Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga kini imunisasi masih menjadi andalan dalam mengendalikan
penyebaran berbagai penyakit infeksi, khususnya penyakit yang banyak menjangkiti
anak-anak. Menurut para pakar imunisasi dunia, sedikitnya sebanyak 10 juta jiwa
dapat diselamatkan pada tahun 2006 melalui kegiatan imunisasi. Bahkan hingga
tahun 2015 sebanyak 70 juta jiwa anak-anak di negara miskin dapat diselamatkan dari
penyakit-penyakit infeksi yang umumnya menjangkiti mereka (www.depkes.go.id,
2006).
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri,
pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan
dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan)
adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang
menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pada tahun 2005 Departemen
Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa lebih dari 10 juta balita meninggal
tiap tahun, dengan perkiraan 2,5 juta meninggal (25%) akibat penyakit yang dapat
dicegah dengan vaksin yang kini ada maupun yang terbaru.
Oleh karena itu sangat jelas bahwa imunisasi sangat penting untuk
mengurangi seluruh kematian anak. Keberhasilan program imunisasi untuk mencapai
target yang diharapkan akan sangat tergantung dari hasil cakupan program tersebut
dan pada akhir Pelita IV ditentukan bahwa cakupan imunisasi harus mencapai 65%
dan pada tahun 1990 secara nasional Indonesia dapat mencapai status Universal
Child Immunization (UCI) yaitu DPT minimal 90%. Berdasarkan latar belakang dan
fenomena di atas, pembahasan mengenai DPT sangat penting untuk dilakukan.

1
Imunisasi
DPT

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Apa itu pengertian Imunisasi DPT ?
2. Apa etiologi dari DPT ?
3. Bagaimana inkubasi dan penularan DPT ?
4. Bagaimana gejala dan tanda penyakit serta diagnosis DPT ?
5. Bagaimana tranmisi DPT ?
6. Apa efek samping Imunisasi DPT ?
7. Bagaimana Pencegahan DPT ?
8. Bagaimana cara pemberian vaksin DPT ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain, sebagai berikut :
Tujuan Umum :
1.
2.
3.
4.

Untuk mengetahui serta memahami pengertian Imunisasi DPT


Untuk mengetahui serta memahami etiologi dari DPT
Untuk mengetahui serta memahami inkubasi dan penularan DPT
Untuk mengetahui serta memahami gejala dan tanda penyakit serta

5.
6.
7.
8.

diagnosis DPT
Untuk mengetahui serta memahami tranmisi DPT
Untuk mengetahui serta memahami efek samping Imunisasi DPT
Untuk mengetahui serta memahami pencegahan DPT
Untuk mengetahui serta memahami cara pemberian vaksin DPT

Tujuan Khusus :
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas
terstruktur dari mata kuliah Asuhan Neonatus Bayi dan Balita.
D.

Metode Penulisan

2
Imunisasi
DPT

Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan pengumpulan data yakni


melalui data diperoleh dari berbagai sumber baik dalam media cetak maupun
elektronik atau internet.

3
Imunisasi
DPT

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Imunisasi DPT


Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu
penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah
dilemahkan atau dimatikan kedalam tubuh. Dengan memasukkan kuman atau bibit
penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang ada pada
saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang
menyerang tubuh.
Imunisasi adalah memasukkan vaksin kedalam tubuh untuk membuat zat anti
untuk mencegah penyakit. Vaksin adalah suatu bahan yang terbuat dari kuman,
komponen kuman, atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin
difteria terbuat dari toksin kuman difteri yang telah dilemahkan. Vaksin Tetanus yaitu
toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Vaksin
Pertusis terbuat dari kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan. Selanjutnya
ketiga vaksin ini dikemas bersama yang dikenal dengan vaksin DPT.
Imunisasi DPT adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit
Difteri, Pertusis, Tetanus dengan cara memasukkan kuman difteri, pertusis, tetanus
yang telah dilemahkan dan dimatikan kedalam tubuh sehingga tubuh dapat
menghasilkan zat anti yang pada saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan
kuman atau bibit ketiga penyakit tersebut (Markum, 2005).
Imunisasi DPT (Diphteri, Pertusis dan Tetanus) merupakan imunisasi yang
digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan
vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya
akan tetapi masih dapat merangsang pembentukkan zat anti (toksoid). Frekuensi
pemberian imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud pemberian pertama zat
anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan
4
Imunisasi
DPT

mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zat
anti yang cukup (Alimul, 2008)

B. Etiologi DPT
1. Difteri
Di sebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan
langsung dapat di lakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat
ditemukan dengan sediaan langsung dan lesi. Dengan

pewarnaan, kuman bisa

tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau, atau merupakan kelompok dengan
formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana,
tetapi lebih baik dalam media yang mengadung K-tellurit atau media Loeffler. Pada
membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama dengan kuman
Diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentsi glikogen,
kanji, glukosa, maltosa, dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti : medium Loeffler,
medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler,
basil ini tumbuh tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular,
berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk dapat dibedakan
menjadi 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu :
a.

Gravis
Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.

b.

Mitis
5
Imunisasi
DPT

Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan


hemolisis eritrosit.
c.

Intermediate
Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.

Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen,
sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi
eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadangkadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia.
Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan
subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian
bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin
baik

in

vivo

maupun

in

vitro.

Kemampuan

suatu

strain

untuk

membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya


bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan
pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih
dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
3. Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan
waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang
membutuhkan waktu 24 jam.

6
Imunisasi
DPT

2. Pertusis
Pertusis atau batuk rejan, atau yang lebih dikenal dengan batuk seratus hari,
disebabkan oleh kuman Bordetella Pertusis atau Hemophilus pertusis, dapat
ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrcintesttimalis, dan traktus genitou
rincrius penderita pertusis atau batuk rejan bersama-sama Bordetella pertusis atau
tanpa adanya Berdetella pertusis. Bordetell pertusis adalah satu-satunya penyebab
pertusis yang ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring dan
ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou.
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Berbentuk batang (coccobacilus).


Tidak dapat bergerak.
Bersifat gram negatif.
Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um.
Tidak berspora, mempunyai kapsul.
Mati pada suhu 55C selama jam, dan tahan pada suhu rendah (0- 10C).
Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten

terhdap penicillin.
i. Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain :
1) Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin).
2) Endotoksin (lipopolisakarida).
j. Melekat ke epitel pernafasan melalui hemaglutinasi filamentosa dan adhesin
yang dinamakan pertaktin.
k. Menghasilkan beberapa antigen , antara lain :
1) Toksin Pertusis (PT).
2) Filamentous hemagglutinin (FHA).
3) Pertactine 69-kDa OMP
4) Aglutinogen fimbriae
5) Adenylcyclase
6) Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide)
7) Tracheal cytotoxin
l. Dapat dibiakkan ke media pembenihan yang disebut berdet gengou (potatoblood-glycerol) yang diberi penisilin G 0,5 mikrogram/ml untuk menghambat
pertumbuhan organisme lain.

7
Imunisasi
DPT

Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :


a. Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis
promoting factor, Islet activating protein (IAP).
b. Adenilat siklase luarsel.
c. Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin- HA).
d. Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bordetella
Pertusis seperti Bordete. B. pertussis ini merupakan satu-satunya penyebab pertusis
endemis dan penyebab biasa pertusis sporadis, terutama karena manusia merupaka
satu-satunya host untuk spesies ini. Penyakit serupa disebut a mild pertussis-like
illness dapat disebabkan oleh B. parapertussis (terutama di Denmark, Republik Ceko,
Republik Rusia, dan Slovakia) dan B. bronchiseptica (jarang pada manusia karena
merupakan patogen yang lazim pada binatang-kucing dan binatang pengerat, kecuali
pada manusia dengan gangguan imunitas dan terpapar secara tidak biasa pada
binatang). Kadang-kadang sindroma klinik berupa batuk yang lama dan tidak
sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan, juga terdapat pada infeksi Adenovirus
(tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory Syncitial Virus, Parainfluenza virus atau Influenza
virus, Enterovirus dan Mycoplasma.
3. Tetanus
Penyakit tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Kuman ini
banyak terdapat dalam kotoran hewan memamah biak seperti sapi, kuda, dan lain-lain
sehingga luka yang tercemar dengan kotoran hewan sangat berbahaya bila kemasukan
kuman tetanus. Tusukan pada paku yang berkarat sering juga membawa Clostridium
tetani ke dalam luka lalu berkembang biak. Pada negara belum berkembang, tetanus
sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan
yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum. Bayi yang baru
lahir ketika tali pusarnya dipotong bila alat pemotongnya kurang bersih dapat juga
kemasukan tetanus.
8
Imunisasi
DPT

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang seperti penabuh genderang


berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Dalam kondisi anaerobik yang
dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam
toksin : tetanospasmi dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak
jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan
kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Toksin ini labil pada pemanasan,
pada suhu 650C akan hancur dalam lima menit.
Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada manusia dewasa mungkin
mengandung organisme ini. Spora juga dapat ditemukan pada permukaan kulit dan
heroin yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk aktif kembali ketika
masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial reduksi jaringan
rendah. Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat bertahan hidup
bertahun tahun jika tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini akan mudah
mati dengan pemanasan 120oC selama 15 20 menit tapi dapat betahan hidup
terhadap antiseptik fenol, kresol.
Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan
potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan organisme anaerob. Tetanolisin ini
diketahui dapat merusak membran sel lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin
(toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang menyebabkan
penyakit. Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal
berdasarkan beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino
polipeptida 151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin ini
mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter glisin dan GABA pada
terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan neurotransmiter inhibisi
dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat. Batas dosis terkecil
tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia adalah 2,5 nanogram

9
Imunisasi
DPT

per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk manusiadengan berat badan 75
kg.
Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin)
yang mula-mula menyebabkan kejang otot dan syaraf perifer setempat. Timbulnya
tetanus ini terutama oleh Clostridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang
dalam dengan perawatan yang salah.

C. Masa Inkubasi Dan Penularan DPT


1. Difteri
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui:
a. Penularan penyakit difteri terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan oleh
penderita ketika batuk atau bersin.
b. Penularan juga dapat terjadi melalui tissue/ sapu tangan atau gelas bekas
minum penderita atau menyentuh luka penderita.
c. Barang rumah tangga, penularan dapat terjadi melalui berbagai barang rumah
tangga yang dipakai bersamaan seperti handuk atau mainan.
2. Pertusis
Masa inkubasi pertusis 6 - 20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7
- 10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang
pada silia epitel thorax mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi
10
Imunisasi
DPT

berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan
makrofag.
3. Tetanus
Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar
(rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya

5-14

hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan dengan terkontaminasi


luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian, biasanya kurang
dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul 4-14 hari setelah
kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
D. Gejala dan Tanda Penyakit serta Diagnosis
1. Difteri
a.

Gejala

Gejala penyakit ini mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Tanda pertama dari difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan gejala yang
menyerupai pilek biasa. Bakteri akan berkembang biak dalam tubuh dan melepaskan
toksin (racun) yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan membuat penderita menjadi
sangat lemah dan sakit.Gejala-gejala lain yang muncul, antara lain:
1)
2)
3)
4)
5)

Menelan sakit, batuk keras dan suara menjadi parau


Mual dan muntah-muntah
Demam, menggigil dan sakit kepala
Denyut jantung meningkat
Terbentuk selaput/membran yang tebal, berbintik, berwarna hijau kecoklatan
atau keabu-abuan di kerongkongan sehingga sukar sekali untuk menelan dan

terasa sakit.
6) Bila difteri bertambah parah, tenggorokan menjadi bengkak sehingga
menyebabkan

penderita

menjadi

sesak

nafas,

bahkan

yang

membahayakan lagi, dapat pula menutup sama sekali jalan pernafasan.


11
Imunisasi
DPT

lebih

7) Kelenjar akan membesar dan nyeri di sekitar leher.


8) Kadang-kadang telinga menjadi terasa sakit akibat peradangan
9) Penyakit difteri dapat pula menyebabkan radang pembungkus jantung
sehingga penderita dapat meninggal secara mendadak.
Gejala-gejala ini disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh kuman difteri.
Jika tidak diobati, racun yang dihasilkan oleh kuman ini dapat menyebabkan reaksi
peradangan pada jaringan saluran napas bagian atas sehingga sel-sel jaringan dapat
mati.
Sel-sel jaringan yang mati bersama dengan sel-sel radang membentuk suatu
membran atau lapisan yang dapat menggangu masuknya udara pernapasan. Membran
atau lapisan ini berwarna abu-abu kecoklatan, dan biasanya dapat terlihat. Gejalanya
anak menjadi sulit bernapas. Jika lapisan terus terbentuk dan menutup saluran napas
yang lebih bawah akan menyebabkan anak tidak dapat bernapas. Akibatnya sangat
fatal karena dapat menimbulkan kematian jika tidak ditangani dengan segera.
Racun yang sama juga dapat menimbulkan komplikasi pada jantung dan
susunan saraf, biasanya terjadi setelah 2-4 minggu terinfeksi dengan kuman difteri.
Kematian juga sering terjadi karena jantung menjadi rusak.
Serangan berbahaya pada periode inkubasi 1 sampai dengan 5 hari, jarang
ditemui lebih lama. Dapat menyebabkan infeksi nasopharynx yang menyebabkan
kesulitan bernapas dan kematian. Penyebab utamanya adalah radang pada membran
saluran pernapasan bagian atas, biasanya pharynx tetapi kadang-kadang posterior
nasal passages, larynx dan trakea, ditambah kerusakan menyeluruh ke seluruh organ
termasuk myocardium, sistem saraf, ginjal yang disebabkan eksotosin (Plotkins)
organisme.
Ketika difteri menyerang tenggorokan dan tonsil, gejala awalnya adalah
radang tenggorokan, kehilangan nafsu makan dan demam. Dalam waktu 2-3 hari,
lapisan putih atau aba-abu ditemukan di tenggorokan atau tonsil. Lapisan ini
menempel pada langit-langit dari tenggorokan dan dapat berdarah. Jika terdapat

12
Imunisasi
DPT

pendarahan, lapisan berubah menjai aba-abu kehijauan atau hitam. Penderita difteri
biasanya tidak demam panas tapi dapat sakit leher dan sesak napas.
b. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera
ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi.
Karena preparat smear kurang dapat di percaya, sedangkan untuk biakan
membutuhkan waktu beberapa hari. Adanya membran di tenggorok tidak terlalu
spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya
membran, tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain,
warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat terjadi
pendarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
Diagnosa banding
Pada difteri nasal perdarahan yang timbul harus dibedakan dengan perdarahan
akibat luka dalam hidung,korpus alienium atau sifilis kongenital.
a. Tonsilitis folikularis atau lakunaris
Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus
dianggap sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak
lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.
Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak
terlampau lemah, faring dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih
kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil
saja.
b. Angina plaut vincent
Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak
mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram
positif) dan spirila (gram negatif).
13
Imunisasi
DPT

c. Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa


Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai
pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit
dalam darah tepi.
d. Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia)
Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil. Difteri
laring harus dibedakan dengan laringitis akuta, laringotrakeitis, laringitis membranosa
(dengan membran rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang
semuanya akan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak.
2.

Pertusis
a. Gejala

Penyakit ini cukup parah bila diderita anak balita, bahkan dapat berakibat
kematian pada anak usia kurang dari 1 tahun. Gejalanya sangat khas, yaitu anak tibatiba batuk keras secara terus menerus, sukar berhenti, muka menjadi merah atau
kebiruan, keluar air mata dan kadang-kadang sampai muntah. Karena batuk yang
sangat keras, mungkin akan disertai dengan keluarnya sedikit darah. Batuk akan
berhenti setelah ada suara melengking pada waktu menarik nafas, kemudian akan
tampak letih dengan wajah yang lesu. Batuk semacam ini terutama terjadi pada
malam hari. Bila penyakit ini diderita oleh seorang bayi, terutama yang baru berumur
beberapa bulan, akan merupakan keadaan yang sangat berat dan dapat berakhir
dengan kematian akibat suatu komplikasi. Masa tunas 7 14 hari penyakit dapat
berlangsung sampai 6 minggu atau lebih dan terbagi dalam 3 stadium, yaitu :
1. Stadium kataralis lamanya 1 2 minggu
Pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan, terutama pada malam hari.
Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat dan terjadi serangan dan
malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia. Stadium ini
menyerupai influenza.
14
Imunisasi
DPT

2. Stadium spasmodik lamanya 2 4 minggu


Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal
berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah leher
dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita tampak
gelisah. Gejala gejala masa inkubasi 5 10 hari. Pada awalnya anak yang
terinfeksi terlihat seperti terkena flu biasa dengan hidung mengeluarkan
lendir, mata berair, bersih, demam dan batuk ringan. Batuk inilah yang
kemudian menjadi parah dan sering. Batuk akan semakin panjang dan
seringkali berakhir dengan suara seperti orang menarik nafas (melengking).
Anak akan berubah menjadi biru karena tidak mendapatkan oksigen yang
cukup selama rangkaian batuk. Muntah-muntah dan kelelahan sering terjadi
setelah serangan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari. Selama masa
penyembuhan, batuk akan berkurang secara bertahap.
3. Stadium konvalesensi Lamanya kira-kira 4-6 minggu
Beratnya serangan batuk berkurang. Juga muntah berkurang, nafsu makan pun
timbul kembali. Ronki difus yang terdapat pada stadium spasmodik mulai
menghilang. Infaksi semacam Common Cold dapat menimbulkan serangan
batuk lagi.
b. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya

riwayat

kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis
yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang
pada stadium spasmodik, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena
menyerupai common cold.
15
Imunisasi
DPT

Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
c. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
filamentous hemoaglutinin (FHA) dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA
dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena
menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau
vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling
sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif
daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat
sesudah imunisasi pertussis.
d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama
stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)
f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada
apus nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g. Polymerase chain reaction ( PCR ) assay memiliki keuntungan sensitivitasnya
lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h. Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild interstitial edema)
dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mild peribronchial
cuffing, atau empiema. Konsolidasi (consolidation) merupakan indikasi
adanya

infeksi

bakteri

sekunder

atau pertussis

pneumonia

(jarang).

Adakalanya pneumothorax, pneumomediastinum, atau udara di jaringan yang


lunak dapat terlihat.
Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda vital (vital
signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan darah, nadi, heart rate,
respiration rate, dan suhu tubuh.
3. Tetanus
16
Imunisasi
DPT

a.

Gejala

Gejala tetanus yang khas adalah kejang, dan kaku secara menyeluruh, otot
dinding perut yang teraba keras dan tegang seperti papan, mulut kaku dan sukar
dibuka. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini
berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada
masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi
dalam tiga tahap, yaitu:
1) Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan
gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa
penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita
selama infeksi tetanus masih berlangsung.
2) Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat
sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali.
Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat
menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke
belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat
dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami
tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang
terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
3) Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot.
17
Imunisasi
DPT

Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena
adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan
sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama
akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1) Localited tetanus ( Tetanus Lokal)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan
tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2) Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India),
Luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung.
3) Generalized Tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus
Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa
menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
18
Imunisasi
DPT

retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur
biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai
hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia,
penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
4) Neonatal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi
spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah
terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat
tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal
tetanus.
b.

Diagnosis

Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :


1) Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi.
2) Gejala klinis.
3) Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat, berupa :
1)
2)
3)
4)
5)

Gejala klinik
Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
Kultur: C. tetani (+).
Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria

Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pasca


pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai-nilai spesifik, leukosit dapat normal
atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus
atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging.
Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium
tetani.
19
Imunisasi
DPT

Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadangkadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot. Pemeriksaan
elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya
tidak spesifik.
Diagnosa Banding
1. Meningitis Bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal fungsi, di mana
adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar
protein meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan leukositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat kronik.
4. Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Timbul karenahipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan
fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal
spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6. Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelaianan berupa sindrom
ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis, dan kekakuan otot.
9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,
miositis leher dan spondilitis leher.
E. Transmisi DPT
20
Imunisasi
DPT

1. Difteri
Penularan penyakit difteri terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan
penderita ketika batuk atau bersin. Penularan juga dapat terjadi melalui tissue atau
sapu tangan atau gelas bekas minum penderita atau menyentuh luka penderita.
a. Bersin : Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan
melepaskan uap air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di
sekitarnya terpapar bakteri tersebut.
b. Kontaminasi barang pribadi : Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang
pribadi seperti gelas yang belum dicuci.
c. Barang rumah tangga : Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui
barang-barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti
handuk atau mainan.
Selain itu, kita dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila
menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri dan
belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu bahkan
jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun.
2. Pertusis
Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan
kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik
dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan
mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal)
sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran
penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yang kontak dengan penderita,
diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada
orang sehat tersebut.
Masa penularan terjadi sejak permulaan penyakit sampai 3 minggu
berikutnya. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu
21
Imunisasi
DPT

7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
3. Tetanus
Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil,
menjadi jalan masuknya bakteri menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus
menjadi tempat berkembang dan menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti
operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka menghancurkan, otitis media,
infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan kehamilan.
Pengguna heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara
subkutan dengan kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan
untuk mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung pertumbuhan
bakteri Clostridium tetani.
Selama 1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet
menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di
bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet.
Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Spora
tetanus masuk ke dalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan
tanah, debu jalanan, tinja hewan atau manusia. Spora dapat juga masuk melalui luka
bakar atau luka lain yg sepele atau tidak dihiraukan, juga dapat melalui injeksi dari
jarum suntik yang tercemar yang dilakukan oleh penyuntik liar. Tetanus kadang kala
sebagai kejadian ikutan pasca pembedahan termasuk setelah sirkumsisi. Adanya
jaringan nekrotik atau benda asing dalam tubuh manusia mempermudah pertumbuhan
bakteri anaerobik.
F. Manfaat imunisasi DPT dasar
a) Salah satu upaya agar anak-anak jangan sampai menderita suatu penyakit
adalah dengan jalan memberikan imunisasi. Dengan imunisasi ini tubuh akan
membuat zat anti dalam jumlah banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap

22
Imunisasi
DPT

penyakit. Jadi tujuan imunisasi DPT adalah membuat anak kebal terhadap
penyakit Difteri, Pertusis, Tetanus.
b) Selain itu manfaat pemberian imunisasi DPT adalah :
1.
Untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan
terhadap penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus.
2.
Apabila terjadi penyakit tersebut, akan jauh lebih ringan dibanding
terkena penyakit secara alami.
c) Secara alamiah sampai batas tertentu tubuh juga memiliki cara membuat
kekebalan tubuh sendiri dengan masuknya kuman-kuman kedalam tubuh.
Namun bila jumlah yang masuk cukup banyak dan ganas, bayi akan sakit.
Dengan semakin berkembangnya teknologi dunia kedokteran, sakit berat
masih bisa ditanggulangi dengan obat-obatan. Namun bagaimanapun juga
pencegahan adalah jauh lebih baik dari pada pengobatan (Markum, 2005).

G. Jadwal Imunisasi DPT


a) Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali, karena saat imunisasi pertama belum
memiliki kadar antibody protektif terhadap difteri dan akan memiliki kadar
antibody setelah mendapatkan imunisasi 3 kali dengan interval 4 minggu.
b) Imunisasi DPT tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah dan anak
yang menderita penyakit kejang demam kompleks. Jika tidak boleh diberikan
pada anak dengan batuk yang diduga mungkin sedang menderita batuk rejan.
Bila pada suntikan DPT pertama terjadi reaksi yang berat maka sebaiknya
suntikan berikut jangan diberikan DPT lagi melainkan DT saja (tanpa P).
c) DPT biasanya tidak diberikan pada anak usia kurang dari 6 minggu,
disebabkan respon terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedangkan
respon terhadap tetanus dan difteri adalah cukup baik tanpa memperdulikan
adanya antibody maternal (Markum, 2005).
d) Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan
pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang
23
Imunisasi
DPT

telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah


dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau
intramuscular pada bayi yang berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan
interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada.
Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada
reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran
menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya
pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).
H. Efek Samping Imunisasi DPT
a) Kira-kira pada separuh penerima DPT akan terjadi kemerahan, bengkak
dan nyeri pada lokasi injeksi. Proporsi yang sama juga akan menderita
demam ringan. Anak juga sering gelisah dan menangis terus menerus
selama beberapa jam pasca suntikan. Kadang-kadang terdapat efek
samping yang lebih berat seperti demam tinggi atau kejang yang biasanya
disebabkan oleh unsur pertusisnya (Markum, 2005).
b) Efek samping pada DPT mempunyai efek ringan dan efek berat, efek
ringan seperti pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan
demam, sedangkan efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih
empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock
(Alimul, 2008).

I. Pencegahan DPT
1. Difteri
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan terhadap infeksi
tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi taka
akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali.
24
Imunisasi
DPT

Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan
abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi
DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar
dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber
penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak ada
sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi
dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan
dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status
imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono,2008).
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus
dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang
penyuntikan satu dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan
aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek
samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada
permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas .
Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada
saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali.
Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga
orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya
imunisasiaktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga
kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah
menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena
itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan
sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus
25
Imunisasi
DPT

bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika
telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat
kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan
difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh
kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu
kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest: 23minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna,
protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus )
dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang
dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan
untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus,
diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan
interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi diberikan tiga kali
yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis )
merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak sekolah dasar kelas
1.
2. Pertusis
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan
adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui
imunisasi aktif dan pasif.
1) Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
2) Imunisasi aktif
26
Imunisasi
DPT

Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat
dosis tunggal Terdapat 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontra
indikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen
vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian
vaksin pertusis.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
1)

Isolasi
Mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi
dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik
sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3
minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak
mendapatkan antibiotik.

2)

Karantina
Kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak
diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat
publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotik selama 5 hari

3)

dari 14 hari pemberian secara lengkap.


Disinfeksi
Direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang
terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis

3. Tetanus
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan
artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi
luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya
kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam
tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( karena
tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam
konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat
untuk merangsang pembentukan kekebalan).
27
Imunisasi
DPT

Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat


untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak menerima
serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan,
dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada
usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun
sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh
tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih.
Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih
terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan setelah dosis
pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi
vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan
dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk DTap belum
ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang tepat.
Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain
imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur
serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan teknik
aseptik dan pengendalian infeksi. Maternal and Neonatal Tetanus Elimination
(MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur
termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus
neonatorum dan maternal adalah :
1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih;
2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan
3) penyelenggaraan surveilans.
Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia
subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari
kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan
cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi
TT2 selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung
menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi
28
Imunisasi
DPT

TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian
meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009).
4. Pencegahan dengan Program Imunisasi DPT
Pengertian Imunisasi DPT
Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu
penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah
dilemahkan atau dimatikan kedalam tubuh. Dengan memasukkan kuman atau bibit
penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang ada pada
saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang
menyerang tubuh. Imunisasi adalah memasukkan vaksin kedalam tubuh untuk
membuat zat anti untuk mencegah penyakit.
Vaksin adalah suatu bahan yang terbuat dari kuman, komponen kuman, atau
racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin difteri terbuat dari toksin
kuman difteri yang telah dilemahkan. Vaksin Tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang
telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Vaksin Pertusis terbuat dari kuman
Bordetella Pertusis yang telah dimatikan. Selanjutnya ketiga vaksin ini dikemas
bersama yang dikenal dengan vaksin DPT.
Imunisasi DPT adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit
Difteri, Pertusis, Tetanus dengan cara memasukkan kuman difteri, pertusis, tetanus
yang telah dilemahkan dan dimatikan kedalam tubuh sehingga tubuh dapat
menghasilkan zat anti yang pada saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan
kuman atau bibit ketiga penyakit tersebut (Markum, 2005). Imunisasi DPT (Diphteri,
Pertusis dan Tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan vaksin yang mengandung
racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan tetapi masih dapat
merangsang pembentukkan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian imunisasi DPT
adalah tiga kali, dengan maksud pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat

29
Imunisasi
DPT

sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh


membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup (Alimul, 2008)
Manfaat Imunisasi DPT Dasar
Salah satu upaya agar anak-anak jangan sampai menderita suatu penyakit
adalah dengan jalan memberikan imunisasi. Dengan imunisasi ini tubuh akan
membuat zat anti dalam jumlah banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap
penyakit. Jadi tujuan imunisasi DPT adalah membuat anak kebal terhadap penyakit
Difteri, Pertusis, Tetanus. Selain itu manfaat pemberian imunisasi DPT adalah :
1. Untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap
penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus.
2. Apabila terjadi penyakit tersebut, akan jauh lebih ringan dibanding terkena
penyakit secara alami.
Secara alamiah sampai batas tertentu tubuh juga memiliki cara membuat
kekebalan tubuh sendiri dengan masuknya kuman-kuman kedalam tubuh. Namun bila
jumlah yang masuk cukup banyak dan ganas, bayi akan sakit. Dengan semakin
berkembangnya teknologi dunia kedokteran, sakit berat masih bisa ditanggulangi
dengan obat-obatan. Namun bagaimanapun juga pencegahan adalah jauh lebih baik
dari pada pengobatan (Markum, 2005).
J. Cara Pemberian Vaksin DPT
1.

Kocok flakon sehingga endapan vaksin tercampur dengan sempuma dan


dosisnya tepat.

2.

Buka tutup metalnya.

3.

Ambil semprit 2 ml yang steril dengan pinset.

4.

Pasang jarum DPT/DT/TT.

5.

Usaplah karet penutup flakon dengan kapas alkohol (tunggu sampai kering).
30
Imunisasi
DPT

6.

Sedot 0,6 cc vaksin ke dalam spuit.

7.

Cabut jarum dari flakon, semprit ditegakluruskan ke atas untuk melihat


gelembung udara.

8.

Bila ada gelembung udara, ketuklah pelan-pelan supaya gelembung naik ke


atas, lalu doronglah udara tadi, dengan piston hingga gelembung udara tadi ke
luar.

9.

Cara menyuntikan vaksin intramuskular/subkutis. Tepatnya ialah di bagian


tengah pangkal paha luar atau bokong harus hati-hati banyak syaraf (untuk
DPT), sedangkan untuk TT biasanya subkutan pada pangkal lengan.
Bersihkan kulit yang akan disuntik dengan kapas lembab oleh air bersih.
Letakan ibu jari dan telunjuk pada sisi yang akan disuntik dan renggangkan
kulitnya. Intramuskular, tusukan jarum tegak lurus melalui kulit diantara jari
anda sampai masuk ke dalam otot. Subkutan, tusukan jarum membentuk sudut
45 pada tempat yang akan disuntik melalui kulit hingga di bawah kulit. Tarik
piston sedikit untuk meyakinkan bahwa jarum tidak mengenai pembuluh
darah. Dorong piston dengan ibu jari untuk memasukan vaksin, kemudian
cabutlah bila vaksin sudah masuk semua.

31
Imunisasi
DPT

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Imunisasi DPT suatu kombinasi vaksin penangkal difteri, pertusis, dan

tetanus. Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri,
pertusis dan tetanus. Imunisasi dasar vaksin DPT diberikan setelah berusia 2 bulan
sebanyak 3 kali (DPT I,II dan III) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu.
Imunisasi DPT diberikan dengan car injeksi intra muskuler (IM) pada paha sebanyak
0,5 ml. Pemberian dilakukan 3 kali dengan interval 4 minggu. Efek samping
imunisasi DPT yaitu panas, rasa sakit di daerah suntikan, dan peradangan.
B.
-

Saran
Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah
diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat
itu sendiri.
32
Imunisasi
DPT

Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi atau


penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga
masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak
mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta :
Salemba Medika.

Alimul, Aziz. 2008. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Salemba Medika.

Azhali. (2008). Program Imunisasi. (http://www.nakita.com, diakses 5


Oktober 2014)

Depkes RI. 2006. Buku Kesehatan Ibu Dan Anak. Jakarta.

Markum. 2005. Imunisasi DPT. (http://www.blogger.com, diakses 5 Oktober


2014)

Nelson. 2000. Kendala Utama Imunisasi. (http://www.worpress.com, diakses


5 Oktober 2014)

33
Imunisasi
DPT

Nur Muslihatun Wafi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta :
Fitramaya

Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta.

Rukiyah, Ai Yeyeh. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta : TIM

Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka:Jakarta.

34
Imunisasi
DPT

Anda mungkin juga menyukai