Mukadimah
Ketika sedang panasnya kondisi timur tengah, akibat penyerangan negeri zionis
Yahudi menyerang Gaza, dunia internasional mengutuk negara tersebut.Tentunya juga
kaum muslimin, dan mereka lebih berhak untuk mengutuknya. Namun, ditengah
panasnya kondisi saat itu, timbul pernyataan yang nampaknya melawan arus yang
datangnya dari dalam tubuh umat Islam sendiri, mereka mengecam orang-orang yang
'mengecam' Israel, dengan alasan Israel adalah nama lain dari Nabi Ya'qub, maka
mengecam Israel sama juga, paling tidak seolah-olah mengecam Nabi Ya'qub
'Alaihissalam. Ini, bukan hanya sekali mereka seperti itu. Mulai dari penentangan
terhadap boikot produk Israel dan Amerika. Mengecam aksi istisyhadiyah para mujahidin
Palestina. Menjelek-jelekkan HAMAS, dan sekarang, mereka menentang dunia Islam
yang sedang mengecam 'Israel', karena Israel adalah Nabi Ya'qub ..!
Benarkah anggapan mereka ini?
Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam adalah BENAR. Hal ini
telah disepakati oleh para Imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.
Inilah fakta sejarah yang tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Namun, kita juga melihat ada fakta
sejarah di zaman modern, dan ini pun tidak bisa diingkari oleh siapa pun juga, bahwa ada sebuah Negara
yang bernama ISRAEL sejak awal berdirinya, terlepas dari apa dibalik motivasi mereka menggunakan
nama itu.
Hal ini sama halnya dengan dua orang yang berbeda tetapi memiliki nama yang sama. Misal,
adanya fakta sejarah bahwa dahulu ada seorang nabi mulia dan menjadi penghulu para Nabi, dan dia
dijuluki Al Amin. Belakangan, di zaman modern ada seorang koruptor bernama Al Amin juga, sehingga
manusia saat ini menyebutnya: Al Amin sang koruptor!! Nah, siapakah Al Amin yang dimaksud oleh
mereka ini? Apakah ini adalah Al Amin julukan Nabi mulia tersebut? Tentu bukan …., Al Amin di sini
sesuai konteks dan maksud mereka adalah Al Amin yang telah melakukan kejahatan korupsi. Hal ini, sama
sekali tidaklah salah menurut syariat.
Faktanya pula, para ulama hadits sering melakukan celaan kepada sebagian perawi hadits seperti
sebutan Al Kadzdzab (pendusta), matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya
munkar) dan lainnya, …. Yang bisa jadi diantara nama perawi tersebut kebetulan sama dengan nama para
nabi. Nah, apakah ini dengan mudahnya disimpulkan bahwa para ahli hadits telah mencela para nabi?
Tentu tidak, bahkan menyimpulkan seperti itu menunjukkan betapa kurang cerdasnya kita. Sebab yang
mereka cela adalah para perusak hadits, yang -qadarallah- nama mereka sama dengan nama para nabi.
Selain itu, para ulama sering menggunakan istilah Israiliyat untuk riwayat-
riwayat yang dianggap berasal atau pengaruh dari ajaran Yahudi yang menyusup ke
dalam kitab-kitab para ulama Islam. Mereka tidak menyebut riwayat Yahudiyat. Namun
demikian, istilah Israiliyat ini oleh para ulama tidak ada yang mengartikan kisah yang
berasal dari Nabi Ya'qub.
Oleh karena itu, ketika banyak manusia mencela Negara Israel lantaran kekejaman mereka
terhadap umat Islam, dengan berbagai kecaman dan kalimat seperti, misal: Israel the Real Terorist, Go To
Hell Israel, dan lainnya. Hal ini tidak bisa disalahkan, sebab yang mereka maksud dari ucapan ini, -dan ini
pun telah maklum dan masyhur- bahwa Israel ini adalah Nama Negara yang didirikan oleh Yahudi. Tak
terpikir oleh mereka, juga oleh orang yang mendengarkannya, ketika mengucapkan kalimat itu adalah
untuk mencela Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam. Amatlah simplistis menyalahkan hal tersebut, hanya karena
nama Israel –dahulu- adalah nama seorang Rasul yang mulia Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam.
Sesungguhnya para ahli ushul telah membuat kaidah agung, yang dijadikan salah satu variable
untuk menentukan dan memutuskan bahwa satu perbuatan itu halal atau haram, benar atau salah. Imam
Tajjuddin As Subki, dalam kitab Al Asybah wan Nazhair telah menulis kaidah yang kelima:
المور بمقاصدها
“Perkara dinilai tergantung maksud-maksudnya.” (Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Darul Kutub
Al ‘Ilmiyah)
Beliau –Rahimahullah- menyebutkan bahwa kaidah ini didasari hadits nabi yang sangat masyhur
yakni:
Kata Innama dalam hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh para pensyarah Al Arba’in An
Nawawiyah, seperti Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syaikh Ismail Al Anshari, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, adalah
berfungsi untuk pembatasan (Lil Hashr). Artinya, “Sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung apa yang
diniatkannya …” Sehingga, balasan yang diperolehnya terbatas pada apa yang diniatkannya, bukan
selainnya.
Niat (An Niyah) – kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin- adalah Al Qashdu (maksud). (Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 5. Mawqi’ Ruh Al Islam)
أن ليس للفاعل من عمله إل نيته أي الذي يرجع إليه من العمل نفعًا أو ضرًا هي النية
“Bahwa, tidaklah bagi seorang pelaku perbuatan melainkan mendapat balasan sesuai niatnya,
yaitu tempat kembalinya nilai sebuah amal, baik manfaat atau mudharatnya adalah niatnya.” (Hasyiyah As
Sindi ‘ala Shahih Al Bukhari, 1/7. Darul Fikr)
Maka, dari itu para ulama menetapkan bahwa seseorang yang sudah berniat untuk batal puasa,
walau pun sampai maghrib dia belum makan minum sama sekali, dia dinilai telah batal puasanya, karena
faktor niatnya itu sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam Fiqhus
Sunnah.
Inilah yang harus dimengerti dengan baik, agar kita tidak terburu-buru memberikan vonis. Saya
akan memberikan beberapa contoh. Kita mengetahui bahwa buah anggur adalah halal dan thayyib. Namun,
ketika dia dirubah menjadi khamr, maka kita tidak menilainya ‘dahulu’ ketika masih anggur. Fiqih
menilainya menurut apa yang ada saat ini, yakni dia adalah Khamr yakni haram.
Memelihara kucing, kura-kura atau biawak adalah boleh-boleh saja, tetapi ketika hewan-hewan
ini disiram air keras, sehingga dia membeku dan berubah menjadi patung, maka hukumnya pun bukan
‘dahulu’ ketika masih menjadi hewan real. Hukumnya adalah hukum patung, karena itulah keadaan mereka
saat sekarang, yakni haram memiliki patung makhluk bernyawa di rumah seorang muslim.
Begitu pula dalam hal ini, sejarah klasik menyebutkan bahwa Israel adalah nama lain dari Nabi
Ya’qub ‘Alaihissalam, dan sampai saat ini pun kita mengakuinya. Namun, fakta hari ini terbentang begitu
jelas, bahwa Israel yang ada saat ini adalah nama dari sebuah Negara yang ditempati oleh bangsa Yahudi.
Dan pengertian inilah yang langsung terbetik manusia ketika mendengar kata ISRAEL. Maka, pengertian
faktual inilah yang menjadi pertimbangan dan pengikat dalam menilainya. Sehingga, mencela Israel
bukanlah berpengertian mencela Nabi Ya’qub, melainkan secara faktual adalah mencela Negara Zionis
Yahudi bernama Israel.
Sebaiknya ..
Setelah kita mengetahui, bahwa secara syar’i tidak mengapa menyebut Israel bagi sebuah Negara
jahat dan penjajah itu, karena itulah yang faktual menurut dokumen modern dan yang difahami oleh
seluruh manusia. Sebagaimana kita boleh memanggil seorang penjahat yang bernama Muhammad dengan
panggilan ‘Muhammad’ pula , karena memang itulah nama yang sesuai dengan akte, KTP, dan dokumen
pribadinya yang dikenal oleh manusia.
Namun, demikian sebaiknya kita perkenalkan kepada masyarakat khususnya umat Islam, bahwa
bangsa Zionis Yahudi tidaklah pantas menyandang nama Israel karena perilakunya yang teramat buruk.
Di sisi lain kita memperkenalkan, bahwa Israel adalah nama Nabi yang mulia, Ya’qub ‘Alaihissalam, yang
coba untuk dirusak oleh sebuah negara yang mencatut namanya menjadi nama Negara tersebut.