Agung Rondonuwu
NIM : 102010396
Kelompok 7
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Barat
Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11470
Email : agunkjuve10@gmail.com
Pendahuluan
Permasalahan penyakit infeksi dalam era globalisasi saat ini, menjadi semakin kompleks dan
tidak mengenal batas dari suatu negara. Penyakit infeksi merupakan ancaman yang tidak akan
pernah surut terhadap masyarakat tanpa peduli usia, gender, gaya hidup, latar belakang etnik
dan status sosio-ekonominya. Penyakit infeksi menyebabkan penderitaan dan kematian serta
menyebabkan beban keuangan yang tidak kecil terhadap masyarakat.
Demam tifoid merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit
menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
Anamnesis
1. Keluhan utama: demam sejak 6 hari yang lalu
2. Bagaimana intensitas demamnya?
3. Demamnya saat kapan saja? Sepanjang hari dan memburuk pada sore-malam hari
4. Adakah nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual, muntah?
5. Kapan terakhir BAB? Fesesnya seperti apa?
6. Adakah perdarahan seperti mimisan, muntah darah, ptekiae?
7. Adakah rasa kedinginan, menggigil?
1
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan yang meningkat. Sifat demam adalah
meningkat perlahan-lahan daan terutama pada sore hari hingga malam hari.
Bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8x per menit
Lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi ujung merah dan tremor )
Hepatomegali
Splenomegali
Meteorismus adalah rasa penuh pada perut(distended/tegang). Disebut juga rasa begah
atau sebah adalah gejala yang sering dijumpai pada penyakit gastrointestinal. Pasien
biasanya mengeluh perut penuh dengan angin/gas, merasa perut membengkak sehingga
pasien merasa kurang nyaman, intake makanan menjadi sukar dan sering diikuti nausea
dan vomitus
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa
disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju
endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.thypi. pada uji widal terjadi
suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.thypi dengan antibody yang disebut aglutinin.
2
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman),
aglutinin H (flagella kuman) dan aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut
hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan terinfeksinya kuman ini. Pembentukkan aglutinin mulai
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut,
mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. pada orang yang telah
sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu, uji widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit. Ada beberapa factor yang memengaruhi uji widal, yaitu pengobatan
dini dengan antibiotic, gangguan pembentukkan antbodi dan pemberian kortikosteroid, waktu
pengambilan darah, daerah endemic atau non endemic, riwayat vaksin, reaksi anamnestic
yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksin, dan factor teknik pemeriksaan antar
laboratorium, akibat aglutinasi silang dan strain Salmonella yang digunkan untuk suspense
antigen.
Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan : telah mendpat terapi antibiotic.
Bila pasien sebelum melakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negative. Volume darah yang kurang
(diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasl biakan bias
negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cairan empedu untuk pertumbuhan kuman. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa
lampau menimbulkan antibody dalam darah pasien. Antibody ini dapat menekan bakterimia
hingga biakan darah negative dan saat pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat
aglutinin akan meningkat.1
Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah
untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S. typhi O9 pada serum pasien, dengan
cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel lateks yang
berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik lateks.
Hasil positif uji tubex ini menunjukan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak
secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil
negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respons
imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel
T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi
terhadap anti O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari keempat sampai lima untuk
infeksi primer dari hari kedua sampai ketiga untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa
uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan tiga macam komponen, meliputi : tabung
berbentuk V (juga berfungsi untuk meningkatkan sensitifitas), reagen A (mengandung
partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S. typhi O9), dan reagen B (mengandung
partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk
antigen O9). Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 l)
dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25 l) reagen A. Setelah itu, 2 tetes reagen
B (50 l) ditambahkan ke dalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya.
Tabung-tabung tersebut kemudian diletakan pada rak tabung yang mengandung magnet dan
diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan
warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan
warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada Tabel berikut.2,3
Tabel 1. Interpretasi hasil uji tubex
Skor Interpretasi
<2
Negative
Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif.
3
Borderline
beberapa
hari
kemudian.
4
4-5
Positif
Positif
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jikas serum tidak mengandung
antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakan pada daerah
mengandung medan magnet (mangnet rak), komponen magnet reagen A akan tertarik pada
magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai
akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum
yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan
berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan
memberikan warna biru pada larutan.
Berbagai penelitian menunjukan uji ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik
(berturut-turut 75-80% dan 75-90%). Pada tahun 2006, di Jakarta, Surya H dkk melakukan
penelitian pada 52 sample darah pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid untuk
membandingkan spesifisitas, sensitifitas, positive predictive value (PPV) dan negative
predictive value uji tubex dengan uji widal. Pada penelitian tersebut, didapatkan sensitifitas
uji tubex sebesar 100% (widal: 53.1%), spesifisitas 90% (widal: 65%), PPV 94.11% (widal:
70.8%), NPV 100% (widal: 46.4%).6
Uji Typidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane
luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen s.typhi seberat
50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi pada specimen
serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti gen
lipopolisakarida (LPS) s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi yang
mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks berwarna, vairan membasahi strip sebelum
diinkubasi dengan reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil
untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-25 0 C di tempat kering tanpa paparan sinar
matahari. 7
Diagnosis banding
Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. DBD
diesebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam virus flavivirus family dari flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106. terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Dalam
laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kucing,
anjing, danb primata. Penelitian pada arthropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi
pada nyamuk Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.
Pada DBD mempunyai keluhan demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diabetes haemorragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (penumpukan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh.1
Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus
plasmodium dari famili plasmodidale. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit
dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi
pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100
plasmodium yang menginfeksi binatang.
Manifestasi malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi malaria.
Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium.
penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
suhu sekeliling atau suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama
berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agen farmakeutika dan bahan
tinja. Seperti anggota lain Enterobakteriaseae, Salmonella memiliki antigen somatik O dan
antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel stabil panas;
sedangkan antigen H adalah protein labil panas yang dapat muncul pada fase 1 atau 2. Skema
Kauffmann-White biasa digunakan untuk mengklasifikasi serotip salmonellae yang
didasarkan pada antigen O dan H. Penggolongan serotip penting secara klinis karena serotip
tertentu cenderung untuk disertai dengan sindrom klinis spesifik dan karena deteksi serotip
yang tidak biasa kadang-kadang secara epidemiologi berguna. Antigen lain adalah
polisakarida kapsul virulen (Vi) ada pada S. typhi dan jarang ditemukan pada strain S.
paratyphi C (S. hirschfeldii).
Skema klasifikasi didasarkan pada reaksi biokimia atau serologis. Teknologi molekuler telah
memungkinkan klasifikasi pada tingkat gena. Hibridisasi DNA telah membuktikan bahwa
organisme Salmonella sangat terkait secara genetik sebagai satu spesies dengan enam
subkelompok. Kebanyakan isolat yang menyebabkan penyakit manusia atau binatang
termasuk subkelompok 1.1,2
(daging), eksresi, atau telur. Insidensi salmonella yang tinggi pada ayam kemasan telah
dipublikasikan secara luas. Di Amerika Setikat insidensi demam tifoid menurun , tetapi
insidensi Salmonella lainnya meningkat tajam. Masalah ini mungkin diperberat dengan
meluasnya penggunaan makanan hewan yang mengandung antimikroba yang membantu
proliferasi salmonella yang resisten obat dan potensi penyebarannya ke manusia.
Setelah infeksi nyata atau subklinis, beberapa individu terus menyimpan salmonella di dalam
jaringan selama waktu yang tidak tentu (carrier permanen sehat). Tiga persen individu yang
sembuh dari tifoid menjadi carrier permanen, mempunyai organisme di dalam kantung
empedu, saluran empedu atau kadang-kadang di dalam usus atau saluran kemih.
Sumber-sumber infeksi yang penting adalah air yang berkontaminasi dengan feses sering
menimbulkan epidemic yang luas, susu dan produk susu apabila pasteurisasi tidak adekuat,
kerang, telur beku atau dikeringkan, daging dan produk daging serta hewan peliharaan seperti
anjing, kucing, kura-kura, dll.2
Patofisiologis1
Masuknya kuman Salmonella thypi dan Salmonella parathypi ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M) selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa.(lihat gambar 2). Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua
kalinya dengan disertainya tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.(lihat gambar 2)
itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan.Yang termasuk gejala khas
Demam tifoid adalah sebagai berikut.
Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena
itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi
(demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.
Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama
dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan
suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang
mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,
merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,sedangkan diare
menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.
Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran.
Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.
Minggu Ketiga
11
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika
terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan
berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari
ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan
terjadinya
tanda-tanda
khas
berupa
delirium
atau
stupor,otot-otot
bergerak
terus,inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi,
juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian
mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan
keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan
penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai
adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
Relaps
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam
waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat
menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps1
Penatalaksaan
Trilogy penatalaksanaan demam tifoid adalah:1,4
-
Pemberian antimikroba
o Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan
secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan
obat ini dapat menurunkan demam rata rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan
penurunan demam dapat terjadi rata rata setelah hari ke-5.
o Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 x 500 mg, demam rat rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
o Kotrimoksazol
Efektivitas obat inidilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk
orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg
dan 80 mg trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu.
o Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB
dan digunakan selama 2 minggu.
13
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
Hasil penurunan demam lebih sedikit lambar pada penggunaan norfloksasin yang
merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik
fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.
o Kombinasi obat Antimikroba
Kombinasi 2 obat antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu
saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang
pernah terbukti ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella.
o Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid
mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.1,4
Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan
berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
demam tifoid yaitu:1,3
Komplikasi intestinal
-
Perdarahan intestinal
14
Pada plaque Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbnetuk
suatu luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain
karenfaktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
(KID) atau gabungan kedua factor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah dapat ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam
dengan factor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas
cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila
transfuse yang diberikan tidak mengimbangi perdarahan yang terjadi maka tindakan
bedah perlu dipertimbangkan.
-
Perforasi usus
Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid
yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh dengan
nyeri perut yang hebat terutama di daeraha kuadran kanan bawah yang kemudian
menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena
adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan
darah turun dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat
menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3)
ditemuka udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukkan terdapatnya perforasi usus pada demam
tifoid. Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah
umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya
penyakit dan mobilitas penderita. Antibiotic diberikan secara selektif bukan hanya
untuk mengobati kuman S.thypi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat
fakultatif dan anaerob pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotic spectrum luas
dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus
dapat diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang
15
cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfuse darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
Komplikasi ekstra-intestinal
-
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor atau
koma) dengan atau disertai kelainan neuroogis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan
otak masih dalam batas normal. Diduga factor social ekonomi buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutris, kebudayaan, dan kepercayaan
yang terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan meningkatkan angka
kematian.
Pencegahan
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat dipelukan karena akan berdampak
cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid, menurunkan
anggaran pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan devisa negara yang berasal dari
wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat negara endemik dan hiperendemik
sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa
( KLB ) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi
sebagai agen penyakit dan faktor penjamu ( host ) serta faktor lingkungan. Secara garis besar
ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu
1.
Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus
karier tifoid
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup sulit dan
memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau daripribadi maupun skala nasional. Cara
pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila
ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan
pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan dan minuman baik tingkat
usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran
lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan,
guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
2.
Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar
orang yang telah diketahui terinfeksi S. typhi.
3.
17
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis dan
non-endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan
dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu golongan
immunokompromais maupun golongan rentan.1
Tingkat preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :
Daerah non endemik. Tanpa kejadian outbreak atau epidemi
Daerah endemik
Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur/buah )
Prognosis
Demam tifoid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Salmonella typhi, yang sampai
saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang masih perlu mendapatkan perhatian. WHO
memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan
500-600 ribu kematian tiap tahunnya, yaitu sekitar 3,5% dari seluruh kasus yang ada di
Indonesia, demam tifoid merupakan penyakit endemik ( penyakit yang selalu ada di
masyarakat sepanjang waktu walaupun dengan angka kejadian yang kecil) dan termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang undang Nomor 6, Tahun 1962 tentang
wabah. Angka kejadian demam tifoid bervariasi di setiap daerah.5
18
Hal ini berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai sanitasi,
lingkungan yang buruk serta pembuanggan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan. Vaksinasi terhadap demam difoid merupakan alternatif untuk pencegahan tifoid.24
Sebanyak 3-5% penderita akan menjadi carrier. Demam tifoid paling sering diderita pada
kelompok umur 12-30 tahun sebanyak (70-80 %). Diikuti kelompok umur 30-40 tahun (1020%).5
Kesimpulan
Jadi, pasien tersebut menderita demam tifoid. Demam tifoid disebabkan oleh kuman
Salmonella thpyi yang dapat masuk ke dalam tubuh kita melalui makanan atau minuman
yang sudah terkontaminasi kuman tersebut. Maka diperlukan penatalaksanaan yang tepat
pada penderita demam tifoid.
Daftar pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 2797-805
2. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 23. Jakarta: EGC;
2008 .p.260-4
3. Mandal BK, Wilkins EG, Dunbar EM Mayon-White RT. Lecture notes: penyakit
infeksi.. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2008.p. 160-4.
4. Davey D. At a glance: medicine. Jakarta:Erlangga; 2003.p.298-9
5. Cahyono JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius: Erlangga;
2010.p.143-4
6. Harijanto PN,Nugroho A,gunawan CA. Malaria dari molekuler ke klinis. Edisi 2.
Jakarta: EGC; 2010.p.206
7. Soedarmo SPS, Garna K, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.p.338-45.
19