Tinggalkan Komentar
Apa yang tak mampu membunuhku, hanya akan membuatku lebih kuat (NIETZSCHE)
Thales (+ 585 SM) :
Segala sesuatu penuh dengan dewa (kosmologi naturalistik). Air adalah prinsip pertama
(kesatuan/monistik di balik keberagaman dunia).
Anaximander (+ 611-546 SM; pendiri Astronomi) :
Seorang metafisikawan monistik naturalistik yang meyakini bahwa substansi pertama
adalah Yang Tak Terbatas : kesatuan primitif semua substansi.
Pythagoras (586-500 SM; pendiri komunitas persaudaraan rahasia) :
Kunci pemahaman tentang semesta terletak pada angka-angka, karena segala sesuatu
adalah angka.
Siddharta Gautama (+ 563-483; pendiri agama dan filsafat Buddha) :
Empat kebenaran mulia: (1) Hidup adalah dukkha (penderitaan); (2) Sebab dari
penderitaan adalah tanha (hasrat/kehendak dan kelekatan dengannya, yang darinya
muncul ego); (3) Penderitaan dapat diatasi dengan memutuskan tali kelekatan; (4) Hal itu
dapat dilakukan dengan mengikuti Delapan Jalan Kebaikan, yaitu: (1) Samma-ditthi
(pengertian yang benar); (2) Samma-sankappa (maksud yang benar); (3) Samma-vaca
(bicara yang benar); (4) Samma-kammarta (laku yang benar); (5) Samma-ajiva (kerja
yang benar); (6) Samma-vayama (ikhtiar yang benar); (7) Samma-sati (ingatan yang
benar); dan (8) Samma-samadhi (renungan yang benar). Segala sesuatu saling
berhubungan dan dalam keadaan mengalir.
Lao Tse (+ abad ke-6 SM; pendiri Taoisme):
Menekankan kesederhanaan dan keselarasan irama alam semesta. Kebahagiaan hanya
diperoleh dengan kehidupan yang selaras dengan Tao, yang merupakan sumber
impersonal segala sesuatu, sekaligus alam yang berubah secara spontan. Berjasa atas ideide pokok Tao Te Ching (Jalan Kehidupan).
Socrates (470-399 SM):
Muak akan barang-barang material dan paham umum tentang kehidupan yang sukses. Ia
mencari sophia, filsafat. Meskipun menyatakan hanya mengetahui satu hal yaitu bahwa ia
tidak mengetahui apa-apa, ia sangat disegani karena kemampuannya dalam perdebatan
dengan mematahkan argumen-argumen retoris dan cacat dari lawan-lawan debatnya yang
merasa dirinya serba tahu.
Demokritus (+ 460-370 SM; pendiri atomisme Yunani):
Segala sesuatu yang ada terdiri dari ruang dan partikel-partikel kecil yang tak terhingga,
tak terbagi, bersifat material yang disebut atom. Perbedaan benda-benda merupakan
perbedaan bentuk, gerakan dan kedudukan dari atom-atom. Materi bersifat abadi dan
energi tersimpan dalam sistem.
Plato (429-437 SM; pendiri sekolah filsafat Academia di Athena):
Kenyataan terdiri dari dua lapisan: dunia jasmani yang senantiasa berubah serta tak dapat
diketahui dan dunia akali (ide/forma) yang abadi, tidak berubah dan dapat diketahui.
Tujuan filsuf baginya adalah mencapai dunia kedua untuk memperoleh pengetahuan
mengenai pengada-pengada seperti forma segitiga, keindahan (yang dipertentangkan
dengan tiruan-tiruan duniawinya dari forma tersebut) dan keadilan (yang bertentangan
dengan sistem yang tidak sempurna, seperti salah satunya yang menjatuhkan hukuman
mati pada Socrates).
Aristoteles (384-322 SM; pendiri sekolah filsafat Lyceum):
Sangat peka terhadap perkembangan historis ide-ide, khususnya mengenai akal sehat, dan
berusaha menghindari pola-pola yang ekstrem dalam filsafat. Raksasa pemikir Barat ini
menguasai sekaligus mengembangkan sebagian besar cabang ilmu pengetahuan di
zamannya dan meninggalkan pengaruh yang berkelanjutan dalam filsafat dan sains di
kemudian hari. Ilmu logikanya masih diajarkan di universitas-universitas pada zaman ini.
Dalam metafisikanya ia menolak pemisahan forma-forma Plato melalui analisisanalisisnya tentang materia, patensialitas, substansi, dan dunia teleologis secara umum.
Dalam etika dan filsafat sosial, ia dikenal mempertahankan ajaran tentang posisi tengahtengah dalam perbuatan manusia dimana ia menekankan keutamaan dan tanggung jawab
moral, khususnya pada situasi-situasi tertentu dimana keputusan terletak pada persepsi.
Epicurus (341-270 SM, pendiri aliran Epicurianisme):
Epicurianisme adalah suatu cara hidup menempatkan kesenangan sebagai tujuan utama
manusia, dan menganjurkan pencapaiannya yang maksimal dengan penderitaan yang
seminimal mungkin dengan jalan menekan keinginan-keinginan yang tidak perlu,
membangun persahabatan, dan menghilangkan ketakutan terhadap dewa-dewa maupun
kematian.
Marcus Tulius Cicero (106-43 SM; orator dan negarawan Romawi yang memiliki minat
besar pada filsafat):
Dalam teori politiknya, ia dikenal dengan keyakinannya pada hak asasi manusia dan
persaudaraan antarmanusia. Dalam bidang etika, ia tertarik pada ajaran Stoa.
Lucretius (+ 99-55 SM; penyebar ajaran atomisme Epicurus):
Mengikuti Epicurus dalam materialisme tanpa syarat dan bahkan lebih jauh menolak
agama dengan segala kejahatan yang dihasilkannya.
Marcus Aurelius (121-180 M; kaisar Romawi 161-180 M):
Karyanya berjudul Aphorisme (ungkapan-ungkapan bijak) berisi refleksi umum yang
menunjukkan pengaruh Epictetus yang bernada Stoa. Ajarannya antara lain tentang rasa
cukup diri individu menghadapi permusuhan, semesta dan kewajiban menjalankan tugas.
keinginan-keinginan yang menyakitkan dan usaha melepaskan diri dari derita, yang pada
akhirnya hanya akan melahirkan kebosanan. Normalnya, akal budi mengabdi kehendak
yang buta dan gelisah ini, tetapi ia dapat melepaskan diri dan melibatkan diri pada
kontemplasi estetis. Dalam saat-saat kontemplasi semacam itulah sebenarnya kita benarbenar bebas. Semua fenomena, termasuk tubuh manusia, tidak lain adalah kehendak
yang diobjektifkan.
John Stuart Mill (1804-1873):
Dikenal luas karena mengembangkan dan menyebarkan ajaran etika utilitarianisme.
Mempertimbangkan kualitas, di samping kuantitas, dari konsekuansi-konsekuensi yang
menyenangkan maupun yang menyakitkan. Ia membela kebebasan dengan menegaskan
satu-satunya tujuan dimana manusia dijamin, secara individual maupun kolektif, dalam
mencampuri kemerdekaan orang lain adalah perlindungan diri. Ia membela gerakan
feminisme, yang menentang adanya pembatasan terhadap wanita baik secara legal
maupun sosial.
Soren Kierkegaard (1813-1855):
Filsuf Denmark, bapak eksistensialisme. Tugas paling berat setiap orang menurutnya
adalah menjadi seorang individu. Menjadi individu berarti mengenali keunikannya
sendiri, menghadapi keharusan untuk mengambil keputusan sendiri, dan terutama
melakukan lompatan iman.
Karl Marx (1818-1883):
Bersama Frederich Engels mendirikan tradisi kiri dalam pemikiran politik.
Mengkombinasikan aspek-aspek dialektik Hegel dengan materialisme atheis Feuerbach,
dan menyatakan bahwa hanya melalui revolusi kaum pekerjalah orang dapat menerima
emansipasi. Karya-karya awalnya menunjukkan perhatian yang sangat dalam kepada
akibat industrialisasi yang memerosotkan martabat manusia. Dengan revolusi, secara
ideal akan muncul masyarakat tanpa kelas, pergantian dari milik pribadi menjadi
kepemilikan komunal, dan secara perlahan terhapusnya negara.
Charles Sanders Peirce (1839-1914):
Bapak filsafat Amerika dan pendiri pragmatisme mengatakan, Tidak ada perbedaan
makna yang sedemikian jelas dalam segala sesuatu selain perbedaan pelaksanaan
(praktis). la menerapkan teori makna pragmatis ini secara luas dalam kegiatan ilmiah
dan praktis. Berpendapat bahwa ilmu pengetahuan menawarkan satu-satunya metode
yang sesuai untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia. Seluruh keyakinan kita pada
dasarnya dapat salah dan selalu dapat direvisi berdasar pada bukti-bukti yang tidak
lengkap dan berubah-ubah.
William James (1842-1910):
Mempopulerkan pragmatisme, khususnya dalam bidang moralitas dan kepercayaan
agama. Jika konsekuensi-konsekuensi psikologis, moral, dan/atau sosial dari suatu
keyakinan itu baik, maka keyakinan tersebut dapat disebut rasional, meskipun tidak dapat
dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Kebenaran hanyalah jalan yang berguna dalam cara
berpikir kita, sebagaimana hak hanyalah jalan yang berguna dalam cara berperilaku kita.
Artinya, kebenaran tergantung pada apakah keyakinan kita dapat berfungsi dan
diterapkan dengan baik atau tidak.
Friedrich Nietzsche (1844-1900):
Filsuf Jerman yang sering dimasukkan sebagai seorang eksistensialis karena
penekanannya pada individu dan penolakannya terhadap massa, dan juga setiap
pandangan tentang kebenaran dan nilai tersebut. Prinsip metafisik fundamentalnya adalah
kehendak untuk berkuasa (will to power). Menurutnya, ada dua jenis nilai dalam
kehidupan manusia, yaitu nilai-nilai yang diciptakan oleh golongan Iemah (moralitas
budak) dengan menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan semacam belas kasih, cinta
altruisme, dan kelemahlembutan, serta nilai golongan kuat (moralitas tuan) dengan
keutamaan semacam kekuatan dan keberanian. Konsep Nietzsche tentang manusia
super akan menciptakan nilainya sendiri dan menegaskan kehidupan. Menolak antiSemitisme dan mereka-mereka yang dijuluki sebagai lembu-lembu terpelajar yang
telah menginterpretasikan manusia super dalam pengertian biologis.
Francis Herbert Bradly (1946-1924):
Percaya akan adanya sesuatu yang Absolut dan terbebas dari semua kontradiksi. Pikiran
tidak mampu memahami kenyataan tertinggi. Menolak formalisme kosong Kantian
tentang kehendak baik. Mengidentikkan kehendak baik tersebut dengan kehendak
universal, kehendak dari organisme sosial. Lingkungan saya dan kewajibankewajibannya memberi isi bagi kehidupan moral saya.
Josiah Royce (1855-1916):
Sangat dipengaruhi oleh absolutisme Hegelian, namun juga menaruh simpati cukup
dalam terhadap pragmatisme, Royce mengembangkan perpaduan yang unik antara
keduanya. Menekankan individualisme diri manusia, sekaligus menyadari bahwa diri
individual manusia merupakan bagian dari komunitas diri-diri yang Iebih luas teman,
keluarga, rekan kerja yang masing-masing menginterpretasikan diri kepada yang lain.
Mencoba menerjemahkan ide-ide kristen tentang dosa dan pengampunan kedalam istilahistilah komunal dan menawarkan suatu cara untuk mengatasi penyakit yang terlalu
berpusat pada diri sendiri, alienasi, dan kejahatan, melalui kesetiaan kepada Komunitas
Besar/Tercinta.
Edmund Husserl (1859-1938; filsuf Jerman, pendiri fenomenologi):
Menelaah intensi-intensi sadar subjek melalui investigasi ekstensif. Menekankan
deskripsi murni terhadap objek atau tindakan apapun yang tampak atau nyata dalam
medan kesadaran, misalnya karya seni, angka, pertimbangan, imajinasi. Metode dan
deskripsinya telah diterapkan pada dasar-dasar logika, psikologi, ilmu-ilmu sosial,
analisis teks sastra, dan juga seni.
Henri Bergson (1859-1940):
Filsuf Perancis, kadang-kadang dijuluki filsuf proses yang menekankan nilai penting
dari perubahan evolutif oleh sebuah daya kreatif (elan vital). Menolak pandangan ekstrem
dualisme maupun materialisme, dan menyatakan bahwa suatu metafisika yang tepat bagi
kita harus mencakup pengalaman tentang waktu yang berkelanjutan dan mengalir
sekaligus harus menghindari perangkap pola mekanistik atau waktu jam yang tersusun
atas kumpulan momen-momen yang terpilah. Dalam epistemologi, banyak menekankan
intuisi dan keterbatasan pengetahuan intelektual.
John Dewey (1859-1952):
Pemuka gerakan pragmatisme dalam konteks luas di Amerika ini memahami tujuan
utama filsafat adalah menyelesaikan persoalan masyarakat demokratis dengan
menggunakan metode ilmiah. Mengajarkan falibilisme dan mempertahankan demokrasi
atas dasar bahwa demokrasi menyediakan kemungkinan kondisi terbaik untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi manusia pada umumnya. Dalam pendidikan menekankan pentingnya
mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan praktis daripada semata-mata
menghafalkan fakta-fakta.
Alfred North Whitehead (1861-1947):
Metafisikawan terbesar sekaligus pendukung utama filsafat proses ini menekankan
sebuah semesta dimana perubahan, kreativitas, dan saling ketergantungan tercermin
dalam pengalaman langsung. Proses adalah perkembangan kreatif dimana semua kejadian
kesempatan-kesempatan aktual muncul, berkembang dan mati melalui penyerapan
kedalam keturunannya. Perubahan yang tertata tersebut dimungkinkan melalui interaksi
dengan alam objek-objek abadi. Tuhan mempengaruhi dunia, dan sekaligus dipengaruhi
olehnya.
Bertrand Russel (1872-1970):
Bersama Whitehead mengembangkan sistem logika simbol yang revolusioner, dan ia
menyatakan bahwa logika adalah dasar bagi matematika sekaligus metode paling tepat
bagi filsafat. Teorinya tentang deskripsi dan denotasi merupakan paradigma bagi analisis
logis, yang menunjukkan bagaimana para filsuf dapat terseret oleh kesalahan logis ke
dalam pandangan metafisik keliru. Metafisika atomisme logisnya ditarik dari sistem
logikanya sendiri. Dalam epistemologi, ia dikenal karena dukungannya yang kuat
terhadap empirisisme, pembedaannya antara pengetahuan karena pengenalan dan
pengetahuan karena deskripsi, serta klaimnya bahwa objek-objek fisik adalah hasil
konstruksi logis dari data inderawi.
George Edward Moore (1873-1958):
Menolak idealisme neo-Hegelian dan menggantikannya dengan suatu filsafat akal sehat
yang realistis. Proposisi-proposisi akal sehat tentang waktu, ruang, objek material, dan
orang diketahui kebenarannya secara pasti. Tugas filsuf adalah menganalisis makna
proposisi-proposisi tersebut. Ia dikenal pula sebagai seorang tokoh perintis analisis
bahasa.
Karl Jaspers (1883-1969; eksistensialis Jerman):
Manusia dalam pemikirannya secara ideal mencari transendensi, mengatasi diri sendiri
serta rutinitas keseharian yang monoton. la melukiskan batas-batas tentang persoalan
transendensi diri, yang dipahami sebagai kematian, penderitaan, perjuangan/cinta, dan
rasa bersalah. Hal-hal tersebut berperan sebagai sumber tema-tema utama sebagian besar
komunikasi dan interaksi manusia, sebagaimana terdapat dalam karya-karya sastra. Halhal tersebut merupakan sumber makna kehidupan. Ketika transendensi diri gagal dalam
skala besar, kita akan menemukan kecenderungan-kecenderungan atau gerakan massa
yang irasional, seperti totalitarianisme.
Ludwig Wittgenstein (18S9-1051):
Tokoh yang belajar dan mengajar di Inggris ini dikenal sangat mempengaruhi filsafat
analitis dan linguistik abad XX. Pada awalnya ia mencurahkan pemikiran pada dasardasar matematika dan hakikat representasi linguistik. Mengembangkan sebuah teori
gambar tentang bahasa, dan membedakan secara tajam antara apa yang dapat dikatakan
secara persis (wilayah ilmiah) dan apa yang hanya dapat ditunjukkan secara mistik
(wilayah mistik). Ide-idenya juga sangat berpengaruh kepada para positivis logis dengan
pandangannya bahwa pernyataan matematis adalah tautologi, dan bahwa teori-teori
metafisik melanggar batas-batas ucapan yang bermakna. Pemikirannya pada masa-masa
akhir banyak yang menyangkal ide-idenya terdahulu. Makna adalah penggunaan dalam
permainan bahasa. Kata-kata tidak memperoleh makna dengan menunjuk esensi
universal, melainkan lebih-lebih dapat diterapkan atas dasar kemiripan hubungan yang
longgar sifatnya, dan bahwa tidak ada bahasa pribadi yang dapat menunjuk pada
pengalaman akal budi yang ada di dalam diri dan tak dapat dijangkau publik.
Gabriel Marcel (1889-1964):
Fenomenolog dan eksistensialis Perancis ini mengkonsepsikan tugas filsafat sebagai
upaya melukiskan apa artinya berada dalam suatu situasi kongkret, dengan sedapat
mungkin menghindari abstraksi-abstraksi, stereotip-stereotip, serta norma-norma statistik.
Eksistensi manusia memiliki sejumlah kunci atau rujukan pada misteri pengada
(seluruh realitas), yang tidak tercakup oleh sistem pemikiran apapun juga. Di antara
kunci-kunci ini adalah tubuh manusia, pertentangan memiliki vs menjadi, komitmen,
partisipasi vs penonton, kesetiaan kreatif, serta perjumpaan dengan orang lain sebagai
pribadi dan bukan sekedar sebagai objek.
Martin Heidegger (1889-1976):
Dikenal sebagai seorang fenomenolog Jerman yang juga tekun mengembangkan berbagai
tema eksistensialisme. Manusia menurutnya adalah sebuah ada di dunia. Melalui
partisipasi dan keterlibatan di dalamnya, dunia membentuk ada kita. Eksistensi kita
ditandai oleh tiga bentuk dasar: faktualitas (keterlibatan kita dalam dunia),
eksistensialitas (proyek sepanjang waktu untuk merangkum ketegangan antara kita yang
dulu dan kita yang mungkin ada), dan kejatuhan (kecenderungan untuk hanya sekedar
hidup tanpa mewujudkan potensi kita). Melalui kegelisahan kita bertemu dengan
ketiadaan dan keterbatasan, namun melalui kebebasan dan kebutuhan untuk memilih kita
dapat maju kearah eksistensi yang autentik.
Gilbert Ryle (1900-1976):
Filsuf linguistik Inggris yang dikenal karena serangannya tehadap pemahaman dualistik
Cartesian tentang jiwa.