Anda di halaman 1dari 13

FARMAKOTERAPI TERAPAN

RHEUMATOID ARTHRITIS

Disusun oleh :
Kelompok 15 Kelas C
Angela Merici Novena S.

1420282955

Angelina Desio Lisarni

1420282956

PROFESI APOTEKER ANGKATAN XXVIII


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2014

RHEUMATOID ARTHRITIS

DEFINISI PENYAKIT
Radang sendi atau artritis reumatoid (bahasa Inggris: Rheumatoid Arthritis, RA)
merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem
kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan dalam waktu lama pada sendi.
Penyakit ini menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan
radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atropi otot dan penipisan
tulang.
ETIOLOGI PENYAKIT
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor
predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi
virus. Penderita RA selalu menunjukkan simtoma ritme sirkadia dari sistem kekebalan
neuroindokrin. RA umumnya ditandai dengan adanya beberapa gejala yang berlangsung
selama minimal 6 minggu, yaitu :
1. Kekakuan pada dan sekitar sendi yang berlangsung sekitar 30-60 menit di pagi hari
2. Bengkak pada 3 atau lebih sendi pada saat yang bersamaan
3. Bengkak dan nyeri umumnya terjadi pada sendi-sendi tangan
4. Bengkak dan nyeri umumnya terjadi dengan pola yang simetris (nyeri pada sendi
yang sama di kedua sisi tubuh) dan umumnya menyerang sendi pergelangan tangan
Pada tahap yang lebih lanjut, RA dapat dikarakterisasi juga dengan adanya nodul-nodul
rheumatoid, konsentrasi rheumatoid factor (RF) yang abnormal dan perubahan radiografi
yang meliputi erosi tulang.
DIAGNOSIS
Pada tahap awal mendiagnosis arthritis rheumatoid bisa sulit. Ada test tunggal yang dapat
mengidentifikasi atritis rheumatoid. American college of rheumatology menggunakan kriteria
sebagai berikut:
1. Kekakuan di pagi hari di sekitar sendi selama 1 jam
2. Pembengkakan atau adanya cairan pada sekitar tiga atau lebih sendi secara bersamaan
3. Setidaknya ada satu daerah yang bengkak, dipergelangan tangan, tangan atau sendisendi jari
4. Atritis menyerang sendi pada kedua sisi tubuh (disebut dengan atritis simetris)
5. Terdapat benjolan di kulit seperti bintil di daerah siku
6. Jumlah rheumatoid yang abnormal pada darah
7. Sinar X merubah tangan dan pergelangan tangan yang khas pada atritis rheumatoid,
dengan kerusakan tulang di daerah sendi yang tekena.

TUJUAN TERAPI
Tujuan terapi pada AR umumnya bersifat simtomatik yang meliputi:
1. Berkurangnya inflamasi sendi, kekakuan sendi dan nyeri
2. Meingkatkan fleksibilitas sendi
3. Mencegah komplikasi sistemik
4. Memperlambat kerusakan sendi, dan
5. Mencapai remisi yang sempurna atau meningkatkan kaulitas hidup
TERAPI NON FARMAKOLOGI
1. Cukup istirahat pada sendi yang mengalami AR
2. Mengurangi BB jika gemuk dan obesitas
3. Fisioterapi (dilakukan beberapa gerakan sendi secara sistematis)
4. Kompres dingin atau panas
5. Pembidaian untuk imobilisasi dan untuk mengistirahatkan satu atau beberapa sendi
6. Pemberdahan untuk memperbaiki deformitas
7. Pasien dengan penyakit yang parah dapat mempertimbangkan prosedur operasi,
seperti : tenosinovektomi, perbaikan tendon, dan penggantian sendi.
8. Pasien diberikan cukup informasi berguna seputar penyakit yang diderita, prosedur
terapi dan pembatasan terapi obat. Hal ini adalah penting, untuk diketahui.
TERAPI FARMAKOLOGI
Obat-obat yang digunakan untuk terapi AR adalah AINS sebagai antiinflamasi atau
analgetik dan DMARDs untuk mengubah perjalanan penyakit dan kortikosteroid untuk
antiinflamasi.
a. AINS
AINS digunakan untuk terapi simtomatik pilihan pertama untuk mengurangi gejala
yang timbul akibat AR seperti nyeri, pembengkakan, dan memperbaiki fungsi sendi.
Nama
Dewasa (mg)
Anak-anak
Diberikan
(mg/kg)
Aspirin
2600-5200
60-100
4 kali
Diklofenak
150-200
3-4 kali
Diflunisal
500-1500
2 kali
Etodolak
200-1200
3-4 kali
Ibuprofen
1200-3200
20-40
3-4 kali
Indometasin
50-200
2-4
2-3 kali
Ketoprofen
150-300
3-4 kali
Meklofenamat
200-400
3-4 kali
Meloksikam
7,5-15
Sekali
Nabumeton
1000-2000
2 kali
Naproksen
500-1000
10
2 kali
Piroksikam
10-20
Sekali
Refekosib
12,5-50
Sekali
Selekosib
200-400
1-2 kali
Sulindak
300-400
2 kali

Tolmetin

600-1800

15-30

3-4 kali

b. DMARDs
AINS merupakan terapi simtomatik untuk nyeri dan inflamasi, terapi efeknya sangan
kecil bahkan tidak ada dalam mengurangi progesif kerusakan tulang, tulang rawan, dan
sendi. Obat obat yang tergolong DMARDs dapat mengubah perjalanan penyakit atau
memperlambat kerusakan pada tulang sendi dan sekitarnya. Obat obat ini bekerja
sangat lambat, oleh karena itu diperlukan terapi dalam jangka lama, yaitu mulai dari 6
minggu sampai 6 bulan.
Obat obat yang dapt berfungsi untuk memperlambat atau mengubah perjalanan
penyakit adalah metotrksak, azathioprin, penisilamin, hidroksuklorokuin/klorokuin,
garam emas sulfasalazin, leuflonamid, dan antagonis tumor necrosis factor (TNF).
Karena obat ini dipakai dalam jangka yang relative panjang maka banyak efek samping
dan efek toksis yang dapat timbul.
1. Metotreksak
Metotreksak adalah DMARD utama untuk terapi AR. Obat ini bermanfaat untuk
terapi AR pada dosis yang lebih rendah dibandingkan untuk terapi kanker.
Metotreksak bekerja menghambat sintesis sitokin dan biosintesis purin yang
bertanggungjawab terhadap timbulnya inflamasi pada AR. Onset obat ini relative
cepat, yaitu 2-3 minggu. Efek toksik dari obat ini terjadi pada lambung (mual,
muntah, stomatitis, diare), hematologi (trombositopernia, leucopenia). Paru-paru
(fibrosis dan pneumositis), dan pada hepar (peningkatan SGPT dan SGOT).
Pemberian obat ini bersama asam folat kemungkinan dapat mengurangi efek toksik
tanpa mengurangi efektivitasnya.
2. Azathioprin
3. Siklosporin
4. Sulfasalazin
5. kortikosteroid
c. TNF- blocking agent
d. Glukojortikoid (Kortikosteorid)

MEKANISME KERJA OBAT DAN INTERAKSI OBAT


a) Golongan Imunosupresan
AZATIOPRIN
Mekanisme kerja
Belum diketahui
Interaksi obat

Alopurinol : peningkatan efek sekaligus peningkatan toksisitas.


Antibakteri : dilaporkan adanya interaksi dengan rifampisin (transplantasi mungkin
ditolak)

Efek samping
Reaksi hipersensitivitas (malaise, pusing, mual, demam, nyeri otot, nyeri sendi,
gangguan fungsi hati, ikterus, aritmia, hipotensi, nefritis intertisial); supresi sumsum
tulang yang bergantung dosis; rambut rontok; rentan terhadap infeksi bila digunakan
bersama kortikosteroid; mual; pancreatitis, pneumonitis; efek terhadap imun respon.

METOTREKSAT
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja belum diketahui, diduga mempengaruhi fungsi imun. Metotreksat
menghambat reduktase asam dihidrofolat dan bertentangan dengan sintesis, perbaikan
dan replikasi DNA.
Interaksi obat

Analgetik : ekskresi dikurangi oleh asetosal, azapropazon, diklofenak, indometasin,


ketoprofen, naproksen, fenilbutazon, dan mungkin AINS lain (meningkatkan resiko
toksisitas).
Antibakteri : efek antifolat ditingkatkan oleh kotrimoksazol dan trimetropim;
ekskresi diturunkan oleh penisilin (meningkatkan resiko toksisitas).
Antiepileptika : fenitoin meningkatkan efek antifolat.
Antimalaria : efek antifolat ditingkatkan oleh pirimetamin (terkandung dalam
Fansidar dam Maloprim).
Siklosporin : meningkatkan toksisitas
Retinoid : kadar plasma metotreksat dinaikan oleh asiterin (juga meningkatkan
resiko hepatotoksisitas).
Urikosurika : ekskresi diturunkan oleh probenesid (meningkatkan resiko
toksisitas).

Efek samping
Mengurangi kesuburan pria dan wanita, harus sangat hati-hati pada ulkus peptikum,
colitis ulseratif, diare dan stomatitis ulseratif (dihentikan bila somatitis timbul, mungkin
tanda pertama dari toksisitas saluran cerna); fotosensitivitas-lesi psoriasis diperparah
oleh radiasi UV (ulserasi kulit dilaporkan).
SIKLOSPORIN
Mekanisme kerja obat
Siklosporin berpotensi sebagai agen imunosupresan pada transplatasi organ.
Siklosporin dapat menurunkan imunitas humoral. Efektifitas siklosporin terlihat dari
inhibisi imunokompeten limfosit yang spesifik dan ireversibel pada fase Go dan G1
dalam siklus sel. Limfosit T dihambat dengan baik. Sel T helper adalah target utama

walaupun sel T supresor juga dihambat. Siklosporin juga menghambat produksi


limpokin dan pelepasan termasuk interleukin-2.
Interaksi obat

Penghambat ACE : meningkatkan resiko hiperglikemia.


Allopurinol : meningkatkan kadar plasma siklosporin (resiko toksisitas)
Analgetik : meningkatkan resiko nefrotoksisitas dengan siklosporin menaikan
kadar plasma diklofenak (mengurangi dosis deklofenak separuhnya).
Antiaritmia : amiodaron dan propafenon menaikan kadar plasma siklosporin.
Antibakteri : aminoglikosida, kotrimoksazol (dan trimetoprin saja), serta 4kuinolon meningkatkan resiko nefrotoksisitas, doksisiklin mungkin menaikkan
kadar plasma siklosporin, eriromisin dan mungkin makrolida lain menaikkan kadar
siklosporin, rifampisin, sulfadimidin intravena, trimetoprim intravena (dan
mungkin sulfadiazine) menurunkan kadar plasma siklosporin.
Antiepileptika : karbamazepin, fenobarbiton, fenitoin, dan primidon mempercepat
metabolisme (mengurangi kadar plasma siklosporin).
Antimalaria : klorokuin menaikkan kadar plasma siklosporin (resiko toksisitas).
Barbiturat dan Primidon : lihat pada antiepileptika.
Antagonis kalsium : diltiazem, nikardipin, dan verapamil menaikkan kadar plasma
siklosporin, siklosporin mengkin menaikkan kadar plasma nifedipin.
Kolkisin
: bisa meningkatkan resiko nefrotoksisitas dan mitotoksisitas
(menaikkan kadar plasma siklosporin)
Kortikosteroid : metilprednison dosis tinggi menaikkan kadar plasma / siklosporin,
siklosporin meaikkan kadar plasma prednisolon.
Sitotoksik : dengan deksorubisin meningkatkan resiko neurotoksisitas, dengan
melfalan menigkatkan resiko nefrotoksisitas, dengan metotreksat meningkatkan
toksisitas.
Diuretik
: diuretik hemat kalium meningkatkan resiko hiperkalemia.
Antagonisme hormone : danazol menghambat metabolisme (menaikkan kadar
plasma siklosporin), oktreotid mengurangi absorpsi ( mengurangi kadar plasma
siklosporin).
Obat hipolipidemik : dengan statin resiko miopati ditingkatkan
Oestrogen dan Progesteron : Progesteron menghambat metabolisme (menaikkan
kadar plasma siklosporin).
Garam kalium : meningkatkan resiko hiperglikemia
Obat antiulkus : simetidin mungkin menaikkan kadar plasma siklosporin.

Efek samping
Kreatinin dan ureum darah meningkat sesuai dengan tinggi dosis; perubahan struktur
ginjal pada penggunaan jangka lama; hipertrikosis; tremor; hipertensi (terutama pada
cangkok jantung); disfungsi hati; kelelahan; hipertrofi gusi; gangguan saluran cerna;
rasa terbakar di tangan dan kaki; kadang-kadang sakit kepala; kulit memerah (mungkin

alergi); anemia ringan; hiperglikemia; hiperurisemia; gout; berat badan naik; udem;
pancreatitis; neuropati; bingung; parestesia; kejang; dismenorea; atau amenorea; lamah
otot; kejang otot; miopati; ginekomastia; colitis; trombositopenia (kadang disertai
gejala uremik hemolitik).
SULFASALAZIN
Mekanisme kerja
Interaksi obat
Sulfasalazin bisa dokimbinasikan dengan sulfonamide. Pengguanaan bersamaan dengan
antibiotic dapat mengubah metabolisme sulfasalazin. Sulfasalazin dapat menghambat
absorpsi asam folat sehingga dapat menyababkan defisiensi asam folat.
Efek samping
Meliputi efek GI (anoreksia, nausea, muntah, diarrhea) dermatologi (rash, urticarid),
hematologi, (leucopenia, agranulositosis), dan hepatic (kelebihan enzim). Gejala GI
dapat diminimalisir dengan mengawali pemakaian dosis rendah pembagian dosis lebih
rata sepanjang hari, dan menggunakan obat dengan makanan.

b) Golongan AINS
Mekanisme kerja obat
Dalam dosis tunggal antiinflamasi nonsteroid (AINS) mempunyai aktivitas analgesic
yang setara dengan parasetamol, tetapi parasetamol lebih disukai terutama untuk pasien
usia lanjut.
Dalam dosis penuh yang lazim AINS sekaligus memperlihatkan efek analgesic yang
bertahan lama yang membuatnya sangat berguna pada pengobatan nyeri berlanjut atau
nyeri berulang akibat radang. Oleh karena itu, walau parasetamol sering mengatasi
nyeri dengan baik pada osteoarthritis, AINS lebih cepat daripada parasetamol atau
analgesic opioid dalam artritis meradang (yaitu artritis rematoid) dan pada beberapa
kasus osteoartritis lanjut.
Hanya sedikit perbedaan dalam aktifvitas antiinflamasi antara berbagai AINS, namun
ada variasi yang cukup besar dalam respon pasien secara individual. Sekitar 60% pasien
akan bereaksi terhadap semua AINS. Sementara yang lainnya ada yang tidak bereaksi
terhadap salah satunya, dan bereaksi baik terhadap yang lain. Efek analgesic normalnya
harus diperoleh dalam selang seminggu, sementara efek antiinflamasi mungkin belum
tercapai. Jika respon memadai belum diperoleh dalam selang waktu itu, harus dicoba
AINS lain.

Perbedaan utama antara berbagai AINS adalah kejadian dan jenis efek samping.
Sebelum pengobatan dimulai dikter yang meresepkan harus mempertimbangkan rasio
manfaat dan risiko efek sampingnya.
Interaksi obat
Interaksi umumnya tidak terjadi pada AINS topical

Penghambat ACE : antagonism efek hipotensif; meningkatkan risiko kerusakan


ginjal dan menaikan risiko hiperglikemia pada pemberian bersama indometasid dan
mungkin AINS lainnya.
Analgetik lain: hindari pemberian bersama dua atau lebih AINS, terutama asetosal
(menambah efek samping)
Resin penukar-anion: kolestiramin menurunkan absorpsi diflunisal.
Antibakteri : AINS dengan 4-kuinon mungkin meningkatkan risiko kejang.
Antikoagulan : meningkatkan risiko pendarahan dengan ketorolak dan semua
antikoagulan ( termasuk heparin dosis rendah)
Antidepresan : moklobemid menambah efek ibuprofen dan mungkin AINS lainnya.
Antidiabetika : efek sulfonylurea ditingkatkan oleh azapropazon, fenilbutazon, dan
mungkin AINS lainnya.
Antiepileptik : efek feniton ditingkatkan oleh azapropazon dan fenilbutazon
Antihipertensi : antagonism efek hipotensif
Beta-bloker : antagonism efek hipotensisf
Bifosfonat : ketersediaan hayati asam tiludronat ditingkatkan oleh indometasin
Glikosida jantung : AINS dapat menyebabkan kambuh gagal jantung, menurunkan
laju filtrasi glomerulus, dan menaikkan kadar plasma glikosida jantung.
Kortikosteroida : menambah risiko pendarahan dan ulserasi saluran cerna
Siklosporin : menambah risiko nefrotoksisitas; siklosporin menaikkan kadar
plasma diklofenak (menurunkan dosis diklofenak separuhnya)
Sitotoksika : ekskresi metotreksat diturunkan oleh asetosal, azapropazon,
diklofenak, indometasin, ketoprofen, naproksen, fenilbutazon, dan mungkin AINS
lain (menambah risiko toksisitas)
Desmopresin : efek dipotensiasi oleh indometasin
Diuretika : risiko nefrotoksisitas AINS ditingkatkan; AINS terutama indometasin
melawan efek diuretika; indometasin dan mungkin AINS lain menambah risiko
hiperglikemia dengan diuretika hemat kalium; kadang dilaporkan tentang
menurunnya fungsi ginjal jika indometasin diberikan bersama triamteren.
Litium : ekskresi litium diturunkan oleh azapropazon, diklofenak, ibuprofen,
indometasin, ketorolak, asam mefenamat, naproksen, fenilbutazon, piroksikam, dan
mungkin AINS lain (kemungkinan toksisitas)
Mifepriston : disarankan untuk menghindari pemberian asetosal dan AINS hingga
8-12 hari setelah pemberian mifepriston.
Relaksan otot : ibuprofen dan mungkin AINS lain menurunkan ekskresi baklofen
(meningkatkan risiko toksisitas)

Tiroksin : kadar total plasma tiroksin rendah palsu dengan fenilbutazon


Obat-obat tukak lambung : kadar plasma azapropazon dinaikkan oleh simetidin
Urikosurik : probenesid menunda ekskresi indometasin, ketoprofen, ketorolak, dan
naproksen (menaikkan kadar plasma)
Vasodilator : risiko pendarahan yang menyertai ketorolak ditingkatkan oleh
okspentifilin

Efek samping
Efek samping beragam tingkat keparahan dan kekerapannya. Kadang timbul rasa tidak
nyaman pada saluran cerna, mual, diare, dan kadang pendarahan dan tukak; dispepsia
bisa ditekan dengan meminum obat ini bersama makanan atau susu. Efek samping lain
termasuk hipersensitivitas (terutama ruam kulit, angiodema, dan bronkospasme), sakit
kepala, pusing, vertigo, gangguan pada darah. Retensi cairan bisa terjadi (jarang sampai
mempercepat gagal jantung kongestif pada pasien usia lanjut). Gagal ginjal mungkin
dipicu oleh AINS khususnya pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap gagal
ginjal. Efek samping lain yang jarang terjadi yaitu nekrosis papilar atau fibrosis
interstisisal yang disebabkan AINS, bisa mengarah pada gagal ginjal. Meningitis
aseptic dilaporkan jarang terjadi dengan AINS; yang terutama rentan mungkin pada
pasien yang mengalami gangguan jaringan ikata seperti lupus eritemosus sistemik.
Kerusakkan hati, alveolitis, pancreatitis, dan perubahan pada mata merupakan efek
samping yang jarang terjadi. Dilaporkan adanya induksi atau memburuknya colitis.
c) Golongan Kortikosteroid
Mekanisme kerja
Kortikosteroid memiliki aktifitas glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga
memperlihatkan efek yang sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme
karbohidrat, protein, dan lipid; efek terhadap kesetimbangan air dan elektrolit; dan efek
terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Kerja obat ini sangat rumit
dan bergantung pada kondisi hormonal seseorang. Namun, secara umum efeknya
dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme KH (glukoneogenesis), dan
efek antiinflamasi.
Kortikosteroid bekerja melalui interaksinya dengan protein reseptor yang spesifik di
organ target, untuk mengatur suatu ekspresi genetik yang selanjutnya akan
menghasilkan perubahan dalam sintesis protein lain. Protein yang terakhir inilah yang
akan mengubah fungsi seluler organ target sehingga diperoleh, misalnya efek
glukoneogenesis, meningkatnya asam lemak, meningkatnya reabsorpsi Na,
meningkatnya reaktifitas pembuluh terhadap zat vasoaktif, dan efek antiinflamasi.
Interaksi obat :

Analgetik : dengan asetosal dan AINS risiko pendarahan dan ulserasi saluran oral
ditingkatkan
Antibakteri : rifampisin mempercepat metabolisme kortikosteroid (menurunkan
efek)

Antidiabetika : antagonism efek hipotensif


Antiepileptika : karbamazepin, fenobarbiton, fenitoin dan primidon mempercepat
metabolisme kortikosteroid (menurunkan efek)
Antihipertensi : antagonism efek hipotensif
Glikosida jantung : meningkatkan toksisitas jika terjadi hipokalemia dengan
kortikosteroid
Siklosporin : kadar plasma siklosporin dinaikkan oleh metilprednisolon dosis
tinggi; siklosporin menaikkan kadar plasma prednisolon
Diuretik : antagonism efek diuretik: azetazolamid, diuretik kuat, dan tiazida
meningkatkan risiko hipokalemia
Antagonis hormon : aminoglutetimid mempercepat metabolisme kortikosteroid
(menurunkan efek)
Obat-obat antiulkus : karbenoksolon meningkatkan risiko hipokalemia

Efek Samping
Penggunaan kortikosteroid jangka lama akan menimbulkan efek samping akibat khasiat
glukortikoid maupun khasiat mineralokortikoid. Efek samping meliputi diabetes dan
osteoporosis yang terutama berbahaya bagi usia lanjut. Pemberian dosis tinggi dapat
menyebabkan nekrosis avaskular dan sindrom Cushing yang sifatnya berpulih
(reversible).
Dapat juga terjadi gangguan mental, euphoria, dan miopati. Pada anak, kortikosteroid
dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan. Sedangkan pada wnaita hamil dapat
mempengaruhi pertumbuhan adrenal anak.
Efek samping mineralokortikoid adalah hipertensi, retensi Na dan cairan, dan
hipokalemia. Efek ini paling jelas pada fludokortison, dan cukup jelas pada kortison,
hidrokortison, kortikotropin. Sementara itu, efek mineralokortikoid betamethason dan
deksametason boleh diabaikan dibandingkan dengan efek glukokortikoidnya yang
sangat kuat. Prednison, prednisolon, metilprednisolon, dan triamnisolon
memperlihatkan efek mineralokortikoid yang ringan.
d) Golongan Emas
AUROTHIOGLUCOSE DAN GOLD SODIUM THIOMALATE
Mekanisme kerja
Mengubah morfologi dan kemampuan fungsional makrofag.
Interaksi obat
-

Efek samping
GI (nausea, muntah, diarrhea), dermatologi (rash,stomatitis), renal (proteinurea,
hematuria), dan hematologi (anemia, leukopenia, trombositopenia). Gold sodium
thiomalate disatukan dengan reaksi nitritoid. Pasien yang menerima IM Gold mungkin
mengalami penyakit post injeksi selama 1 sampai 2 hari setelah injeksi.
e) Golongan Agen Biologi
ETANERCEPT
Mekanisme kerja
Etenarcept adalah leburan protein yang mengandung 2 p-75soluble reseptor TNF
berhubungan dengan fragmen Fc pada IgG1 menuasia. Obat ini terikat dan
menginaktivasi TNF, mencegahnya berinteraksi dengan permukaan sel reseptor TNF
dan dengan demikian mengaktivasi sel.
Interaksi obat
Dengan anakinra dapat meningkatkan infeksi serius
Efek samping
Meliputi reaksi lokal pada bagian injeksi dan sudah dilaporkan pancytopenia dan
neurologic demyelinating syndrome. Tidak ada pengamatan laboratorium yang
diperlukan.
INFLIXIMAB
Mekanisme kerja
Infliximab adalah chimeric anti TNF antibody bersatu pada dosis konstan IgG1
manusia. Obat ini terikat pada TNF dan mencegahnya berinteraksi dengan reseptor
TNF pada sel yang terkena inflamasi.
Interaksi obat
Dengan anakinra dapat meningkatkan infeksi serius
Efek samping
Infliximab dapat meningkatkan resiko infeksi, khususnya infeksi saluran nafas atas.
Reaksi akut dengan ditandai demam, kedinginan, pruritus, dan rash dapat terjadi selama
1 sampai 2 jam setelah pemberian. Autoantibodi dan syndrom seperti lupus juga telah
dilaporkan.
ADALIMUMAB
Mekanisme kerja

Adalimumab (Humira) adlah antibodi IgG1 manusia pada TNF yang kurang antigenik
dibandingkan infliximab. Kecepatan responnya sama dengan inhibitor TNF yang lain.
Interaksi obat
Dengan anakinra dapat meningkatkan infeksi serius
Efek samping
Reaksi lokal pada sisi injeksi merupakan efek samping yang umum dilaporkan pada
percobaan klinik
ANAKINRA
Mekanisme kerja
Anakinra (Kineret) adalah antagonis reseptor IL-1 (IL-1ra) yang terikat pada reseptor
IL-1 pada sel target, mencegah interaksi antara IL-1 dan sel. IL-1 secara normal
menstimulasi pengeluran faktor kemotaktik dan adhesi molekul yang mendorong
leukosit inflammatory bermigrasi ke jaringan.
Interaksi obat
Dengan inhibitor TNF dapat meningkatkan infeksi serius
Efek samping
Reaksi bagian injeksi adalah efek samping paling umum (kemerahan, pembengkakan,
sakit).
f) Obat-obat Ra Lainnya
HIDROKSIKLOROQUIN DAN KLOROKUIN (OBAT ANTIMALARIA)
Mekanisme kerja
Belum diketahui
Interaksi obat

Antasida : menurunkan absorpsi


Antiepileptika : antagonisme efek antikonvulsan
Antimalaria lain : meningkatkan resiko kejang dengan meflokuin, meningkatkan
resiko aritmia dengan halofantrin
Glikosida jantung : mungkin meningkatkan kadar plasma digoksin
Siklosporin : klorokuin menaikkan kadar plasma siklosporin (meningkatkan resiko
toksisitas)
Parasimpatomimetika : klorokuin dan hidroksiklorokuin berpotensi untuk
mempertinggi gejala miastenia gravis dan dengan demikian mengurangi khasiat
neostigmin dan piridostigmin

Obat-obat antiulkus : simetidin menghambat metabolisme klorokuin (menaikkan


kadar plasma)

Efek samping
Gangguan saluran cerna, sakit kepala, kejang, gangguan penglihatan, depigmentasi atau
rambut rontok, reaksi kulit (ruam, pruritus); jarang-jarang depresi sumsum tulang. Bila
overdosis sangat toksis.
PENISILAMIN
Mekanisme kerja
Untuk RA (Rematoid Artritis) belum diketahui
Interaksi obat
Dengan garam emas, antimalaria, imunosupresan atau fenilbutazon dapat menyebabkan
efek samping hematologik dan/atau renal
Efek samping
Meliputi ruam kulit, rasa logam, hipogeusia, stomatitic, anoreksia, nausea, muntah, dan
dispepsia. Glomerulonefritis dapat terjadi, dimana manifestasinya berupa proteinuria
dan hematuria. Penisilamin biasa disediakan untuk pasien yang resisten terhadap terapi
yang lain karena jarang, namun potensial menginduksi penyakit autoimun (sindrom
Goodpasture, miastenia gravis).
Regimentasi dosis :
Evaluasi keberhasilan terapi :
Ciri-ciri klinis perbaikan meliputi reduksi pembengkakan sendi, pengurangan ras sakit
pada sendi yang aktif terkait, dan penurunan urat sampai ke palpasi sendi
Perbaikan gejala meliputi pengurangan sakit sendi dan kelakuan di pagi hari, onset
dengan waktu yang panjang untuk kelelahan di sore hari dan perbaikan kemampuan
dalam penampilan aktivitas harian
Radiograf sendi bisa menjadi penilaian dalam menaksir progres penyakit
Pengamatan laboratorium memberikan nilai yang kecil terhadap pengamatan respon
terapi namun sangat penting untuk mendeteksi dan mencegah efek samping obat
Pasien harus ditanya tentang adanya gejala yang mungkin berhubungan dengan efek
samping obat.

Anda mungkin juga menyukai