Fenomena Politik
Fenomena Politik
Politik 2014
MENJELANG musim pemilu suhu politik di tanah air semakin menghangat. Pasca
pencalonan resmi Jokowi sebagai calon presiden (capres) dari PDIP, konstelasi politik
terutama di antara para elit, jadi semakin menarik dan dinamis untuk diamati. Namun, hal
lain yang tidak kalah penting adalah, apa implikasi pencalonan Jokowi bagi politik Indonesia
ke depan? Kemudian, tidak hanya itu, bagaimana seharusnya gerakan rakyat menyikapi
pencalonan Jokowi?
Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menganalisa
fenomena Jokowi Effect secara lebih mendalam. Setidaknya, ada beberapa dimensi yang
perlu kita lihat untuk lebih memahami fenomena Jokowi: rekam jejak politik Jokowi,
kontestasi politik di antara para elit, dinamika politik di tingkat akar rumput, dan dilema
politik elektoral. Berdasarkan pemahaman atas sejumlah hal tersebutlah, kita bisa
menyikapi fenomena Jokowi secara lebih baik.
Pertama-tama, kiprah politik Jokowi dalam banyak hal sesungguhnya merupakan terobosan
dalam politik Indonesia terutama dalam ranah politik lokal. Politik di Indonesia pasca Orde
Baru, yang masih terjebak dalam logika teknokratis dan elitis bahkan pasca penerapan
kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, dan pemilihan umum kepala daerah (pilkada),
tidak serta merta memberikan ruang partisipasi yang lebih berarti bagi masyarakat,
terutama mereka yang termarginalkan. Kiprah Jokowi dulu di Solo maupun di Jakarta, patut
diapresiasi dalam hal memberikan ruang partisipasi warga yang lebih berarti dalam
sejumlah hal yang penting, antara lain seperti komunikasi publik, reformasi birokrasi dan
pelayanan publik, inisiasi layanan kesehatan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS), dan Kartu
Jakarta Pintar (KJP) yang memberikan kesempatan bagi warga untuk berpartisipasi dalam
proses politik, kebijakan publik, dan demokrasi dalam artiannya yang lebih luas, terutama
dalam menghadapi sejumlah kekuatan politik lama yang mendominasi politik lokal. Tentu,
dengan pencalonan Jokowi sebagai capres, dia berarti tidak akan menyelesaikan masa
jabatannya, namun ini bukan berarti pengkhianatan janji politik dan komitmen atas jabatan
publik, melainkan panggilan untuk berkompetisi dalam ranah politik yang
memungkinkannya melakukan perubahan dalam skala yang lebih luas.
Kedua, peresmian pencalonan Jokowi sebagai capres juga memaksa sejumlah elit politik
untuk mempertimbangkan kembali langkah-langkah politik mereka ke depan, terutama
dalam konteks pemilu 2014 yang akan segera datang. Tentu saja, mereka tidak akan serta
merta berkata aku rapopo seperti digambarkan dalam beragam gambar-gambar dan
kartun-kartun lucu di internet, melainkan akan memikirkan 1001 cara untuk
menyeimbangkan posisi mereka di tengah-tengah antusiasme publik atas pencalonan
Jokowi, jikalau tidak untuk menghadang naiknya popularitas dan elektabilitas Jokowi.
Dalam hal ini, pencalonan Jokowi perlu diapresiasi. Karena, ini bukan hanya masalah
kecocokan antara antusiasme publik terhadap proses politik yang memungkinkan aspirasi
mereka lebih tersalurkan dengan pencalonan Jokowi, tetapi juga persoalan bagaimana
menghadang kemungkinan naiknya popularitas dan elektabilitas sejumlah capres dan tokoh
politik dengan catatan hitam nan kelam, seperti Aburizal Bakrie dengan kasus lumpur
Lapindonya, Prabowo, Wiranto dan sejumlah jenderal pelanggar HAM yang mengidap postpower syndrome, maupun tokoh-tokoh titipan Dinasti Cikeas dengan kata lain
Kalau begitu, apa bedanya kita dengan sejumlah kelompok politik yang sering kita cengcengin karena tendensi sok puris mereka yang rada-rada absurd macam kaum nihilis dan
HTI? Dalam hal ini, terkadang kita musti berani mengambil resiko. Tentu saja, ini tidak
sama dengan menyerahkan diri untuk diombang-ambing dalam logika politik elektoral.
Jawaban atas persoalan semacam ini bukanlah sekedar pro-pemilu atau anti-pemilu, atau
pro-negara versus anti-negara, melainkan, mengutip Nicos Poulantzas, sosiolog Marxis
Yunani-Perancis yang makin jarang dibaca itu, pertempuran strategis dengan negara
(strategic engagement with the state). Dengan kata lain, partisipasi taktis dan strategis
dalam kancah politik elektoral bukanlah merupakan barang najis, sekedar lompatan
iman atau coba-coba macam abg labil ibukota, melainkan hasil dari proses dialektis antara
kontemplasi teoretik dan praxis di lapangan.
Penutup
Lagi-lagi, musti saya pertegas: tentu kita tidak naf, melainkan berusaha untuk cekatan dan
cermat. Dua pengkaji gerakan sosial berhaluan Marxis terkemuka, Sara C. Motta dan Alf
Gunvald Nilsen (2011) dalam buku mereka Social Movements in the Global
South menunjukkan bahwa strategi pertempuran strategis ala tradisi Poulantzasian
terbukti bekerja di berbagai belahan dunia ketiga, mulai dari Brazil hingga India, di mana
berbagai gerakan sosial berhasil memberi tekanan dari bawah melalui aksi-aksi massa
yang partisipatoris dan perumusan, merebut negara dari atas melalui strategi politik
elektoral, dan tidak berhenti di situ, perlahan melakukan transformasi atas logika kekuasaan
dan kapital, meskipun tentu saja tidak mudah.
Kali ini, di Indonesia, kita menghadapi persoalan yang sama. Kita bisa membacanya
sebagai sekedar sebuah dilema yang membuat kepala pening atau momentum perubahan
yang dapat terlewatkan begitu saja, terutama pascamandegnya agenda-agenda politik
progresif pasca-1998. Pencalonan Jokowi sebagai calon presiden untuk pemilu 2014
adalah momentum tersebut. Maka, merupakan konsekuensi logis bagi gerakan rakyat untuk
memberikandukungan kritis atas Jokowi demi kesempatan untuk penerapan agendaagenda politik pro-rakyat yang lebih luas di masa mendatang***