Psikolog John F. Schumaker, penulis buku The Age of Insanity: Modernity
and Mental Health yang di dalam bukunya berbicara tentang gangguan kesehatan jiwa dari individu dan masyarakat yang hidup di tempat-tempat yang mengalami ‘modernisasi’ itu akhirnya tidak sanggup hidup lebih lama lagi di tanah kelahirannya sendiri. Dia pun meninggalkan Amerika dan pindah ke negara kecil di belahan bumi selatan, New Zealand. Kepada majalah New Internationalist Magazine dia menceritakan perasaan gundah yang telah membuatnya hengkang itu selalu datang lagi ketika dia mengunjungi kampung halamannya di Wisconsin setelah kepindahannya beberapa tahun lalu. Dengan rinci dia mengungkapkan perasaan tersiksa yang dialaminya ketika dia berada dalam sebuah mall yang ramai pengunjung lengkap dengan ilustrasi suasana ruang dan suara di tempat itu, serta pengamatannya pada seorang anak yang berjalan dengan ibunya yang membawa penuh tentengan belanja. Membacanya, saya langsung teringat dengan suasana mall-mall dan orang-orang di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Solo, Yogya, Balikpapan, Palembang, dan kota2 besar lainnya. Ternyata kalau Amerika cuma seperti itu berarti Amerika juga ada di kampung saya, di Indonesia. Orang Amerika, kata dia, telah mengalami capitalism’s psychological dead end - kebuntuan psikologis akibat kapitalisme - istilah halus yang dia pakai untuk mengatakan ‘penyakit jiwa’ yang ditimbulkan oleh kapitalisme, dimana hidup bertopeng kaleidoskop pilihan-pilihan konsumen. Diapun merasakan ada semacam gangguan jiwa pada dirinya setiap kali dia pulang ke kampung halamannya, existential loneliness, yang kurang lebih berarti merasa kesepian di tengah keramaian. Amerika, yang oleh ilmuwan sosial sering disebut sebagai the all consuming society atau masyarakat yang maha meng-konsumsi itu telah mengekspor budayanya ke seluruh penjuru dunia. Budaya over-konsumsi telah diinstitusikan menjadi sebuah kebutuhan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Rakus, tamak dan serakah sekarang bukan lagi hal tercela, ini merupakan persyaratan mutlak bagi kemajuan ekonomi suatu bangsa. Lulusan perguruan tinggipun beramai2 mengambil program MBA. Sekolah bisnis dan kursus apapun yang dibuat berbau bisnis, menjadi jurusan paling laku di dunia pendidikan. Setiap manusia kini adalah customer, jadi jumlah manusia yang banyak sama dengan pasar yang besar. Ideologi ini telah secara mengagumkan melontarkan perekonomian di banyak negara, jadi siapapun yang mau maju harus mengadopsinya juga. Kejadian berikutnya adalah tragedi kemanusiaan!. Thornton Wilder meramalkan itu di dalam karyanya The Bridge of San Luis Rey. Di sana dia menggambarkan orang-orang yang mabuk-kepayang dengan dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri, dan tentu saja mereka selalu dirundung kecemasan akan apa-apa yang bisa menghalanginya untuk mendapatkan keinginannya itu. Cobalah sejenak kita mengorek di bawah permukaan kemajuan ekonomi suatu tempat, pasti terkuak di sana ada wabah penyakit ketamakan dan keserakahan. Budaya “setiap orang adalah customer” memang telah terbukti sebagai pemenang dari sudut pandang ekonomi yang digerakkan oleh over-konsumsi. Sebelum krisis ekonomi, total aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari belanja pribadi di Amerika adalah 70% - jauh lebih besar dari negara manapun. Belanja pribadi di sana berkisar 50% sampai dua kali lipat dibandingkan dengan semua negara-negara Eropa. Di sana, orang juga tidak perlu malu menjadi penghutang. Tahun 1999 total hutang kartu kredit penduduk Amerika adalah USD 1.5 triliun, sedang total hutang konsumen mencapai USD 6 triliun. Selanjutnya, mari kita tengok bagaimana keadaan sampah di sana. Orang Amerika meninggalkan jejak perusakan lingkungan terbesar di dunia. Strategi ekonomi over-produksi, over-belanja, dan over-konsumsi mereka telah meninggalkan tumpukan sampah yang tinggi. Satu keluarga dengan 4 anggota di sana membuang sampah non-biodegradable, tak terkomposkan dan tak terdaur ulang, sebanyak 15 kg per hari. Mayoritas orang Amerika menganut kaidah ekonomi primitif yang melandasi tindakan mereka menjarah sumber daya alam di negara- negara lain untuk memenuhi hasrat over-konsumsi yang mereka yakini baik bagi kepentingan negaranya sendiri. Keinginan terus berbelanja kini dianggap terhormat. Terus mencari sensasi baru dengan barang baru kini menjadi semacam perbuatan terpuji. Mencari ilmu tidak lagi menjadi tujuan anak muda di sana. Di tahun 1970 hasil survey perguruan tinggi Amerika menunjukkan 80% mahasiswanya bercita-cita membangun filsafat hidup yang bermakna, di tahun 1989 angka itu turun menjadi 41%. Dalam kurun waktu yang sama jawaban ‘ingin menjadi sangat kaya’ meningkat dari 39% menjadi 75% - yang bisa jadi 20 tahun kemudian, yaitu hari ini, menjadi hampir 100%. Telah terjadi pergeseran besar-besaran makna pendidikan di dalam masyarakatnya. Penelitian para ahli kesehatan jiwa menunjukkan bahwa materialisme membawa efek meracuni kesehatan psikologis seseorang dan juga social well-being nya atau kemampuannya hidup bermasyarakat. Orientasi materialistik yang kuat pada seseorang terkait erat dengan rendahnya kemampuan merasa puas dan bersyukur, rendahnya harga diri, ketidak mampuan menghargai persahabatan dan menikmati hal-hal menyenangkan di dalam hidup, serta mudahnya seseorang mengalami depresi. Penelitian mereka menunjukkan tingginya faham materialisme di tengah masyarakat Barat telah menjadi penyumbang utama peningkatan tajam jumlah pasien depresi di sana sebanyak 10 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Kelainan psikologis lain yang terkait dengan materialisme adalah compulsive shopping (belanja berlebihan), consumer vertigo (membeli aneka barang yang sebetulnya dia bisa hidup baik2 saja tanpa itu semua), dan kleptomania. Hiper- materialisme juga memunculkan gangguan kelainan eksistensial seperti chronic boredom (kebosanan kronis), ennui (keengganan), jadedness (lesu-layu), purposelessness (tidak bertujuan), meaninglessness (hampa makna) serta alienation (ter-alienasi). Survei yang dilakukan terapis menunjukkan 40% orang Amerika yang mencari jasa pychoterapy mengalami gangguan2 itu yang sering disebut dengan psychic.deadness atau kematian psikis. Sekali materialisme menjadi epicenter kehidupan seseorang, maka akan sulit baginya untuk merasakan ‘hidup’ yang sesungguhnya, diluar kepungan benda-benda ‘mati’ yang mengelilingi dunia konsumen. Penelitian terkini pada perguruan tinggi Amerika menunjukkan 91% mahasiswa merasakan kehampaan eksistensial. Anak2 di Amerika pun terkena wabah ini. Rata2 anak berusia 8 tahun di sana bisa menyebutkan 30 merek terkenal. Lebih dari 90% anak perempuan berusia 13 tahun menyebutkan shopping sebagai pengisi waktu luang paling favorit yang kemudian diikuti dengan menonton TV. Ahli periklanan dan pemasaran di sana telah berhasil menerapkan strategi indoktrinasi “berbelanja dari buaian ibu sampai liang lahat”. Bukankah membaca tulisan ini seakan kita sedang bercermin melihat wajah sendiri? Amerika yang seperti itu juga ada di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Solo, Yogya, Balikpapan, Palembang, dan kota2 besar lain di Indonesia. Boleh jadi materialisme itu juga yang menyebabkan tingginya kejadian bunuh diri akhir2 ini di sana. Materialisme bisa menjangkiti siapa saja, kaya maupun miskin. Kalau John F. Schumaker yang agnostic saja bisa begitu kritis terhadap materialisme bagaimana dengan kita yang selalu mengaku sebagai orang beragama? Bukankah itu juga maksud pesan Rasulullah pada umatnya, bahwa sebenar-benarnya keburukan adalah tergila-gila pada duniawi. Schumaker menutup wawancara majalah itu dengan pesan “menemukan obat penawar keracunan Amerika harus menjadi prioritas nomer satu bagi komunitas internasional” Sanggupkah kita?
----------------------------
Oleh: Wardah T. Alkatiri
Penulis sedang melakukan penelitian Doktoral Social Science bertema Adaptasi Climate Change di Indonesia, di Lincoln University, New Zealand. Penulis mendapat Master di bidang Islamic Philosophy dari Islamic College for Advanced Stuides (ICAS) Jakarta