Ejaan Indonesia
Ejaan Indonesia
yang distandardisasikan dan mempunyai makna. Ejaan biasanya memiliki tiga aspek yaitu
1. aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan
penyusunan abjad
2. aspek morfologis yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis
3. aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca.
Dalam sejarah panjang bahasa Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian sistem
ejaan. Diawali tahun 1901 dengan Van Ophuijsen dan terakhir dengan EYD di tahun 1972
hingga sekarang ini.
Di bawah ini sedikit rincian tentang ejaan ejaan tersebut :
3. Ejaan Melindo
Ejaan Melindo (Melayu Indonesia) adalah ejaan dari perumusan ejaan Melayu dan
Indonesia. Perumusan ini berangkat dari Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan,
Sumatera Utara. Pada akhir tahun 1959 dirumuskanlah Ejaan Melindo tersebut. Namun
karena terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, ejaan ini pun urung
diterapkan.
2.1.2
. Setelah perubahan ejaan yang ini yang dikenal dengan ejaan Soewandi, muncullah
reaksi setelah pemulihan kedaulatan (1949) yang melahirkan ide yang muncul dalam
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Waktu itu pejabat Mentri Pendidikan dan
kebudajaan adalah Mr. Muh. Yamin yang memutuskan :
Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf
Penetapan hendaknya dilakukan oleh suatu badan yang kompeten
Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah.
a.
b.
c.
d.
2.1.3
2.1.4
2.1.5
2.1.6
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen.
Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui
sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.
Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum,
rakjat.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan dipada ditulis, dikarang.
Van Ophui jsen Soewandi 1947
1901
Boekoe
Buku
Malum
Maklum
adil
Adil
Pende
Pendek
Ejaan Pembaharuan 1957
Perubahan selanjutnya ialah ejaan pembaruan oleh Prijono sebagai Dekan Fakultas
Universitas Indonesia yang menonjolkan beberapa huruf baru. Kemudian pada Kongres II di
Singapura dicetuskan suatu resolusi untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu di semenanjung
Melayu dengan bahasa Indonesia di Indonesia.
Perubahan ejaan ini melakukan perubahan penting pada huruf <e>dengan pemberian
tanda aksen aigu, bunyi <ng>, <tj>, <nj>, <dj>diganti dengan lambing <>, <tj>, <>, dan
<j>, huruf <j diganti dengan <y>, vocal rangkap /ai/, /au/,/dan /oi/
Ejaan Melindo 1959
Perkembangan selanjutnya ialah disetujinya perjanjianPersekutuan tanah melayu dan
Repoblik Indonesia yang menghasilkan konsep ejaan melindo (Ejaan Melayu-Indonesia).
Dalam konsep ini telah memunculkan huruf-huruf baru. Dengan munculnya huruf baru ini
menjadi suatu kendala karena pada huruf baru ini tidak ditemukannya dalam mesin tik
(kecuali c dan j), sehingga huruf tersebut tidak jadi dipakai atau diciptakanya.
Ejaan LBK 1966
Ketidak setujuan atas konsep melindo, maka muncullah konsep baru yaitu konsep
LBK. Dimana konsep ini sama sekali tidak menggunakan huruf-huruf baru, dn konsepnya
akan menyusun ejaan yang standar semakin penting. Pemyusunan ini dituliskan dalam
seminar sastra 1968 dengan konsep ejaan baru. Konsep tersebut dinamakan Ejaan Lembaga
dan Kesusastraan (LBK).
Ejaan yang disempurnakan 1972
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku sejak
tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan
Soewandi. Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan
pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden
No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang
berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian
ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran
Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah. Sejak saat itulah konsep ini diberi nama ejaan yang Disempurnakan.
Jika dianalogkan dengan Ejaan Van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi, ejaan yang
disempurnakan dapat disebut sebagai Ejaan Mashuri karena Mashurilah yang dengan sepenuh
tenaga sebagai Mentri pendidikan dan kebudayaan, memperjuangkan sampai diresmikan oleh
Presiden.
Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8) Sebelumnya "oe" sudah menjadi "u" saat Ejaan Van Ophuijsen diganti dengan Ejaan
Republik. Jadi sebelum EYD, "oe" sudah tidak digunakan.