Pendahuluan
Terdapat tiga pilar 3 utama dari pembangunan berkelanjutan
yaitu pengentasan
kemiskinan (poverty eradication), perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan (changing unsustainable pattern of consumption and production), dan
perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi pembangunan ekonomi dan
sosial (protecting and managing the natural resources basis of economic and social
development). Ketiga elemen ini merupakan elemen yang harus terintegrasi dan terkait serta
bergantung satu dengan yang lainnya (interdependensi). Pengentasan kemiskinan menjadi
salah satu fokus pekerjaan yang dilakukan oleh negara-negara berkembang. Menurut Awiati
(2013) kemiskinan merupakan sumber dari degradasi lingkungan hidup/ kualitas sumber daya
alam. Kemiskinan juga menyuburkan korupsi dan mengurangi kemampuan negara dalam
memperbaiki tata pemerintahan yang baik (good governance). Kemiskinan juga mengurangi
kemampuan negara untuk membangun sumber daya manusianya melalui pendidikan serta
mengurangi daya saing terhadap negara-negara lain. Oleh sebab itu, perlindungan daya
dukung ekosistem sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup mensyaratkan adanya
upaya sungguh-sungguh untuk memberantas kemiskinan.
Strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia dilakukan dengan berbagai cara yang
semuanya bermuara pada tujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Munculnya program-program pengentasan kemiskinan dari pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, dan juga swasta mewarnai berbagai strategi dalam mencapai titik pengurangan
angka kemiskinan. Berdasarkan pengamatan penulis, terdapat beberapa pandangan yang
kemudian melihat strategi pengentasan kemiskinan tersebut sebagai upaya nyata atau pun
memiliki agenda tersendiri (dianggap untuk mengangkat citra baik institusi tertentu). Namun
dalam hal ini, penulis mencoba menilai secara objektif dari kacamata struktural fungsional
1
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Kemiskinan, Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB,
Diampu oleh Dr. Saharudin
2
Mahasiswa semester 2 Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB
3
Santosa (2003) dalam Awiati (2013), Pengembangan Kelembagaan yang Mendukung Pembangunan
Berkelanjutan dan Penyelamatan Aset Alam, http://www.scbfwm.org/2013/08/16/pengembangankelembagaan-yang-mendukung-pembangunan-berkelanjutan-dan-penyelamatan-aset-alam.html
munculnya kalangan orang kaya yang membantu orang miskin dengan berbagai badan amal.
Fungsi kultural meliputi: 11) kemiskinan menyediakan tenaga fisik yang diperlukan untuk
pembangunan monumen-monumen kebudayaan; 12) kultur sosial orang miskin sering
diterima pula oleh strata sosial yang berada di atas mereka. Fungsi politik meliputi: 13) orang
miskin berjasa sebagai kelompok gelisah atau menjadi musuh bagi kelompok politik
tertentu; 14) Pokok isu mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam masyarakat (terutama di
AS) selalu diletakkan di atas masaah bagaimana membantu orang miskin; 15) kemiskinan
menyebabkan sistem politik (di AS) menjadi lebih centrist dan stabil.
Implikasi dari pendapat Gans adalah bahwa jika orang ingin menyingkirkan
kemiskinan, maka orang harus mampu mencari alternatif untuk orang miskin berupa aneka
macam fungsi baru. Alternatif yang diusulkan oleh Gans adalah otomatisasi. Otomatisasi
dapat menggantikan fungsi si miskin yang semula mengerjakan pekerjaan kotor, untuk
kemudian dapat dialihkan kepada fungsi yang lain yang memberikan upah lebih tinggi.
Gans menyimpulkan ada tiga alasan mengapa kemiskinan tetap berlangsung di
masyarakat :
1) Kemiskinan masih tetap fungsional terhadap berbagai unit dalam masyarakat.
2) Belum adanya alternatif lain atau baru untuk berbagai pelaksanaan fungsi bagi orang
miskin.
3) Alternatif yang ada masih saja lebih mahal daripada imbalan kesenangan yang
diberikannya.
Kemiskinan akan hilang melalui dua syarat yaitu: 1) bila kemiskinan tersebut sudah
sedemikian tidak berfungsi lagi bagi kemakmuran; 2) bila orang miskin berusaha sekuat
tenaga untuk mengubah sistem yang dominan dalam stratifikasi sosial.
Kemiskinan di Pedesaan
Menurut Lawang (2005) kemiskinan merupakan suatu masalah sosial yang akan tetap
eksis, orang miskin akan tetap ada tergantung garis kemiskinan yang ditentukan dalam
kebijakan pembangunan. Ketika kemiskinan dipandang sebagai masalah sosial maka dengan
kata lain kemiskinan merupakan suatu kondisi yang harus diatasi secara institusional.
Kemiskinan di Indonesia merupakan sebuah kenyataan dalam kehidupan sosial yang diukur
melalui indikator-indikator statistik. Banyak indikator kemiskinan yang dikembangkan di
Indonesia dan hal ini menjadi acuan pengembangan program pengentasan kemiskinan yang
dilakukan oleh berbagai pihak. Beberapa indikator kemiskinan yang dimaksud tercantum
pada tabel 1.
Sumber
Sajogyo (1973)
Badan Pusat
Statistik (BPS)
Badan Koordinasi
Keluarga
Berencana
Nasional
(BKKBN)
Kementrian Sosial
Indikator
Kemiskinan diukur berdasarkan konsumsi beras:
Miskin: pendapatan perkapita per tahun setara dengan 240 kg
beras bagi penduduk perdesaan dan 360 kg beras bagi penduduk
perkotaan
Sangat miskin:
Kemiskinan adalah kondisi ketika seseorang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar yang terdiri dari sandang-pangan-papan (PSP). Batas
garis kemiskinan adalah kebutuhan kalori sebesar 2100 kkal.
Kriteria kemiskinan yang digunakan BKKBN juga sekitar PSP: frekuensi
makan sehari, pakaian yang dimiliki, rumah (lantai, dinding, dan atap),
pengobatan dan ibadah.
Isu kemiskinan pada komunitas adat terpencil dengan ciri-ciri: a)
berbentuk komunitas kecil dan homogen; b) pranata sosial bertumpu pada
hubungan kekerabatan; c) pada umumnya terpencil secara geografis dan
relatif sulit dijangkau; d) pada umumnya hidup dengan ekonomi subsisten;
e) peralatan dan teknologinya sederhana; f) ketergantungan pada
lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi; g)
terbatasnya akses pelayanan sosial; ekonomi, dan politik.
Di dalam
Permendagri tersebut mengatur tiga hal pokok, yaitu : (a) penataan ruang secara partisipatif,
(b) pengembangan pusat pertumbuhan terpadu antar desa, dan (c) penguatan kapasitas
masyarakat, kelembagaan dan kemitraan.
Fasilitasi tersebut kemudian diimplementasikan dalam bentuk kegiatan pelatihan
Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat (PKPBM) yang dilaksanakan di
tingkat kabupaten pada beberapa lokasi terpilih. Pelaksanaan pelatihan PKPBM dilakukan
selama tiga tahun berturut-turut sebagai bentuk program pemberdayaan yang dilakaukan
secara bertahap. Pada tahap awal (tahun pertama) menggunakan pendekatan PRA
(Participatory Rural Appraisal) yang lebih mengedepankan pemahaman masyarakat
pedesaan tentang kondisi dan potensi yang mereka miliki, sehingga mereka dapat membuat
rencana kegiatan dan tindak lanjut yang harus dilakukan. Sedangkan pada tahapan lanjutan
(tahun kedua) pelatihan ini lebih dititikberatkan pada pendekatan PLA (Participatory
Learning and Action) dimana setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan dapat menentukan
skala prioritas dan solusi terhadap rencana kegiatan tindak lanjut yang telah disusun
sebelumnya, sehingga terbangun suatu kesamaan persepsi bersama terhadap pengelolaan
sebuah kawasan perdesaan, baik bagi para peserta maupun kepada fasilitator. Pada tahun
kedua ini, peserta pelatihan membuat rencana kerja tindak lanjut (RKTL) dan juga rancangan
anggaran untuk diusulkan ke Ditjen PMD untuk pengusulan dana bantuan langsung yang
sifatnya stimulan guna mendukung pelaksanaan kegiatan mereka. Kemudian pada tahun
ketiga dilaksanakan evaluasi untuk pelaksanaan kegiatan yang direncanakan dan diusulkan
dievaluasi secara partisipatif di tingkat masyarakat.
Dalam perkembangannya pelaksanaan kegiatan PKPBM sangat ditentukan oleh respon
dan komitmen pemerintah daerah dalam menanggapi program yang ditawarkan dari pusat.
Selain itu ketika sudah terlaksana di daerah, komitmen peserta pelatihan yang berasal dari
perwakilan masyarakat juga menjadi penting. Kesungguhan masyarakat dalam mengikuti
pelatihan serta pemahaman mereka akan materi yang diberikan mendorong pengembangan
kawasan perdesaan yang saling sinergi dan bisa memiliki posisi tawar. Jika dilihat maka
metode yang digunakan dalam PKPBM ini seperti apa yang disebut oleh Herbert Gans
sebagai otomatisasi dimana untuk mengentaskan kemiskinan orang diarahkan untuk bisa
meningkatkan kapasitas diri sehingga bisa melakukan kegiatan yang lebih produktif.
Sebagai sebuah program pengentasan kemiskinan yang memiliki pendekatan
pengembangan kawasan dan kerjasama antardesa,
PKPBM
ini
memiliki skema
pengembangan yang memberikan ruang berbagai pihak untuk ikut terlibat dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat dalam konteks pembangunan daerah. PKPBM memunculkan satu
skema pengurusan baru di tingkat kawasan yang disebut Tim Pengelola Kegiatan (TPK) yang
di dalamnya terdiri dari unsur-unsur berbagai desa yang tergabung dalam kawasan. TPK
dalam hal ini berkoordinasi langsung dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
terutama melalui pintu perantara Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMD).
BPMD berhubungan dengan Ditjen PMD Kemendagri untuk pengurusan dokumen dan
proses koordinasi yang menjembatani masyarakat (TPK) dengan Ditjen PMD. Proses-proses
kerjasama antar berbagai pihak dalam konteks PKPBM ditunjukkan oleh skema pada gambar
3 mengenai kelembagaan pembangunan dalam PKPBM. Ada hubungan yang saling terkait
dari tingkat rumah tangga, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan pusat dalam program
ini dan sekaligus diimbangi dengan peran pendampingan dari expert dari institusi perguruan
tinggi. Tidak hanya itu, peran sektor bisnis (perbankan dan perusahaan) juga dibuka aksesnya
dalam rangka memaksimalkan fungsi guna mencapai tujuan dari program ini.
kawasan KAULA Lombok Tengah bisa dinilai dari bagaimana kondisi masyarakat setelah
program selesai dilaksanakan. Atau dengan kata lain bagaimana mereka mampu untuk
melakukan adaptasi dan berada dalam titik equilibrium. Hal yang patut untuk diapresiasi dari
kinerja TPK untuk kawasan adalah mereka mampu memobilisasi dan mengorganisasikan
masyarakat dalam kawasan untuk membangun ekonomi mandiri. Dalam proses pelaksanaan
program muncul apa yang disebut pembangunan kapal dengan dua basis utama yaitu kapal
PKPBM dan kapal dagang kawasan.
Kapal PKBM dikembangkan oleh masyarakat supaya bangunan PKPBM ini tetap
eksis meskipun program telah selesai dilaksanakan di Lombok Tengah. Hal yang dilakukan
oleh TPK adalah mengkoordinir masyarakat dalam kawasan untuk melakukan arisan dimana
sebagian hasilnya disisihkan guna melaksanakan pertemuan rutin bulanan untuk membahas
program kerja dalam kawasan. Kapal PKBM ini diinisiasi oleh TPK guna membangun
jaringan yang lebih kuat di antara sesama warga di kawasan KAULA serta memungkinkan
komunikasi dengan pihak luar setelah pertemuan rutin dilaksanakan. Kapal dagang kawasan
pada awalnya juga diinisiasi oleh TPK, dimana mereka yang mampu memberikan iuran awal
sebesar Rp 500.000,00 sebagai modal untuk membangun usaha peternakan dan perikanan di
dalam kawasan. Setelah itu warga yang lain secara swadaya memberikan iuran Rp 50.000,per bulan (diikutsertakan dalam iuran untuk arisan) guna mengembangkan kapal dagang
kawasan.
Upaya swadaya tersebut sebagaimana apa yang diungkapkan oleh Fredman (1992)
bahwa pengentasan kemiskinan lebih dipandang sebagai persoalan politik, bukan sebagai
proses bagaimana kebutuhan diidentifikasi dan bagaimana bisa dipenuhi untuk mereka yang
membutuhkan. Fredmann mengajukan gagasan social power sebagai basis pengentasan
kemiskinan dan menjawab gap strategi penuntasan kemiskinan melalui pendekatan
kebutuhan. Social power yang dimaksud terdiri dari delapan elemen yang meliputi: territorial
base (tempat dimana rumahtangga melakukan aktivitas), surplus waktu, pengetahuan dan
keterampilan, akses terhadap informasi, organisasi sosial, jejaring sosial, sumber dan jenis
mata pencaharian, dan sumber finansial. Rumahtangga-rumahtangga miskin yang menjadi
sasaran dari pengentasan kemiskinan memiliki hak untuk terlibat dalam setiap aktifitas yang
dikembangkan dan tidak hanya menjadi objek. Menggaris bawahi tentang social power yang
disebutkan oleh Friedmann mengenai territorial base, hal ini sejalan dengan apa yang
disebutkan Tjondronegoro (1984) bahwa seyogyanya pembangunan untuk kesejahteraan
rakyat berorientasi pada kelompok-kelompok yang berlandakan wilayah dan masih bisa
memenuhi kebutuhannya secara demokratis.
Penutup
Program pengentasan kemiskinan berbasis kawasan perdesaan merupakan salah satu
program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
dan posisi tawar masyarakat. Tujuannya adalah supaya masyarakat mampu melakukan
komunikasi dengan pihak lain dan membangun jejaring kolaborasi yang mampu mendukung
pembangunan dalam konteks kerjasama antardesa (pembangunan kawasan). Program ini
dilihat dari kacamata struktural fungsional sebagai sebuah bentuk upaya untuk membuat
kondisi masyarakat seimbang. Dalam pandangan yang lebih komprehensif, bentuk
keseimbangan ini memanfaatkan social power yang ada di masyarakat dan mengedepankan
people centered development.
Referensi
Fredmann, John, 1992, Empowerment: The Politics of Alternative Development,
Cambridge: Blackwell Publisher.
Geertz, Clilfford. 1984. Culture and Social Change: The Indonesian Case. Man, New Series,
Vol. 19/4, pp. 511-532.
Lawang, Robert M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar
(Cet. Ke-2). Depok: FISIP UI Press.
PSP3 IPB. 2013. Laporan Kegiatan Tahun ke-3 PKPBM Kabupaten Lombok Tengah. Bogor:
PSP3 IPB.
Ritzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Tjondronegoro, Sediono, M.P, 1984, Social Organization and Planned
Development
in