Chapter II
Chapter II
LANDASAN TEORI
A. TRUST
1. Pengertian Trust
Dalam buku intimate relationship (Miller, Perlman & Brehm, 2007), trust
didefinisikan sebagai pengharapan bahwa pasangan akan memperlakukan dengan
baik dan secara terhormat (Holmes dalam Miller, Perlman & Brehm, 2007).
Giffin (dalam Rakhmat, 1992) mendefinisikan trust sebagai mengandalkan
perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya
tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko.
Holmes & Rempel (dalam Hendrik & Hendrik,1992) menyatakan bahwa trust
adalah kepercayaan bahwa pasangan tidak hanya akan responsif tetapi akan
berkali-kali mengurangi atau bahkan mengorbankan minatnya untuk membantu
pasangannya.
Menurut Johnson & Johnson (1997), trust merupakan aspek dalam suatu
hubungan dan secara terus menerus berubah serta bervariasi yang dibangun
melalui rangkaian tindakan trusting dan trustworthy. Trusting adalah kemauan
untuk mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk, sedangkan
trustworthy adalah perilaku yang melibatkan penerimaan terhadap kepercayaan
orang lain.
Dari beberapa pengertian di atas dapat di ambil suatu definisi bahwa trust
adalah kepercayaan pada pasangan yang didasarkan pada kemauan untuk
11
Universitas Sumatera Utara
mengambil resiko terhadap akibat baik atau buruk dan menerima kepercayaan dari
pasangan.
b. Trustworthy
Komponen komponen trustworthy:
1) Penerimaan (acceptance): melakukan komunikasi dengan orang lain dan
menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan
2) Dukungan
(support):
hubungan
dengan
orang
lain
yang
diketahui
dari apa yang telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan
yang kuat yang membawa individu untuk melihat elemen untuk trust dan distrust
serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya.
c. Pengalaman Aktual (Actual Experience)
Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk
berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut
sangat kuat di dalam trust, dan sebagian mungkin kuat pada distrust. Sepanjang
berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust memulai untuk
mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah mendefinisikan
sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk
mengenelarisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau
rendahnya trust atau distrust.
d. Orientasi Psikologis (Psychological Orientation)
Deutsch (dalam Lewicki & Wiethoff, 2000) menyatakan bahwa individu
membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi
psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan
sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan
mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Hubungan dengan orang lain
menentukan emosi seseorang. Jika individu tidak menjaga hubungannya dengan
orang lain dengan emosi yang baik, maka emosi tersebut dapat mendorong
individu untuk melakukan tindakan yang akan mencelakakan hubungan yang
telah dijalani.
Menurut Jones & George (dalam Hoy & Moran, 2000), dalam membangun
suatu hubungan, seseorang memutuskan untuk mempercayai orang lain
berdasarkan informasi yang disediakan oleh emosi dimana emosi sangat
berhubungan erat dengan kejadian atau lingkungan khusus yang menghalangi
proses kognitif dan perilaku seseorang. Individu yang tidak bisa menangani
emosinya dengan baik akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan
orang lain (Ciarrchi, Chan, Caputi, & Roberts, 2001).
Oleh sebab itu, diperlukan keterampilan emosi dalam berhubungan dengan
orang lain (Keltner & Heidt, dalam Lopes, Bracket, Nezlek, dkk, 2004). Emosi
positif berhubungan dengan kemampuan bergaul. Sedangkan emosi negatif
menyebabkan orang saling berjauhan. Jadi, individu perlu untuk memproses
informasi yang disediakan oleh emosi dan mengatur emosi dengan kecerdasan
dalam menjalani dunia sosial (Lopes, Braket, Nezlek, dkk, 2004).
B. KECERDASAN EMOSI
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life
with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the
appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Salovey dan Mayer (dalam Clark & Fletcher, 2003) mendefinisikan
kecerdasan emosi sebagai salah satu bentuk kecerdasan sosial yang mencakup
kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain,
membedakannya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan.
Berbeda dengan pengertian yang dikemukakan Salovey dan Mayer yang
menyatakan bahwa kecerdasan emosi berdasarkan kemampuan seseorang , BarOn (dalam Schulze & Roberts, 2005) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
suatu interrelasi dari kemampuan yang memungkinkan individu untuk mengenal,
menggunakan dan mengatur emosi dengan tepat dan produktif sehingga sesuai
dengan tuntutan dan tekanan lingkungan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini menggunakan definisi
kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam Schulze & Roberts,
2005) yaitu suatu interrelasi dari kemampuan yang memungkinkan individu untuk
mengenal, menggunakan dan mengatur emosi dengan tepat dan produktif
sehingga sesuai dengan tuntutan dan tekanan lingkungan.
(Independence):
Kemampuan
untuk
memimpin
dan
interpersonal
membangun
dan
(Interpersonal
mempertahankan
relationship):
kepuasan
Kemampuan
hubungan
yang
menetapkan jarak minimum untuk pacaran jarak jauh yang berkisar dari 100 mil
hingga 421 mil, Helgeson (dalam Kidenda, 2002) menyatakan bahwa pacaran
jarak jauh harus diluar area tertentu, sedangkan Stephen (dalam Kidenda, 2002)
mendefinisikan pacaran jarak jauh sebagai hubungan dimana pasangan berada di
negara lainnya.
Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) menggunakan faktor waktu dan jarak
untuk mengkategorisasikan pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh.
Berdasarkan informasi demografis dari partisipan penelitian yang menjalani
pacaran jarak jauh, didapat tiga kategori waktu berpisah (0, kurang dari 6 bulan,
lebih dari 6 bulan), tiga kategori waktu pertemuan (sekali seminggu, seminggu
hingga sebulan, kurang dari satu bulan), dan tiga kategori jarak (0-1 mil, 2-294
mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002)
ini, ditemukan bahwa pacaran jarak jauh dapat dikategorisasikan berdasarkan
ketiga faktor tersebut.
Pada penelitian ini, pacaran jarak jauh didefinisikan sebagai hubungan dimana
pasangan berada di kota lainnya, telah menjalani pacaran jarak jauh minimal 6
bulan dan mengadakan pertemuan maksimal 1 kali per bulan.
E. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut : Ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan
trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh