Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Perawat
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan

bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan biopsikososial dan spiritual yang komprehensif,
ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang
mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Hidayat, 2004).
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga,
dan

masyarakat

sehingga

mereka dapat

mencapai,

mempertahankan, atau

memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati
(Bagolz, 2010).
2.2

Peran
Peran perawat adalah merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang

lain terhadap seseorang sesuai dengan kependudukan dalam system, dimana dapat
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi
keperawatan yang bersifat konstan (Hidayat, 2007).
Menurut Barbara (1995) peran adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu
system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan

Universitas Sumatera Utara

bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada
situasi sosial tertentu (Lailia, 2009).
2.2.1 Peran Perawat
Peran perawat menurut konsorsium ilmu ilmu kesehatan tahun 1989 dalam
Hidayat (2007) terdiri dari:
1. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat
dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses
keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat
direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat
kebutuhan

dasar

manusia,

kemudian

dapat

dievaluasi

tingkat

perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang


sederhana sampai dengan kompleks.
2. Peran sebagai advokat.
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian pelayanan atau
informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan

yang

diberikan

kepada

pasien,

juga

dapat

berperan

mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas


pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya. Hak atas

Universitas Sumatera Utara

privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima
ganti rugi akibat kelalaian.
3. Peran edukator.
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan,
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan
kesehatan.
4. Peran koordinator
Peran

ini

dilaksanakan

mengorganisasi

pelayanan

dengan

mengarahkan,

kesehatan

sehingga

merencanakan
pemberian

serta

pelayanan

kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.


5. Peran kolaborator
Peran perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui tim kesehatan
yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi
atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
6. Peran konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan
klien terhadap informais tentang tujuan pelayanan keperawatan yang
diberikan.

Universitas Sumatera Utara

7. Peran pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode
pemberian pelayanan keperawatan.
2.3

Electro Convulsive Terapy (ECT)

2.3.1 Definisi
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan menggunakan aliran
listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik (Sujono,
2009). Sedangkan menurut Tomb (2004) Electro Convulsive Therapy adalah sah
meskipun keburukan ECT tidak dapat dibenarkan. Walaupun mekanisme terapi lain
atau pada keadaan yang tidak diobati: 0,01 0,03% dari pasien yang diterapi,
terbanyak akibat serangan jantung.
Terapi elektrokonvulsif menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis
(Stuart, 2007). Dan menurut Townsend (1998) Terapi elektrokonvulsif (ECT)
merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak
melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk
menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik
tercapai.
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi

Universitas Sumatera Utara

pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada
pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang dilakukan
dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang ditempelkan di kepala
penerita sehingga menimbulkan serangan kejang umum (Mursalin, 2009).
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik
dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada
pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai (Taufik, 2010).
Terapi kejang listrik merupakan alat elektrokonvulsi yang mengeluarkan
listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran sinusoid itu sehingga
pasien menerima aliran listrik (Maramis, 2004).
2.3.2 Indikasi
1.

Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap


antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2007). Menurut
Tomb (2004) gangguan afek yang berat: pasien dengan gangguan bipolar, atau
depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT. Pasien dengan gejala
vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk
pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juja memberikan respon yang
baik pada ECT, terutama jika litium karbonat gagal untuk mengontrol fase
akut.

Universitas Sumatera Utara

2.

Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima pengobatan
untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2007). Menurut Tomb (2004), pasien
bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu antidepresan bekerja.

3.

Ketika efek samping Electro Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang


dari efek samping yang berhubungan dengan blok jantung, dan selama
kehamilan (Stuard, 2007).

4.

Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited


memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlebih
dahulu,

tetapi

jika

kondisinya

mengancam

kehidupan

(delyrium

hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe


skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik
jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT
tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).
2.3.3 Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur dengan
bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit neurologik bukan suatu
kontraindikasi
1. Resiko sangat tinggi:
a) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem saraf
pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko
herniasi tentorium.
b) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal jika

Universitas Sumatera Utara

terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
2. Resiko sedang:
a) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan selama
terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
b) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma, aritmia),
berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya
ada disana.
c) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus
peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2004).
2.3.4 Efek Samping ECT
1.

Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi antara 11.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko karena pemberian
anastesi umum. Kematian biasanya karena komplikasi kardiovaskuler.

2.

Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi arritmia
jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia post ictal yang
sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan dosis premedikasi anti
kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena hiperaktifitas simpathetik
sewaktu kejang atau saat pasien sadar kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi
toksis

dan allergi terhadap obat yang digunakan untuk prosedur ECT

premedikasi, tetapi frekwensinya sangat jarang.

Universitas Sumatera Utara

3.

Efek cerebral, pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan acute
confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan setelah ECT,
tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami gangguan memori (Tomb,
2004).

2.3.5 Peran Perawat dalam Pelaksanaan ECT


2.3.5.1 Peran perawat dalam persiapan klien sebelum tindakan ECT
1. Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan
yang akan dilakukan.
2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya
kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
3. Siapkan surat persetujuan tindakan.
4. Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang mungkin
dipakai klien.
6. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum
ECT.
8. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik, dan
antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya
dihentikan beberapa hari sebelumnya karena beresiko organik.

Universitas Sumatera Utara

9. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg setengah jam


sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan
menurunkan sekresi gastrointestinal (Riyadi, 2009).
2.3.5.2 Persiapan alat
1. Perlengkapan dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel elektroda, bantalan
kasa, alkohol, saling,elektroda elektroensefalogram (EEG), dan kertas grafik.
2. Peralatan untuk memantau, termasuk elektrokardiogram (EKG) dan elektroda
EKG.
3. Manset tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter denyut nadi.
4. Stetoskop.
5. Palu reflex.
6. Peralatan intravena.
7. Penahan gigitan dengan wadah individu.
8. Pelbet dengan kasur yang keras dan bersisi pengaman serta dapat
meninggikan bagian kepala dan kaki.
9. Peralatan penghisap lender.
10. Peralatan ventilasi, termasuk slang, masker, ambu bag, peralatan jalan nafas
oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian oksigen yang dapat
memberikan tekanan oksigen positif. Obat untuk keadaan darurat dan obat
lain sesuai rekomendasi staf anastesi (Stuart, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3.5.3 Prosedur pelaksanaan


Menurut pendapat Stuart (2007) berikut prosedur pelaksanaan terapi kejang
listrik:
1. Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur.
2. Dapatkan persetujan tindakan.
3. Pastikan status puasa pasien setelah tengah malam.
4. Minta pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca mata, dan alat
bantu pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan, tambahan gigi parsial
dipertahankan.
5. Pakaikan baju yang longgar dan nyaman.
6. Kosongkan kandung kemih pasien.
7. Berikan obat praterapi.
8. Pastikan obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap pakai.
9. Bantu pelaksanaan ECT.
a. Tenangkan pasien.
b. Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan pasien
bila terjadi apnea karena relaksan otot.
c. Berikan obat.
d. Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi pasien.
e. Pasang elektroda. Kemudian berikan syok.
10. Pantau pasien selama masa pemulihan.

Universitas Sumatera Utara

2.3.5.4 Peran perawat setelah ECT


Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk membantu klien
dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan yang telah dimodifikasi dari
pendapat Stuart (2007) dan Townsen (1998). Menurut pendapat Stuart (2007)
memantau klien dalam masa pemulihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai
sadar. Pertahankan jalan napas paten.
4. Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5. Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hipotensi
postural.
6. Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7. Berikan makanan ringan.
8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai
kebutuhan.
9. Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.
Menurut Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan
mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling umum hal ini
penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi ketakutanketakutan yang disertai dengan kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang
harus dilakukan adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut


hanya sementara.
2. Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
3. Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
4. Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang berhubungan
dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
5. Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-aktivitas
rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai