Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS STRUKTURAL FUNGSIONAL STRATEGI PENGENTASAN

KEMISKINAN MELALUI PENDEKATAN KAWASAN PERDESAAN1


Oleh: Turasih/I3531240112

Pendahuluan
Terdapat tiga pilar 3 utama dari pembangunan berkelanjutan

yaitu pengentasan

kemiskinan (poverty eradication), perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan (changing unsustainable pattern of consumption and production), dan
perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi pembangunan ekonomi dan
sosial (protecting and managing the natural resources basis of economic and social
development). Ketiga elemen ini merupakan elemen yang harus terintegrasi dan terkait serta
bergantung satu dengan yang lainnya (interdependensi). Pengentasan kemiskinan menjadi
salah satu fokus pekerjaan yang dilakukan oleh negara-negara berkembang. Menurut Awiati
(2013) kemiskinan merupakan sumber dari degradasi lingkungan hidup/ kualitas sumber daya
alam. Kemiskinan juga menyuburkan korupsi dan mengurangi kemampuan negara dalam
memperbaiki tata pemerintahan yang baik (good governance). Kemiskinan juga mengurangi
kemampuan negara untuk membangun sumber daya manusianya melalui pendidikan serta
mengurangi daya saing terhadap negara-negara lain. Oleh sebab itu, perlindungan daya
dukung ekosistem sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup mensyaratkan adanya
upaya sungguh-sungguh untuk memberantas kemiskinan.
Strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia dilakukan dengan berbagai cara yang
semuanya bermuara pada tujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Munculnya program-program pengentasan kemiskinan dari pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, dan juga swasta mewarnai berbagai strategi dalam mencapai titik pengurangan
angka kemiskinan. Berdasarkan pengamatan penulis, terdapat beberapa pandangan yang
kemudian melihat strategi pengentasan kemiskinan tersebut sebagai upaya nyata atau pun
memiliki agenda tersendiri (dianggap untuk mengangkat citra baik institusi tertentu). Namun
dalam hal ini, penulis mencoba menilai secara objektif dari kacamata struktural fungsional
1

Tugas Mata Kuliah Sosiologi Kemiskinan, Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB,
Diampu oleh Dr. Saharudin
2
Mahasiswa semester 2 Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB
3
Santosa (2003) dalam Awiati (2013), Pengembangan Kelembagaan yang Mendukung Pembangunan
Berkelanjutan dan Penyelamatan Aset Alam, http://www.scbfwm.org/2013/08/16/pengembangankelembagaan-yang-mendukung-pembangunan-berkelanjutan-dan-penyelamatan-aset-alam.html

bahwa berbagai program yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia


sebenarnya adalah untuk mencapai titik keseimbangan. Guna mencapai kondisi seimbang
tersebut berbagai program yang dilakukan menuntut peran koordinas bermacam pihak untuk
membentuk jejaring yang saling memberikan manfaat satu sama lain sehingga tercapai
tujuan.
Pada tulisan ini penulis mengidentifikasi mengenai kondisi kemiskinan di Indonesia
terkini, utamanya kemiskinan di pedesaan. Kemudian menganalisa relevansi salah satu
program yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Kementrian Dalam Negeri (Ditjen PMD-Kemendagri) yang bekerjasama dengan Pusat Studi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3-IPB) dalam upaya percepatan pembangunan
daerah, dimana salah satu fokusnya adalah mereduksi kemiskinan dengan meningkatkan
kapasitas masyarakat pedesan. Program yang dimaksud adalah Pengembangan Kawasan
Perdesaa Berbasis Masyarakat (PKPBM) yang hingga tahun 2013 telah dilaksanakan di 40
Kabupaten di Indonesia, program ini sendiri dimulai sejak tahun 2010.
Kemiskinan dalam Kacamata Struktural Fungsional
Ritzer (2007) menekankan bahwa satu hal penting yang dapat disimpulkan bahwa
masyarakat menurut kacamata teori fungsional senantiasa berada dalam keadaan berubah
secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap
struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada,
diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun.
Masyarakat dilihat dalam kondisi: dinamika dan keseimbangan.
Herbert Gans (1972) dalam Ritzer (2007) menilai kemiskinan secara fungsional dalam
suatu sistem sosial. Dalam sistem sosial Amerika Serikat dinilai oleh Gans kemiskinan
memiliki lima belas fungsi yang bisa diredusir menjadi empat kriteria yaitu fungsi ekonomi,
sosial, kultural, dan politik. Fungsi ekonomi meliputi: 1) menyediakan tenaga kerja untuk
pekerjaan kotor dalam masyarakat; 2) menimbulkan dana-dana sosial (funds); 3) membuka
lapangan kerja baru karena dikehendaki bagi orang miskin; 4) pemanfaatan barang bekas
yang tidak dimanfaatkan oleh orang kaya. Fungsi sosial meliputi: 5) kemiskinan menguatkan
norma-norma utama dalam masyarakat; 6) menimbulkan altruisme terutama terhadap orangorang miskin yang memerlukan santunan; 7) si kaya dapay merasakan kesusahan hidup
miskin tanpa perlu mengalaminya sendiri dengan membayangkan kehidupan si miskin; 8)
orang miskin mediakan ukuran kemajuan bagi kelas yang lain; 9) membantu kelompok lain
yang sedang berusaha menaiki anak tangganya; 10) kemiskinan menyediakan alasan untuk

munculnya kalangan orang kaya yang membantu orang miskin dengan berbagai badan amal.
Fungsi kultural meliputi: 11) kemiskinan menyediakan tenaga fisik yang diperlukan untuk
pembangunan monumen-monumen kebudayaan; 12) kultur sosial orang miskin sering
diterima pula oleh strata sosial yang berada di atas mereka. Fungsi politik meliputi: 13) orang
miskin berjasa sebagai kelompok gelisah atau menjadi musuh bagi kelompok politik
tertentu; 14) Pokok isu mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam masyarakat (terutama di
AS) selalu diletakkan di atas masaah bagaimana membantu orang miskin; 15) kemiskinan
menyebabkan sistem politik (di AS) menjadi lebih centrist dan stabil.
Implikasi dari pendapat Gans adalah bahwa jika orang ingin menyingkirkan
kemiskinan, maka orang harus mampu mencari alternatif untuk orang miskin berupa aneka
macam fungsi baru. Alternatif yang diusulkan oleh Gans adalah otomatisasi. Otomatisasi
dapat menggantikan fungsi si miskin yang semula mengerjakan pekerjaan kotor, untuk
kemudian dapat dialihkan kepada fungsi yang lain yang memberikan upah lebih tinggi.
Gans menyimpulkan ada tiga alasan mengapa kemiskinan tetap berlangsung di
masyarakat :
1) Kemiskinan masih tetap fungsional terhadap berbagai unit dalam masyarakat.
2) Belum adanya alternatif lain atau baru untuk berbagai pelaksanaan fungsi bagi orang
miskin.
3) Alternatif yang ada masih saja lebih mahal daripada imbalan kesenangan yang
diberikannya.
Kemiskinan akan hilang melalui dua syarat yaitu: 1) bila kemiskinan tersebut sudah
sedemikian tidak berfungsi lagi bagi kemakmuran; 2) bila orang miskin berusaha sekuat
tenaga untuk mengubah sistem yang dominan dalam stratifikasi sosial.
Kemiskinan di Pedesaan
Menurut Lawang (2005) kemiskinan merupakan suatu masalah sosial yang akan tetap
eksis, orang miskin akan tetap ada tergantung garis kemiskinan yang ditentukan dalam
kebijakan pembangunan. Ketika kemiskinan dipandang sebagai masalah sosial maka dengan
kata lain kemiskinan merupakan suatu kondisi yang harus diatasi secara institusional.
Kemiskinan di Indonesia merupakan sebuah kenyataan dalam kehidupan sosial yang diukur
melalui indikator-indikator statistik. Banyak indikator kemiskinan yang dikembangkan di
Indonesia dan hal ini menjadi acuan pengembangan program pengentasan kemiskinan yang
dilakukan oleh berbagai pihak. Beberapa indikator kemiskinan yang dimaksud tercantum
pada tabel 1.

Tabel 1. Beberapa indikator kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia


No
1

Sumber
Sajogyo (1973)

Badan Pusat
Statistik (BPS)

Badan Koordinasi
Keluarga
Berencana
Nasional
(BKKBN)
Kementrian Sosial

Indikator
Kemiskinan diukur berdasarkan konsumsi beras:
Miskin: pendapatan perkapita per tahun setara dengan 240 kg
beras bagi penduduk perdesaan dan 360 kg beras bagi penduduk
perkotaan
Sangat miskin:
Kemiskinan adalah kondisi ketika seseorang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar yang terdiri dari sandang-pangan-papan (PSP). Batas
garis kemiskinan adalah kebutuhan kalori sebesar 2100 kkal.
Kriteria kemiskinan yang digunakan BKKBN juga sekitar PSP: frekuensi
makan sehari, pakaian yang dimiliki, rumah (lantai, dinding, dan atap),
pengobatan dan ibadah.
Isu kemiskinan pada komunitas adat terpencil dengan ciri-ciri: a)
berbentuk komunitas kecil dan homogen; b) pranata sosial bertumpu pada
hubungan kekerabatan; c) pada umumnya terpencil secara geografis dan
relatif sulit dijangkau; d) pada umumnya hidup dengan ekonomi subsisten;
e) peralatan dan teknologinya sederhana; f) ketergantungan pada
lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi; g)
terbatasnya akses pelayanan sosial; ekonomi, dan politik.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Melihat data statistik Indonesia mengenai presentase penduduk miskin desa-kota


menurut propinsi pada tahun 2012 menunjukkan bahwa kemiskinan di pedesaan
presentasenya lebih tinggi dibandingkan presentase kemiskinan di wilayah perkotaan (Lihat
Gambar 1). Kemiskinan di pedesaan identik dengan mata pencaharian orang desa yang masih
dilekatkan dengan pertanian. Studi Geertz (1984) di pedesaan Jawa Timur menyimpulkan
bahwa telah terjadi proses berbagi kemiskinan (shared poverty) di kalangan petani sekaligus
munculnya fenomena involusi. Kemiskinan berbagi ini menurut Geertz disebabkan akibat
kelangkaan lahan dan meningkatnya jumlah penduduk. Selanjutnya melimpahnya penduduk
(tenaga kerja) tidak bisa tertampung dengan kondisi lahan yang sempit atau disebut involusi.
Di bawah tekanan jumlah penduduk dan sumberdaya yang terbatas, petani di Jawa terbagi
menjadi dua golongan yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan dibawahnya yang lebih
tertindas. Namun menurut Geertz, masyarakat tersebut tidak terbagi dalam golongan kelas
kaya dan miskin namun dengan bahasa yang diperhalus sebagai golongan cukup dan
golongan kurang.

Sumber: diolah dari susenas Maret 2012


Gambar 1. Presentase penduduk miskin kota-desa di Indonesia menurut propinsi
tahun 2012

Indeks keparahan kemiskinan juga lebih besar di wilayah pedesaan dibandingkan


perkotaan. Indeks keparahan kemiskinan ini semakin terlihat di provinsi-provinsi bagian
timur Indonesia terutama di pedesaan Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Indeks
keparahan kemisinan di pedesaan ini memberikan gambaran mengenai penyebaran
pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi
ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Sumber: diolah dari susenas Maret 2012


Gambar 2. Indeks keparahan kemiskinan di Indonesia menurut propinsi
tahun 2012

Pendekatan Pembangunan Kawasan Perdesaan untuk Pengentasan Kemiskinan


Dalam rangka memfasilitasi Pemerintah Daerah dalam mendorong keterlibatan dan
partisipasi masyarakat untuk pembangunan kawasan perdesaan yang bermuara pada
peningkatan kemakmuran dan pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan di perdesaan,
telah diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 51 Tahun 2007
Tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat (PKPBM).

Di dalam

Permendagri tersebut mengatur tiga hal pokok, yaitu : (a) penataan ruang secara partisipatif,
(b) pengembangan pusat pertumbuhan terpadu antar desa, dan (c) penguatan kapasitas
masyarakat, kelembagaan dan kemitraan.
Fasilitasi tersebut kemudian diimplementasikan dalam bentuk kegiatan pelatihan
Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat (PKPBM) yang dilaksanakan di
tingkat kabupaten pada beberapa lokasi terpilih. Pelaksanaan pelatihan PKPBM dilakukan
selama tiga tahun berturut-turut sebagai bentuk program pemberdayaan yang dilakaukan
secara bertahap. Pada tahap awal (tahun pertama) menggunakan pendekatan PRA
(Participatory Rural Appraisal) yang lebih mengedepankan pemahaman masyarakat
pedesaan tentang kondisi dan potensi yang mereka miliki, sehingga mereka dapat membuat
rencana kegiatan dan tindak lanjut yang harus dilakukan. Sedangkan pada tahapan lanjutan
(tahun kedua) pelatihan ini lebih dititikberatkan pada pendekatan PLA (Participatory
Learning and Action) dimana setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan dapat menentukan
skala prioritas dan solusi terhadap rencana kegiatan tindak lanjut yang telah disusun
sebelumnya, sehingga terbangun suatu kesamaan persepsi bersama terhadap pengelolaan
sebuah kawasan perdesaan, baik bagi para peserta maupun kepada fasilitator. Pada tahun
kedua ini, peserta pelatihan membuat rencana kerja tindak lanjut (RKTL) dan juga rancangan
anggaran untuk diusulkan ke Ditjen PMD untuk pengusulan dana bantuan langsung yang
sifatnya stimulan guna mendukung pelaksanaan kegiatan mereka. Kemudian pada tahun
ketiga dilaksanakan evaluasi untuk pelaksanaan kegiatan yang direncanakan dan diusulkan
dievaluasi secara partisipatif di tingkat masyarakat.
Dalam perkembangannya pelaksanaan kegiatan PKPBM sangat ditentukan oleh respon
dan komitmen pemerintah daerah dalam menanggapi program yang ditawarkan dari pusat.
Selain itu ketika sudah terlaksana di daerah, komitmen peserta pelatihan yang berasal dari
perwakilan masyarakat juga menjadi penting. Kesungguhan masyarakat dalam mengikuti
pelatihan serta pemahaman mereka akan materi yang diberikan mendorong pengembangan
kawasan perdesaan yang saling sinergi dan bisa memiliki posisi tawar. Jika dilihat maka
metode yang digunakan dalam PKPBM ini seperti apa yang disebut oleh Herbert Gans

sebagai otomatisasi dimana untuk mengentaskan kemiskinan orang diarahkan untuk bisa
meningkatkan kapasitas diri sehingga bisa melakukan kegiatan yang lebih produktif.
Sebagai sebuah program pengentasan kemiskinan yang memiliki pendekatan
pengembangan kawasan dan kerjasama antardesa,

PKPBM

ini

memiliki skema

pengembangan yang memberikan ruang berbagai pihak untuk ikut terlibat dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat dalam konteks pembangunan daerah. PKPBM memunculkan satu
skema pengurusan baru di tingkat kawasan yang disebut Tim Pengelola Kegiatan (TPK) yang
di dalamnya terdiri dari unsur-unsur berbagai desa yang tergabung dalam kawasan. TPK
dalam hal ini berkoordinasi langsung dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
terutama melalui pintu perantara Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMD).
BPMD berhubungan dengan Ditjen PMD Kemendagri untuk pengurusan dokumen dan
proses koordinasi yang menjembatani masyarakat (TPK) dengan Ditjen PMD. Proses-proses
kerjasama antar berbagai pihak dalam konteks PKPBM ditunjukkan oleh skema pada gambar
3 mengenai kelembagaan pembangunan dalam PKPBM. Ada hubungan yang saling terkait
dari tingkat rumah tangga, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan pusat dalam program
ini dan sekaligus diimbangi dengan peran pendampingan dari expert dari institusi perguruan
tinggi. Tidak hanya itu, peran sektor bisnis (perbankan dan perusahaan) juga dibuka aksesnya
dalam rangka memaksimalkan fungsi guna mencapai tujuan dari program ini.

Sumber: PSP3 IPB


Gambar 3. Kelembagaan Pembangunan: Pendekatan PKPBM

Sebuah Refleksi: PKPBM Kabupaten Lombok Tengah


Kabupaten Lombok Tengah merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB). Kabupaten ini terdiri dari 12 kecamatan dengan 107 desa dan 12
kelurahan. Untuk program PKPBM yang dilaksanakan di Lombok Tengah meliputi 3
kecamatan yaitu kecamatan Batukliang Utara, Kecamatan Kopang, dan Kecamatan
Pringgarata dengan 8 desa yang terhubung dengan tipologi kawasan yang identik. Tipologi
kawasan yang dimaksud adalah kawasan pertanian sekaligus sebagai daerah tujuan wisata
yang dekat dengan alam pegunungan karena letaknya dekat Gunung Rinjani. PKPBM di
Lombok Tengah ini dimulai pada tahun 2011 dan kemudian dilakukan evaluasi pada tahun
2013.
Kawasan yang dikembangkan untuk PKPBM di Kabupaten Lombok Tengah adalah
Kawasan Agroekowisata KAULA. Delapan desa yang menjadi lokasi PKPBM merupakan
desa-desa yang berada di wilayah utara Lombok Tengah sehingga disebut sebagai KAULA
(Kawasan Utara Lombok Tengah). Kawasan ini merupakan kawasan yang mendukung
langkah strategis Pemerintah Daerah Lombok Tengah dalam mengembangkan ekonomi lokal.
Berdasarkan peta jalan PKPBM sejak tahun pertama hingga tahun ketiga di kawasan yang
dimaksud, dapat dikatakan terjadi perubahan pola pikir masyarakat peserta pelatihan PKPBM
yang tadinya berpikir bahwa pembangunan dilakukan separatis desa kemudian berkembang
menjadi kerjasama antardesa.
Pada tahun pertama peserta pelatihan PKPBM diarahkan untuk mengubah pola pikir
dalam membangun desa. Pengembangan kerjasama antardesa adalah hal penting untuk saling
menutupi kebutuhan-kebutuhan antardesa yang jika dikelola oleh masing-masing desa belum
tentu bisa memenuhi sendiri. Kemudian pada tahun kedua dibentuk TPK sekaligus disahkan
melalui SK Bupati Lombok Tengah sebagai legalitas yang mendasari kerja TPK. Pada tahun
kedua ini peserta pelatihan PKPBM membuat rencana kerja tindak lanjut sebagai langkah
awal untuk bekerjasama dengan pihak lain (pemerintah, swasta, dll) yang selanjutnya rencana
ini dipaparkan di depan SKPD untuk mendapatkan dukungan dalam pelaksanaannya. Pada
tahun ketiga dilaksanakan evaluasi terhadap proses pelatihan yang sudah dilaksanakan pada
tahun pertama dan kedua, sekaligus mengukur sejauh mana rencana kerja tindak lanjut bisa
dikerjasamakan dan bisa direalisasikan.
Berdasarkan kacamata struktural fungsional, PKPBM ini dilihat sebagai program
yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan sosial dengan memfungsikan komponenkomponen yang ada dalam sistem sosial masyarakat di kawasan KAULA. Sebagai pandangan
yang melihat dua sisi dari masyarakat yakni dinamika dan kesimbangan maka PKPBM di

kawasan KAULA Lombok Tengah bisa dinilai dari bagaimana kondisi masyarakat setelah
program selesai dilaksanakan. Atau dengan kata lain bagaimana mereka mampu untuk
melakukan adaptasi dan berada dalam titik equilibrium. Hal yang patut untuk diapresiasi dari
kinerja TPK untuk kawasan adalah mereka mampu memobilisasi dan mengorganisasikan
masyarakat dalam kawasan untuk membangun ekonomi mandiri. Dalam proses pelaksanaan
program muncul apa yang disebut pembangunan kapal dengan dua basis utama yaitu kapal
PKPBM dan kapal dagang kawasan.
Kapal PKBM dikembangkan oleh masyarakat supaya bangunan PKPBM ini tetap
eksis meskipun program telah selesai dilaksanakan di Lombok Tengah. Hal yang dilakukan
oleh TPK adalah mengkoordinir masyarakat dalam kawasan untuk melakukan arisan dimana
sebagian hasilnya disisihkan guna melaksanakan pertemuan rutin bulanan untuk membahas
program kerja dalam kawasan. Kapal PKBM ini diinisiasi oleh TPK guna membangun
jaringan yang lebih kuat di antara sesama warga di kawasan KAULA serta memungkinkan
komunikasi dengan pihak luar setelah pertemuan rutin dilaksanakan. Kapal dagang kawasan
pada awalnya juga diinisiasi oleh TPK, dimana mereka yang mampu memberikan iuran awal
sebesar Rp 500.000,00 sebagai modal untuk membangun usaha peternakan dan perikanan di
dalam kawasan. Setelah itu warga yang lain secara swadaya memberikan iuran Rp 50.000,per bulan (diikutsertakan dalam iuran untuk arisan) guna mengembangkan kapal dagang
kawasan.
Upaya swadaya tersebut sebagaimana apa yang diungkapkan oleh Fredman (1992)
bahwa pengentasan kemiskinan lebih dipandang sebagai persoalan politik, bukan sebagai
proses bagaimana kebutuhan diidentifikasi dan bagaimana bisa dipenuhi untuk mereka yang
membutuhkan. Fredmann mengajukan gagasan social power sebagai basis pengentasan
kemiskinan dan menjawab gap strategi penuntasan kemiskinan melalui pendekatan
kebutuhan. Social power yang dimaksud terdiri dari delapan elemen yang meliputi: territorial
base (tempat dimana rumahtangga melakukan aktivitas), surplus waktu, pengetahuan dan
keterampilan, akses terhadap informasi, organisasi sosial, jejaring sosial, sumber dan jenis
mata pencaharian, dan sumber finansial. Rumahtangga-rumahtangga miskin yang menjadi
sasaran dari pengentasan kemiskinan memiliki hak untuk terlibat dalam setiap aktifitas yang
dikembangkan dan tidak hanya menjadi objek. Menggaris bawahi tentang social power yang
disebutkan oleh Friedmann mengenai territorial base, hal ini sejalan dengan apa yang
disebutkan Tjondronegoro (1984) bahwa seyogyanya pembangunan untuk kesejahteraan
rakyat berorientasi pada kelompok-kelompok yang berlandakan wilayah dan masih bisa
memenuhi kebutuhannya secara demokratis.

Penutup
Program pengentasan kemiskinan berbasis kawasan perdesaan merupakan salah satu
program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
dan posisi tawar masyarakat. Tujuannya adalah supaya masyarakat mampu melakukan
komunikasi dengan pihak lain dan membangun jejaring kolaborasi yang mampu mendukung
pembangunan dalam konteks kerjasama antardesa (pembangunan kawasan). Program ini
dilihat dari kacamata struktural fungsional sebagai sebuah bentuk upaya untuk membuat
kondisi masyarakat seimbang. Dalam pandangan yang lebih komprehensif, bentuk
keseimbangan ini memanfaatkan social power yang ada di masyarakat dan mengedepankan
people centered development.
Referensi
Fredmann, John, 1992, Empowerment: The Politics of Alternative Development,
Cambridge: Blackwell Publisher.
Geertz, Clilfford. 1984. Culture and Social Change: The Indonesian Case. Man, New Series,
Vol. 19/4, pp. 511-532.
Lawang, Robert M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar
(Cet. Ke-2). Depok: FISIP UI Press.
PSP3 IPB. 2013. Laporan Kegiatan Tahun ke-3 PKPBM Kabupaten Lombok Tengah. Bogor:
PSP3 IPB.

Ritzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Tjondronegoro, Sediono, M.P, 1984, Social Organization and Planned

Development

Rural Java, America: Oxford University Press.


http://www.scbfwm.org/2013/08/16/pengembangan-kelembagaan-yang-mendukungpembangunan-berkelanjutan-dan-penyelamatan-aset-alam.html

in

Anda mungkin juga menyukai