Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
Polip nasal merupakan massa udematous yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkaan
mukosa hidung atau sinus. Prevalensi yang pasti dari polip nasal belum ada datanya,
oleh karena studi epidemiologi yang dilakukan dan hasilnya bergantung pada populasi
studi serta metodenya.
Etiologi dan patogenesis dari polip nasal belum diketahui secara pasti.
Sampai saat ini, polip nasal masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan
patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting
untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasal untuk mendapatkan diagnosis dan
pengelolaan yang tepat.

BAB II

Anatomi, Embriologi, Histologi


& Fisiologi Hidung
EMBRIOLOGI
Wajah
Pada akhir minggu ke-4, mulai tampak tonjol-tonjol wajah yang terutama
dibentuk oleh mesenkim yang berasal dari krista neuralis dan terutama dibentuk oleh
pasangan lengkung faring pertama. Tonjol maksila dapat dikenali di sebelah lateral
stomodeum dan tonjol mandibular di sebelah kaudal stomodeum. Di sisi kanan dan
kiri prominensia frontonasalis, muncul penebalan-penebalan setempat dari ectoderm
permukaan, yaitu plakoda nasal(olfaktorius), di bawah pengaruh induksi bagian
ventral otak depan.
Selama minggu ke-5, plakoda-plakoda hidung tersebut mengalami invaginasi
membentuk lubang hidung. Dalam hal ini, plakoda hidung ini membentuk suatu rigi
jaringan yang mengelilingi masing-masing lobang dan membentuk, tonjol hidung.
Tonjol-tonjol yang berada di tepi luar lubang adalah tonjol hidung lateral; dan yang
berada di tepi dalam adalah tonjol hidung medial.
Selama dua minggu selanjutnya, tonjol maksila terus bertambah besar ukurannya.
Serentak dengan itu, tonjol ini tumbuh ke arah medial, sehingga mendesak tonjol
hidung medial ke arah garis tengah. Selanjutnya, celah antara tonjol hidung medial
dan tonjol maksila hilang, dan keduanya bersatu. Oleh karena itu, bibir atas dibentuk
oleh kedua tonjol hidung medial dan kedua tonjol maksila itu. Tonjol hidung lateral
tidak ikut dalam pembentukan bibir atas. Bibir bawah dan rahang bawah dibentuk dari
tonjol mandibular yang menyatu di garis tengah.
Mula-mula, tonjol maksila dan tonjol hidung lateral terpisah oleh sebuah alur
yang dalam, alur nasolacrimal. Ekstoderm di lantai alur ini membentuk sebuah tali
epitel padat yang melepaskan diri dari ectoderm di bawahnya. Setelah terjadi
kanalisasi, tali ini membentuk ductus nasolacrimalis; ujung atasnya melebar untuk
membentuk saccus lacrimaslis. Setelah lepasnya tali tersebut, tonjol maksila dan
tonjol hidung lateral saling menyatu. Ductus lacrimalis kemudian berjalan dari tepi

medial mata menuju ke meatus inferior rongga hidung. Tonjolan maksila kemudian
membesar sehingga membentuk pipi dan maksila.
Hidung terbentuk dari tonjol-tonjol wajah kelima; tonjol frontal membentuk
jembatannya; gabungan tonjol-tonjol hidung medial membentuk lengkung cuping
dan ujung hidung; dan tonjol hidung lateral membentuk sisi-sisinya(alae).
Segmen Antarmaksila
Akibat pertumbuhan tonjol-tonjol maksila ke medial, kedua tonjol hidung
medial tidak hanya bersatu pada permukaan, tetapi bersatu pula pada tingkat yang
lebih dalam. Bangunan yang dibentuk oleh penyatuan keuda tonjol ini dikenal sebagai
segmen antarmaksila. Segmen ini terdiri dari (a) sebuah unsur bibir, yang membentuk
filtrum bibir atas; (b) sebuah unsur rahang atas, yang membawa empat gigi seri; dan
(c) sebuah unsur langit-langit mulut (palatum), membentuk palatum primer yang
terbentuk segitiga. Di sebelah kranial, segmen antarmaksila bersambung dengan
bagian rostral septum nasi, yang dibentuk oleh prominensia frontalis.
Palatum Sekunder
Meskipun palatum primer berasal dari segmen antarmaksila. Bagian utama
palatum tetap, dibentuk oleh dua pertumbuhan keluar dari tonjol maksila yang
menyerupai tameng. Kedua tonjolan ini, yaitu lempeng palatine, tampak dalam
perkembangan minggu ke-6 dan mengarah miring ke bawah pada sisi kanan dan kiri
lidah. Akan tetapi, dalam minggu ke-7, lempeng-lempeng palatine ini bergerak naik
hingga mencapai kedudukan horizontal di atas lidah dan saling bersatu satu sama lain,
sehingga membentuk palatum sekunder.
Di sebelah anterior, lempeng-lempeng palatine ini bersatu dengan palatum
primer yang berbentuk segitiga, dan foramen incisivum dapat dianggap sebagai tanda
batas di tengah-tengah antara palatum primer dan sekunder. Bersamaan dengan
menyatunya lempeng palatum tersebut, septum nasi tumbuh ke bawah dan bersatu
dengan permukaan atas palatum mulut yang baru terbentuk.
Rongga Hidung
Selama minggu ke-6, lubang hidung makin bertambah dalam, sebagian karena
tumbuhnya tonjol-tonjol hidung yang ada di sekitarnya dan sebagian lagi karena
lubang ini menembus ke dalam mesenkim di bawahnya. Mula-mula, membrana

oronasalis memisahkan kedua lubang hidung tadi dari rongga mulut primitive, melalui
foramina yang baru terbentuk, yakni koana primitive. Koana ini terletak di sisi kanan
dan kiri garis tengah dan tepat di belakang palatum primer. Kelak, dengan
terbentuknya palatum sekunder dan berkembangnya rongga-rongga hidung primitive
lebih lanjut, koana tetap terletak pada peralihan antara rongga hidung dan faring.
Sinus-sinus udara paranasalis berkembang sebagai diverticula dinding lateral
hidung dan meluas ke dalam tulang maksila, tulang ethmoid frontalis, dan tulang
sfenoid. Sinus-sinus ini mencapai luas maksimumnya pada masa pubertas dan dengan
demikian ikut membentuk bentuk wajah yang tetap.

ANATOMI
Hidung Luar
Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung
luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang, yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan
yang paling bawah adalah lobules hidung yang mudah digerakkan. Belahan bawah
aperture piriformis hanya kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar dengan
hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus
maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh
prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang
etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosesus maksilaris medial
embrio yang meliputi premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari
hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan,
dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfungsi di garis tengah serta
berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah
hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis
inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh
kolumela, di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas
lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan bersin. Otot
ekspresi wajah yang terletak subkutan di atas tulang hidung, pipi anterior, dan bibir
atas menjamin mobilitas lobulus. Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut
menyokong hidung luar. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam dibatasi di
sebelah inferior oleh krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh septum
nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior sebagai batas

superior dan lateral. Struktur tersempit dari seluruh saluran pernapasan atas adalah
apa yang disebut sebagai limen nasi atau os internum oleh ahli anatomi, atau sebagai
katup hidung oleh Mink oleh ahli faal. Istilah katup dianggap tepat karena struktur
ini bergerak bersama, dan ikut mengatur pernapasan.

Hidung Dalam
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di
posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan
struktur tulang di gasi tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung.
Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga udara
yang tak teratur di antaranya meatus superior, media dan inferior. Sementara
kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti dari rongga udara,
struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya,
juga mengubah resistensi, dan akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi
dan ekspirasi. Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti
mukosa, perubahan badan vascular yang dapat mengembang pada konka dan septum
atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret mukosa.
Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior.
Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis
anterior dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus
superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis.
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan
lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur
demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara

untuk mencapai daerah olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat mengganggu
penghiduan.
Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di
sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etmoidalis di sebelah atas, vomer, dan
rostrum sphenoid di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista
maksial dan krista palatina. Krista dan tonjolan yang terkadang perlu diangkat, tidak
jarang ditemukan. Pembengkokan septum yang dapat terjadi karena faktor-faktor
pertumbuhan ataupun trauma dapat sedemikian hebatnya sehingga mengganggu aliran
udara dan perlu dikoreksi secara bedah. Konka di dekatnya unumnya dapat
mengkompensasi kelainan septum (bila tidak terlalu berat), dengan memperbesar
ukurannya pada sisi yang konkaf dan mengecil pada sisi lainnya, sedemikian rupa
agar dapat mempertahankan lebar rongga udara yang optimum. Jadi, meskipun
septum nasi bengkok, aliran udara masih ada dan masih normal. Daerah jaringan
erektil pada kedua sisi septum berfungsi mengatur ketebalan dalam berbagai kondisi
atmosfer yang berbeda.

HISTOLOGI
Hidung merupakan bangunan berongga terbagi oleh suatu sekat di bagian
tengah menjadi rongga hidung kanan dan kiri. Maing-masing rongga di bagian depan
berhubungan keluar melalui nares anterior (nostril) dan bagian belakang berhubungan
bagian atas faring, yaitu nasofaring melalui nares posterior. Masing-masing rongga
hidung disusun oleh dinding kaku terdiri atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali
nares anterior yang dindingnya disusun oleh jaringan ikat fibrosa serta tulang rawan,
dan bentuknya dapat berubah-ubah karena adanya gerakan otot.
Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi bagian vestibulum, yaitu bagian
lebih lebar yang terletak tepat di belakang nares anterior, dan bagian respirasi yaitu
bagian selebihnya.
Permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang memiliki ciri adanya kelenjar
sebasea besar, yang meluas ke bagian depan vestibulum nasi tempat terdapatnya
beberapa kelnjar sebasea, kelenjar keringat, dan folikel rambut dengan rambutnya
yang kaku dan kasar. Rambut tersebut berfungsi menapis benda-benda kasar yang
terdapat di dalam udara inspirasi. Di bagian yang lebih ke dalam dari vestibulum nasi,
epitel berlapis gepeng itu tidak memiliki lapisan tanduk lagi dan epitel jenis ini pada
bagian respirasi rongga hidung beralih menjadi epitel bertingkat silindris bersilia,

bersel goblet yang disebut sebagai epitel respirasi. Selain sel bersilia dan sel goblet
terdapat sel basal yang dianggap merupakan sel induk yang dapat berkembang
menjadi sel jenis lain. Lapisan epitel yang terletak di atas lamina basal dan ditopang
oleh lamina propria yang mengandung sejumlah kelenjar tubuloalveolar bercabang.
Kelenjar-kelenjar tersebut adalah kelenjar mukosa dan serosa dengan sebagian di
antaranya memiliki alveoli campuran, mirip kelenjar liur kecil. Lamina propria
mengandung pula sekelompok kecil jaringan limfatik, terutama di bagian belakang
dekat nasofaring, dan sel-sel mononuklir (fagositik) acapkali menyebuki jaringan itu.
Lapisan terdalam lamina bersatu dengan periosteum atau perikondrium dari tulang
atau tulang rawan dinding rongga hidung, menyusun suatu mukoperiosteum atau
mukoperikondrium.
Pada potongan frontal, rongga hidung berbentuk seperti buah alpukat, terbagi
dua oleh sekat (septum mediana) dan dari dinding lateral menonjol tiga lengkungan
tulang yang dilapisi oleh mukosa. Bangunan ini adalah konka nasalis superior,
medius, dan inferior (konka = kerang atau turbinate bones. Konka nasalis inferior
merupakan yang terbesar dan dilapisi oleh lapisan mukosa yang lebih tebal. Walaupun
lamina propria mukosa hidung umumnya mengandung banyak pleksus pembuluh
darah biasanya dengan anastomosis arteriovenosa, namun pada konka nasalis
(terutama konka nasalis inferior) terdapat pleksus vena yang besar, berdinding tipis,
terletak dangkal di permukaan disebut jaringan kavernosa atau jaringan erektil. Selang
waktu 30 sampai 60 menit, jaringan kavernosa (swell bodies) di satu sisi rongga
hidung secara otomatis akan melebar penuh terisi darah, sehingga akan membatasi
aliran udara di sisi tersebut dan melindungi epitel respirasi dari kekeringan.
Permukaan selaput lender (mukosa) tetap basah karena adanya sekret mukosa
dan serosa. Sekret tersebut juga melembabkan udara inspirasi. Darah di dalam sinus
venosus menghangatkan udara. Banyak darah di pembuluh darah permukaan mengalir
kea rah anterior, berlawanan arah dengan udara inspirasi, keseluruhannya membentuk
sistem arus berlawanan. Konka nasalis juga menyebabkan aliran udara berputar,
membantu kontak antara udara inspirasi dengan lapisan mukosa, sehingga bendabenda kecil mudah tertangkap dan gas-gas yang mencemar seperti ozon dan sulfur
dioksida dapat diserap. Silia yang terdapat pada sel-sel bersilia, senantiasa mendorong
lapisan lender ke belakang kea rah nasofaring untuk selanjutnya ditelan atau
dibatukkan keluar.

Alat Penghidu
Pada setiap puncak rongga hidung dan meluas ke bawah, di atas konka nasalis
superior serta di bagian sekat hidung di dekatnya, terdapat suatu daerah berwarna
coklat kekuningan (pada selaput lendir segar), berbeda dengan daerah respirasi lain
yang berwarna merah jambu. Daerah khusus ini mengandung reseptor penghidu,
disebut daerah olfaktoria atau mukosa olfaktoria.
Epitel olfaktoria adalah bertingkat silindris, tanpa sel goblet, dengan lamina
basal yang tidak jelas. Epitel ini sangat tinggi, hampir 60 mikron, atau mikrometer
tingginya. Epitel disusun oleh tiga jenis sel:
1. sel penyokong
2. sel basal
3. sel olfaktorius

Sel Sustentakular atau Sel Penyokong


Sel-sel ini berbentuk silindris, tinggi ramping dan relatif lebar di bagian
puncaknya serta menyempit di bagian dasarnya. Inti sel lonjong, terletak di tengah
dan terletak lebih superficial dari inti sel sensorik. Di permukaan apikal sel terdapat
mikrovili langsing yang menonjol di dalam lapisan mukus. Di bagian apikal sel juga
terlihat terminal web yang tersusun dari bahan-bahan berbentuk filamen yang
berhubungan dengan junctional complex di antara sel penyokong dan sel sensoris
yang berdekatan. Aparat Golgi kecil terletak superficial dari inti dengan butir-butir
pigmen mirip lipofuksin yang menyebabkan warna mukosa coklat kekuningan.
Sel Basal
Sel-sel ini berbentuk kerucut, kecil, dengan inti berbentuk lonjong; gelap dan
tonjolan sitoplasma bercabang, terletak di antara sel-sel penyokong di bagian dasar.
Sel-sel ini dianggap sebagai sel induk yang mampu berkembang menjadi sel
penyokong.
Sel Sensorik atau Sel Olfaktoria
Sel-sel ini tersebar di antara sel-sel penyokong dan merupakan modifikasi sel
bipolar dengan sebuah badan sel, sebuah dendrit yang menonjol ke permukaan dan

sebuah akson yang masuk lebih dalam ke lamina propria. Inti sel bulat, terletak lebih
ke basal daripada inti sel penyokong. Dendrit-dendrit di bagian apikal langsing dan
berjalan ke permukaan di antara sel-sel penyokong dan akan berakhir sebagai
bangunan mirip bola kecil disebut Vesikula olfaktoria. Dari masing-masing vesikula
(gelembung) keluar enam sampai sepuluh helai rambut (silia) secara radier, disebut
Silia olfaktoria. Masing-masing rambut memiliki sebuah badan basal di dalam bagian
apikal sitoplasma vesikula. Silia-silia ini panjang dan tidak dapat bergerak (nonmotil),
berfungsi sebagai unsur penerima rangsang yang sebenarnya. Bagian proksimal
(basal) tiap-tiap sel sensorik menyempit menjadi sebuah cabang langsing-silindris,
berpenampang kurang lebih 1 mikrometer, berjalan sebagai akson ke dalam lamina
propria di bawahnya. Di dalam lamina propria, serabut saraf olfaktoris atau akson
bergabung menjadi suatu berkas fila olfaktoria yang kemudian berjalan ke atas
melalui saluran halus dari lamina kribrosa tulang etmoid masuk ke bulbus olfaktorius
di otak. Di dalam lamina propria juga terdapat pembuluh limf berhubungan dengan
ruang subaraknoid melalui kapiler-kapiler yang berjalan bersama dengan fila
olfaktoria.
Di dalam lamina propria terdapat kelenjar serosa tubuloasinosa bercabang
(kelenjar Bowman), yang mengeluarkan sekret berupa cairan yang dicurahkan ke
permukaan melalui saluran sempit. Sekret kelenjar Bowman membasahi permukaan
epitel olfaktoris dan berperan melarutkan bahan-bahan berbau. Kelenjar ini bersekresi
terus menerus dan berfungsi untuk memperbarui lapisan cairan di permukaan yang
mencegah pengulangan rangsangan rambut-rambut olfaktoria oleh satu bau tunggal.
Trauma yang berulang karena infeksi atau sebab lain pada sel-sel sensorik seringkali
dapat mengakibatkan rusak atau hilangnya beberapa sel sensorik. Akibatnya pada usia
yang lebih lanjut daya penciuman berkurang dan epitel olfaktoris memperlihatkan
gambaran yang tidak khas.

FISIOLOGI
Rongga hidung dilapisi oleh yang secara secara histologik dan funsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaanya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu bersilia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih
terkea aliran udara, mukosanya lebih kental dan kadang terjadi metaplasia menjadi
epitel skuamosa. Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah muda dan selalu
basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Palut lendir di rongga hidung
akan didorong ke arah nasofaring oleh silia dengan gerakan teratur. Di bawah epitel

terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa
dan jaringan limfoid.
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung
di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis
dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih
sedikit dan terutama ditemukan di dekat ostium. Sekresi mukosa nasal merupakan
campuran dari komponen- komponen : sekresi kelenjar mukosa dan sel goblet,
transudasi dan eksudasi dari kapiler di dalam mukosa dan debris dari leukosit dan sel
epitel.
Fungsi hidung adalah untuk :
i. Sebagai jalan nafas
ii. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang masuk ke alveolus dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur
suhu.
iii. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh rambut, silia, palut lendir (mucous blanket), dan lisosim.
iv. Indra penghidu
v. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
vi. Proses berbicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Pada pembentukan
konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole
turun untuk aliran udara.

vii. Refleks nasal


Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskular dan pernafasan.

BAB III
Polip Nasal
Definisi
Polip nasal adalah suatu pseudotumor bersifat edematosa yang merupakan
penonjolan keluar dari mukosa hidung atau sinus paranasalis, massa lunak,
bertangkai, bulat, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga
hidung

Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke rongga hidung.
Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasal terletak di dinding lateral cavum nasi
terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel eithmoidalis. Dapat juga
berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke
belakang di daerah koana posterior (polip antrokoanal).

Etiologi
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu : 1. adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa
hidung dan sinus, 2. adanya gangguan keseimbangan vasomotor, 3. adanya
peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung. Fenomena
Bernaoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan
mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan
terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan
pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal
dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun
demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan
seringkali bilateral dan multipel. Polip yang berasal dari sinus maksila (antrum) dapat
keluar melalui ostium sinus maksila atau ostium asesoriusnya, masuk ke rongga
hidung dan berlanjut ke koana lalu membesar di nasofaring. Polip ini disebut polip
koana (polip antrokoana).

Patogenesis
Epitel mukosa hidung secara terus menerus terekspos lingkungan luar melalui
udara yang diinspirasi yang berpotensial menyebabkan kerusakan epitel dan infeksi.
Polip nasal terjadi karena adanya peradangan kronis pada membran mukosa
hidung dan sinus yang disebabkan oleh kerusakan epitel akibat paparan iritan, virus
atau bakteri. Banyak faktor yang berperan dalam pembentukan polip nasal. Kerusakan
epitel terlibat dalam patogenesis polip. Sel epitel dapat mengalami aktivasi dalam
respon terhadap alergen, polutan maupun agen infeksius. Sel akan mengeluarkan
berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan pemulihannya, antara lain

neuropeptide-degrading enzyme, endothelin, nitric oxide, asam arakidonat, sitokin


inflamasi

yang

mempengaruhi

sel

inflamasi.

Faktor-faktor

tersebut

akan

menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, adhesi leukosit, sekresi


mukus, stimulasi fibroblas dan kolagen.
Beberapa faktor inflamasi telah dapat diisolasi dan dibuktikan dihasilkan pada
polip nasal. Faktor-faktor tersebut meliputi endothelial vascular cell adhesion
molecule (VCAM)-1, nitric oxide synthese, granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF), eosinophil survival enhancing activity (ESEA), cysleukotrienes (Cys-LT) dan sitokin lainnya.
Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif yang kemungkinan
berperan juga dalam terjadinya polip. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan
selular yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan.Tubuh
menghasilkan endogenous oxidants sebagai respon dari bocornya elektron dari rantai
transport elektron, sel fagosit dan sistem endogenous enzyme (MAO, P450, dsb)
Epitel polip nasal terdapat hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang
kemungkinan besar berperan dalam menimbulkan obstruksi nasal dan rinorrhea.
Sintesis mukus dan hiperplasia sel globet diduga terjadi karena peranan epidermal
growth factors (EGF).
Adanya proses peradangan kronis menyebabkan hiperplasia membran
mukosa rongga hidung, adanya cairan serous di celah-celah jaringan, tertimbun dan
menimbulkan edema, kemudian karena pengaruh gaya gravitasi. Akumulasi cairan
edema ini menyebabkan prolaps mukosa. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya
tangkai pada struktur stroma polip nasal dapat mempunyai vasodilatasi pembuluh
darah sedikit atau banyak, variasi kepadatan tipe sel yang berbeda, seperti eosinofil,
neutrofil, sel mast, plasma sel dan lain-lain. Eksudasi plasma mikrovaskular berperan
dalam perkembangan kronik edem pada polip nasal.
Gambaran histopatologi dari polip nasal bervariasi dari jaringan yang edem
dengan sedikit kelenjar sampai peningkatan kelenjar. Eosinofil dapat muncul,
menandakan komponen alergi. Hal ini menunjukkan adanya proses dinamis yang
nyata pada polip nasal yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti aliran udara,
faktor lain yang dapat mempengarui epitel polip dan proses regenerasinya, perbedaan

epitel dan ketebalannya, ukuran polip, infeksi dan alergi. Beberapa buku menyebutkan
alergi sebagai penyebab utama polip nasal. Hal ini dibuktikan dengan adanya
penimbunan eosinofil dalam jumlah besar dari jaringan polip atau dalam sekret
hidung. Polip hidung yang disebabkan oleh alergi seringkali dialami penderita asma
dan rinitis alergi .
Infeksi virus dan bakteri juga dikatakan sebagai salah satu penyebab dari
polip nasal. Pada polip nasal yang disebabkan oleh infeksi ditemukan infiltrasi sel-sel
neutrofil, sedangkan sel eosinofil tidak ditemukan.
Menurut Ogawa dari hasil penelitiannya pada penderita polip hidung disertai
deviasi septum, polip lebih sering didapatkan pada rongga hidung dengan septum
yang cekung. Deviasi septum hidung akan menyebabkan aliran udara pada bagian
rongga hidung dengan septum yang cekung, akan lebih cepat dari bagian cembung di
rongga hidung sisi lain. Percepatan ini terjadi pada rongga hidung bagian atas dan
menimbulkan tekanan negatif. Tekanan negatif ini merupakan rangsangan bagi
mukosa hidung sehingga meradang dan terjadi edema
Pada intoleransi aspirin, terjadinya polip nasal disebabkan karena inhibisi
cyclooxygenase enzyme. Inhibisi tersebut menyebabkan pelepasan mediator radang,
yaitu cysteinyl leucotrienes.

Gejala dan Tanda


Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat
setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama.dimana dirasakan
semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuhsembuh, sengau, sakit kepala. Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia
atau anosmia, rasa lendir di tenggorok.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak,
bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian
vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada pemeriksaan rhinos kopi
posterior bila ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-abuan
mengkilat yang terlihat menggantung di nasofaring.

Diagnosis
Pada anamnesis kasus polip keluhan utama biasanya ialah hidung tersumbat.
Sumbatan ini menetap, tidak hilang timbul dan semakin lama semakin berat. Pasien
sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus.
Gejala lain ialah gangguan penciuman (anosmia atau hiposmia). Gejala sekunder
dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ didekatnya berupa : adanya post nasal
drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Dengan pemeriksaan rinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat.
Polip yang massif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Kalau ada
fasilitas endoskopi untuk pemeriksaan hidung, polip yang masih sangat kecil dan
belum keluar KOM dapat terlihat. Pemeriksaan penunjang berupa foto rongten polos
atau CT scan dibuat untuk mendeteksi adanya diindikasikan jika ada massa unilateral
pada pasien usia lanjut, jika penampakan makroskopi menyerupai keganasan atau bila
pada foto rongten ada gambaran erosi tulang.

Gambar dari suatu polip nasi yang tampak dengan endoskopi.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari polip nasi adalah :
a. Angiofibroma Nasofaring Juvenil

Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini
mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding postero lateral atap rongga hidung.
Dari anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis
berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga timbul rhinorhea kronis yang
diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian
atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke
intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa tumor
yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda,
diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan tidak
jarang ditemukan ulserasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan
terlihat gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan
prosesus Pterigoideus ke belakang.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor dan
destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan
memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena
merupakan kontra indikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring
Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki.
b. Keganasan pada hidung
Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu
kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada laki-laki. Gejala
klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia, proptosis, gangguan
visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan dapat disertai
likuorhea. Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari massa
tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel squamous berkeratin.

Pengelolaan Penderita Polip Nasal


Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Pengelolaan polip nasal seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi
sayangnya penyebab polip nasal belum diketahui secara pasti. Karena penyebab yang

mendasari terjadinya polip nasal adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah mengatasi
reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan konservatif.

1. Terapi Konservatif
a. Kortikosteroid sistemik
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip nasal.
Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan
secara aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama untuk pasien yang tidak dapat
dilakukan operasi.
b. Kortikosteroid spray
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutk polip yang
masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat
efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhan
c. Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase yang
akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.
2. Terapi operatif
Terapi operasi dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip yang sangat
besar, sehingga tidak dapat diobati dengan terapi konservatif. Tindakan operasi yang
dapat dilakukan meliputi :
a. Polipektomi intranasal
b. Antrostomi intranasal
c. Ethmoidektomi intranasal

d. Ethmoidektomi ekstranasal
e. Caldwell-Luc (CWL)
f. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
Terapi Bedah
Polip mukoid jinak pada hidung sering kali dihubungkan dengan alergi
hidung. Dapat terjadi pada anak-anak namun lebih ditemukan pada orang dewasa.
Karena menyumbat jalan napas, polip sering kali dirasakan sangat mengganggu.
Setelah lesi penyumbat diidentifikasi sebagai polip jinak, maka lesi tersebut dapat
diangkat. Pasien harus diperingatkan, bahwa polip dapat kembali kambuh bilamana
ada alergi, sehingga polip perlu berkali-kali diangkat selama hidup. Namun, dengan
memberi perhatian pada gangguan alergi mendasari, maka laju rekurensi cenderung
lebih lambat. Polip umumnya berasal dari penonjolan keluar dari mukosa yang
menutup sinus maksilaris atau etmoidalis. Pembesaran mukosa yang makin bertambah
tersebut, membentuk massa yang bundar, lunak, basah, basah, seringkali gelatinosa
dan terkadang seperti berdaging, atau terkadang berbentuk kantung yang terisi serum,
yang melekat pada suatu pedikel sempit yang semakin lama semakin panjang,
menjulur mulai dari sinus, melalui ostium, sampai ke rongga hidung. Polip umumnya
berwarna kekuningan atau biru keabuan, namun kadang-kadang menjadi merah akibat
iritasi lokal atau infeksi sekunder. Namun apa yang tampaknya seperti polip, tidak
selalu polip. Bila polip hanya ditemukan pada satu sisi, maka perlu dipertimbangkan
suatu infeksi unilateral setempat pada hidung atau sinus atau bahkan benda asing
dalam hidung. Pada anak balita dan usia sekolah, mukovisidosis dengan perubahanperubahan pada hidung harus diikutkan dalam diagnosis banding. Polip hidung, yaitu
suatu pseudomotor, harus dibedakan dari neoplasma jinak ataupun ganas; meskipun
jarang, tumor-tumor ini jangan terluputkan. Ahli bedah yang menggunakan pengait
hidung untuk mengangkat suatu angiofibroma juvenil dari nasofaring yang tampaknya
seperti polip, dapat mencetuskan suatu perdarahan hebat. Lesi yang paling sulit
dibedakan dengan polip hidung jinak sejati adalah daerah-daerah degenerasi polipoid
pada mukosa, paling sering ditemukan pada bagian anterior konka inferior dan media
yang membengkak. Diferensiasi dan identifikasi dipermudah dengan menggunakan
semprot hidung dekongestan, seperti larutan efedrin 1 persen atau Neo-Synephrine
0,25 persen. Yang lebih baik adalah larutan kokain 4 persen, karena selain bekerja
sebagai dekongestan, juga mempunyai efek anestesi. Selanjutnya gunakan suatu

penyedot hidung, tidak hanya untuk menyedot sekret guna mempermudah inspeksi,
namun juga digunakan untuk palpasi lesi jaringan lunak. Meskipun dapat sedikit
bergerak, mukosa polipoid mempunyai perlekatan sesil pada konka dengan tulang
yang relatif keras pada pusatnya, sedangkan polip sejati dapat bergerak bebas pada
pedikelnya.
Sebelum polipektomi hidung dilakukan, perlu diberikan premedikasi dan
anestesi topical memadai. Kawat pengait kemudian dilingkarkan pada tangkai polip
tanpa perlu diikatkan erat-erat, kemudian polip dengan tangkai dan dasar pedikel
seluruhnya ditarik bersamaan. Infeksi sinus akibat tangkai polip yang menyumbat
ostium, biasanya mereda lebih cepat setelah polipektomi. Jika polip kembali kambuh
dan disertai sinusitis rekurens, mungkin terdapat indikasi koreksi bedah terhadap
penyakit sinus.
Konka yang hipertrofi mungkin memerlukan kauterisasi, bedah beku
(cryosurgery), atau reseksi parsial guna menciptakan jalan napas yang memadai.
Pembedahan demikian harus secara konservatif guna mencegah rhinitis atrofik.

Komplikasi Operasi
Komplikasi yang terbanyak meliputi :
o SSP Kerusakan LCS , meningitis, perdarahan intrakranial, abses
otak, hernisasi otak
o Mata - Kebutaan, trauma nervus opticus, orbital hematoma, trauma otot-otot
mata bisa menyebabkan diplopia, trauma yang mengenai duktus lakrimalis
dapat menyebabkan epiphora
o Pembuluh darah trauma pada pembuluh darah dapat
menyebabkan perdarahan.
o Kematian

BAB IV
KESIMPULAN
1. Polip nasal adalah suatu pseudotumor yang merupakan penonjolan dari mukosa
hidung atau sinus paranasalis yang terdorong karena adanya gaya berat.
2. Etiologi polip nasal belum diketahui secara pasti. Diduga karena adanya reaksi
alergi, infeksi, deviasi septum hidung, intoleransi aspirin, perubahan polisakarida,
dan ketidakseimbangan vasomotor.
3. Diagnosis polip nasal berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
4. Pengelolaan penderita polip nasal dengan cara operatif (polipektomi) atau

dengan non operatif (kortikosteroid).


5. Diagnosis dan penanganan yang tepat sangat diperlukan agar penderita
tidak jatuh ke dalam penyulit yang lebih berat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip hidung. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok. Edisi 6. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2000: 96- 98.
2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, !
997: 173-94
3. Leeson Paparo, Buku Ajar Histologi. Jakarta : EGC 1996 : 400 403
4. Sadler, T.W. Langmans Medical Embryology. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2000

REFRAT

POLIP NASAL
Pembimbing:
dr. Sudjarwadi, Sp.THT
Penyusun:
Yosephine Simanungkalit 06 - 177
Ranis Sherafica

06 178

Annisa Affiani Hartono

06 - 179

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia


Kepaniteraan Klinik Dasar THT
Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi
Periode 6 Desember 2010 8 Januari 2011

LEMBAR PENGESAHAN

Pembimbing

Dr. Sudjarwadi, Sp. THT

Anda mungkin juga menyukai