Anda di halaman 1dari 38

Tugas Artikel MATA KULIAH PROFESI KEPENDIDIKAN

PERTEMUAN KE-1
Nama :
Anisa Listi (3215076855)
Aniza Puspiyanti(3215076817)
Eni Setiowati(3215076857)
PENDIDIKAN FISIKA 2007 (NR)
ARTIKEL KOMPETENSI GURU

Kompetensi Guru dan Peran Kepala Sekolah


Diterbitkan 21 Januari 2008 manajemen pendidikan
Tags: administrasi pendidikan, artikel, berita, KTSP, manajemen pendidikan, opini,
umum
KOMPETENSI GURU DAN PERAN KEPALA SEKOLAH
Oleh : Akhmad Sudrajat*))
Abstrak : Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru
merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan
kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat
dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer,
administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.
Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah
A. Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya
melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan
pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang

dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14


tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan
pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan
memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto
dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa educational change depends on
what teachers do and think. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa
perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada what
teachers do and think . atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan
kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih
beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis
pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work
performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum
sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh
karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi
guru.
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana
upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala
sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi
bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
B. Hakekat Kompetensi Guru
Apa

yang

dimaksud

dengan

kompetensi

itu

Louise

Moqvist

(2003)

mengemukakan bahwa competency has been defined in the light of actual


circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning
Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : A
competence is a description of something which a person who works in a given

occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or


outcome which a person should be able to demonstrate.
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi
pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat
dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan,
perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja
seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang
pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru
dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan
seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan,
berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam
(2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi
yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam
proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa,
sesama guru, maupun masyarakat luas.
3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut
diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang
pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani

Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah


merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, yaitu :
1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan
peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
(b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d)
perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan
dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a)
mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak
mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi
kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
3. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari
masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta
didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan
metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b)
materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata
pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan seharihari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap
melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002)
telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar
bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers

Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama,
yaitu:
1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a)
penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru
tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa
secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to
Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran
untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b)
kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan
usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning
mencakup:

(a)

penggunaan

berbagai

metode

dalam

pencapaian

tujuan

pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok


(group

setting), kemampuan untuk

memberikan

ganjaran

(reward) atas

keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran
akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from
Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih
keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan
melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek
pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru
memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan
kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c)
guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi
rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka

Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak
mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan
tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada
masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.

Guru

harus

harus

lebih

dinamis

dan

kreatif

dalam

mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi


menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi
dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di
jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di
tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola
penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional.
Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua
maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru
perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan
pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung
terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan
dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang
menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan
kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang
mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi
dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sedang berlangsung.
C. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru

Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki
kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita
selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi,
sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan
pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang
sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala
sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa
kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel,
terutama meningkatkan kompetensi profesional guru. Perlu digarisbawahi bahwa
yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan
dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi
kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh
peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer;
(3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta
iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh
Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara
peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru
merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala
sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat
memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan
senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara

terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar


dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan
kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan
profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan
memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan
kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan
pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti : MGMP/MGP tingkat
sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya, atau melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan
melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang
diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya
peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah
dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan
mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala
sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya
peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara
berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat
dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran
secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang
digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004).
Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru
dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang
bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut
tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus
mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.

Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan


bahwa menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup
besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya
kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka.
Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul
menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat
memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak
menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuhsuburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi
guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya
kepemimpinan

yaitu

kepemimpinan

yang

berorientasi

pada

tugas

dan

kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan


kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya
kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil
studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan
256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi
ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian
kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut :
(1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan
keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa,
2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih
termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha
untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan
budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan

prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila
kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu
disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga
mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam
penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari
setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun
sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi
kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari
pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa,
2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan
kompetensi

guru,

maka

kepala

sekolah

seyogyanya

dapat

menciptakan

pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang.


Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan
perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam halhal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi
gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara
langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap
peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat
dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa
kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..

2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal,


kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru
pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.
4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan
kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator,
supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang
diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat
membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Sumber Bacaan :
Bambang Budi Wiyono. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat
Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu
Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri
Malang. (Accessed, 31 Oct 2002).
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK,SD, SMP, SMA, SMK &
SLB, Jakarta : BP. Cipta Karya
. 2006. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/ inlink. (accessed 9 Feb 2003).
Louise Moqvist. 2003. The Competency Dimension of Leadership: Findings from a
Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public
Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation,
Linkping University.
Mary E.Dilworth & David G. Imig. Professional Teacher Development and the
Reform Agenda. ERIC Digest. 1995. . (Accessed 31 Oct 2002 ).
National Board for Professional Teaching Standards. 2002 . Five Core Propositions.
NBPTS HomePage.. (Accessed, 31 Oct 2002).

Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan


Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia
Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah staf pengajar di Pendidikan Ekonomi FKIPUNIKU dan Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten
Kuningan
mpetensi Guru dan Peran Kepala Sekolah
Diterbitkan 21 Januari 2008 manajemen pendidikan
Tags: administrasi pendidikan, artikel, berita, KTSP, manajemen pendidikan, opini,
umum
KOMPETENSI GURU DAN PERAN KEPALA SEKOLAH
Oleh : Akhmad Sudrajat*))
Abstrak : Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru
merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan
kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat
dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer,
administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.
Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah
A. Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya
melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan
pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang
dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan
pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan

memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto
dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa educational change depends on
what teachers do and think. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa
perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada what
teachers do and think . atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan
kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih
beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis
pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work
performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum
sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh
karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi
guru.
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana
upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala
sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi
bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
B. Hakekat Kompetensi Guru
Apa

yang

dimaksud

dengan

kompetensi

itu

Louise

Moqvist

(2003)

mengemukakan bahwa competency has been defined in the light of actual


circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning
Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : A
competence is a description of something which a person who works in a given
occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or
outcome which a person should be able to demonstrate.

Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi
pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat
dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan,
perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja
seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang
pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru
dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan
seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan,
berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam
(2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi
yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam
proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa,
sesama guru, maupun masyarakat luas.
3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut
diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang
pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah
merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam

Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional


Pendidikan, yaitu :
1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan
peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
(b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d)
perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan
dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a)
mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak
mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi
kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
3. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari
masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta
didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan
metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b)
materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata
pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan seharihari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap
melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002)
telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar
bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers
Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama,
yaitu:

1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a)
penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru
tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa
secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to
Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran
untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b)
kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan
usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning
mencakup:

(a)

penggunaan

berbagai

metode

dalam

pencapaian

tujuan

pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok


(group

setting), kemampuan untuk

memberikan

ganjaran

(reward) atas

keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran
akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from
Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih
keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan
melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek
pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru
memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan
kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c)
guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi
rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka
Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak

mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan


tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada
masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.

Guru

harus

harus

lebih

dinamis

dan

kreatif

dalam

mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi


menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi
dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di
jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di
tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola
penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional.
Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua
maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru
perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan
pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung
terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan
dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang
menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan
kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang
mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi
dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sedang berlangsung.
C. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki
kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita

selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi,
sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan
pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang
sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala
sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa
kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel,
terutama meningkatkan kompetensi profesional guru. Perlu digarisbawahi bahwa
yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan
dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi
kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh
peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer;
(3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta
iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh
Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara
peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru
merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala
sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat
memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan
senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara
terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar
dapat berjalan efektif dan efisien.

2. Kepala sekolah sebagai manajer


Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan
kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan
profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan
memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan
kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan
pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti : MGMP/MGP tingkat
sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya, atau melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan
melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang
diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya
peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah
dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan
mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala
sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya
peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara
berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat
dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran
secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang
digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004).
Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru
dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang
bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut
tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus
mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan
bahwa menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup

besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya
kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka.
Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul
menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat
memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak
menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuhsuburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi
guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya
kepemimpinan

yaitu

kepemimpinan

yang

berorientasi

pada

tugas

dan

kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan


kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya
kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil
studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan
256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi
ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian
kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut :
(1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan
keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa,
2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih
termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha
untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan
budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila
kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu

disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga
mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam
penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari
setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun
sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi
kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari
pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa,
2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan
kompetensi

guru,

maka

kepala

sekolah

seyogyanya

dapat

menciptakan

pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang.


Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan
perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam halhal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi
gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara
langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap
peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat
dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa
kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru
pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.
4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan
kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator,
supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang
diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat
membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Sumber Bacaan :
Bambang Budi Wiyono. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat
Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu
Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri
Malang. (Accessed, 31 Oct 2002).
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK,SD, SMP, SMA, SMK &
SLB, Jakarta : BP. Cipta Karya
. 2006. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/ inlink. (accessed 9 Feb 2003).
Louise Moqvist. 2003. The Competency Dimension of Leadership: Findings from a
Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public
Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation,
Linkping University.
Mary E.Dilworth & David G. Imig. Professional Teacher Development and the
Reform Agenda. ERIC Digest. 1995. . (Accessed 31 Oct 2002 ).
National Board for Professional Teaching Standards. 2002 . Five Core Propositions.
NBPTS HomePage.. (Accessed, 31 Oct 2002).
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.

Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia
Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah staf pengajar di Pendidikan Ekonomi FKIPUNIKU dan Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten
Kuningan
SUARA MERDEKA
Senin, 06 Februari 2006
Sertifikasi Profesi Pendidik
Oleh Mungin Eddy Wibowo
PERKEMBANGAN dalam bidang pendidikan selama 30 tahun terakhir membawa
berbagai masalah berkenaan dengan pengadaan dan pendayagunaan guru.
Meliputi perhitungan kebutuhan, pengadaan dan penyebaran.
Masalah penyebaran guru dan ketidakcocokan latar belakang pendidikan dan
penugasan guru merupakan masalah yang sangat signifikan. Dalam menangani
masalah, pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui
penataran dan pemberian kesempatan tugas belajar.
Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju menuntut profesi
guru menyesuaiakan diri dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Perlu dilakukan perbaikan mendasar mengenai arah, pengembangan, dan
implementasi program kependidikan yang bertumpu pada standar profesional yang
seharusnya telah ditetapkan, khususnya standar profesi pendidik. Demikian juga
mengenai penempatan, penggajian, dan perlindungan karirnya.
Pelayanan pendidikan dalam kehidupan global menuntut standar profesi pendidik.
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum NKRI.

Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria kelayakan fisik maupun
mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik adalah tenaga kependidikan
yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara,
tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya,
serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (UU No 20 Th 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Komitmen pemerintah terhadap penjaminan mutu makin kuat ditandai dengan
lahirnya UU No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 14 Th 2005
tentang UU Guru dan Dosen, dan PP No 19 Th 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Dalam UU dan PP tersebut dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikat kompetensi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar.
Sertifikat pendidik merupakan pengakuan terhadap kompetensi seseorang untuk
melakukan pekerjaan sebagai pendidik.
Tujuan
Tujuan sertifikasi adalah menentukan kelayakan seseorang sebelum memasuki atau
memangku jabatan profesional sebagai pendidik. Manfaat sertifikasi, yaitu satu,
melindungi profesi pendidik dari praktik-praktik yang tidak kompeten yang dapat
merusak citra pendidik. Dua, melindungi masyarakat dari penyelenggaraan
pendidikan yang tidak profesional dan bertanggungjawab.
Tiga, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan
tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Empat, menjadi sarana penjaminan mutu pendidik.

Sertifikat pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program


pengadaan

tenaga

kependidikan

yang

terakreditasi

dan

ditetapkan

oleh

pemerintah.
Dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Setiap orang yang telah
memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat
menjadi pendidik pada satuan pendidikan tertentu.
Pemerintah Pusat dan daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan
kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang
diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yang dimaksud
adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi dengan ijazah dan/atau
sertifikat keahlian yang relevan. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan
kompetensi sosial.
Yang dimaksud kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berahlak
mulai.

Kompetensi

profesional

adalah

kemampuan

penguasaan

materi

pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing

peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar


Nasional Pendidikan.
Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat
untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat
sekitar.
Pendidik yang telah bersertifikat akan dapat melaksanakan tugas profesionalnya
dengan baik, dan berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuan hidup
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial serta pengembangan diri untuk
menunjang peningkatan keprofesionalannya.
Pada saatnya nanti, semua guru baru harus memiliki sertifikat profesi pendidik
sebelum diangkat sebagai guru. Sertifikat profesi pendidik diberikan oleh satuan
pendidikan terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada calon pendidik dan
pendidik sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan
sebagai pendidik setelah lulus uji sertifikasi (kompetensi). Sertifikasi profesi
pendidik merupakan proses pengujian kompetensi calon pendidik sebagai dasar
pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan sebagai pendidik
setelah lulus uji sertifikasi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Dengan demikian tujuan sertifikasi profesi pendidik adalah untuk menentukan
kelayakan dan kewenangan seseorang sebelum memangku jabatan profesi
pendidik. Namun, karena pendidikan profesi guru dirancang dibuka tahun 2006
dan baru meluluskan paling cepat akhir tahun 2007, maka syarat tersebut baru
dapat dilaksanakan pada tahun 2008. Dengan demikian untuk tahun 2006-2007
pengangkatan guru baru masih menggunakan pola lama dengan kualifikasi
minimal S1 tau D4. Guru yang sudah berkualifikasi S1 atau D4 dan memiliki
pengalaman kerja minimal lima tahun pada tanggal 1 Juli 2006, dapat langsung

ikut uji sertifikasi, dengan syarat memperoleh rekomendasi dari atasan yang
didasarkan atas prestasi kinerja dan hasil uji kompetensinya.
Jika lulus akan memperoleh sertifikat profesi pendidik dan jika tidak lulus diberi
kesempatan uji ulang maksimal 2 kali. Sedangkan guru berkualifikasi S1 atau D4
dengan pengalaman kerja kurang dari lima tahun pada tanggal 1 Juli 2006, harus
mengikuti pendidikan profesi sebelum mengikuti uji sertifikasi.
Guru yang berlatar belakang pendidikan dibawah S1, harus mengikuti peningkatan
kualifikasi menjadi S1, baru setelah itu berlaku ketentuan untuk mengikuti uji
sertifikasi. Guru yang berumur minimal 56 tahun tidak wajib ikut uji sertifikasi.
Kepada yang bersangkutan diberikan "tunjangan pengabdian" atau "tunjangan
lain" yang setara dengan tunjangan profesi. (11)
- Prof Dr H Mungin Eddy Wibowo,M Pd,Kons, pembantu rektor I Unnes, anggota
Badan Standar Nasional Pendidikan-BSNP.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/06/opi04.htm

MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PROFESIONAL WIDYAISWARA


Tanggal: Friday, 08 August 2008
Topik: depsos
Pendahuluan
Globalisasi telah membuat lingkungan selalu bergelombang bagaikan kerasnya
ombak di samudra, yang selalu mengguncang dan menggoyang perahu yang berada
ditengah-tengah

samudra

tersebut,

dan

terus-menerus

berubah

serta

mempengaruhi kelangsungan hidup apa saja baik yang berada di atas samudra,
maupun yang berada di dalam perahu tersebut. Dalam konteks organisasi,
globalisasi telah menciptakan lingkungan vertikal di mana berbagai organisasi
harus bertanding/berkompetisi di atas perahu yang terus bergoyang dengan keras
dan kencang. Era globalisasi yang bercirikan persaingan tersebut akan ditentukan
oleh kualitas SDM. Kalau kita boleh sepakat bahwa kualitas bangsa ini akan sangat
tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Demian pula dalam konteks
organisasi, maka kualitas dan kompetensi para SDM yang menjadi asset organisasi,
termasuk SDM organisasi pemeritah yaitu PNS perlu terus ditingkatkan. Lembaga
diklat merupakan salah satu pintu utama untuk memasukinya. Human investment
melalui diklat bermutu, akan melahirkan SDM aparatur bermutu yang pada
akhirnya diharapkan akan membawa Indonesia untuk dapat bersaing dengan
bangsa-bangsa lain. Salah satu komponen diklat yang mempunyai peranan penting
adalah

pengajar

atau

widyaiswara.

Widyaiswara

memiliki

tugas

pokok,

sebagaimana tercantum dalam Peraturan MENPAN No. PER/66/M.PAN/6/2005,


yaitu mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS. Hal ini berarti bahwa selain pada
peserta pelatihan itu sendiri, keberhasilan peserta pelatihan dalam menyerap,

mengerti dan memahami materi yang disampaikan dalam sebuah kegiatan


pelatihan sebagian besar terletak di pundak widyaiswara.
Semua profesi dituntut profesionalis di bidangnya. Artinya bekerja menurut kaidah
profesi. Tuntutan tersebut merupakan sebuah keniscayaan dalam birokrasi ketika
tuntutan pelayan birokrasi semakin meningkat dalam kerangka good governance
(Fanggidae, 2008). Dengan demikian, kesuksesan suatu program pengajaran diklat
juga akan sangat ditentukan oleh profesionalisme yang dimiliki oleh widyaiswara.
Widyaiswara yang profesional akan memiliki kompetensi atau kemampuan
mengajar dan kemampuan memfasilitasi yang unggul dalam suatu proses
pembelajaran/pelatihan.

Widyaiswara

yang

kompeten

akan

lebih

mampu

membawa dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif serta
akan lebih mampu mengelola kelasnya dan membawa peserta diklat pada
pencapaian hasil belajar yang optimal. Seandainya diklat dapat diasosiasikan
sebagai sebatang pohon yang indah maka widyaiswara lebih tepat diibaratkan
sebagai akar pohon tersebut. Kekuatan dan kesuburan pohon diklat amat
tergantung kepada kualitas akarnya. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah
sudah profesionalkah kita sebagai widyaiswara? Dengan kata lain, apakah kita
sebagai widyaiswara telah menjadi akar yang kuat bagi pohon diklat? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, widyaiswara perlu lagi menjawab pertanyaan
berikut, yaitu: sudahkah kita sebagai widyaiswara mau dan mampu untuk
meningkatkan

profesionalisme dimana didalamnya terdapat upaya untuk

meningkatkan kualitas dan kompetensi profesi? Kompetensi dan Profesionalisme


Widyaiswara

Kata

kompetensi

merupakan

saduran

dari

bahasa

Inggris

Competence yang berarti kemampuan atau kecakapan.


Menurut Susanto (2003) definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah
karakteristik-karakteristk yang mendasari individu untuk mencapai kinerja
superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan
yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk
pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Kompetensi merupakan karakteristik diri yang

menjadi pembeda antara performance yang sangat baik dengan performance yang
biasa dalam suatu pekerjaan atau organisasi. Ife (1995) menyatakan bahwa secara
umum kompetensi dimaknai sama dengan keterampilan-keterampilan yang dimiliki
oleh seseorang (skills) untuk melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan, Mendiknas
dalam Surat Keputusan No. 045/U/2002 menyatakan bahwa kompetensi merupakan
seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu. Istilah profesional berarti a vocation in
which professional knowledge of some department a learning science is used in its
application to the of other or in the practice of an art found it (Usman, 1997). Dari
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat
profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari
dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengertian ini,
ternyata pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya, karena suatu
profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan
profesinya. Dari kedua pengertian di atas, terdapat benang merah antara
kompetensi

dan

profesionalisme

widyaiswara.

Artinya,

dalam

membahas

kompetensi profesi widyaiswara berarti membahas profesionalisme widyaiswara.


Untuk melakukan suatu kompetensi, seseorang memerlukan pengetahuan khusus,
keterampilan proses, dan sikap. Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi
yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Ada kompetensi yang lebih
tergantung kepada pengetahuan, ada yang lebih tergantung pada proses.
Untuk profesi widyaiswara, menurut penulis kompetensi harus ditekankan pada
kedua kedua widyaiswaralayah tersebut, artinya widyaiswara dituntut untuk
berpengetahuan yang up to date serta mampu menciptakan proses pembelajaran
yang kondusif dan humanis. Selanjutnya, untuk mampu mengerjakan pekerjaan
yang profesional diperlukan pengenalan terhadap profesinya. Pekerjaan profesional
berbeda dengan pekerjaan lainnya karena suatu profesi memerlukan special
competence yaitu kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan
profesinya. Makin kompleks, kreatif, atau profesional suatu kompetensi, makin

besar kemungkinan diterapkannya cara yang berbeda (different fashion) pada


setiap kali dilakukan, bahkan oleh orang yang sama. Oleh karenanya, widyaiswara
harus benar-benar kompeten dalam menjalankan profesinya. Widyaiswara
professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam
bidang kewidyaiswaraan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya
sebagai widyaiswara dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain,
widyaiswara profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta
memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Dengan demikian widyaiswara
wajib mengetahui bagaimana seharusnya mereka mengajar atau memfasilitasi,
selain

itu

widyaiswara

harus

berupaya

secara

terus

menerus

untuk

mengembangkan dirinya. Tanggung jawab dalam mengembangkan profesi harus


menjadi tuntutan kebutuhan pribadi widyaiswara, karena tanggung jawab
mempertahankan dan mengembangkan profesi tidak dapat dilakukan oleh orang
lain kecuali oleh widyaiswara itu sendiri. Widyaiswara harus peka dan tanggap
terhadap perubahan, pembaharuan serta IPTEK yang terus berkembang sejalan
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan pekembangan zaman. Disinilah tugas
widyaiswara untuk berusaha meningkatkan wawasan ilmu pengetahuannya,
meningkatkan kualitas pendidikannya (educational grade) sehingga dalam
memfasilitasi dan menyampaikan materi kepada peserta diklat mampu mengikuti
arus perkembangan atau tidak ketinggalan dengan perkembangan zaman
Mengiringi perkembangan zaman dan kemajuan IPTEK, mau atau tidak mau, suka
atau tidak suka widyaiswara harus berupaya untuk terus meningkatkan dan
mengembangkan kualitas dan kompetensi profesionalismenya. Harus disadari
bahwa sebagai fasilitator diklat yang notabene pesertanya adalah orang dewasa
(yang biasanya bersifat kritis), maka widyaiswara perlu membekali diri dengan
pengetahuan-pengetahuan yang up to date. Terkadang, bahkan sering terjadi, para
peserta lebih paham terhadap informasi atau pengetahuan yang sedang in
(progressing information). Oleh karenanya, dengan selalu bertekad dan berupaya
meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki, maka wawasan
widyaiswara diharapkan lebih baik dibandingkan peserta diklat atau setidak-

tidaknya relatif sama, sehingga kredibilitas widyaiswara itu sendiri dimata peserta
diklat dapat terjaga bahkan bisa semakin meningkat.
Setiap individu widyaiswara hendaknya menyadari bahwa mereka dituntut untuk
dapat secara mandiri mengembangkan dirinya, agar selalu belajar terus menerus
dan berusaha agar dirinya dapat mencapai derajat profesionalisme mengingat
tuntutan dan harapan masyarakat serta tantangan pekerjaan yang semakin
meningkat. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Dr. J. Basuki, M.Psi
(ketika masih menjabat Kepala Direktorat Pembinaan Widyaiswara LAN) dalam
majalah Interaktif IWI Volume 2, September 2005 bahwa perlu adanya
pengembangan Individu widyaiswara yang meliputi: pengembangan wawasan,
pengembangan intelektual, pengembangan content expert, pengembangan dan
peningkatan kemampuan dan keterampilan transfer expert, dan sikap mental serta
prilaku. Apa yang disampaikan oleh Dr. Basuki tersebut hendaknya menjadi
motivasi bagi para widyaiswara agar mereka mau dan mampu secara mandiri
mengaplikasikannya artinya tidak perlu menunggu action yang dilakukan oleh
lembaga atau intansi di mana widyaiswara tersebut bernaung. Sejalan dengan
pendapat Ife (1995) bahwa kompetensi merupakan keterampilan-keterampilan
yang perlu dimiliki oleh seseorang, Andrew Singh (dalam Suprayitno, 2006),
seorang pakar manajemen dari Singapura, menyatakan bahwa sumberdaya
manusia dikatakan berkualitas di era modern ini apabila memiliki enam
keterampilan, yaitu: speaking skill, thinking skill interpersonal skill, network skill,
growth, dan discipline. Mengadopsi pendapat pakar tersebut, menurut penulis
keterampilan-keterampilan tersebut dapat pula diaplikasikan kedalam profesi
widyaiswara sebagai berikut: Speaking Skill (Keterampilan Menyampaikan
Gagasan/Berbicara) Sebagai pengajar, setiap widyaiswara diharapkan memiliki
keterampilan berbicara, bagaimana mengungkapkan gagasan dan pendapat dengan
baik, serta memberikan pengarahan dengan baik. Keterampilan ini dalam dunia
kewidyaiswaraan merupakan kemampuan menyampaikan materi pelajaran dengan
baik atau transfer expert. Dengan demikian widyaiswara diharapkan dapat
berkomunikasi secara efektif. Untuk itu diperlukan penguasaan tidak hanya

keterampilan berkomunikasi secara verbal, tetapi juga secara non verbal, agar
dapat mengkomunikasikan ide dengan jelas dan sistematis, dan jika terpaksa
melontarkan kritik tidak sampai menyinggung perasaan peserta diklat, serta
mampu merangsang audience (peserta diklat) untuk menanggapi usul yang
dikemukakan. Thinking Skill (Keterampilan Berpikir/Intelektual) Kemampuan
untuk mendayagunakan otak dengan optimal. Berpikir merupakan sebuah proses
memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making),
memecahkan masalah (problem solving), untuk itu diperlukan kemampuan
berpikir kreatif, sistematis, integratif, logis/rasional, jernih, dan kritis. Dengan
mengoptimalkan

kemampuan

berpikir

maka

para

widyaiswara

dalam

melaksanakan tugasnya diharapkan dapat menjawab dan memecahkan setiap


persoalan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas, logis dan
kreatif.
Para

widyaiswara

kemungkinan

diharapkan

penjelasan

dari

mampu
suatu

menelaah

realitas

dan

meneliti

berbagai

eksternal

maupun

internal.

Interpersonal Skill (Keterampilan Menjaga Hubungan Antarpribadi) Dalam


berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan
koordinasi antar widyaiswara dengan peserta diklat, widyaiswara dengan
widyaiswara dan antar widyaiswara dengan penyelenggara diklat. Agar koordinasi
dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan maka dibutuhkan
adanya komunikasi. Dan agar komunikasi berjalan efektif dibutuhkan hubungan
interpersonal yang baik. Taylor et. al (dalam Rakhmat 2002) menyatakan bahwa
banyak penyebab dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada
hubungan baik di antara komunikan. Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling
tegas, dan paling cermat tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan
jelek. Untuk mewujudkan terciptanya hubungan baik, para widyaiswara harus
mampu mengembangkan sikap tenggang rasa, membangun kepercayaan antar
widyaiswara dengan peserta diklat, widyaiswara dengan widyaiswara dan antar
widyaiswara

dengan

penyelenggara

diklat.,

saling

membuka

diri,

tidak

memaksakan kehendak diri sendiri, bersedia menolong dan ditolong, sedapat

mungkin mampu meredam timbulnya bibit-bibit konflik dan apabila terjadi konflik
mampu mengelola konflik dengan baik sehingga tidak berlarut dan meluas.
Network Skill (Keterampilan Mengembangkan, Membangun Jaringan atau
Meluaskan Hubungan Kerja) Widyaiswara diharapkan berjiwa kosmopolit, yaitu
mampu membangun kontak dengan dunia luar organisasi kediklatan. Dengan
membangun jaringan ke luar, maka akan bertambah wawasan, pandangan dan
pola pikir. Para widyaiswara akan banyak terbantu dalam menyelesaikan berbagai
persoalan tertentu dengan adanya informasi-informasi dari luar. Growth
(Keterampilan Mengembangkan Diri) Para widyaiswara diharapkan, secara sadar,
mau dan mampu untuk secara terus menerus mengembangkan diri ke arah yang
lebih baik mampu memperlihatkan kemampuan diri secara optimal, dan mampu
mendorong diri sendiri untuk mengembangkan kapasitas prestasi secara optimal.
Perlu kesadaran yang timbul dari dalam diri untuk mau menjadi manusia
pembelajar. Dicipline (Disiplin) Ketaatan dan kepatuhan serta kerelaan dalam
menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Setiap widyaiswara secara
sadar dan sukarela harus taat pada berbagai ketentuan yang berlaku dan
memenuhi standar nilai atau norma yang telah ditetapkan baik yang berlaku di
lingkup organisasi, masyarakat, dan agama. Perasaan memiliki dan kecintaan
terhadap pekerjaan harus dikembangkan dan menjadi komitmen dalam diri setiap
widyaiswara, sehingga akan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi
proses pembelajaran.
PENUTUP Selain pengembangan profesi yang dapat dinilai angka kreditnya
sebagaimana tercantum dalam Peraturan MENPAN No. PER/66/M.PAN/6/2005
(membuat karya tulis ilmiah, menerjemahkan/menyadur buku dan bahan lain, dan
orasi ilmiah), maka apabila masing-masing individu widyaiswara mau dan mampu
mengaplikasikan keenam unsur yang telah diulas di atas dalam pekerjaannya dan
keseharian hidupnya, maka kualitas atau mutu profesionalisme widyaiswara akan
selalu meningkatkan dan semakin baik. Namun demikian masih terdapat satu
elemen lagi, yang sebenarnya merupakan Esensi atau inti dari semua keterampilan
yang telah disebutkan di atas yaitu Spritual skill (keterampilan yang berhubungan

dengan Sang Pencipta). Keterampilan ini akan menjadi pengontrol moral


widyaiswara. Dengan ketrampilan spritual, maka para widyaiswara dalam
melaksanakan amanah atau tanggung jawab yang diembannya, akan menggunakan
hati nurani yang dilandasi oleh semangat IMTAQ kepada Sang Khaliq. Keimanan
dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq akan melahirkan kinerja yang berada di atas
rel atau jalan kebenaran yang hakiki yang akan berujung pada tercapainya
efektivitas

kinerja

widyaiswara

yang

baik

dan

benar.sumber

naskah

adiriyantosuprayitno68@yahoo.comReferensi : Basuki J. 2005. Kebijakan Nasional


Pembinaan dan Pengembangan Widyaiswara. Dalam: Interaktif IWI, Volume 2,
September 2005. Jakarta: Yayasan Ubaya Widyaiswara. Fanggidae A. 2008.
Menyiasati Peningkatan Profesionalisme SDM Kessos di Instansi Pemda. Dalam:
Jurnal Pusdiklat Kesos, Departemen Sosial Vol. 3 No 1, April 2008. Jakarta:
Pusdiklat Kessos. Ife J. 1995. Community Development: Creating Community
Alternatives - Vision, Anallysis and Practice: Australia: Longman Australia Pty. Ltd
Rakhmat.

2002.

Psikologi

Komunikasi.

Edisi

Revisi.

Bandung:

Remaja

RosdaKarya. Suprayitno AR. 2006. Menjadi SDM Kehutanan Unggul Di Era


Globalisasi: Upaya Membangun Kemandirian dan Kompetensi.Dalam: Majalah
SILVIKA edisi 49/IX/2006. Bogor: Pusdiklathut. Susanto AB. 2003. CompetencyBased

HRM.

http://www.jakartaconsulting.com/extra

corner_archive12.shtml.

[Diakses; 1 Nov 2003] Usman MU. 1997. Menjadi Guru Profesional. Bandung:
Remaja RosdaKarya

Definisi Kompetensi Sosial


Posted on Nopember 19th, 2008 in Psikologi Sosial by Fitri
Definisi Kompetensi Sosial
Menurut Adam ( dalam Martani & Adiyanti, 1991) kompetensi sosial mempunyai
hubungan yang erat dengan penyesuaian sosial dan kualitas interaksi antar pribadi.
Membangun kompetensi sosial pada kelompok bermain dapat dimulai dengan
membangun interaksi di antara anak-anak, interaksi yang dibangun dimulai
dengan bermain hal-hal yang sederhana, misalnya bermain peran, mentaati tata
tertib dalam kelompoknya, sehingga kompetensi sosialnya akan terbangun.
Kompetensi sosial merupakan salah satu jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh
anak-anak dan pemilikan kompetensi ini merupakan suatu hal yang penting.
Menurut Leahly (1985) kompentensi merupakan suatu bentuk atau dimensi
evaluasi diri (self evaluation), dengan kompetensi yang dimilikinya.
Ross-Krasnor (Denham dkk, 2003) mendefinisikan kompetensi sosial sebagai
keefektifan dalam berinteraksi, hasil dari perilaku-perilaku teratur yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pada masa perkembangan dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Bagi anak pra sekolah, perilaku yang menunjukkan
kompetensi sosial berkisar pada tugas-tugas utama perkembangan yaitu menjalin
ikatan positif dan self regulations selama berinteraksi dengan teman sebaya. Dalam
pandangan teoritis kompetensi sosial, terdapat dua fokus pengukuran yaitu pada
diri atau orang lain, dalam hal ini adalah mengukur kesuksesan anak dalam
memenuhi tujuan pribadi atau hubungan interpersonal anak.
Beberapa pakar di bidang psikologi dan pendidikan berasumsi bahwa kompetensi
sosial merupakan dasar bagi kualitas hubungan antar teman sebaya yang akan

terbentuk (Adam, 1983). Keberhasilan untuk masuk dan menjadi bagian dari
kelompok teman sebaya atau kompetensi dengan teman bukanlah hal yang mudah.
Hal ini tidak diukur dengan menghitung banyaknya jumlah hubungan yang
dilakukan seorang anak dengan anak-anak lainnya, apabila hubungan seorang
anak sebagian besar dalam bentuk agresi atau asimetris terus-menerus (bersama
anak yang selalu menjadi pengikut), hal ini tidak menunjukkan kompetensi sosial
walaupun dia sering berinteraksi. Sebaliknya, terkadang bermain sendiri tidak
berarti kurang berkompetensi sosial. Bermain sendiri berbeda dengan sendirian
(hanya berada di dekat kelompok tetapi tidak bergabung) (Coplat dkk, dalam
Sroufe dkk, 1996).
Kompetensi sosial adalah kemampuan anak untuk mengajak maupun merespon
teman- temannya dengan perasaan positif, tertarik untuk berteman dengan temantemannya serta diperhatikan dengan baik oleh mereka, dapat memimpin dan juga
mengikuti, mempertahankan sikap memberi dan menerima dalam berinteraksi
dengan temannya ( Vaughn dan Waters dalam Sroufe dkk, 1996 ), dikarenakan
anak-anak prasekolah lebih memilih teman bermain yang berperilaku proporsional
( Hart dkk. dalam Papalia dkk, 2002 ).
Singkatnya individu yang berkompeten mampu menggunakan ketrampilan dan
pengetahuan untuk melakukan relasi positif dengan orang lain (Asher dkk dalam
Pertiwi, 1999). Ford (Latifah, 2000) memberi definisi lain namun tidak jauh
berbeda mengenai kompetensi sosial yaitu tindakan yang sesuai dengan tujuan
dalam konteks sosial tertentu, dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan
memberikan efek yang positif bagi perkembangan. Selanjutnya dapat dikatakan
bahwa orang yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi mampu mengekspresikan
perhatian sosial lebih banyak, lebih simpatik, lebih suka menolong dan lebih dapat
mencintai.
rujukan buku :

Martani, W., & Adiyanti, M., G., 1990. Kompetensi Sosial Dan Kepercayaan Diri
Remaja. Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada.
Denham, S., A., & Queenan, P., 2003. Preschool Emotional Competence: Pathway
To Social Competence. Journal Of Child Development. Vol. 74, No 1, 238-256.
Latifah, L., 2000. Kompetensi Sosial, Status Sosial, Dan Viktimisasi Disekolah
Dasar. Skripsi (Tidak Diterbitkan), Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gajah Mada.
Adam, G., R., 1983. Social Competence During Adolescence: Social Sensitivity,
Locus Of Control, And Peer Popularity. Journal Of Yoauth And Adolescence. Vol.
12, No 03, 203-211.
Papalia, D., E., Olds, S., W., & Feldman, R., D., 2002. A Chlids World, Infancy
Through Adolescence. Ninth Edition. New York, USA: Mcgraw- Hill Companies,
Inc.

Anda mungkin juga menyukai