Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH PEMBERIAN PbB ASETAT DOSIS TINGGI TERHADAP KETEBALAN

MIELIN N. ISCHIADICUS TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS)


THE EFFECT OF HIGH DOSE LEAD ACETATE ON THE THICKNESS OF MYELIN
N.ISCHIADICUS OF RATTUS NORVEGICUS
Ulfa Elfiah
Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Jember
ABSTRACT
Lead is commonly used in batteries, electrical cabel, and pipe manufacture. Despite its usefulness, lead has some
sentrimental effects such as intoxication by chronic lead exposure results in peripheral neuropathy. This research was to
determine the effect of oral administration of lead acetate to the thickness of mielin n.ischiadicus. The post test only
control group design was used assigning.Thirty male rats into five groups of treatment. Aquadest was administered to
group I. Lead acetate with doses of rats were sacrificed: 65, 125, 250, and 500 mg/kgbw/day were administered to group
II, III, IV, and V. Lead acetate were given daily for 10 weeks and then to make histological preparations from n.ischiadicus
using osmic acid as fixative and toloidin blue as staining agents.The results research showed that oral administration of
lead acetate affected the thickness of mielin with higher does resulted in thinner mielin.
Keywords: thickness of mielin, lead acetate, oral

bersama semua pihak terkait dapat lebih bijaksana dalam


menangani masalah limbah Pb (timbal).

PENDAHULUAN
Timbal mempunyai kegunaan bagi kehidupan manusia misalnya timbal digunakan dalam industri kabel, baterai,
insektisida, bahan pembuat pipa (1). Akan tetapi di sisi lain
timbal dalam jumlah kadar tertentu dapat menimbulkan efek
negatif. Pada sistem saraf pusat timbal dapat menyebabkan
encelopati yang secara klinis ditandai dengan munculnya
ataksia, stupor, koma, dan kejang-kejang. Sedangkan pada
sistem saraf tepi keracunan timbal dapat menyebabkan
neuropati perifer yang secara klinis ditandai adanya wrist
drop dan foot drop (2). Kerusakan pada sistem saraf
khususnya pada anak-anak juga disertai dengan penurunan
intelligence quotient (IQ) yang berakibat anak-anak
cenderung lamban dalam berpikir dan tidak cerdas.
Adanya efek toksik timbal yang cukup berbahaya terhadap sistem saraf ini maka perlu adanya suatu penelitian
baik studi toksisitas terhadap manusia di lapangan maupun
studi eksperimental di laboratorium. Penelitian ini merupakan merupakan jenis penelitian eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh Pb asetat
dengan berbagai tingkatan dosis terhadap ketebalan mielin
n.ischiadicus tanpa melihat perubahan ultrastruktur yang
ada. Hasil yang diperoleh pada hewan uji ini diharapkan
dapat menjadi dasar untuk memperkirakan adanya pengaruh Pb asetat terhadap sistem saraf tepi manusia sehingga
masyarakat lebih berhati-hati dalam menggunakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan timbal dan pemerintah

METODE
Rancangan penelitian ini menggunakan post test
only control group design. Sampel penelitian sebanyak 30
ekor tikus putih, umur 7 minggu dengan berat rerata 80-100
gram. Sampel secara acak dibagi dalam 5 kelompok, yaitu:
1). P1 adalah kelompok kontrol yang mendapatkan aquades
sebagai plasebo, 2). P2 adalah kelompok perlakuan yang
mendapatkan Pb asetat peroral dosis 65 mg/kgbb/hr, 3). P3
adalah kelompok perlakuan yang mendapatkan Pb asetat
peroral dosis 125 mg/kgbb/hr, 4). P4 adalah kelompok
perlakuan yang mendapatkan Pb asetat peroral dosis 250
mg/kgbb/hr, 5). P5 adalah kelompok perlakuan yang
mendapatkan Pb asetat peroral dosis 500 mg/kg bb/hr.
Pb asetat diberikan saat tikus putih berumur 8 minggu dan pemberian diberikan selama 10 minggu menggunakan sonde. Pada akhir masa perlakuan tikus putih dietanasi
kemudian diambil n.ischiadicus extremitas posterior dextra
1 cm dari bagian pangkal. Selanjutnya dibuat sediaan
histologis pada potongan melintang dengan teknik pewarnaan modifikasi pra TEM (Transmission Electron Microscope)
dengan asam osmik sebagai fiksasi dan toloidin blue sebagai pewarna. Teknik ini disebut Pra-TEM karena sediaan
yang dibuat hanya sampai pada pengirisan tebal dengan
ultra mikrotom selanjutnya sampel diukur menggunakan
mikrometer yang sudah ditera di bawah mikroskop cahaya
dengan pembesar 450x. Hasil akhir pengukuran dalam
satuan milimeter yang selanjutnya dirubah dalam satuan
mikrometer.

Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXIII, No. 1, April 2007


Korespondensi: Ulfa Elfiah; Laboratorium Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Jember; email: elfiah@yahoo.com
1

2 Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXIII, No. 1, April 2007

Selain itu pemilihan teknik ini sesuai dengan tujuan


penelitian yang hanya untuk mengetahui efek atau
pengaruh timbal terhadap sistem saraf tepi tanpa melihat
perubahan struktur secara ultramikroskopik.
Evaluasi perubahan yang terjadi adalah dengan cara
mengukur diameter serat saraf dan diameter akson untuk
dapat menentukan ketebalan mielin. Untuk mengurangi bias
pengamatan dilakukan pada 4 lapangan pandang pada
posisi jam 12, 3, 6, dan 9 untuk setiap ulangan. Pada setiap
lapangan pandang dihitung 10-15 serat saraf. Sehingga
hasil pengukuran merupakan rerata dari kelima lapangan
pandang. Kemudian hasil pengukuran masing-masing dosis
perlakuan diambil reratanya untuk ditabulasi kemudian
dibandingkan dengan uji anova pada taraf kepercayaan
0,05. Jika ada perbedaan pengaruh perlakuan yang
bermakna maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop
pembesarn 450x didapatkan data sebagai berikut:
Berdasarkan Tabel 1 tampak nilai rerata diameter
serat saraf semakin kecil dengan bertambahnya dosis.
Pada kontrol ukuran rerata diameter serat saraf kurang

lebih sebesar 4 m kemudian pada dosis 65mg/kgbb/hr


menjadi setengahnya bahkan hampir ukurannya menjadi
sepertiganya pada dosis 500mg/kgbb/hr bila dibandingkan
dengan ukuran diameter serat saraf kontrol. Perubahan
ukuran ini tampak jelas pada gambaran mikrokopik yang
tampak pada Gambar 1 sampai 5. Diametre serat saraf
padaa gambaran mikroskopik meliputi myelin dan akson.
Pada Tabel 2 terlihat ukuran diameter akson tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, rerata ukurannya
berkisar anatra 1,6m baik kontrol maupun pada tikus yang
mendapatkan Pb asetat dosis 65, 125, 250, dan
500mg/kgbb. Gambaran akson ini tampak sebagai bagian
yang berwarma putih dikelilingi oleh bagian yang berwarna
gelap sebagaimana tampak pada gambar hasil
pemeriksaan dibawah mikroskop (lihat Gambar 1-5).
Gambaran myelin merupakan bagian yang berbentuk
seperti cincin pada gambaran mikroskopik yang sebenarnya
merupakan hasil penggunaan diameter serat saraf dan
diameter akson. Hasil pengukuran rerata ketebalan mielin
seperti tampak pada Tabel 3 yang menunjukkan pola
hampir sama dengan Tabel 1, yaitu ukurannya mengalami
perubahan, semakin besar dosis Pb asetat yang diberikan
semakin kecil ukuran ketebalan mielinnya.

Tabel 1. Rerata diameter serat saraf n.ischiadicus


Diameter serat saraf
No Sampel P1=Kontrol (m) P2=65 mg/kgbb/hr (m) P3=125 mg/kgbb/hr (m) P4=250 mg/kgbb/hr (m) P5=500 mg/kgbb/hr (m)
1
4,480
2,690
2,201
1,999
1,862
2
4,318
2,676
2,024
2,000
1,732
3
4,102
2,654
2,181
1,997
1,732
4
4,183
2,676
2,091
1,889
1,709
5
4,048
2,700
2,158
1,997
1,734
6
3,967
2,700
2,249
1,889
1,862
Rerata+SD
4,182+0,190
2,683+1,77E-02
2,151+0,1317
1,963+0,108
1,735+0,116
Keterangan:
P1: kelompok kontrol yang mendapatkan aquades sebagai plasebo
P2: kelompok perlakuan yang mendapatkan Pb asetat peroral dosis 65 mg/kgbb/hr
P3: kelompok perlakuan yang mendapatkan Pb asetat peroral dosis 125mg/kgbb/hr
P4: kelompok perlakuan yang mendapatkan Pb asetat peroral dosis 250 mg/kgbb/hr
P5: kelompok perlakuan yang mendapatkan Pb asetat peroral dosis 500 mg/kgbb/hr

Tabel 2. Rerata diameter akson serat saraf n.ischiadicus


Diameter akson serat saraf
No Sampel
1
2
3
4
5
6
Rerata+ SD

P1=kontrol (m) P2=65 mg/kgbb (m) P3=125 mg/kgbb (m) P4=250 mg/kgbb (m) P5=500 mg/kgbb (m)
1,680
1,507
1,664
1,574
1,687
1,645
1,507
1,574
1,574
1,664
1,642
1,664
1,664
1,754
1,664
1,650
1,664
1,619
1,754
1,664
1,670
1,687
1,597
1,596
1,574
1,670
1,642
1,574
1,596
1,574
1,659+1,58E-02
1,612+0,131
1,615+ 4,12E-02
1,641+0,134
1,639+0,126

Elfiah, Pengaruh Pemberian PB Asetat Dosis Tinggi....

Tabel 3. Rerata ketebalan mielin serat saraf n.ischiadicus


Ketebalan mielin serat saraf
No Sampel
1
2
3
4
5
6
Rerata+ SD

P1=kontrol (m) P2=65 mg/kgbb (m) P3=125 mg/kgbb (m) P4=250 mg/kgbb (m) P5=500 mg/kgbb (m)
2,366
1,010
0,537
0,425
0,175
2,676
1,031
0,450
0,426
0,068
2,483
1,012
0,517
0,243
0,068
2,464
1,026
0,472
0,235
0,045
2,699
1,030
0,561
0,401
0,260
2,325
1,030
0,675
0,293
0,288
2,522+0,189
1,071+0,132
0,535+ 0,117
0,321+0,118
9,58E02+6,53E-02

Gambaran Diameter serat saraf, Akson, dan Mielin


Pada Setiap Perlakuan:

Gambar 1. Gambar serat saraf, akson, dan mielin pada


kelompok P1 yaitu kelompok kontrol yang
hanya mendapatkan plasebo dibawah mikroskop cahaya pembesaran 450x. Mielin
tampak seperti cincin berwarna biru tebal,
akson bagian putih ditengah cincin, serat
saraf adalah meliputi mielin dan akson

Gambar 2. Gambar serat saraf, akson, dan mielin pada


kelompok P2 yaitu kelompok yang mendapatkan dosis Pb asetat 65 mg/kgbb dibawah mikroskop cahaya pembesaran 450x.
Mielin tampak seperti cincin berwarna biru
tebal, akson bagian putih ditengah cincin,
serat saraf adalah meliputi mielin dan akson

Gambar 3. Gambar serat saraf, akson, dan mielin pada


kelompok P3 yaitu kelompok yang mendapatkan dosis 125 mg/kgbb dibawah mikroskop
cahaya pembesaran 450x. Mielin tampak
seperti cincin berwarna biru tebal, akson
bagian putih ditengah cincin, serat saraf
adalah meliputi mielin dan akson

Gambar 4. Gambar serat saraf, akson, dan mielin pada


kelompok P4 yaitu kelompok yang mendapatkan Dosis 250 mg/kgbb dibawah mikroskop
cahaya pembesaran 450x. Mielin tampak
seperti cincin berwarna biru tebal, akson
bagian putih ditengah cincin, serat saraf
adalah meliputi mielin dan akson

4 Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXIII, No. 1, April 2007

Gambar 5. Gambar serat saraf, akson, dan mielin pada


kelompok P5 yaitu kelompok yang mendapatkan dosis 500 mg/kgbb dibawah mikroskop
cahaya pembesaran 450x. Mielin tampak seperti cincin berwarna biru tebal, akson bagian putih ditengah cincin, serat saraf adalah
meliputi mielin dan akson
DISKUSI
Umumnya pada tikus reaksi intoksikasi terhadap Pb
asetat lebih dahulu mengenai saraf perifer dibandingkan
saraf pusat. Alasan ini dikaitkan dengan posisi anatomis
dari saraf perifer yang umumnya berjalan secara
bersamaan dengan pembuluh darah sehingga penumpukan
zat toksik lebih mudah dan lebih awal dibandingkan sistem
saraf pusat. Kerusakan yang dialami oleh n.ischiadicus ini
dikarenakan adanya proses patologi. Proses ini sebagai
bentuk reaksi intoksikasi terhadap Pb asetat. Adapun
bentuk reaksi intoksikasi pada saraf perifer ini berupa reaksi
predominan demielinisasi segmental (2). Pada proses
demielinisasi akibat keracunan timbal ini, sel Schwann
dapat mengalami kerusakan secara langsung. Degenerasi
sel Schwann terjadi karena adanya perubahan ultrastruktur,
yaitu 1). diduga berhubungan dengan adanya gangguan
transport Ca2+ dan 2). adanya edema sel Schwann (1).
Biasanya kerusakan ini dimulai pada daerah sekitar nodus
ranvier. Kerusakan yang dialami oleh sel Schwann akan
berpengaruh terhadap selubung mielin karena selubung
mielin berasal dari tumpukan-tumpukan membran sel
Schwann akibat sitoplasmanya yang terperas dan tersisa
dililitan terluar (4). Akibatnya sarung mielin tidak terbentuk.
Proses lain yang mungkin terjadi akibat intoksikasi timbal
yaitu langsung mempengaruhi selubung mielin yang sudah
ada dengan cara mengganggu struktur membrannya.
Sehungga selubung mielin mengalami proses degenarasi
terlepas dari akson (1,4).
Pada beberapa penelitian dengan menggunakan
mikroskop electron sebagai alat untuk mempelajari tentang
pengaruh pemberian Pb secara kronik pada minuman tikus
juga disebutkan bahwa terjadinya perubahan struktur mielin
sebagai akibat adanya perubahan biofisikal dan biokemis.
Perubahan ini ditunjukkan dengan adanya perubahan

kepadatan membran mielin yang diukur menggunakan


spectrofluorometry dan electron paramagnetic resonance
(EPR) (5). Bahkan pada penelitian yang berbeda
disebutkan Pb dapat mempengaruhi ekspresi gen pada
protein struktural mielin sistem saraf pusat dan keadaan ini
diduga mempengaruhi komposisi protein mielin yang
dibentuk (6).
Pada penelitian ini bukti adanya kerusakan ini dapat
dilihat dari perubahan rerata ukuran diameter ketebalan
mielin seperti yang tampak pada tabel 3 yaitu rerata
ketebalan mielin mempunyai kecenderungan makin
menurun. Kondisi ini juga dibuktikan dari hasil uji LSD yang
menyatakan bahwa ada perbedaan yang sangat bermakna
(p<0,05) antara kelompok kontrol dengan masing-masing
dosis paparan Pb asetat. Hal ini berarti semakin tinggi dosis
yang diberikan semakin tipis ukuran ketebalan mielin
n.ischiadicus dan hasil ini juga menunjukkan bahwa
semakin tinggi dosis yang diberikan tingkat kerusakan
mielin yang dialami oleh n.ischiadicus semakin parah.
Ketebalan mielin ini sangat mempengaruhi ukuran
diameter serat saraf. Dengan demikian semakin tipis mielin
maka ukuran diameter serat saraf n.ischiadicus semakin
kecil begitu sebaliknya. Keadaan ini dapat ditunjukkan
dengan hasil rerata diameter serat saraf n.ischiadicus (tabel
1) yang juga mempunyai kecenderungan makin menurun
seiring dengan peningkatan dosis dengan kata lain semakin
tinggi dosis Pb asetat yang diberikan diameter serat saraf
n.ischiadicus semakin kecil. Secara histologi ukuran normal
diameter serat saraf bermielin mempunyai ukuran diameter
antara 2-17 m (4). Apabila dibandingkan dengan ukuran ini
maka ukuran rerata diameter serat saraf tikus yang
mendapatkan paparan Pb asetat dosis 65 dan 125 mg/kgbb
ukurannya masih dalam kisaran diameter serat saraf
bermielin meskipun lebih kecil dari ukuran kelompok kontrol.
Sedangkan untuk tikus yang mendapatkan dosis 250 dan
500 mg/kgbb ukuran diameternya lebih rendah dari ukuran
normal.
Kerusakan yang terjadi pada mielin n.ischiadicus ini
tidak hanya dipengaruhi oleh dosis Pb asetat yang diberikan
tetapi faktor umur atau usia dari hewan coba juga
menentukan berat ringannya kerusakan. Susunan saraf
pada hewan muda umumnya sangat rentan terhadap efek
toksik dari timbal atau Pb dibandingkan dengan susunan
saraf pada hewan dewasa yang relatif resisten. Hal ini
disebabkan ketidakmatangan sistem pembuluh darahnya
sehingga timbal organik lebih mudah menembus sawar.
Pada penelitian ini hewan coba mendapatkan paparan Pb
asetat pada usia 8 minggu, usia ini merupakan usia dewasa
untuk tikus putih. Sehingga kerusakan yang dialami oleh
hewan coba pada penelitian ini tidak seberat bila Pb asetat
diberikan pada usia immature (1,3). Keadaan ini dapat
terlihat dari perubahan diameter serat saraf dan ketebalan
mielin yang menunjukkan penurunan dratis saat dosis

Elfiah, Pengaruh Pemberian PB Asetat Dosis Tinggi....

menjadi 250 dan 500mg/kg bb. Sedangkan dosis


dibawahnya belum menunjukkan perubahan yang berarti
bila dibandingkan dengan rerata diameter serat saraf dan
ketebalan mielin kontrol.
Selain dosis dan cara pemaparan faktor lain yang
ikut menentukan berat ringannya kerusakan pada proses
intoksokasi adalah lama pemaparan. Disebutkan bahwa
lama pemaparan mempunyai korelasi yang sama seperti
dosis dan cara pemaparan, semakin lama Pb asetat
dipaparkan konsentrasinya dalam suatu jaringan semakin
tinggi (8). Sehingga semakin tinggi konsentrasinya dalam
jaringan maka kerusakan organ semakin berat.
Sementara itu dari hasil pengamatan didapatkan
rerata diameter akson (tabel 2) tidak menunjukkan
perubahan ukuran dengan semakin bertambahnya dosis.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian Pb asetat kronik
pada hewan coba hanya menyebabkan proses
demielinisasi tanpa menyebabkan proses degenerasi dari

akson. Dengan demikian kerusakan yang dialami oleh tikus


putih dengan Pb asetat kurang bervariasi bila dibandingkan
dengan manusia sebagaimana diungkapkan oleh
Underwood (1992) dalam penelitiannya (7).
Selain pemeriksaan morfologik untuk mengetahui lesi
pada saraf perifer akibat proses intoksikasi dapat dilakukan
dengan menggunakan alat electrophysiology yang mampu
mengukur kecepatan konduksi saraf sehingga disfungsi
saraf motorik secara klinik dapat didiagnosis. Cara ini dapat
diterapkan untuk penelitian langsung pada manusia di
lapangan (9).
Dari hasil dan diskusi diatas dapat disimpulkan
bahwa Pengaruh pemberian Pb asetet dengan berbagai
tingkatan dosis dapat menyebabkan perubahan ukuran
diameter serat saraf dan ketebalan mielin tanpa
menyebabkan perubahan ukuran diameter akson. Semakin
tinggi dosis yang diberikan ukuran diameter serat saraf
makin kecil dan ketebalan mielin makin tipis.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Lu FC. Toksikologi Dasar, Azas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit UI. 1995; 224235.
2. Cassarett LJ and Doulls. The Basic science of Poison. Fifth Edition. USA: The Mcgraw-hill Companies. 1999
3. Anderson WAD. AndersonPatology. Eighth edition. St.Louis, Toronto, Princenton: The C. V. Mosby Company. 1985.
4. Underwood JCE. General and Systematic Patology. Churchill Livingstone: Edinburgh. 1992.
5. Dabrowska-Bouta B, Sulkowski G, Bartosz G, Walski M, Rafalowska U. Crhronic lead intoxication affects the myelin
membrane status in the central nervous system of adult rats. J.Mol Neurosci 1999 aug-Oct; 13 (1-2): 127-139. Diakses
tanggal 8 Juni 2006.
6. Zawia NH, Harry GJ. Exposure to lead- acetate modulates the developmental expression of myelin genes in the rat
frontal lobe. Int J Dev Neurosci.1995 Oct; 13 (6): 639-644. Diakses tanggal 8 Juni 2006
7. Macsween Roderick NM, Whaley Keith. Muirs textbook of Patology. Thirteeth edition. Edward Arnold, Britain. 1992.
8. Bjorklund Hakan, Lind Birger, Piscacator Magnus, Hoffer Barry, Olson Lars. Lead, zinc, and Copper Levels in
Intraocular Brain Tissue Grafts, Brain, and Blood of Lead-Exposure Rats. Toxicology and Applied Pharmacology. New
York: Academic Press. 1981; 60.
9. Mykkanen HM, Dickerson JW, and Lancaster MC. Effect of age on tissue distribution of lead in rats. Toxicology Applied
Pharmacology. 1979; 51, 447-454.

Anda mungkin juga menyukai