Anda di halaman 1dari 32

BAB VII

REPRESENTASI PERSOALAN SOSIAL POLITIK DALAM


GUGUR MERAH DAN LAPORAN DARI BAWAH

7. 1 Politik Sastra
Sejarah penulisan karya yang terhimpun di dalam Gugur Merah dan Laporan
dari Bawah mencerminkan bahwa proses sejarah memainkan peran besar dalam
melahirkan karya. Puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan
dari Bawah merupakan produk gerakan massa melalui pelembagaan komitmen sosial
kerakyatan. Karya adalah buah kreativitas individu yang menjadi bagian dari proses
sejarah zamannya. Proses mencipta sebagai pengejawantahan gerakan politik,
melampaui proses kreatif dalam pengertian umum. Para aktivis Lekra merumuskan
garis politik kebudayaan, seni, dan sastra menjadi undang-undang atau hukum
(Mukadimah, Konsepsi Kebudayaan Rakyat, dan asa metode kombinasi 1-5-1), yang
dijadikan landasan dalam politik mencipta.
Sastrawan Lekra menganut ketentuan proses kreatif yang sarat dengan muatan
politik (politik sebagai panglima) dan berlandaskan kepada suatu ideologi (tinggi
mutu ideologi). Dalam dokumen politik Lekra (Mukadimah, Konsepsi Kebudayaan
Rakyat, dan asas metode kerja kombinasi 1-5-1) Marxisme menjelma menjadi paham
kerakyatan, seperti tercermin dalam nama lembaga ini (Lembaga Kebudajaan
Rakjat). Paham kerakyatan ini berkaitan dengan konsep kerakyatan Marxis yang
menyatakan bahwa massa rakyat pekerja hidup tertindas dan terisap atau massa
158

159

rakyat pekerja adalah pencipta sejarah yang sebenarnya. Massa rakyat pekerja
berperan dalam proses produksi kebutuhan materi karena tanpa kerja, materi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat tidak ada sehingga perkembangan sejarah
masyarakat tidak terjadi.
Representasi Marxisme dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah
menunjukkan bahwa para penyair dan pengarang Lekra memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan ideologi Marxis dan karena itu, dijadikan perspektif dalam
mengkaji puisi dan cerpen. Bab VII ini membicarakan puisi-puisi dalam Gugur
Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah dari aspek muatan persoalan
sosial politik.
Persoalan sosial politik yang dikemukakan di dalam Gugur Merah dan
Laporan dari Bawah berpusat pada penderitaan dan perjuangan rakyat Indonesia.
Secara Marxis, perjuangan itu identik dengan revolusi karena revolusi adalah wujud
tertinggi perjuangan kelas dalam mencapai sosialisme. Dengan berpijak pada paham
kerakyatan Marxis dan peran kaum tani dan buruh sebagai sokoguru Revolusi
Indonesia maka persoalan sosial politik yang direpresentasikan dalam Gugur Merah
dan Laporan dari Bawah adalah persoalan kaum tani dan buruh Indonesia.

7.2 Persoalan Kaum Tani Indonesia


Persoalan sosial politik yang direpresentasikan dalam Gugur Merah dan
Laporan dari Bawah didominasi oleh penderitaan dan perjuangan hidup kaum tani.
Persoalan ini berakar di dalam kenyataan hidup kaum tani yang tidak memiliki tanah

160

garapan sehingga menggantungkan hidupnya kepada tuan tanah. Puisi-puisi Gugur


Merah dan cerpen-cerpen Laporan dari Bawah adalah gambaran penderitaan hidup
dan perjuangan kaum tani untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan dan
pengisapan tuan tanah. Menurut pandangan Marxis, pengisapan dan penindasan
terjadi karena alat-alat produksi dikuasai oleh kelas pengisap/penindas.
Tanah garapan bagi kaum tani adalah inti persoalan sosial politik yang
direpresentasikan di dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah. Hanya ada satu
jalan untuk membebaskan kaum tani dari penderitaan tersebut, yaitu memberi tanah
garapan kepada kaum tani. Persoalan pokok tanah bagi kaum tani berkaitan dengan
persoalan lainnya, seperti kemiskinan dan kesenjangan kelas.
Puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari
Bawah menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa kaum tani Indonesia hidup
menderita, tertindas, dan terisap oleh kekuasaan tuan tanah. Persoalan ini
direpresentasikan dalam sebagian besar puisi dan cerpen. Dalam sebuah puisi pendek
(terdiri atas lima baris, dan satu baris hanya terdiri atas satu kata), Sungai Lebah
(Ahmady Hamid, hal. 53), diungkapkan tanah masih tetap bukan milik pengolah.
Pernyataan ini merepresentasikan pandangan umum pada masa Revolusi Indonesia
bahwa kaum tani tidak memiliki tanah garapan.
Melalui gaya pengungkapan yang puitis dan simbolis, persoalan petani tanpa
tanah muncul dalam puisi Surat Petani Mat Asan (Agam Wispi, hal. 109).
Permasalahan kaum tani tanpa tanah dinyatakan dalam ungkapan ladang yang

161

dirampas dan lalu datang tuantanah kuasa/mengaku rimba jadi miliknya. Agam
Wispi tidak cukup hanya mengungkap persoalan tersebut. Di atasnya adalah aksi
untuk merebut tanah, ladang, bahkan rimba yang dikuasai oleh tuan tanah. Puisi
Surat Petani Mat Asan lebih berperan dalam menggelorakan aksi perlawanan kaum
tani (dengan ganyang tikus berkaki dua!) ketimbang hanya sebagai media untuk
pengungkapkan persoalan. Persoalan sosial politik dalam puisi ini sebagai landasan
penyair mengobarkan api semangat dan jiwa perlawanan kaum tani.
Dalam Laporan dari Bawah para pengarang juga membicarakan kaum tani
tanpa tanah garapan sebagai persoalan yang sangat penting dan selalu dikaitkan
dengan program landreform. Bagi para pengarang Laporan dari Bawah, landreform
merupakan jalan untuk membebaskan kaum tani dari persoalan hidup. Cerpen-cerpen
dalam Laporan dari Bawah tidak hanya merepresentasikan persoalan dan aksi
mereka tetapi juga mempropagandakan penegakan kedua undang-undang landreform
tersebut.
Cerpen Boyolali (Amarzan Ismail Hamid, hal. 50-1) yang mengangkat
perjuangan kaum tani di desa Ketaon (Boyolali) merepresentasikan perjuangan kaum
tani dalam penegakan UUPA dan UUPBH yang ditentang atau diselewengkan
(diserimpung) oleh tuan tanah. Walaupun usaha penegakan kedua undang-undang ini
sampai memakan korban tiga orang petani tertembak namun kaum tani tetap berjuang
menghadapi tuan tanah. Cerpen ini juga memuat penjelasan-penjelasan faktual,
seperti pandangan Presiden Soekarno mengenai landreform dalam Revolusi

162

Indonesia, dan penjelasan mengenai hakikat tuan tanah menurut pendapat pengarang.
Hal ini bertujuan untuk memperjelas persoalan yang dikemukakan dan mempertegas
sikap atau pendirian pengarang. Memasukkan penjelasan-penjelasan faktual (historis)
ke dalam karya adalah salah satu ciri khas Gugur Merah dan Laporan dari Bawah.
Fakta ini menunjukkan kedekatan hubungan karya dengan realitas karena dipicu oleh
kejadian-kejadian historis.
Hambatan pelaksanaan UUPA oleh tuan tanah yang dilakukan dengan
berbagai cara, termasuk dengan tipu daya, menunjukkan bahwa perjuangan kaum tani
ternyata tidak mudah. Hal ini dikisahkan dalam sebuah cerpen bergaya satir, berjudul
Pak Ibrahim dan Transfusi (Bambang Sukowati, hal. 66-68). Pak Ibrahim dalam
cerpen ini adalah seorang tuan tanah besar yang kekayaannya tak terbilang dengan
empat istri. Berita mengenai pemberlakuan Undang-undang Agraria merisaukan
Pak Ibrahim karena akan merugikan dirinya selaku tuan tanah.
Penolakan pihak tuan tanah terhadap penegakan undang-undang agraria,
akhirnya menimbulkan sengketa atau konflik kaum tani melawan tuan tanah. Cerpen
Pengadilan Tani (Sugiarti Siswadi, hal. 447-456) mengisahkan tiga kasus sengketa
tanah,

yaitu:

antara

petani

penggarap

(Kromosentono,

Mbok

Karti,

dan

Sastrodikromo) melawan tuan tanah (Sanusi). Cerita ini disusun dalam gaya tanya
jawab antara hakim dan terdakwa di ruang sidang. Di dalam tanya jawab itu
pengarang menyisipkan propaganda bahwa: (1) posisi petani sangat lemah karena
miskin; (2) tuan tanah membodohi dan menipu petani penggarap; dan (3) tuan tanah

163

membohongi panitia landreform sehingga tidak tercatat memiliki kelebihan tanah


menurut UUPA. Karya ini diakhiri dengan kemenangan di pihak kaum tani. Pesan
yang disampaikan dalam cerpen Pengadilan Tani adalah propaganda agar kaum
tani melakukan aksi melawan tuan tanah. Cerpen-cerpen Laporan dari Bawah yang
membahas sengketa kaum tani melawan tuan tanah juga sebagai propaganda
penegakan UUPA dan UUPBH secara radikal. Propaganda dalam cerpen atau dalam
sastra Lekra secara umum bukan hanya sebagai pesan politik atau pesan ideologi
tetapi juga sebagai modus penyampaian cerita. Modus propaganda berpengaruh pada
pemilihan diksi dan gaya bahasa sehingga gaya bahasanya cenderung sarkasme.
Modus propaganda muncul juga dalam cerpen Paman (L.S. Retno, hal. 146154) bahwa tuan tanah sebagai pengisap dan hidup dari keringat kaum tani. Untuk
itu, kaum tani harus melakukan aksi melawan tuan tanah dan berjuang menegakkan
UUPA dan UUPBH secara konsekuen. Cerpen Pengadilan Tani dan Paman
diakhiri dengan kemenangan kaum tani yang mengandung makna bahwa sastra tidak
hanya melukiskan kenyataan dalam masyarakat tetapi juga melukiskan realitas yang
seharusnya. Kedua cerpen ini menuntut realitas yang seharusnya, yaitu tanah garapan
bagi kaum tani.
Propaganda sebagai modus dalam menyampaikan persoalan sengketa tanah
kembali muncul dalam tiga cerpen, yaitu: Dua Kemenangan (Dwijono, hal. 104107), Bibi Kerti (Putu Oka, hal. 305-309), dan Lelaki Itu Datang Lagi (L.S.
Retno, 155-161). Kelebihan ketiga cerpen ini ada pada materi propagandanya, yaitu

164

kaum perempuan tani juga harus tampil dalam perjuangan menegakkan UUPA dan
UUPBH. Ketiga cerpen ini membangun citra perempuan tani yang setara dengan
kaum laki-laki, progresif-revolusioner. Ide kesetaraan perempuan dalam cerpen Dua
Kemenangan, Bibi Kerti, dan Lelaki Itu Datang Lagi, harus terus
dipropagandakan karena walaupun dunia berputar dan masyarakat berganti tetapi
emansipasi wanita belum terjamin dimana-mana (dalam puisi Kita Senantiasa
Berjuang, Toemini, hal. 868). Menurut Toemini, untuk mencapai masyarakat baru,
segala pikiran feodal harus dibuang, termasuk pula pandangan feodal terhadap kaum
perempuan.
Persoalan kaum tani tanpa tanah garapan yang dibicarakan dalam Gugur
Merah adalah pijakan bagi penyair untuk merepresentasikan suara kelas. Persoalan
kaum tani tanpa tanah garapan digunakan sebagai lokomotif oleh para penyair
untuk menistakan aksi pengisapan, penindasan tuan tanah. Pernyataan yang
menistakan tuan tanah dalam puisi-puisi Gugur Merah berupa pernyataan langsung
(gaya bahasa sarkasme). Pernyataan langsung yang menistakan, mengecam,
mengutuk tuan tanah dinyatakan melalui berbagai ungkapan. Puisi Dari Pedalaman
Jawa (Kusni Sulang, hal. 466) memuat ungkapan ganas si macan buas untuk
mengecam tuan tanah. Ungkapan lain untuk tujuan yang sama adalah kucing
kedinginan tanpa jiwa (Teruskan Aksi, Kusni Sulang, hal. 473). Tuan tanah
dilukiskan sebagai pengisap kekayaan bumi kami (Kami Tiada Punya Tanah,
Romzah, hal. 698) dan tuan tanah keji (Untukmu Pahlawan Tani, D.N. Aidit, hal.

165

293). Dalam puisi Kuil Nirwana dan Mimpi (Amarzan Ismail Hamid, hal. 162)
ditemukan ungkapan tuan tanah jahat.
Daya cerita dalam cerpen berperan efektif sebagai mediasi antara (kehadiran)
pengarang dan dunia cerita serta tokoh-tokohnya, sehingga pengarang seolah-olah
tidak hadir secara langsung di dalam karyanya.

Dalam Laporan dari Bawah

persoalan kaum tani tanpa tanah garapan secara intens dibangun di dalam dunia
cerita. Persoalan yang digarap masuk ke dalam dunia cerita dan menjelma menjadi
kisah. Dalam Gugur Merah jarang ditemukan pembicaran permasalahan kaum tani
tanpa tanah garapan benar-benar lebur ke dalam suasana puisi. Puisi hanya sebagai
pernyataan sikap dan pengucapan pandangan, berupa: antipati, kebencian, kemuakan,
kutukan, kecaman, caci makian, dll. kepada tuan tanah. Kejahatan-kejahatan tuan
tanah dalam puisi-puisi berikut ini tetap terasa sebagai ucapan atau kata-kata Agam
Wispi, Benni Cung, dan Putu Oka. Pernyataan, sia-sia padi menjadi, panen
dirampas

adalah

kata-kata

Agam

Wispi

dalam

puisi

Rumput-rumput

Morokrambangan (hal. 96). Dalam puisi Isola (hal. 232), Benni Cung
mengungkapkan, satu tangan datang menerkam ketika panen. Dalam puisi Bali
(hal. 564) Putu Oka menyatakan, di Bali petani mati

bukan berarti panen tak

menjadi.
Di samping menjadikan puisi sebagai pernyataan pribadi penyairnya, puisipuisi dalam Gugur Merah juga mempropagandakan aksi perlawanan kaum tani dan
kesadaran/perjuangan kelas. Propaganda perlawanan dalam puisi Panen (A. Qadar,

166

hal. 34-5) dinyatakan melalui ungkapan bela diri melawan mati di tanah sendiri, di
padi sendiri, petani punya jalan sendiri, jalan revolusi. Ungkapan propaganda ini
mengandung maksud untuk menunjukkan sikap berani di dalam diri kaum tani.
Ungkapan propaganda perlawanan, rela mati untuk merdeka, untuk uupa, untuk
uupbh, ganyang tujuh setan desa dinyatakan oleh A. Qadar dalam puisi Riak
Batanghari (hal. 36). A. Qadar berpropaganda agar kaum tani rela mati untuk UUPA
dan UUPBH, seperti yang dikisahkan dalam puisi Boyolali dan cerpen Boyolali
serta dalam puisi Ketahon-Suatu Titik Balik (Budhi Santosa Djadjadisastra, hal.
254).
Pengarang mempropagandakan semangat perlawanan dan atau mengobarkan
api perjuangan kaum tani dan membangun optimisme kaum tani. Mereka berharap
bahwa suatu ketika bebas dari penindasan dan penderitaan hidup. Ini merupakan
fungsi sosial politik puisi-puisi dalam Gugur Merah dan yang paling menonjol adalah
propaganda. Materi propaganda bersumber pada agenda perjuangan PKI. Muatan
propaganda puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari
Bawah berkonsekuensi kepada pilihan diksi (lihat lampiran Tabel 1-15) dan gaya
bahasa yang digunakan, yang cenderung sarkasme.
Perlawanan dalam Laporan dari Bawah bukanlah suara langsung subjek
(pengarang) seperti dalam Gugur Merah. Dalam cerpen, suara perlawanan tersebut
larut di dalam dunia cerita. Suara dan aksi perlawanan diadopsi sebagai milik subjek
cerita (tokoh cerita). Oleh karena itu, pihak yang berdiri di luar cerita (pengarang dan

167

pembaca) tidak bisa mengambil alih fungsi subjek cerita dan meminjam suara atau
aksi perlawanan mereka. Dalam Gugur Merah penyair dan pembaca atau masyarakat
adalah subjek di luar dunia cerita namun bisa mengambil-alih suara dan aksi
perlawanan di dalam karya. Pembaca berpotensi besar bertransformasi menjadi
subjek karya dalam Gugur Merah. Puisi-puisi dalam Gugur Merah adalah suara
perlawanan tani dan buruh yang direproduksi oleh penyair yang bisa diucapkan oleh
setiap subjek sebagai suaranya sendiri, suara massa rakyat pekerja. Inilah yang
menjadi kekuatan puisi-puisi dalam Gugur Merah, yang tidak dimiliki oleh cerpencerpen dalam Laporan dari Bawah. Ketika diteriakkan oleh siapapun suara kata di
dalam karya itu adalah suaranya sendiri.

7.3 Persoalan Kaum Buruh


Persoalan sosial yang dialami oleh kaum buruh yang direpresentasikan dalam
Gugur Merah dan Laporan dari Bawah, antara lain: (1) kaum buruh tetap hidup
miskin walaupun telah bekerja keras; (2) kaum buruh diperbudak/diisap oleh
majikan; dan (3) buruh menerima upah kerja yang sangat kecil. Ketiga persoalan
umum ini memicu kesadaran dan aksi perlawanan buruh kepada majikan.
Kemiskinan dan perlawanan buruh teh di Subang, digambarkan dalam puisi
tiga bait bergaya syair, Subang (T. Iskandar, hal. 844). Bait pertama adalah
pertanyaan retoris bahwa segala keuntungan perkebunan dilarikan ke negeri penjajah.
Bait kedua menggambarkan pengorbanan dan penderitaan buruh. Mereka mendaki
gunung perkebunan teh. Teh tumbuh subur berkat cucuran keringat buruh. Buruh teh

168

kelaparan dan kedinginan. Bait ketiga adalah perlawanan buruh sebagai klimaks
karya ini. Komposisi puisi ini berpola penderitaan dan perlawanan yang menjadi
pola umum puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari
Bawah yang mencerminkan penyederhanaan hukum materialisme dialektika historis.
Rumambi dengan bebas menggambarkan derita buruh kayu jati dalam puisi
bergaya prosa. Citra visual puisi ini sangat kuat dalam memotret kerja berat dan
derita hidup buruh kayu jati. Pembaca seolah-olah menyaksikan punggung-punggung
telanjang, bahu-bahu bungkuk buruh ketika mendorong lori gerobak yang dipenuhi
balok kayu jati. Walaupun mereka bekerja berat namun upah yang diperoleh tidak
seberapa, hanya sebatok beras bercampur gabah. Puisi Harga Kayu Jati memang
tidak menggelorakan perlawanan secara langsung tetapi melalui sindiran kayu jati
mahal dan hidup lebih mahal untuk mengecam majikan.
Penderitaan hidup buruh pelabuhan di Surabaya dikisahkan di dalam puisi
Surabaya (Agam Wispi, hal. 126-127). Penggambaran ini mengandung pesan yang
sama dengan yang disampaikan dalam puisi Harga Kayu Jati. Rumambi dan Agam
Wispi memiliki pandangan bahwa kaum buruh Indonesia, apakah itu buruh kayu jati
atau buruh di pelabuhan, sama-sama menderita. Penderitaan buruh juga digambarkan
dengan jelas dan langsung dalam puisi Anak Buruh (S. Rukiah Kertapati, hal. 648),
melalui ungkapan ayah menderita dan ibu pedih sengsara.
Puisi Anak Buruh menggunakan diksi yang bersumber pada kosakata
sehari-hari dan kalimat-kalimat pendek, untuk menunjukkan bahwa karya ini bergaya

169

anak-anak. Penyair menggunakan dunia dan sudut pandang anak dalam


menyampaikan persoalan hidup keluarga buruh. Puisi ini menunjukkan dialektika
kehidupan buruh melalui penderitaan (tesis), perlawanan (antitesis), dan harapan
(sintesis). Empat bait pertama puisi ini mengemukakan penderitaan buruh. Bait ini
adalah tesis (buruh hidup sengsara, menderita) yang memicu antitesis, bakarlah api
menyala-nyala (bait kelima dan keenam) sebagai antitesis. Sintesis puisi ini adalah
harapan atau hari esok dengan kemenangan, kemenangan ditanganmu.
Cerpen Kakitangan dan Pembela (Siwa Patria, hal. 394-398) memberi
gambaran yang utuh mengenai kehidupan dan perjuangan buruh dalam membebaskan
diri dari belenggu majikan lewat kisah hidup seorang buruh bernama Wikrama.
Pengarang membangun kisah berdasarkan kepada hukum materialisme dialektika
historis. Hukum ini diadopsi menjadi struktur penceritaan karya. Peristiwa dalam
cerpen ini disusun melalui tahap penderitaan (tesis), perlawanan (antitesis), dan
kemenangan (sintesis).
Cerpen Kisah Bung Hardjo (Widjaja, hal. 510-514) juga menampilkan
kisah yang mirip dengan perjuangan Wikrama, melalui tokoh Hardjo (seorang buruh
kecil). Hardjo berjuang melalui organisasi buruh SB (salah satu organisasi buruh
yang berada di bawah SOBSI yang diketuai oleh Karnadi). Cerpen ini diakhiri
dengan tekad buruh (Karnadi) dalam mencapai kemenangan. Cerpen Tantangan
(Nurlan, hal. 261-263) mengungkap persoalan kemiskinan buruh (Kalang, Baki, dan
buruh lannya). Kalang memimpin pemogokan untuk menuntut kenaikan gaji kepada

170

toke (majikan) yang hidup mewah tanpa kerja keras. Kuatnya posisi majikan yang
digambarkan dalam cerpen Kisah Bung Hardjo dan Tantangan memaksa kaum
buruh agar memiliki tekad kuat dalam memenangkan perjuangan namun yang tidak
boleh mati adalah tekad buruh dalam melakukan perlawanan.

7.4 Persoalan Kemiskinan


Di samping membicarakan dua persoalan terpenting, yaitu kaum tani tanpa
tanah garapan dan ketidakadilan serta buruh bekerja keras dengan upah rendah, puisipuisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah juga
membicarakan persoalan sosial yang umum yaitu kemiskinan rakyat jelata. Persoalan
kemiskinan dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah menjadi umum dan
memberi ciri khas karya. Puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam
Laporan dari Bawah

menegaskan bahwa kemiskinan dan kemelaratan identik

dengan rakyat.
Persoalan kemiskinan dan kelaparan rakyat jelata menggunakan pola cerita
yang berulang, yakni: kemiskinan, janji dan harapan perubahan hidup yang lebih
baik. Pola ini adalah versi lain dari hukum materialisme dialektika historis. Sejalan
dengan hukum materialisme dialektika historis, formula tersebut dapat dirumuskan
menjadi kemiskinan (tesis), janji dan harapan perubahan hidup (sintesis), dan PKI
sebagai partai yang memperjuangkan perbaikan hidup kaum miskin (antitesis) karena
partai ini melawan tesis yang ada (kemiskinan). Dalam cerpen yang mengangkat

171

persoalan kemiskinan rakyat jelata, PKI selalu hadir sebagai partai yang berjuang
melawan kemiskinan dan penderitaan rakyat.
Puisi Orang-orang Lorong (Agam Wispi, hal. 62-63) mengisahkan
kehidupan pengemis. Puisi yang kaya ungkapan simbolis ini adalah salah satu
perkecualian dari kenyataan umum karya dalam Gugur Merah yang mudah dicerna
karena diksinya (kosakata sehari-hari dan ungkapan bahasa yang populer pada masa
Revolusi Indonesia). Gambaran penderitaan pengemis dalam puisi ini menyatu
dengan keberpihakan Agam Wispi yang bukan drbsgsi pesimisme namun gelora
untuk membangkitkan semangat perjuangan, anak kolong berlarilah lintas jalan
raya dan Selain daya merombak segala. Ungkapan ini memancarkan daya atau
tenaga perjuangan pada diri anak lorong.
Berbeda halnya dengan puisi Tukang Arang (F.L. Risakota, hal. 434) atau
Djuhainah

Masih

Bernyanyi

(H.R.

Bandaharo,

hal.

382)

yang

hanya

mendeskripsikan derita hidup seorang tukang arang (Pardo) dan Djuhainah (seorang
buruh tani dari Banyuwangi). Pengamen yang menjual suaranya hingga hangus,
dikemukakan dalam puisi Lagu (Sugiarti Siswadi, hal. 815). Seperti Agam Wispi
dalam puisi Orang-orang Lorong, Sugiarti Siswadi juga menyatakan simpati yang
mendalam terhadap pengamen. Puisi Lagu tidak hanya menggambarkan derita
pengamen, ibarat sekuntum bunga tumbuh merana di karang tandus, sehingga layu
dibakar terik matahari, tetapi mengemukakan bahwa taman sosialis adalah dunia
bagi para pengamen miskin.

172

Masyarakat sosialis bagi rakyat jelata adalah kehidupan tanpa mengemis,


tanpa lapar, dan tanpa air mata. Sejalan dengan Sugiarti Siswadi, Kusni Sulang dalam
puisi Dari Pedalaman Jawa (hal. 466) menggabarkan sosialisme sebagai kehidupan
masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur. Puncak
ekspresi puisi Lagu ada pada baris kedua (bait kelima, bait terakhir), yang
menyatakan bahwa masyarakat sosialis adalah ibarat taman pembebasan bagi
rakyat jelata. Puisi ini menyatakan secara propagandis, sosialisme merupakan jalan
pembebasan dari derita hidup bagi kaum miskin.
Cerpen Lapar (Bohari, hal. 80-86) menceritakan perjuangan Bu Inah untuk
memperoleh beras dan minyak tanah agar keluarganya bisa makan. Kemiskinan pada
akhirnya menggugah kesadran Bu Inah untuk berperan aktif dalam organisasi wanita
progresif dan berjuang membebaskan suatu keluarga miskin dari rasa lapar. Cerpen
ini berakhir ketika Bu Inah menyatakan tekadnya untuk aktif di dalam organisasi
perempuan. Cerpen yang didominasi penggambaran perjuangan Bu Inah dalam
memperoleh beras dan minyak tanah adalah untuk menyampaikan betapa besar
tanggung jawab seorang perempuan kepada keluarganya. Dari segi struktur
penceritaannya yang berdasarkan hukum materialisme dialektika historis dan
persoalan yang diungkap (kemiskinan), cerpen Segumpal Perjuangan (Sugiarti
Djasman S.S., hal. 420-22) sama dengan cerpen Lapar.
Cerpen Kuntarni (N. Rosa, hal. 236-238) menggambarkan Kuntarni (siswa
kelas III SR, sekolah rakyat) yang tumbuh di tengah keluarga pembuat gerabah

173

miskin sehingga ia tidak mampu membeli gaun putih untuk perayaan Hari Kartini
pada tanggal 21 April. Penggambaran kemiskinan sebagai kemiskinan belaka juga
ditemukan dalam cerpen Tikar dan Debu (Marapisinga, hal. 217-219). Cerpen ini
menceritakan kemiskinan keluarga Sidin dan Minah (pasangan suami istri). Sidin dan
Minah menjadi pengemis di kota setelah menjual sebidang tanah di desa. Kemiskinan
memaksa Sidin dan Minah menyerahkan kelima orang anaknya kepada keluarga yang
berbeda. Tindakan kaum miskin yang realistis-revolusioner dalam mengambil
keputusan ditunjukkan oleh Sidin-Minah dan tokoh ibu (istri Maman) dalam cerpen
Pergi (Setiawan H.S., hal. 390-391).
Cerpen Pergi mengungkap kisah seorang ibu yang secara sadar menjadi
pelacur demi menyelamatkan anak-anaknya dari kelaparan. Sidin-Minah dalam
cerpen Tikar dan Debu menyerahkan kelima anaknya kepada lima keluarga yang
berbeda ketimbang anak-anak itu mati kelaparan. Menjadi seorang pelacur demi
menyelamatkan anak dari kelaparan begitu pula tindakan menyerahkan lima anak
kepada orang lain demi menyelamatkan mereka dari kelaparan adalah keputusan yang
progresif revolusioner yang ditunjukkan oleh orang-orang miskin. Tindakan ini
mengejutkan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Pilihan seorang ibu menjadi
pelacur atau suami istri yang menyerahkan anak-anaknya kepada keluarga yang
mampu memberi hidup, merepresentasikan pemikiran revolusioner namun tetap
masuk akal. Mereka tidak hanya berkubang dan akhirnya terkubur di dalam
kemiskinan tetapi sebagai orang miskin, mereka adalah kaum radikal dan progresif.

174

7.5 Persoalan Imperialisme dan Kolonialisme


Perlawanan (menentang, mengecam, mengutuk) terhadap imperialisme dan
kolonialisme banyak muncul dalam Gugur Merah. Hanya ada beberapa cerpen yang
membicarakan permasalahan antiimperialisme dan antikolonialisme. Puisi-puisi
dalam

Gugur

Merah

yang

mengungkap

persoalan

antiimperialisme

dan

antikolonialisme, adalah: (1) pernyataan sikap antiimprealisme dan antikolonialisme;


(2) suara perlawanan terhadap negara-negara imperialis dan kolonialis; (3) cara
menggalang rasa kesetiakawanan di kalangan bangsa-bangsa terjajah; (4) tudingan
terhadap kejahatan negara-negara imperialis-kolonialis; (5) pernyataan melakukan
aksi boikot, khususnya kepada produk-produk budaya imperialis; (6) sikap benci,
hujatan, tudingan, kutukan terhadap Amerika; dan (7) mengunggulkan ideologi
sosialis.
Dalam Laporan dari Bawah perlawanan terhadap imperialisme dan
kolonialisme bukan sebagai tema tetapi berkaitan dengan suatu persoalan yang
sedang dibicarakan dalam cerita. Puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen
dalam Laporan dari Bawah yang menyinggung persoalan antiimperialisme dan
antikolonialisme mengandung sejumlah pesan, yaitu: (1) praktik-praktik imperialisme
kolonialisme menimbulkan penderitaan rakyat; (2) sikap antipati terhadap negaranegara imperialis; (3) simpati kepada negara-negara terjajah; (4) imperialismekolonialisme bertentangan dengan sosialisme; dan (5) propaganda perlawanan
terhadap kekuatan imperialisme dan kolonialisme.

175

Amerika di mata penyair Gugur Merah tidak hanya biadab tetapi negara hina
dan nista. Ditemukan berbagai ungkapan yang menghina dan menistakan Amerika,
seperti busuk air comberan, durhaka, bobrok, dan penjahat perang, (puisi
Tunggu Hari Akhirmu Yankee, Sutikno W.S., hal. 837-8). Pernyataan sikap antiAmerika diungkapkan dalam puisi Yankee Go Home! (hal. 241) karya Benni Cung.
Benni Cung mengutuk Amerika dengan ungkapan kasar, seperti kebiadaban serdadu
Amerika. Rasa benci terhadap Amerika juga dinyatakan dengan ungkapan Amerika
Serikat bajak laut mengitari bumi (dalam puisi Semua Merapatkan Barisan, S.
Anantaguna, hal. 682).
Kutukan atau ungkapan yang menghina dan menistakan tersebut, berdasar
kepada daftar kejahatan dan kebiadaban Amerika di mata H.R. Bandaharo, Kusni
Sulang, Sutikno W.S., dan S.W. Kuncahjo. Di dalam puisi Menempuh Jalan Rakyat
(H.R. Bandaharo, hal. 396) dikemukakan fakta kejahatan Amerika. Dalam puisi ini
diungkapkan, persahabatan yang dijalin Amerika dengan negara-negara terjajah
adalah campur tangan. Amerika adalah penipu dan gemar mengadu domba. Amerika
juga menjalankan praktik neokolonilaisme. Segala bentuk bantuan Amerika kepada
negara-negara terjajah menjerat leher dan membelenggu kedaulatan. Amerika
menyebarkan kebudayaan memabokkan dan pelacuran di negara dunia ketiga.
Kusni Sulang dalam puisi Jangan Orang Berpangku Tangan (hal. 479-80),
menyatakan bahwa yang menyalakan perang adalah Amerika. Kejahatan Amerika
ditemukan pula dalam puisi Tunggu Hari Akhirmu Yankee (Sutikno W.S., hal.

176

837-8). Dalam puisi ini disebutkan bahwa Amerika membunuh, meracun, dan
mengebom rakyat Vietnam dan Kongo. Daftar kejahatan dan kebiadaban Amerika
dalam puisi Dari Daerah Dimana Darah Pernah Tumpah (S.W. Kuncahjo, hal. 7167) adalah sebagai berikut.
No. kejahatan dan kebiadaban Amerika dalam puisi Dari Daerah
Dimana Darah Pernah Tumpah
1.
pembunuh berdarah dingin
2.
membakar hidup-hidup 900 jiwa tanpa dosa
3.
di Korea membunuh 400 ibu dan 102 bayi secara keji
4.
di Korea memperkosa dan membunuh ibu-ibu dan gadis-gadis
5.
menjatuhkan 18 bom di setiap satu kilometer persegi
6.
menyisakan luka mendalam (trauma)
Satu lagi kejahatan Amerika dan sekutu-sekunya menyebarkan bencana kelaparan
(dalam puisi Selamat Kembali Manusia Pertama, Agam Wispi, hal. 92).
Para penyair Gugur Merah menggelorakan perlawanan kepada negara-negara
imperialis dan kolonialis. Perlawanan tersebut berupa seruan kepada Amerika atau
Inggris (dua negara imperialis dan kolonialis) agar meninggalkan tanah jajahannya
(dalam puisi Menjaga Tanah Air, Kusni Sulang, hal. 476). Mereka juga
mengungkapkan kebencian terhadap Amerika (dalam puisi Catatan Peking, Njoto,
hal. 536), kebencian terhadap Inggris (dalam puisi Shanghai, Njoto, hal. 542); dan
provokasi agar mengambil alih segala modal Inggris yang ditanam di negeri jajahan
(puisi Hari-hari Bersejarah, S.W. Kuncahjo, hal. 719).
Para penyair Gugur Merah meyakini bahwa kekuasaan imperialisme dan
kolonialisme hanya bisa dilawan dan dikalahkan oleh ideologi dan kekuatan rakyat
yang berbaja, sebagaimana hal ini telah dilakukan di Korea (puisi Sesudah

177

Panmunjom, H.R. Bandhaharo, hal. 379).

Ungkapan kekuatan rakyat yang

berbaja dalam puisi Shanghai (Njoto, hal. 541) semakna dengan kekuatan
sosialisme dan proletariat. Keunggulan dan kekuatan sosialisme atau komunisme
diuraikan oleh Agam Wispi dalam puisi Selamat Kembali, Manusia Pertama (hal.
92). Kekuatan dan keunggulan sosialisme atau kegemilangan komunisme ini tidak
hanya mampu menghancurkan imperialisme tetapi adalah harapan terbaik umat
manusia menuju bintang-bintang impian. Ungkapan yang indah dan mendalam
ini, menjadi suatu bukti bahwa ada pula sedikit penyair Gugur Merah yang tidak
menggunakan selogan revolusioner ketika menyatakan sikap perlawanan kepada
musuh revolusi atau musuh rakyat.
Dalam puisi Pernyataan (Toga Tambunan hal. 874) semangat Bandung
yang memiliki tujuan menciptakan dunia merdeka tanpa penindasan adalah senjata
untuk melawan imperislisme dan kolonialisme. Puisi Shanghai menegaskan bahwa
sosialisme (kekuatan di tangan rakyat) adalah senjata untuk melawan imperialisme.
Kekuatan proletar berlandaskan nasionalisme yang dikemukakan dalam puisi
Percikan Api Kemerdekaan (M.A. Simandjuntak, hal. 502) juga sebagai senjata
untuk melawan imperialisme dan kolonialisme.
Menurut M.A. Simandjuntak, kekuatan proletar adalah sebuah revolusi. H.R.
Bandaharo menyatakan bahwa kekuatan di tangan rakyat atau sosialisme adalah
jalan rakyat yang harus ditempuh oleh negara-negara terjajah (dalam puisi
Menempuh Jalan Rakyat, hal. 394-398). Bagi H.R. Bandaharo, Jalan Rakyat

178

telah ditempuh oleh Presiden Soekarno ketika menyatakan ke luar dari PBB.
Keputusan Pesiden Soekarno tersebut merupakan perlawanan terhadap negara Barat,
terutama Amerika yang menguasai PBB. Di samping mengerahkan segala kekuatan
rakyat yang berbaja, sosialisme, atau semnagat Bandung, kesetaraan laki-laki dan
perempuan yang berderap maju bersama di lapangan perjuangan, juga ampuh
memusnahkan imperialisme dan kolonialisme (dalam puisi Kita Senantiasa
Berjuang, Toemini, hal. 868). Salah satu bentuk perlawanan terhadap imperialisme,
khususnya dalam lapangan kesenian adalah dengan melakukan boikot karena banjir
film Amerika di Asia dan Afrika (Aksi Boikot, Sitor Situmorang, hal. 758). Dalam
puisi ini terngungkap bahwa aksi boikot film-film Amerika untuk menolak intervensi
Amerika melalui film atas kemerdekaan negara di Asia.
Cerpen Semalam dalam Tahanan (Made Serinata, hal. 192-201),
mengungkapkan bahwa rakyat Indonesia dirugikan oleh

imperialisme.

Cerpen

Keinginan seorang Perempuan (Abdul Kohar Ibrahim, hal. 35-40) menceritakan


keingnan seorang istri yang sedang ngidam yang meminta jagung, kopi murni, dan
agar suaminya menyandang bedil untuk mengusir penjajah Portugis dari Angola
(seting cerita). Sikap anti-Amerika diwujudkan dengan simpati atau solidaritas
terhadap perjuangan rakyat Vietnam melawan Amerika yang menembaki petani
dengan kejam (cerpen Sebuah Lagu, Nurlan, hal. 264-268). Cerpen Palu Artit
(Sulami,

hal.

467-469)

mempropagandakan

imperialisme, terutama Amerika.

perlawanan

menghancurkan

179

7.6 Boyolali
Boyolali adalah judul puisi dan cerpen karya Amarzan Ismail Hamid. Puisi
Boyolali (Amarzan Ismail Hamid, hal. 165-167) dan cerpen Boyolali (Amarzan
Ismail Hamid, hal. 50-51) memiliki fokus yang sama, yaitu peristiwa tertembaknya
tiga orang petani (Jumari, Sonowiredjo, Partodikromo) di desa Ketaon (Boyolali).
Mereka mempertahankan tanahnya, sesuai dengan ketentuan landreform. Persoalan
yang dikemukakan di dalam kedua karya ini sama, yaitu tuntutan keadilan dan tanah
garapan bagi kaum tani. Tanah bagi kaum tani adalah salah satu agenda Revolusi
Indonesia yang tercermin dalam prinsip kaum tani dan buruh sebagai sokoguru
Revolusi Indonesia dan melahirkan UUPA dan UUPBH. Kedua undang-undang ini
diharapkan memberi keadilan serta membebaskan kaum tani Indonesia dari
penindasan dan pengisapan tuan tanah. Sebaliknya, undang-undang ini merugikan
tuan tanah sehingga ketika ditegakkan, memperoleh berbagai rintangan. Hal inilah
yang terjadi di desa Ketaon (Boyolali), sampai memakan korban tiga orang petani.
7.6.1 Ekspresi Dukacita dalam Puisi Boyolali
Puisi Boyolali adalah ekspresi duka cita yang dalam atas tertembaknya tiga
petani dalam menuntut keadilan dan tanah garapan sejalan dengan ketentuan reforma
agraria atau landreform. Amarzan Ismail Hamid menulis puisi dukacita ini dalam
gaya bebas, warisan gaya Chairil Anwar, seperti penilaian atas gaya umum penyair
Lekra yang dikemukakan oleh Foulcher (1986:141). Ekspresi dukacita dalam puisi ini

180

dilatarbelakangi oleh pemahaman dan penghayatan Amarzan Ismail Hamid terhadap


kaum tani. Kaum tani adalah tiang penyangga kehidupan dan yang menghidupi
revolusi. Pemahaman dan penghayatan tersebut representasi konsep kaum tani adalah
sokoguru Revolusi Indonesia dan konsep massa rakyat pekerja sebagai pencipta
sejarah yang sebenarnya (secara Marxis). Mereka menghasilkan segala kebutuhan
materi yang menjamin berputarnya roda perkembangan sejarah masyarakat.
Tertembaknya Djumari, Partodikromo, dan Sonowiredjo, tiga orang petani
dari jutaan bintang Barisan Tani Indonesia, menjadi waktu yang penting dan tepat
untuk mengenang kembali jejak hidup mereka. Melalui ungkapan tanahair yang
dibela mati-matian dan untuk membela tanah air, tentara negara membutuhkan
senjata dan peluru yang dibayar dengan keringat kaum tani.

Amarzan Ismail

Hamid menunjukkan jasa kaum tani Indonesia bagi negara. Senjata dan peluru yang
berada di tangan tentara dibeli dari keringat dan kerja keras kaum tani. Tetapi,
mengapa mereka rebah berdarah diatas tanah/kampung halaman-nya sendiri?
Konvensi ekspresi dukacita selain mengenang jejak juga memuji bagi yang
meninggal dan pesan bagi yang ditinggalkan agar tabah. Kematian Djumari,
Partodikromo, dan Sonowiredjo adalah teladan indah yang dipahat atau dinukilkan
dalam sejarah perjuangan Barisan Tani Indonesia (BTI). Pujian dan doa bagi mereka
tetap menyisakan dukacita mendalam dan pahit, pahit bagai empedu. Kabar pahit
inilah yang terbang bersama angin ke seluruh Indonesia (angin menyampaikan kabar
berita). Pada saat yang sama kaum tani Indonesia sedang bergerak menuntut

181

keadilan dan tanah garapan. Pesan bertabah hati dan berbesar jiwa agar tidak larut
berkepanjangan dalam rasa pahit dukacita, tampak melalui ungkapan jangan titikan
air mata kawan! karena kematian Djumari, Partodikromo, dan Sonowiredjo adalah
ujian sejarah.
Pada bagian III puisi yang ditulis dalam tiga bagian ini (setiap bagian ditandai
oleh angka I, II, dan III) berisi ungkapan gugatan dan renungan. Gugatan ditujukan
kepada tangan berdarah yang telah mengacungkan senjata/menghujamkan
peluru/kejantung ibu-bapa sendiri. Renungan yang penutup puisi ini mengandung
pesan yang jelas, yaitu teladan indah yang telah ditunjukkan oleh Djumari,
Partodikromo, dan Sonowiredjo dan harus selalu dibangkitkan. Puncak renungan
ini adalah menggelorakan semangat dan mengobarkan nyala api perjuangan kaum
tani Indonesia untuk suatu hari pembebasan: mendapatkan keadilan dan tanah
garapan.
Puisi Boyolali lahir sebagai tanggapan terhadap peristiwa historis pada
zamannya, namun wujud atau representasinya dalam karya bukanlah potret
perjuangan dan kekalahan kaum tani di Ketaon (Boyolali). Dimensi historis puisi ini
menariknya ke tengah kancah Revolusi Indonesia. Karya ini memiliki jejak sejarah
yang dalam. Jejak inilah ditelusuri oleh para pembaca di luar zamannya, masuk
kembali ke kancah Revolusi Indonesia yang melahirkannya.
Melalui metode membaca paralel puisi Boyolali dan pidato Presiden
Soekarno serta tulisan D.N. Aidit, terungkap hubungan karya ini dengan proses

182

sejarah yang melahirkannya. Persoalan landreform (tersembunyi pada lapisan yang


lebih dalam daripada ekspresi dukacita yang berada di permukaan) adalah mata
rantai yang menghubungkan karya ini dengan jejaring teks sezaman (Revolusi
Indonesia). Presiden Soekarno menegaskan, Ja!, tanah tidak boleh mendjadi alat
penghisapan! (Soekarno, 1964:419). Bagi Presiden Soekarno, Tanah untuk tani!
Tanah untuk mereka jang betul-betul menggarap tanah! (Soekarno, 1964:419).
Dengan demikian, kaum tani akan terbebas dari [...]penghisapan dobel: penghisapan
dari feodalisme, dan penghisapan dari kapitalisme (Soekarno, 1964:578). Atas dasar
ini Presiden Soekarno menyatakan, Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah
sama sadja dengan gedung tanpa alas, sama sadja dengan puhun tanpa batang, sama
sadja dengan omong besar tanpa isi (Soekarno, 1964: 419). Wujud landreform
adalah UUPA dan UUPBH. Saja peringkatkan bahwa UUPA, djuga UUPBH itu,
adalah undang-undang progresif bikinan kita sendiri (Soekarno, 1964:579).
D.N. Aidit mengemukakan bahwa landreform adalah memberi tanah kepada
kaum tani (Aidit, 1964b:57) karena kaum tani harus mempunjai miliktanah
garapannja sendiri (Aidit, 1964b:56). Mengingat betapa pentingnya landreform
dalam rangka mewujudkan cita-cita perjuangan PKI, D.N. Aidit menganjurkan agar
pelaksanaan landreform setjara radikal (Aidit, 1964b:56) yang berwujud
pelaksanaan UUPA dan UUPBH setjara konsekwen dan setjepat mungkin (Aidit,
1964b:56). Dengan demikian, kaum tani jang hidup menderita dibawah penindasan
tuan tanah feodal (Aidit, 1964b:54) akan terbebas dari pengisapan/penindasan tuan

183

tanah feodal, [...] jang memiliki kekajaan jang besar. Semuanja hidup dari
penghisapan kaum tani, jang tanahnja dirampas dan dipaksa menggarap tanah
kepunjaan orang-orang lain (Aidit, 1964b:17).
Pelaksanaan reforma agraria di Ketaon (Boyolali) tidak sesuai dengan
harapan. Kaum tani yang sadar dengan penderitaannya dan telah memilih jalan
perjuangan kelas untuk memperoleh keadilan dan tanah garapan, dalam rangka
mengambil peran dan bertanggung jawab terhadap kedudukannya sebagai sokoguru
Revolusi Indonesia, sedang berjuang menegakkan UUPA dan UUPBH. Kedua
undang-undang ini tidak menjamin kaum tani memperoleh tanah garapan dengan
mudah. Nyatanya, perjuangan kaum tani harus memakan korban jiwa.
7.6.2 Protes dalam Cerpen Boyolali
Seperti halnya puisi Boyolali, cerpen Boyolali lahir karena dipicu oleh
peristiwa tertembaknya tiga orang petani di Ketaon (Boyolali). Pada 18 November
1964 Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo ditembak di atas tanah milik seorang
tuan tanah (Wirowiredjo). Penembakan tersebut adalah bagian dari usaha tuan tanah
dalam mempertahankan hak ketuantanahannya yang terancam karena pelaksanaan
UUPA dan UUPBH. Perhatikan kutipan berikut.
[...]di atas tanah milik suami-istri Wirjowiredjo inilah, pada suatu hari,
18 November 1964, gugur tiga petani yang namanya segera semarak: Jumari,
Sonowiredjo, dan Partodikromo. Di atas tanah suami-istri Wirjowiredjo inilah
tumbuh suatu pergualatan mempertahankan hak yang akhirnya meledak dalam
suatu tragedi nasional. Tuan tanah yang mempertahankan hak
ketuantanahannya, dan kaum tani yang mempertahankan hak hidupnya.
(cerpen Boyolali, Amarzan Ismail Hamid, hal. 51)

184

Walaupun berangkat dari peristiwa historis dan ditulis oleh penyair/pengarang


yang sama, namun pada akhirnya representasi realitas sejarah dalam karya
mengambil jalan tersendiri. Peristiwa sejarah puisi Boyolali lebih samar
dibandingkan dengan cerpen Boyolali. Seperti apapun kualitas representasi
peristiwa sejarah, sebuah karya akan berurusan dengan pesan atau titik fokus. Oleh
karena itu, protes yang dialamatkan kepada tuan tanah menjadi pesan penting cerpen
Boyolali.
Protes tersebut didukung oleh pandangan pengarang (Amarzan Ismail Hamid)
terhadap narasi besar zamannya, dalam hal ini Revolusi Indonesia. Hadirnya kutipan
pandangan Presiden Soekarno mengenai landreform (Revolusi Indonesia tanpa
landreform sama dengan omong besar tanpa isi) dan kaum tani (kaum tani itu
memang bersahaja tetapi jangan kira mereka hanya sebagai tukang nurut atau tukang
nrimo) di dalam cerpen ini, sebagai argumen dalam melakukan protes.
Melalui kutipan pandangan Presiden Soekarno (Revolusi Indonesia tanpa
landreform sama dengan omong besar tanpa isi dan kaum tani itu memang
bersahaja tetapi jangan kira mereka hanya sebagai tukang nurut atau tukang nrimo);
serta penjelasan ketentuan UUPBH (pembagian hasil antara tuan tanah dan petani
penggarap sekurang-kurangnya 1:1), cerpen Boyolali mengungkap persoalan
landreform (keadilan dan tanah garapan bagi kaum tani). Landreform diuraikan ke
dalam beberapa persoalan, yaitu penegakkan UUPA dan UUPBH di Ketaon yang
dikhianati oleh tuan tanah karena merugikan pihaknya; petani dituduh melakukan

185

pemberontakan padahal mereka hanya mempertahankan hak hidupnya (tanah


garapannya); penegakan UUPA dan UUPBH memakan korban; dan sistem bagi hasil
tidak adil bagi kaum tani.
Dalam cerpen Boyolali Amarzan Ismail Hamid menggunakan diksi yang
bersumber pada ungkapan yang populer pada masa Revolusi Indonesia, seperti
Tavip, kaum tani, landreform, UUPA dan UUPBH, tuan tanah, tanah,
dan Revolusi Indonesia. Ungkapan tersebut adalah ungkapan revolusioner yang
memiliki daya dan makna khusus bagi generasi Revolusi Indonesia. Semua ungkapan
tersebut ditemukan dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Djilid II (Soekarno 1964)
yang mencerminkan hubungan timbal-balik karya sastra dan teks nonsastra.
Tavip, singkatan dari Tahun Vivere Pericoloso (tahun-tahun yang
menyerempet bahaya) merupakan judul pidato Presiden Soekarno yang diucapkan
pada hari ulang tahun ke-19 Republik Indonesia. Kaum tani adalah ungkapan yang
berkaitan dengan peran penting kaum tani dalam Revolusi Indonesia, yaitu sebagai
sokoguru. Tanah harus dipahami secara ideologis, politis, dan revolusioner, yaitu
tanah garapan untuk kaum tani dalam rangka meningkatkan harkat dan derajat kaum
tani Indonesia. Landreform berkaitan dengan kaum tani dan tanah, yaitu salah
satu agenda Revolusi Indonesia. Tuan tanah adalah para penguasa feodal atas tanah
pengisap, penindas, dan pemeras kaum tani. Karena itu, tuan tanah adalah salah satu
musuh Revolusi Indonesia.

186

Aidit (1964b) juga menggunakan ungkapan tersebut. Tanah adalah alat


produksi yang penting dalam masyarakat agraris, seperti Indonesia. Kaum tani
adalah konstruksi kelas massa rakyat pekerja menurut pandangan Marxis. Kaum tani
tertindas dan terisap oleh tuan tanah karena tidak memiliki tanah garapan. Aktivitas
produksi tidak bisa dilakukan oleh kaum tani jika mereka tidak memiliki tanah
garapan (Aidit, 1964b:35). Landreform adalah revolusi agraria dalam rangka
memberi tanah kepada kaum tani melalui penegakan dua undang-undang yang
membela kepentingan kaum tani, yaitu UUPA dan UUPBH.
Ungkapan yang populer pada zamannya serta pokok persoalan keadilan dan
tanah garapan bagi kaum tani, mengindikasikan ruang sejarah cerpen Boyolali
sangat jelas. Ungkapan tersebut kelak adalah jejak sejarah yang mengantarkan
pembaca masuk ke zaman Revolusi Indonesia. Cerpen Boyolali tidak semata-mata
merepresentasikan dinamika budaya zamannya karena mungkin saja pengarang
memiliki tujuan lain, misalnya melakukan protes karena terjadi penyelewengan atau
di-serimpung-kan ketika UUPA dan UUPBH ditegakkan secara radikal dan
konsekuen.
Hubungan cerpen Boyolali dengan pidato Presiden Soekarno serta tulisan
D.N. Aidit, dijelaskan melalui model di bawah ini.
Cerpen Boyolali
Revolusi Indonesia tanpa
Landreform adalah sama saja
dengan....omong besar tanpa
isi, kata Bung Karno.

Pidato Presiden Soekarno


*Revolusi Indonesia tanpa
Landreform adalah sama sadja
dengan gedung tanpa alas, sama
sadja dengan puhun tanpa
batang, sama sadja dengan
omong besar tanpa isi.
(Soekarno, 1964: 419)

Tulisan D.N. Aidit


-

187

menurut Bung Karno pula,


memang kaum yang
sederhana, bersahaja, tapi
orang akan kecele kalau
mengira kaum tani itu
dikatakan hanya tukang nurut
atau tukang nrimo saja
-

Kaum tani itu memang kaum


jang sederhana, bersahadja,
tetapo orang akan ketjele kalau
mengira kaum tani kita itu
tukang nurut atau tukang
nerimo sadja. (Soekarno,
1964:578)
Tanah untuk tani! Tanah
untuk mereka jang betulbetul menggarap tanah!
(Soekarno, 1964:419)

Tapiv

Tahun Vivera Pericoloso


(Soekarno, 1964:558)
tanah tidak boleh mendjadi
alat penghisapan (Soekarno,
1964:578)

tapi dari caranya


memperlakukan tanah itu, dari
caranya mempergunakan
tanah itu sebagai senjata
mengisap kaum tani

*kaum tani harus mempunjai


miliktanah garapannja
sendiri (Aidit, 1964b:56)
*memberi tanah kepada kaum
tani (Aidit, 1964b:57)

Catatan: cetak tebal dari penulis


7.7 Simpulan
Persoalan sosial politik yang direpresentasikan dalam Gugur Merah dan
Laporan dari Bawah tampak pada tema dan didukung oleh diksi yang bersumber
pada ungkapan revolusioner pada zamannya. Tema karya berpusat pada perjuangan
rakyat Indonesia (massa rakyat pekerja, kaum tani dan buruh) membebaskan diri dari
cengkraman kelas penindas dan pengisap, yaitu imperialisme, kolonialisme, dan
feodalisme.
Tema kesadaran dan perjuangan kelas kaum tani dan buruh sebagai tema
besar dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah adalah produk proses politik,
sejarah, dan budaya Revolusi Indonesia. Sebagaimana halnya politik maka dunia
kebudayaan, seni, dan sastra memiliki agenda yang sejalan dengan revolusi. Revolusi
Indonesia yang memberi posisi terhormat kepada kaum tani dan buruh (basis massa

188

pergerakan PKI), mendapat perhatian besar di kalangan penyair Gugur Merah dan
pengarang Laporan dari Bawah.
Persoalan sosial politik yang dikemukakan dalam Gugur Merah dan Laporan
dari Bawah adalah representasi agenda revolusi PKI yang didukung oleh sastra
sebagai bagian dari gerakan politik. Wujud sastra sebagai bagian dari gerakan politik
adalah propaganda. Propaganda ideologi dan politik yang diusung oleh puisi-puisi
dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah, berdasar pada
prinsip tinggi mutu ideologi dan politik sebagai panglima. Propaganda ideologi
dan politik dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah adalah kehormatan karena
sastra mengabdi revolusi massa rakyat pekerja untuk mencapai sosialisme.
Munculnya persoalan sosial politik dalam Gugur Merah dan Laporan dari
Bawah terkait dengan keterlibatan Lekra dalam Revolusi Indonesia. Keterlibatan ini
dirumuskan dalam Mukadimah, Konsepsi Kebudayaan Rakyat, dan asas metode kerja
kombinasi 1-5-1. Sastra menempatkan ideologi di atas keindahan dan sastra berada di
bawah komando politik. Peran ideologis dan politis Gugur Merah dan Laporan dari
Bawah sejalan dengan pandangan Lenin bahwa: (1) sastra harus menjadi roda
penggerak atau baling-baling mesin besar sosial demokrasi yang dijalankan melalui
propaganda; (2) netralitas sastra adalah hal yang mustahil; (3) sastra tidak dapat
dilepaskan dari gerakan kelas pekerja; dan (4) sastra harus menyeru partai. Peran
penting sastra dalam perjuangan ideologi dan politik dikukuhkan melalui pandangan

189

resmi CC PKI mengenai hubungan sastra/seni dan ideologi dan politik PKI (lihat
Aidit, 1964c).
Persoalan sosial politik yang diungkapkan dalam Gugur Merah dan Laporan
dari Bawah adalah akibat politik sastra. Politik sastra adalah sastra sebagai bagian
dari gerakan politik yang mencoba mengambil posisi sejajar dengan politik. Politik
sastra bertumpu pada proses mencipta sebagai gerakan politik. Karya yang dihasilkan
bukan tujuan utama karena karya hanya sebagai konsekuensi dari gerakan politik.
Representasi persoalan sosial politik puisi-puisi dalam Gugur Merah dan
cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah adalah wujud tanggung jawab sastra
terhadap kepentingan kaum tani dan buruh yang berarti memikirkan perkembangan
kebudayaan dari sebagian besar rakyat (Dharta, 2010d:48). Orientasi Lekra adalah
pergerakan buruh dan tani (Dharta, 2010b:97) sehingga sastra harus menjadi senjata
yang ampuh untuk memenangkan perjuangan buruh dan tani (Toer, 2003:110) atau
sastra adalah senjata perjuangan kelas (Swingewood, 1977:141).

Anda mungkin juga menyukai