Anda di halaman 1dari 2

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEGIATAN PERTAMBANGAN DI BULAN DAN

BENDA LANGIT LAINNYA DITINJAU MENURUT HUKUM INTERNASIONAL


Pesatnya teknologi yang ada saat ini memungkinkan manusia untuk melakukan
ekspansi ke area- area tak bertuan di ruang angkasa, termasuk menambang barang tambang
mineral di Bulan dan benda langit lainnya. Kegiatan pertambangan di ruang angkasa
merupakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tergolong baru bagi umat manusia.
Sumber daya alam tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan digunakan
bagi kepentingan manusia di Bumi sekaligus mengatasi krisis energi yang terjadi saat ini.
Bulan dan Celestial Body (benda langit) yang berada dalam sistem tata surya kita
mengandung sumber daya alam dalam jumlah yang sangat besar. Bulan seperti yang kita
ketahui kaya akan barang tambang mineral, seperti-- Almunium, iron, hidrogen, potassium
dan helium-3-- yang sangat langka di Bumi. Helium-3 merupakan isotop ringan yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar bagi reaktor nuklir yang ramah lingkungan dan tidak
menghasilkan limbah beracun. Helium-3 mempunyai potensi besar untuk menggantikan
bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama di Bumi, dimana 25 ton helium-3 mampu
memproduksi energi untuk Amerika Serikat selama 1 tahun dan 1 juta ton helium-3 setara
dengan 50 juta barel minyak mentah.
Permasalahan timbul, alasan utama bahwa eksploitasi di ruang angkasa belum
dilakukan adalah karena tidak adanya aturan khusus yang mengatur tentang bagaimana
kegiatan eksploitasi di ruang angkasa itu harus dilakukan dan juga kekosongan hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat. Hal ini juga yang
membuat para pihak yang akan berinvestasi dan melakukan eksploitasi menahan diri dalam
kegiatan tersebut. The Outer Space Treaty yang dianggap sebagai dasar hukum dari hukum
ruang angkasa internasional sendiri tidak menyinggung kata exploitation dalam isi
perjanjian tersebut. Selain itu wacana ini juga dikhawatirkan dapat melahirkan suatu klaim
kepemilikan yang dianggap melanggar hukum ruang angkasa khususnya yang berkaitan
dengan Non-Appropriation Principle. Bahkan ketentuan- ketentuan yang ada pada The Moon
Treaty, yang tujuannya untuk mengatur penggunaan Bulan dan benda ruang angkasa lainnya
untuk kegiatan yang berbasis sains maupun komersial kehilangan relevansinya ketika
diterapkan dalam eksplorasi ruang angkasa.
Tapi hal ini tidak berarti bahwa kedua perjanjian tersebut secara langsung maupun tidak
langsung melarang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Bulan maupun benda
ruang angkasa lainnya. Dalam rangka untuk memastikan rasa aman dalam melakukan
eksploitasi, maka pihak- pihak yang akan terlibat dalam kegiatan tersebut menahan diri untuk
melakukan eksploitasi di ruang angkasa sebelum ada peraturan yang mengatur secara khusus
tentang bagaimana eksploitasi ruang angkasa dilakukan. Pertanyaan lain timbul jika terjadi
kerugian akibat pertambangan yang dilakukan, sebagaimana kita ketahui kerugian yang
timbul tidak hanya berasal dari benda ruang angkasa milik negara yang meluncurkan tapi juga
kerusakan lingkungan yang mungkin timbul akibat penambangan yang dapat berakibat
langsung atau tidak langsung terhadap kehidupan di Bumi, hal yang tidak diatur dalam
Liability Convention 1972. Hal inilah yang menjadi fokus penulis dalam menulis skripsi ini
dan menganalisis permasalahan di atas ditinjau dari ketiga perjanjian tersebut.
Kata kunci : Pertambangan, Outer Space treaty, Hukum ruang angkasa, Liability Convention,
The Moon Treaty, Celestial Body

B. Identifikasi Masalah

1. Apakah eksploitasi pertambangan di Bulan dan benda ruang angkasa lainnya dapat
dibenarkan oleh Outer Space Treaty dan The Moon Treaty ?
2. Bagaimana bentuk tanggung jawab bagi para pelaku pertambangan di Bulan dan
benda langit lainnya jika terjadi kerugian ditinjau dari Liability Convention?

Anda mungkin juga menyukai