Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN TETAP PRAKTIKUM

PENGELOLAAN RAWA LEBAK DAN PASANG SURUT


Nama : Ervansyah Putra

Tanggal : 22 November 2014

NIM : 05121407006

Asisten :

Judul : Pengelolaan Tanaman


Budidaya

1. Jjnn

Dilahan Rawa

Pasang Surut

2. Jkj
3. Jkj
4. H
5. Vv
6. h

I.

PENDAHULUAN

A. Ekosistem Lahan Rawa Pasang Surut


Ekosistem lahan rawa bersifat rapuh yang rentan terhadap perubahan baik
oleh karena alam (kekeringan, kebakaran, kebanjiran) maupun karena kesalahan
pengelolaan (reklamasi, pembukaan, budidaya intensif). Jenis tanah di kawasan
rawa tergolong tanah bermasalah yang mempunyai beragam kendala. Misalnya,
tanah gambut mempunyai sifat kering tak balik dan mudah ambles. Tanah gambut
mudah berubah menjadi bersifat hidrofob apabila mengalami kekeringan. Gambut
yang menjadi hidrofob tidak dapat lagi mengikat air dan hara secara optimal
seperti kemampuan semula. Selain itu, khusus tanah suffidik dan tanah sulfat
masam mudah berubah apabila teroksidasi. Lapisan tanah (pirit) yang teroksidasi
mudah berubah menjadi sangat masam (pH 2-3) dan meningkatnya kelarutan.
Ekosistem lahan rawa memiliki sifat khusus yang berbeda dengan
ekosistem lainnya. Lahan rawa dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut dan
lahan rawa non pasang surut (lebak). Lahan rawa pasang surut adalah lahan yang
airnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut atau sungai, sedangkan lahan lebak
adalah lahan yang airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun di wilayah
setempat atau di daerah lainnya disekitar hulu.
Lahan rawa adalah lahan yang tergenang secara terus menerus akibat
drainase buruk. Lahan rawa di bagi menjadi dua yaitu rawa lebak dan rawa pasang

surut. Lahan rawa pasang surut merupakan lahan yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut.
Lahan pasang surut merupakan suatu lahan yang terletak pada
zone/wilayah sekitar pantai yang ditandai dengan adanya pengaruh langsung
limpasan air dari pasang surutnya air laut atau pun hanya berpengaruh pada muka
air tanah. Sebagian besar jenis tanah pada lahan rawa pasang surut terdiri dari
tanah gambut dan tanah sulfat masam.
Lahan rawa pasang surut jika dikembangkan secara optimal dengan
meningkatkan fungsi dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan yang potensial
untuk dijadikan lahan pertanian di masa depan. Untuk mencapai tujuan
pengembangan lahan pasang surut secara optimal, ada beberapa kendala. Kendala
tersebut berupa faktor biofisik, hidrologi yang menyangkut tata air, agronomi,
sosial dan ekonomi.
Kemudian tanah pasang surut biasanya dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan terutama untuk lahan persawahan. Luas lahan pasang surut yang
dapat dimanfaatkan berfluktuasi antara musim kemarau dan penghujan.
Pemanfaatan lahan pasang surut telah menjadi sumber mata pencaharian penting
bagi masyarakat disekitarnya meskipun belum dapat menggunakannya sepanjang
tahun. Rata - rata lahan pasang surut hanya dapat ditanami sekali dalam
setahunnya selebihnya dibiarkan dalam keadaan bero karena tergenang air.
Tergenangnya lahan pasang surut secara periodik ada kaitannya dengan
kepentingan pembangkit tenaga listrik dan meluapnya air pada musim penghujan.
( Hanggari,2008)
1.

Tipologi Lahan Pasang Surut


Berdasarkan tipologinya lahan pasang surut digolongkan ke dalam empat

tipologi utama, yaitu:


a) Lahan Potensial
Lahan potensial adalah lahan yang paling kecil kendalanya dengan
ciri lapisan pirit (2 %) berada pada kedalaman lebih dari 30 cm, tekstur
tanahnya liat, kandungan N dan P tersedia rendah, kandungan pasir kurang
dari 5 persen, kandungan debu 20 % dan derajat kemasaman 3,5 hingga
5,5 . (Manwan, I. dkk.1992). Lahan potensial yaitu lahan pasang surut
yang tanahnya termasuk tanah sulfat masam potensial dengan lapisan pirit

berkadar 2% terletak pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan


tanah (Jumberi)
b) Lahan Sulfat Masam
Lahan sulfat masam adalah lahan yang lapisan piritnya berada pada
kedalaman kurang dari 30 cm dan berdasarkan tingkat oksidadinya lahan
sulfat masam ini dibagi lagi lahan sulfat masam potensial yaitu lahan
sulfat masam yang belum mengalami oksidasi dan lahan sulfat masam
aktual yaitu lahan sulfat masam yang telah mengalami oksidadi. (Manwan,
I. dkk.1992).
Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi : (a) lahan sulfat
masam potensial, yaitu apabila lapisan piritnya belum teroksidasi dan (b)
lahan sulfat masam aktual, yaitu apabila lapisan piritnya sudah teroksidasi
yang dicirikan oleh adanya horizon sulfurik dan pH tanah < 3,5. (Jumberi,)
c) Lahan Gambut
Lahan gambut/bergambut adalah lahan yang mempunyai lapisan
gambut dan berdasarkan ketebalan gambutnya lahan ini dibagi ke dalam
empat sub tipologi yaitu lahan bergambut, gambut dangkal, gambut dalam
dan gambut sangat dalam, umumnya lahan gambut kahat beberapa unsur
hara mikro yang ketersediaannya sangat penting untu pertumbuban dan
pekermbangan tanaman(Manwan, I. dkk.1992).
Lahan gambut ini dibagi lagi menjadi : (a) lahan bergambut bila
ketebalan lapisan gambut 20-50 cm, (b) gambut dangkal bila ketebalan
lapisan gambut 50-100 cm, (c) gambut sedang bila ketebalan lapisan
gambut 100-200 cm, (d) gambut dalam bila ketebalan lapisan gambut 200300 cm dan (e) gambut sangat dalam bila ketebalan lapisan gambut > 300
cm. (Jumberi,)
(4) lahan salin
lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat intrusi air laut,
sehingga mempunyai daya hantar listrik 4 MS/cm, kandungan Na dalam larutan
tanah 8 15 % (Manwan, I. dkk.1992).
Lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau
intrusi air garam dengan kandungan Na dalam larutan tanah sebesar > 8% selama
lebih dari 3 bulan dalam setahun, sedangkan lahannya dapat berupa lahan
potensial, sulfat masam dan gambut. (Jumberi,?)
Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan

mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau sudah


mengalami proses oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta
kandungan hara gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama
dan kedalaman genangan air banjir, dan (e) keadaan lapisan tanah bawah, atau
substratum.
Penggolongan tipologi lahan pasng surut di atas sangat umum, sehingga
menyulitkan transfer teknologi dalam satu tipologi lahan, oleh karena itu
diusulkan penggelompokkan lahan yang lebih rinci dengan mempertimbangkan
berbagai ciri dan karakteristik yang lebih spesifik
2.4.2

Tipe Luapan air pasang surut


Berdasarkan tipe luapan air, tipe luapan lahan pasang surut: (1) tipe luapan

A bila lahan selalu terluapi air baik pada waktu pasang besar maupun pasang kecil
dan Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan
maupun musim kemarau,; (2) tipe luapan B bila lahannya hanya terluapi oleh air
pasang besar. lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim hujan
saja; (3) lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil,
tetapi permukaan air tanah kurang dari 30 cm dari permukaan tanah. Lahan
bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya
kurang dari 50 cm,; (4) tipe luapan D bila lahannya tidak terluapi oleh air pasang
baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan air tanahnya berada
pada kedalaman lebih dari 30 cm dari permukaan tanah.
Tipologi lahan dan tipe luapan air merupakan acuan yang seharusnya
dipatuhi dalam penerapan paket teknologi agar usahatani yang dikelola dapat
memberikan hasil yang optimal. Paket teknologi usahatani itu sendiri pada garis
besarnya berisi: (1) teknik pengelolaan lahan dan air yang memuat pengaturan
pemasukan dan pengeluaran air baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro,
penataan dan pengeolahan lahan; (2) teknik budidaya yang memuat teknik
budidaya tanaman, ikan dan ternak, di dalamnya meliputi vareitas/jenis yang
cocok, pupuk dan pemupukkan, pencegahan dan pengendalian organisme
penganggu tanaman (OPT), dan; (3) teknik reklamsi lahan. Pengelolaan lahan dan
air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan usahatani di
lahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya lahannya ( Alihamsyah, 2003).
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik di tingkat makro maupun
ditingkat mikro sangat tergantung dengan tipe luapan air pada satu kawasan

tertantu. Pada lahan yang bertipe luapan A diatur dengan sistem satu arah, lahan
yang bertipe luapan B selain dengan sistem satu arah juga disertai dengan sistem
tabat. Sedangkan lahan yang bertipe luapan C dan D dimana sumber air utamanya
adalah air hujan digunakan sistem tabat yang dilengkapi dengan pintu stoplog
untuk menjaga permukaan air tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman dan yang
lebih terpenting adalah agar permukaan air tanah selalu tetap berada pada lapisan
pirit dengan kandungan lebih dari 2% dengan maksud agar tidak terjadi oksidasi.
Pada pengaturan pemasukan dan pengeluaran air satu arah, saluran pemasukkan
dan pengeluaran dibedakan dimana antara saluran pemasukkan dan pengeluaran
dibuatkan pintu engsel (Flape Gate) yang membuka kedalam pada saluran
pemasukkan dan membuka keluar pada saluran pembuangan (Ismail, I.G. dkk.
1993).

Anda mungkin juga menyukai