasaan memiliki dan kecintaan
terhadap pekerjaan harus dikembangkan dan menjadi komitmen dalam diri setiap
widyaiswara, sehingga akan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi
proses pembelajaran.
PENUTUP Selain pengembangan profesi yang dapat dinilai angka kreditnya
sebagaimana tercantum dalam Peraturan MENPAN No. PER/66/M.PAN/6/2005
(membuat karya tulis ilmiah, menerjemahkan/menyadur buku dan bahan lain, dan
orasi ilmiah), maka apabila masing-masing individu widyaiswara mau dan mampu
mengaplikasikan keenam unsur yang telah diulas di atas dalam pekerjaannya dan
keseharian hidupnya, maka kualitas atau mutu profesionalisme widyaiswara akan
selalu meningkatkan dan semakin baik. Namun demikian masih terdapat satu
elemen lagi, yang sebenarnya merupakan Esensi atau inti dari semua keterampilan
yang telah disebutkan di atas yaitu Spritual skill (keterampilan yang berhubungan
kinerja
widyaiswara
yang
baik
dan
benar.sumber
naskah
2002.
Psikologi
Komunikasi.
Edisi
Revisi.
Bandung:
Remaja
HRM.
http://www.jakartaconsulting.com/extra
corner_archive12.shtml.
[Diakses; 1 Nov 2003] Usman MU. 1997. Menjadi Guru Profesional. Bandung:
Remaja RosdaKarya
terbentuk (Adam, 1983). Keberhasilan untuk masuk dan menjadi bagian dari
kelompok teman sebaya atau kompetensi dengan teman bukanlah hal yang mudah.
Hal ini tidak diukur dengan menghitung banyaknya jumlah hubungan yang
dilakukan seorang anak dengan anak-anak lainnya, apabila hubungan seorang
anak sebagian besar dalam bentuk agresi atau asimetris terus-menerus (bersama
anak yang selalu menjadi pengikut), hal ini tidak menunjukkan kompetensi sosial
walaupun dia sering berinteraksi. Sebaliknya, terkadang bermain sendiri tidak
berarti kurang berkompetensi sosial. Bermain sendiri berbeda dengan sendirian
(hanya berada di dekat kelompok tetapi tidak bergabung) (Coplat dkk, dalam
Sroufe dkk, 1996).
Kompetensi sosial adalah kemampuan anak untuk mengajak maupun merespon
teman- temannya dengan perasaan positif, tertarik untuk berteman dengan temantemannya serta diperhatikan dengan baik oleh mereka, dapat memimpin dan juga
mengikuti, mempertahankan sikap memberi dan menerima dalam berinteraksi
dengan temannya ( Vaughn dan Waters dalam Sroufe dkk, 1996 ), dikarenakan
anak-anak prasekolah lebih memilih teman bermain yang berperilaku proporsional
( Hart dkk. dalam Papalia dkk, 2002 ).
Singkatnya individu yang berkompeten mampu menggunakan ketrampilan dan
pengetahuan untuk melakukan relasi positif dengan orang lain (Asher dkk dalam
Pertiwi, 1999). Ford (Latifah, 2000) memberi definisi lain namun tidak jauh
berbeda mengenai kompetensi sosial yaitu tindakan yang sesuai dengan tujuan
dalam konteks sosial tertentu, dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan
memberikan efek yang positif bagi perkembangan. Selanjutnya dapat dikatakan
bahwa orang yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi mampu mengekspresikan
perhatian sosial lebih banyak, lebih simpatik, lebih suka menolong dan lebih dapat
mencintai.
rujukan buku :
Martani, W., & Adiyanti, M., G., 1990. Kompetensi Sosial Dan Kepercayaan Diri
Remaja. Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada.
Denham, S., A., & Queenan, P., 2003. Preschool Emotional Competence: Pathway
To Social Competence. Journal Of Child Development. Vol. 74, No 1, 238-256.
Latifah, L., 2000. Kompetensi Sosial, Status Sosial, Dan Viktimisasi Disekolah
Dasar. Skripsi (Tidak Diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gajah Mada.
Adam, G., R., 1983. Social Competence During Adolescence: Social Sensitivity,
Locus Of Control, And Peer Popularity. Journal Of Yoauth And Adolescence. Vol.
12, No 03, 203-211.
Papalia, D., E., Olds, S., W., & Feldman, R., D., 2002. A Chlids World, Infancy
Through Adolescence. Ninth Edition. New York, USA: Mcgraw- Hill Companies,
Inc.