Anda di halaman 1dari 6

Masalah pada pasien :

Tn HS 42 th, 57 kg, 168 cm, dibawa ke rumah sakit karena demam tinggi meskipun sudah
menggunakan PCT 500 mg. Pasien sulit makan karena esophageal candidiasi berat sehingga
diberikan nutrisi melalui IV. Px nampak pucat dan lemas karena 3 hari sebelum MRS karena hanya
minum teh manis dan sedikit bubur. Luka bekas operasi di bagian perut kembali berdarah, sehingga
px hrs tirah baring dan dipasang kateter.

Diagnosa:
HIV sejak 6 bulan yll dan tidak rutin minum obat ART karena tidak tahan terhadap eso ART

Riwayat obat :
Fluconazole 200 mg 1dd1 selama 5 hari untuk jamur di mulut

Data lab dan Data Klinis :


-

Suhu tubuh = 39.1 C

TD = 100/70 mmHg

WBC = 13950 cell/mm3

Fungsi ginjal = dbn

Radiografi dada = dbn

GDP = dbn

Terapi yang diperoleh pasien :


-

Saat MRS mendapatkan Meropenem 500 mg IV 3 dd 1

PCT 500 mg

Dokter sepakat memberikan Amphotericin B sebagai anti jamur

Faktor resiko
Faktor resiko pada pasien ini:
1. Defisiensi nutrisi akibat susah makan karena candidiasis esophageal berat. Pada keadaan
malnutrisi, terjadi gangguan pada mekanisme pertahanan, kerusakan intregritas mukosa
atau adanya peningkatan potensi pathogen dari jamur
2. Pasien didiagnosis HIV sejak 6 bulan yang lalu. Akibatnya, produksi limfosit CD4+ berkurang
sehingga imunitas pasien menurun, beresiko untuk memperberat candidiasis esophageal
pada pasien ini

3. Pasien inimenggunakan fluconazole tidak sesuai regimen yaitu hanya 5 hari, seharusnya
penggunaan fluconazole untuk candidiasis esophageal adalah 14 hari, sehingga dapat
meningkatkan resiko terjadinya relaps atau kekambuhan pada candidiasis esophageal
pasien.
4. Ditanyakan kepada pasien tentang riwayat penggunaan gargles, karena penggunaan gargles
akan mengganggu flora normal mukosa mulut, yang akan memperberat resiko candidiasis
esophageal pada pasien.

Analisis terapi
-

Target terapi untuk pasien


a) Vulvovaginal candidiasis: mengurangi gejala yang dialami oleh pasien, mengeradikasi jamur
penyebab infeksi, mengembalikan kesesuaian hidup dari flora normal vagina, mencegah
adanya kekambuhan kembali dari infeksi.
b) HSV 2: mengurangi gejala dan mempersingkat perjalanan klinis penyakit, untuk
menghindari komplikasi dan kekambuhan, dan untuk mengurangi penularan penyakit.
Walaupun penelitian yang sudah dilakukan berfokus utama pada treatment untuk infeksi
aktif dan penurunan kemungkinan terjadinya kekambuhan, dapat juga diperhatikan
pemberian immunotherapy yang dapat memberikan proteksi terhadap adanya penularan
atau kemungkinan dapat membunuh virus laten.
c) Gonorrhea: eradikasi tuntas terhadap N. gonorrhoeae. Pasien yang terinfeksi dengan
gonorrhea biasanya co-infected juga oleh Chlamydia trachomatis dan harus mendapatkan
terapi yang dapat mengeradikasi tuntas kedua organism tersebut secara bersamaan.

Pada pasien ini mendapatkan terapi amphotericin B untuk sebagai anti jamurnya. Terdapat
tiga macam obat amphotericin B, antara lain:

1. Konvensional : digunakan untuk infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri seperti
Candida, Streptococcus, Aspergillus, dll. Dosis IV 1 mg/kg selama 20-30 menit untuk test
dose. Untuk maintenance 0,05 1,5 mg/kg/hari, selanjutnya 1-1,5 mg/kg selama 4-6 jam per
hari sampai stabil, jangan sampai melebihi 1,5 mg/kg/hari.
Untuk candida IV : 0,6-0,7 mg/kg/hari selama 3-6 bulan
2. Cholesteryl Sulfate complex : untuk test dose, dewasa, preparasinya 10 mL mengandung
1,6-8,3 mg selama 15-30 menit, di amati secara hati2 selama 30 menit. Inisial dose 3-4
mg/kg dg laju 1 mg/kg/jam dosis dapat ditingkatkan sampai 6 mg/kg.

3. Desoxycholate : penggunaannya tepat untuk pasien yang mengalami gangguan fungsi renal.
Dosis 0,5-0,7 mg/kg tiap 24-48 jam

Pada pasien tn HS ini pemberian amphotericin B sudah tepat, namun pemilihan macam
sediaannya yang masih belum tepat. Tn. HS mengalami gangguan fungsi renal yang
ditunjukkan dengan hasil laboratorium pasien terbaru yang menunjukkan kadar SCR 2.3
mg/dL dan BUN 42,3. Oleh karena itu, sebaiknya dipilihkan ampothericin B desoxycholate.
Pilihan lain dapat diberikan amfoterisin B dengan formulasi lipid yaitu amphotericin B
liposomal (AmBisome) karena memiliki eso yang lebih rendah resiko hematologik dan
toksisitas ke ginjal juga lebih rendah.

Inisiasi dosis 0,25-0,3 mg/kg dengan melihat respon yang terjadi, diberikan melalui infus.
Berdasarkan LBM (Lean Body Mass) pasien, maka dosis untuk pasien 17,4 mg/hari, larutkan
ke dalam 174 mL air, diinfuskan 1 ml/menit selama 2-6 jam (120 menit). Selanjutnya,
tingkatkan 5-10 mg/hari hingga mencapai 0,5-0,7 mg. Durasi penggunaan sampai 4-12
minggu. Tunggu gejala hilang, teruskan penggunaan sampai 7 hari. Bila sampai 12 minggu
belum hilang, maka ganti obat lain.

Amfoterisin dapat menurunkan fungsi ginjal terkait dengan efek vasokontriksi langsung pada
arterial ginjal sehingga filtrasi dari glomerulus menurun dan aliran darah ginjal tubular
terganggu. Selain itu juga terdapat kerusakan pada sel-sel endothel tubular yang memicu
terjadi kerusakan pada ginjal. Pada biopsy ditemukan juxtamedullarry glomerulitis dan
adanya deposit kalsium intratubular dan interstitial di nefron distal, memicu terjadinya
vasokontriksi serta mengakibatkan penurunan fungsi ginjal (Richardson, et. al., 2005).

Efek samping akut dari injeksi Amphoterycin B yang sering terjadi adalah demam dan
menggigil (terjadi pada sekitar 50% pasien yang mendapatkan dosis awal Amphoterycin B).

Untuk mengurangi resiko nefrotoksisitas pada pasien ini, dapat diberikan infuse NaCl 0,9 %
1L untuk hidrasi sebelum pemberian infuse Amfotericin B. Selain itu juga dapat diberikan
terapi flusitosin untuk preventifnya.

Pada pasien ini diberikan PCT 500 mg dengan tujuan meredakan gejala panas yang dialami
pasien, namun masih belum menunjukkan perubahan suhu setelah diberikan terapi ini.
Maka dapat pula diberi tambahan terapi Hidrokortison 0,75 mg/kg BB untuk meredakan
infuse relate serta mencegah peningkatan suhu tubuh bila digunakan bersama dengan PCT.
Pemberian terapi hidrokortison ini tidak dapat diberikan lebih dari 5 hari, karena
dikhawatirkan dapat meningkatkan efek dari PCT yang berlebihan. PCT tetap diberikan yaitu
30 menit sebelum pemberian amfoterisin B.

Untuk mencegah terjadinya troboplebitis maka dapat diberikan terapi Heparin 1000 IU.

Pilihan terapi lain jika disertai menggigil dan panas tidak kunjung turun maka diberikan
Peperidin HCl 25-50 mg.

KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi):

Terkait dengan efek samping terapi dan pengggunaan obat. Informasi penggunaan obat
dapat pula diinformasikan kepada perawat.

Efek samping akut dari injeksi Amphoterycin B yang sering terjadi adalah demam dan
menggigil (terjadi pada sekitar 50% pasien yang mendapatkan dosis awal Amphoterycin B).
Sebagai apoteker harus menjelaskan pada pasien bahwa demam dan menggigil tersebut
merupakan efek yang terjadi pada sebagian besar pasien yang menerima injeksi. Biasanya
terjadi pada 1-3 jam saat injeksi, namun efek samping tersebut dapat berhenti ketika injeksi
IV dihentikan. Alternatif yang dapat digunakan agar pasien tetap mau menggunakan obat ini
adalah dengan menurunkan dosis amfoterycin B. Untuk mencegah efek akut digunakan trial
dosis 0,005 mg selama 30 menit, namun jika sudah dengan terapi dosis optimal maka dosis
dapat diturunkan hingga 0,25 mg/kgBB (dosis minimal terapi) untuk meminimalkan efek
samping.

Amphotericin B harus digunakan dalam bentuk mono terapi, dan pemberiannya dengan
infus intravena secara lambat. Sebelum penggunaannya, perlu dilakukan test dose dahulu,
yaitu dengan cara menggunakan infus dengan konsentrasi 0,05mg/mL Amphotericin B dalam
5% cairan dextrose dan diberikan selama 20-30 menit. Selama test dose berlangsung, perlu
di cek nadi, temperatur tubuh, RR, dan tekanan darah. Jika dalam test dose tidak terjadi efek
yag tidak di inginkan maka dapat diberikan terapi amphotericin B yaitu sebesar 1mg/mL
selama 2-6 jam.

Hal-hal yang harus dievaluasi dari pasien terkait penyakit dan pemberian terapi

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan oleh perawat : Pasien harus dimonitor untuk reaksi
terkait penggunaan amfoterisin B yaitu anafilaksis, menggigil, demam, mual, muntah, kaku,
hipotensi, gangguan pernapasan akut. Jika gangguan pernapasan akut dan syok anafilaksis
terjadi

maka

infus

harus

segera

dihentikan.Namun

jika

gejalanya

seperti

demam,mual,muntah,kaku,maka langkah yang digunakan adalah menurunkan rate dari


penggunaan amfoterisin.
-

Data lab yang harus di evaluasi pada individu untuk di evaluasi diantaranya adalah PH
vagina, dan microscopy 10% Kalium Hidroksida (KOH). Pada pasien Vulvovaginal Candidiasis
PH vaginal tetap normal, dan pemeriksaan secara microscopy seharusnya terdeteksi

blastospore atau pseudohyphae. Pemeriksaan kultur candida biasanya tidak dibutuhkan


untuk diagnosis candida yang ringan.

Gbr 1. Tabel Data Klinik pada Px menderita Candidiasis (DiPiro, et. al, 2008)

Evidence Fluconazole compare to Ketoconazole in oral Candidiasis


Penelitian 1: Fluconazole versus ketoconazole in the treatment of oropharyngeal candiidasis
in HIV-infected children: multi center study group tahun 1994 oleh HernandezSampelayo. Eur J Clin Microbiol Infect Dies, Vol.13(4):340-344.
Tujuan

:Penelitian multisenter untuk membuktikan efikasi dan keamanan dari fluconazole


dan ketoconazole dengan mengevaluasi pengobatan pada 46 pasien pediatrik yang
mengalami kandidiasis orofaringeal dan AIDS atau infeksi HIV.

Hasil

:Pasien

yang

mendapatkan

pengobatan

fluconazole

mempunyai

tingkat

kesembuhan yang tinggi jika dibandingkan dengan ketoconazole. Efek samping


ketoconazole berupa diare dan nyeri abdomen juga dapat menyebabkan
penghentian terapi.

Penelitian 2: A comparison of flucanazole and ketoconazole in the oral treatment of vaginal


candidiasis: report of a double-blind multicentre trial oleh Kutzer er al., 1988. Eur J
Obstet Gynecol Reprod Biol, Vol.29 (4):305-313
Tujuan

: Membandingkan efikasi pengobatan menggunakan flukonazole dan ketoconazole


pada kandidiasis vagina pada 16- pasien

Hasil

:Penelitian multisenter double blind ini membuktikan bahwa dosis pral tunggal 150
mg fluconazole lebih efektif dibanding pengobatan menggunakan ketoconazole.

Penelitian 3 : oleh Laine, Loren MD. 1992. Ann Intern Med 117(8):655-660. Fluconazole
Compared with Ketoconazole for the Treatment of Candida Esophagitis in AIDS: A
Randomized Trial.
Design: Multicenter, randomized, double-blind trial.
Review : Total 143 pasien dievaluasi klinik (asesmen 7 hari setelah terapi) dan 129 pasien
dievaluasi secara endoskopi (diulang setelah terapi). Hasil endoskopi menunjukkan
adanya perbaikan sebesar 91% pada pasien yang mendapat terapi fluconazole dan
52% pada pasien yang mendapat terapi ketoconazole (p<0,001). Gejala esophageal
berkurang sebanyak 85% pada pasien yang mendapat fluconazole dan 65% pada
pasien yang mendapat ketoconazole (p=0,006). Efek samping yang ditimbulkan
minimal pada fluconazole maupun ketoconazole. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pemberian fluconazole efikasinya lebih tinggi dibandingkan dengan
ketoconazole pada pasien esophageal candidiasis dengan AIDS

Evidence Fluconazole compare to Amphotericin B in Candidiasis


Penelitian 1: Fluconazole versus amphotericin B for the management of candidaemia in
adults: a meta-analysis oleh Kontoviannis DP, et al tahun 2001. Centre of Reviews
and Dissemination University of New York, 44(5): 125-35.
Tujuan

:Penelitian meta analisis untuk membuktikan efikasi dan keamanan dari


fluconazole dan amphotericin B dengan mengevaluasi data total mortalitas,
mortalitas karena candidaemia, efikasi, kegagalan mikrobiologi, dan toksisitas.

Hasil

:Fluconazole sama efektifnya dengan amphotericin B, namun lebih tidak


menimbulkan toksik pada pasien dengan immunosupressed candidaemia tidak
berat. Namun, fluconazole tidak lebih efektif daripada amphotericin B pada
candidaemia yang disebabkan oleh non-albicans Candida spesies.

Anda mungkin juga menyukai