Anda di halaman 1dari 9

Teori Kutub Pertumbuhan/Pusat Pengembangan (Growth Pole Theory),

merupakan salah satu teori yang paling dikenal dalam ilmu ekonomi regional.
Teori ini lebih cenderung bersiafat top-down, dimana ide dan kebijakan dibuat
oleh pemerintah untuk diimplemantasikan pada suatu wilyah. Sehingga teori ini
dapat dijadikan sebagai alat yang paling ideal untuk menggabungkan kebijakan
dan program pembangunan wilayah secara terpadu.
Teori ini menyatakan bahwa pembangunan tidak terjadi secara serentak,
tetapi muncul di tempat-tempat tertentu dengan intensitas yang berbeda. Tempattempat itulah yang dinamakan pusat atau kutub pertumbuhan. Kegiatan yang
mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kegiatan industri berskala besar sebagai
penggerak (leading industry). Keberadaan leading industry ini diharapkan dapat
menimbulkan spread effect (efek penjalaran) dan trickling down effect (efek
penetasan). Terbentuknya pusat pertumbuhan dapat terjadi secara alami atau
dengan perencanaan.
Dalam penerapannya, teori kutub pertumbuhan digunakan sebagai alat
kebijakan dalam perencanaan pembangunan daerah. Banyak negara telah
menerima konsep kutub pertumbuhan sebagai alat tranformasi ekonomi dan sosial
pada skala regional. Namun demikian konsep ini banyak mendapat kritik para
ahli, yang pada umumnya berpendapat bahwa penerapan konsep ini cenderung
semakin meningkatkan disparitas wilayah negara sedang berkembang, terutama
antara daerah pusat atau kutub dengan daerah pengaruhnya. Gejala ini disebabkan
karena pusat pertumbuhan yang umumnya adalah kota-kota besar ternyata sebagai
pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial adalah
cukup kuat, sehingga terjadi tarikan urbanisasi dari desa-desa wilayah pengaruh
ke pusat pertumbuhan (kota besar), atau terjadi dampak daerah pusat atau kutub
cenderung lebih banyak menarik sumber daya dari daerah belakang daripada
spread effect yang ditimbulkannya, akibatnya daerah pusat yang lebih maju akan
bertambah maju, sedangkan daerah belakang akan semakin tertinggal.

Beberapa teori mengenai pusat pertumbuhan atau perkembangan wilayah :


Franois Perroux. Perroux (1955)
Teori kutub pertumbuhan yang terkenal dikembangkan oleh Francois
Perraoux seorang ahli ekonomi Perancis yang berpendapat bahwa fakta dasar dari
perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri,
adalah bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak
terjadi secara serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub
perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu
menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang
beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian. Dalam proses pembangunan
akan timbul industri unggulan yang merupakan industry penggerak utama dalam
pembangunan suatu daerah. Keterkaitan antar industri sangat erat, maka
perkembangan industri unggulan akan mempengruhi perkembangan industry lain
yang berhubungan dengan industri unggulan. Pemusatan industri pada suatu
daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian karena akan menciptakan
pola konsumsi yang berbeda antar daerah. Perekonomian merupakan gabungan
dari sistem industri yang relatif aktif dengan industri yang relatif pasif atau
industri yang tergantung industri unggulan.
Petumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang,
tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang
diidentifikasikannya sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya
terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub mempunyai kekuatan
pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini
menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaanperusahaan dan industri-industri serta saling ketergantungannya, dan bukan
mengenai pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara
inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang
ekonomi secara abstrak.

Boudeville (1985)
Mengikuti Perroux, Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan
regional sebagai seperangkat industri- industri sedang berkembang yang berlokasi
di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lanjut dari kegiatan
ekonomi melalui daerah pengaruhnya. Faktor utama dalam ekspansi regional
adalah interaksi antara industri-industri inti yang merupakan pusat nadi dari kutub
perkembangan. industri-industri ini mempunyai ciri-ciri khusus tertentu: tingkat
konsentrasi yang tinggi, elastisitas pendapatan dari permintaan yang tinggi
terhadap produk mereka yang biasanya dijual ke pasar-pasar nasional, efek multi
player dan efek polarisasi lokal yang sangat besar.
Lebih spesifik lagi Boudeville dalam Gore (1985) mendefinisikan kutub
pertumbuhan regional sebagai sekelompok industri yang mengalami ekspansi
yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan
ekonomi lebih lanjut keseluruh daerah pengaruhnya. Konsep-konsep yang
dikemukakan di dalam teori pusat pertumbuhan antara lain:

Konsep leading industries dan perusahaan propulsive


Menyatakan bahwa di pusat kutub pertumbuhan terdapat
perusahaan-perusahaan besar yang bersifat propulsif yaitu perusahaan
yang relatif besar, menimbulkan dorongan dorongan pertumbuhan nyata
terhadap lingkungannya, mempunyai kemampuan inovasi tinggi, dan
termasuk ke dalam industri-industri yang cepat berkembang. Dalam
konsep ini leading industries yaitu: pertama relatif baru, dinamis, dan
mempunyai tingkat teknologi maju yang mendorong iklim pertumbuhan
kondusif ke dalam suatu daerah permintaan terhadap produknya
mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi dan biasanya dijual ke
pasar-pasar nasional. Kedua mempunyai kaitan-kaitan antara industri
yang kuat dengan sektor-sektor lainnya sehingga terbentuk forward
linkages dan backward linkages.

Konsep polarisasi.
Konsep ini mengemukakan bahwa pertumbuhan leading industries
yang sangat cepat (propulsive growth) akan mendorong polarisasi dari
unit-unit ekonomi lainnya ke kutub pertumbuhan.

Konsep spread effect


Konsep ini mengemukakan bahwa pada suatu waktu kualitas
propulsif dinamis dari kutub pertumbuhan akan memencar dan memasuki
ruang-ruang di sekitarnya (Spread effect atau trickling down effect).
Dengan kata lain bersifat mendorong wilayah belakangnya, yang berarti
antara kota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis.
Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan
menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat
mengembangkan diri. Apabila terdapat hubungan yang harmonis dengan
wilayah belakangnya, maka otomatis kota itu akan berfungsi untuk
mendorong wilayah belakangnya. Jadi agar sesuatu konsentrasi kegiatan
ekonomi dapat dianggap pusat pertumbuhan, apabila konsentrasi itu dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi baik ke dalam (diantara berbagai
sektor didalam kota) maupun ke luar (ke wilayah belakangnya).
Adanya Pusat pertumbuhan diharapkan mampu menciptakan efek

pengganda (multiplier effect), yaitu keberadaan sektor-sektor yang saling terkait


dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Apabila ada satu sektor
yang karena permintaan dari luar wilayah, produksinya meningkat; karena ada
keterkaitan membuat banyak sektor lain juga akan meningkat produksinya dan
akan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi
bisa beberapa kali lipat dibanding dengan kenaikan permintaan dari luar untuk
sektor tersebut (sektor yang pertama meningkat permintaannya). Unsur efek
pengganda ini sangat berperan dalam membuat kota itu mampu memacu
pertumbuhan wilayah belakangnya. Karena kegiatan berbagai sektor di kota

meningkat tajam, maka kebutuhan kota akan bahan baku/tenaga kerja yang
dipasok dari wilayah belakangnya akan meningkat tajam pula.

Jhon Friedman (1964)


Teori ini diperkenalkan oleh John Friedmann (1964). Asumsinya adalah
bahwa di sekitar Inti (Core) terdapat daerah pinggiran. Daerah pusat (Core)
ditandai oleh melimpahnya modal dan kurangnya tenaga kerja. Sebaliknya pada
periphery tenaga kerja melimpah dan kurangnya modal.
Ketimpangan modal dan tenaga kerja di antara Core dan Periphery ini
menghasilkan beberapa hal:
1. Pada satu sisi Periphery membutuhkan barang dan jasa dari Core, dan
pada sisi lain kurangnya tenaga kerja di Core merangsang migrasi tenaga
kerja ke periphery.
2. Pada satu sisi, periphery membutuhkan pembayaran-pembayaran atas hasil
barang (khususnya bahan baku industri) dan jasa tenaga kerja dari Core.
Dan di sisi lainnya keterbatasan tenaga kerja dan bahan baku industri di
Core menciptakan stimulus bagi migrasi tenaga kerja dan bahan baku dari
periphery.
3. Keseimbangan antara Core dan Periphery dicapai melalui penyediaan
tenaga kerja dan bahan baku dari Periphery , membuat kekurangan tenaga
kerja di periphery, tetapi meningkatkan upah dan penghasilan (melalui
remitan)

Myrdal (1976)
Gunnar Myrdal (1957), seorang ekonom Swedia, juga menyoroti
ketimpangan spasial (spatial inequalities) melekat dalam model pembangunan
ekonomi yang menekankan pasar bebas. Hal ini dapat dilacak dalam karyanya
yang berjudul Economic Theory and Underdeveloped Regions. Myrdal tidak
percaya bahwa polarisasi spasial secara otomatis akan reversed ketika
pembangunan ekonomi mencapai suatu level tertentu. Menurutnya, manakala
suatu wilayah mulai tumbuh secara ekonomi maka akan ada penarikan sumber
daya manusia, risorsis, dan dana ke daerah tersebut sehingga memberikan

kontribusi bagi pertumbuhan selanjutnya. Dengan demikian terjadi penipisan


kontribusi orang dan risorsis pada pembangunan di wilayah atau daerah lainnya.
Hal ini yang kemudian disebut sebagai backwash effects.
Bagi Myrdal, satu-satunya cara untuk mengurangi efek dari spatial
inequalities

adalah

melalui

intervensi

pemerintah.

Menurutnya,

apabila

perencanaan pemerintah lebih efisien maka tidak perlu ada variasi wilayah dalam
angka pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, ia menyadari sepenuhnya bahwa
dalam banyak situasi pemerintah dalam banyak negara tidak mampu mencapai hal
tersebut (Myrdal 1970). Menurutnya perlu adanya strong states untuk menjamin
agar mekanisme perencanaan dapat diimplementasikan. Keyakinan Myrdal
mengenai

perencanaan

sebagai

suatu

solusi

bagi

masalah-masalah

pembangunan sangat tepat dengan apa yang disebut sebagai sebuah pendekatan
teknokratik Eurocentric.
Setiap daerah mempunyai pusat pertumbuhan yang menjadi daya tarik
bagi tenaga buruh dari pinggiran. Pusat pertumbuhan tersebut juga mempunyai
daya tarik terhadap tenaga terampil, modal, dan barang-barang dagangan yang
menunjang pertumbuhan suatu lokasi. Demikian terus-menerus akan terjadi
pertumbuhan yang makin lama makin pesat atau akan terjadi polarisasi
pertumbuhan ekonomi (polarization of economic growth). Teori polarisasi
ekonomi Myrdal ini menggunakan konsep pusat-pinggiran (coreperiphery).
Konsep pusat-pinggiran merugikan daerah pinggiran, sehingga perlu diatasi
dengan membatasi migrasi (urbanisasi), mencegah keluarnya modal dari daerah
pinggiran, membangun daerah pinggiran, dan membangun wilayah pedesaan.
Albert Hirschman (1958)
Menurut teori unbalanced growth (Albert O. Hirschman, 1958), investasi
hanya ditanam dalam sektor strategis tertentu yang merupakan leading sector, dan
ini akan menciptakan peluang investasi lebih lanjut. Ini merupakan jalan terbaik
untuk pertumbuhan ekonomi.
Kekurangan utama dalam negara terbelakang (LDC) tidak terletak pada
suplai tabungan, tetapi keputusan untuk berinvestasi oleh para entrepreneurs dan

pembuat keputusan. Kemampuan untuk berinvestasi tergantung pada jumlah dan


keberadaan

investasi.

Hirschman

percaya

bahwa

negara-negara

miskin

memerlukan suatu strategi pembangunan yang mendorong keputusan investasi.


Dalam pemahaman Hirschman, pembangunan memerlukan prioritas,
pilihan lokasi, individu maupun sektor strategis yang juga punya efek forward dan
backward. Hirschman (1958) mengemukakan bahwa di daerah miskin banyak
kendala yang dihadapi setiap sektor untuk melaksanakan strategi kebijakan
pertumbuhan berimbang {balance growth). Hal tersebut akan mempersulit
pelaksanaan dari strategi kebijakan pertumbuhan berimbang. Hirschman
menyatakan strategi kebijakan yang paling tepat adalah strategi kebijakan
pertumbuhan tidak berimbang. Karma itu dalam analisis backward linkage dan
forward linkage, strategi kebijakan pertumbuhan tidak berimbang mengakui
adanya komplementasi antar sektor melalui hubungan permintaan output dan
penawaran input. Hirschman membedakan kedua kaitan antar sektor tersebut
sebagai forward linkage dan backward linkage. Forward linkage adalah kaitan
antar sektor ke arah permintaan output dan backward linkage adalah kaitan antar
sektor ke arah penawaran input.
Di era otonomi, pembangunan ekonomi haruslah dilakukan secara
serentak pada setiap sektor, walaupun menurut Hirschman (Todaro, 1985), bahwa
untuk negara (daerah) berkembang pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara
serentak {unbalanced growth) yaitu dengan menetapkan sektor unggulan, dimana
sektor unggulan ini akan berimplikasi ke depan {forward linkages) dan hubungan
ke belakang (backward linkages). Pemerintah haras memberikan kejelasan bahwa
kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi yang akan dicapai sesuai dengan
kehendak masyarakat daerah, karma masyarakat itu sendirilah yang lebih
mengetahui sektor ekonomi mana yang perlu ditingkatkan, dikembangkan,
dipertahankan, sesuai dengan sosio-kultur daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai