PENDAHULUAN
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa
sejak lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada
akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap; jadi
kelainan pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan. Penyebab PJB
seringkali
tidak
bisa
diterangkan,
meskipun
beberapa
faktor dianggap
pemeriksaan fisik dan penunjang biasa, EKG, radiologi dengan menggunakan alat
dapat dideteksi dengan mudah.4-6
Angka kejadian PJB di Indonesia adalah 8 tiap 1000 kelahiran hidup. 4 Jika
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan angka kelahiran 2%, maka jumlah
penderita PJB di Indonesia bertambah 32000 bayi setiap tahun. Kendala utama
dalam menangani anak dengan PJB adalah tingginya biaya pemeriksaan dan
operasi.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Anatomi Jantung
Jantung manusia terdiri dari dua sisi yang terbagi dalam empat ruangan.
Sisi jantung kanan berfungsi memompa darah kotor dari tubuh ke paru,
tempat darah mendapatkan kembali zat asam. Darah kaya zat asam ini akan
kembali ke sisi jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh. Agar
proses berjalan baik diperlukan kesempurnaan dari lima komponen berikut.
Pembuluh darah vena yang mengangkut darah kembali ke jantung dari tubuh
dan paru, serambi jantung yang menampung darah yang kembali ke jantung,
bilik jantung yang memompa darah ke luar dari jantung ke paru dan tubuh,
keempat katup jantung yang mengatur arah aliran darah, serta pembuluh
darah aorta (mengangkut darah berkadar tinggi zat asam dari bilik jantung kiri
ke seluruh tubuh), dan pembuluh darah paru (mengangkut darah kotor dari
bilik jantung kanan ke paru).2
Kelainan yang dapat terjadi di antaranya kelainan pada sekat antara
serambi atau bilik jantung sehingga menyebabkan percampuran darah sisi
jantung kanan dan kiri, penyumbatan atau tertutupnya salah satu katup
jantung sehingga terjadi obstruksi aliran darah, kebocoran dari salah satu
katup jantung sehingga terjadi pengaliran balik darah ke ruangan asal,
hubungan tidak normal antara vena, jantung, dan pembuluh darah besar
jantung sehingga menyebabkan arah aliran darah ke tempat yang salah, serta
penyumbatan baik pada vena yang bermuara ke jantung atau pembuluh darah
besar yang meninggalkan jantung sehingga menurunkan aliran darah.
Kelainan otot jantung juga ada yang kongenital, bisa melemahkan otot
jantung hingga terjadi gagal jantung. Jenis kelainan jantung kongenital
terbanyak adalah bocornya, baik sekat serambi maupun bilik jantung,
transposisi pembuluh darah besar dan tetap terbukanya saluran penghubung
antara aorta dan pembuluh darah paru.7
B.
C.
Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Berbagai
jenis obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan
penyebab eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita
ibu pada awal kehamilan dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping
faktor eksogen terdapat pula faktor endogen yang berhubungan dengan
kejadian PJB. Berbagai jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu erat
berkaitan dengan kejadian PJB seperti sindrom Down, Turner, dan lain-lain.8,9
D.
Faktor Predisposisi
1.
Faktor Prenatal :9
a. Ibu menderita penyakit infeksi : rubella, influenza atau chicken fox.
b. Ibu alkoholisme.
c. Umur ibu lebih dari 40 tahun.
E.
Klasifikasi
1. Dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang
a.
Manifestasi klinik
Bayi baru lahir dengan TF menampakan gejala yang nyata yaitu
adanya sianosis, letargi dan lemah. Selain itu juga tampak tandatanda dyspne yang kemudian disertai jari-jari clubbing, bayi
berukuran kecil dan berat badan kurang. Bersamaan dengan
pertambahan usia, bayi diobservasi secara teratur, serta diusahakan
untuk mencegah terjadinya dyspne. Bayi mudah mengalami infeksi
saluran pernafasan atas. Diagnosis berdasarkan pada gejala-gejala
klinis, murmur jantung, ekg, foto rongent, dan kateterisai jantung.
Kriteria Diagnosis
5
biasanya
akan
dapat
menjawab
semua
persoalan diagnosis.
Penatalaksanaan
Pembedahan paliatif dilakukan pada usia awal anak-anak, untuk
mernenuhi
peningkatan
kebutuhan
oksigen
dalam
masa
Atresia Trikuspid9
Apabila terjadi gangguan keseimbangan antara proliferasi dan resorpsi
jaringan selama perkembangan katup trikuspid, dapat terjadi kelainan
yang disebut atresia trikuspid. Insidensi terjadinya atresia trikuspid
yaitu sekitar 1 % dari penyakit jantung bawaan sianotik.
Patofisiologi
6
a. Sianotik
b. BJ I tunggal, BJII juga sering tunggal
c. Pada sebagian besar kasus tidak terdengar bising
Diagnosis11
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Penatalaksanaan11
Operasi : Fontan (prinsip operasi adalah mengalirkan darah dari
atrium kanan langsung ke arteri pulmonalis). Dengan demikian
maka fungsi ventrikel kanan diambil alih oleh atrium kanan. Dalam
perkembangannya, operasi ini telah mengalami banyak modifikasi.
Idealnya operasi harus dilakukan sedini mungkin pada masa bayi,
namun pertimbangan anatomik dan fisiologis tidak memungkinkan
hal tersebut.
c.
Anomali Ebstein10
7
Patofisiologi
Pada kelainan ini hanya sebagian anterior katup trikuspid yang
melekat pada anulus trikuspid yang lain yakni daun katup septal
dan posterior terdorong ke bawah (downward displacement of the
tricuspid valve) dan melekat pada sisi ventrikel kanan septum.
Dengan demikian atrium kanan menjadi sangat besar. Keadaan ini
dapat disertai dengan defek septum ventrikel atau defek septum
atrium dan lain-lain. Kelainan anatomik ini menyebabkan
hambatan darah melalui ventrikel kanan dan sebagian darah dari
atrium kanan menuju ke atrium kiri melalui defek septum atrium
atau foramen ovale.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis penderita Anomali Ebstein pada hari-hari pertama
sesudah lahir adalah sianosis yang dapat bervariasi dari yang ringan
sampai sangat berat. Sianosis pada bayi berkurang bila tekanan
paru menurun, tetapi kemudian penderita terlihat menjadi sianotik
lagi. Gejala klinis ini baru muncul setelah pasien berumur beberapa
bulan atau beberapa tahun. Nadi biasanya teraba agak kecil.
Kriteria Diagnosis
a. Pada auskultasi terdengar splittting pada bunyi jantung II dan
dapat terdengar pula bunyi jantung IV. Bising biasanya tidak
terdengar, tetapi bila terdapat insufisiensi triskuspid maka dapat
terdengan bising sistoloik pada garis parasternal kiri.
b. Foto toraks menunjukkan kardiomegali hebat (global heart)
karena dilatasi atrium kanan, selain itu terlihat vaskularisasi
paru menurun (oligemik).
c. Elektrokardiogram menunjukkan sumbu QRS deviasi ke kanan
atau normal dengan gelombang P yang anak besar (giant P
waves) dan dapat pula ditemukan gambaran Right Bundle
Branch Block (RBBB). Selain itu dapat ditemukan pula
8
Penatalaksanaan
a. Pada pasien dengan asimtomatik atau hanya menunjukkan
gejala ringan tidak diperlukan terapi, namun perlu pembatasan
aktivitas, misalnya olahraga yang berat atau kompetitif.
b. Pada kasus yang simtomatik pembedahan dilakukan dengan
konstruksi katup trikuspid dan penutupan defek septum atrium.
Keberhasilan operasi ini sangat bervariasi.
c. Pemberian obat dekongestan mungkin dapat menolong
sehingga operai dapat ditunda sampai anak besar.
d. Apabila terapi medikamentosa gagal, maka operasi harus
dilakukan, akan tetapi dengan resiko yang sangat tinggi.
d.
Patofisiologi1,2
Terdapat obstruksi total (atau hampir total) pada katup pulmonal.
Akibatnya a. Pulmonalis nyaris tidak dialiri darah. Untuk itu maka
mutlak diperlukan duktus arteriosus untuk memasok darah dari
aorta.
Pada atresia pulmonal dengan septum ventrikel, biasanya ventrikel
kanan besar seperti halnya pada tetralogi Fallot. Tidak terdapatnya
aliran darah dari ventrikel kanan ke a. Pulmonalis sehingga a.
9
Manifestasi Klinis
a. Sianosis sejak lahir
b. Tidak terdengar bunyi bising
c. Pada sebagian kecil terdengar bising sistolik akibat regurgitasi
trikuspid, atau bising kontinu akibar duktus arteriosus persisten
d. Takipnea atau dispne
e. Pasien yang mula-mula relatif stabil dapat segera memburuk
bila duktus arteriosus menutup.
Diagnosis
a. Pada neonatus yang sianotik beberapa jam setelah lahir
terdengar bunyi jantung II tunggal dan tidak disertai bising
jantung.
b. Pada foto dada, yakni pembesaran atrium kanan, segmen
pulmonal yang cekung, dan vaskularisasi paru menurun.
c. Pada EKG terdapat deviasi sumbu QRS ke kanan, hipertrofi
ventrikel kanan, dan pembesaran atrium kanan.
d. Ekokardiografi dapat memecahkan masalah diagnosis ini.
Penatalaksanaan
a. Tatalaksana atresia pulmonal tanpa defek septum ventrikel
dibagi menjadi dua tahapan.
b. Pada tahapan awal diberikan prostaglandin (PGE1) untuk
menjamin agar duktus arteriosus persisten tidak menutup.
c. Setelah evaluasi dengan ekokardiografi (dan apabila perlu
dengan kateterisasi), diputuskan apakah akan dilakukan
volvulotomi atau pemasangan pintasan Blalock-Taussing atau
lainnya.
d. Bila aliran darah paru dapat diperbaiki, baik dengan
valvulotomi atau dengan pintasan, maka sianosis akan
berkurang dan pasien akan tumbuh cukup memadai.
10
Patofisiologi
Pada kelainan ini aorta berasal dari ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis keluar dari ventrikel kiri. Sebagai akibatnya aorta
mendapat darah vena sistemik dari vena kava, atrium kanan,
ventrikel kanan, lalu diteruskan ke sirkulasi sistemik. Darah dari
vena pulmonalis dialirkan ke atrium kiri, ventrikel kiri lalu ke arteri
pulmonalis dan ke paru.
Dengan demikian kedua sirkulasi (pulmonal dan sistemik) terpisah.
Penderita hanya dapat hidup jika terdapat hubungan antara dua
sirkulasi tersebut. Pada bayi foramen ovale dan duktus arteriosus
masih terbuka.
Manifestasi Klinis
a. Pasien dengan transposisi biasanya lahir dengan berat badan
yang normal ataupun lebih dari normal.
b. Tampak sianosis ringan sampai berat.
c. Pada auskultasi akan terdengar bunyi jantung II tunggal oleh
karena katup pulmonal bersembunyi di belakang katup aorta.
Kriteria Diagnosis8,9
a. Bunyi jantung I terdengar normal, dan bunyi jantung II
terdengar tunggal dan keras.
b. Bising biasanya tidak terdengar, kecuali terdapat kelainan lain.
c. Foto toraks menujukkan peningkatan vaskularisasi paru
(plethora) dengan jantung seperti telur (egg shaped).
11
Penatalaksanaan :
Setelah diagnosis dipastikan, secara rutin dilakukan septostomi
atrium dengan balon (ballon atrial septostomy, BAS) atau prosedur
Rashkind. Dengan tindakan tersebut maka percampuran darah di
tingkat atrium akan optimal, sehingga atrium kanan mendapat
darah dengan saturasi tinggi dari atrium kiri. Dari atrium kanan
darah dialirkan ke ventrikel kanan, kemudian keseluruh tubuh.
Akibatnya sianosis berkurang. Prosedur ini merupakan prosedur
rutin pada transposisi arteri besar.
b.
Trunkus Arteriosus12
Kelainan ini diperkirakan 0,5-2% dari seluruh penyakit jantung
bawaan. Pada trunkus arteriosus terdapat pembuluh darah tunggal
yang keluar dari jantung yang menampung darah dari kedua ventrikel
dan mengalirkan darah ke sirkulasi sistemik, paru dan koroner.
12
Patofisiologi
Kegagalan septasi trunkus juga akan berakibat terdapatnya defek
septum ventrikel yang letaknya tinggi. Karena trunkus menerima
dan menyalurkan darah dari kedua ventrikel. Pembesaran ventrikel
kanan dan kiri serta mediastinum Vaskularisasi paru meningkat
Gambaran Klinis
a. Sianotik
b. Nadi pulsus seler (nadi biasanya teraba keras)
c. BJ I normal, BJ II tunggal
d. Bising ejeksi sistolik di sela iga 4 garis sternalis kiri, kadang
tredengar bising kontinu
Diagnosis
a. Pada dada dapat ditemukan adanya bulging. Bunyi jantung I
umumnya normal, bunyi jantung II tunggal. Selain itu dapat
terdengar diastolic flow murmur melalui katup mitral akibat
aliran darah ke atrium yang bertambah.
b. Foto
toraks
menunjukkan
kardiomegali,
dengan
aorta
Penatalaksanaan
a. Medikamentosa : terapi gagal jantung
b. Operasi : Rastelli
13
F.
Komplikasi11
Pasien dengan penyakit jantung congenital terancam mengalamiberbagai
komplikasi antara lain:
a. Gagal jantung kongestif / CHF.
b. Renjatan kardiogenik/ Henti Jantung.
c. Aritmia.
d. Endokarditis bakterialistis.
e. Hipertensi.
f. Hipertensi pulmonal.
g. Tromboemboli dan abses otak.
h. Obstruksi pembuluh darah pulmonal.
i. Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur).
j. Enterokolitis nekrosis.
k. Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas
atau displasia bronkkopulmoner).
l. Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit.
m. Hiperkalemia (penurunan keluaran urin).
n. Gagal tumbuh.
14
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa sejak
lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan.
Penyakit Jantung Bawaan Sianotik (PJB-Sianotik) adalah salah satu bentuk
PJB yang disertai dengan sianosis karena kelainan struktur dan fungsi jantung
sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik
yang mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi
sistemik.
PJB Sianotik dibagi menjadi :
1. Dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang : Tetralogi Fallot,
Atresia Trikuspid, Anomali Ebstein, Atresia Pulmonal.
2. Dengan aliran darah ke paru yang bertambah : Transposisi Arteri Besar,
Trunkus Arteriosus.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahayoe, A. 2006. Penanganan Medis pada Penyakit Jantung Bawaan.
http://www.indonesiaindonesia.com. Diakses Tanggal: 20 Oktober 2014.
2. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.
3. Ngustiyah. 2005. Perawatan anak Sakit edisi 2. Jakarta: EGC.
4. Madiyono, B. 1997. Kardiologi Anak Masa Lampau, Kini, dan Masa
Mendatang; Perannya dalam Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Kardiovaskular. Jakarta : FK UI
5. Rahayoe, A. 1998. Pelayanan Penderita Penyakit Jantung Bawaan di
Indonesia. Perkembangan, Permasalahan, dan Antisipasi di Masa Depan.
Dalam : Putra ST, Roebiono PS, Advani N. Penyakit Jantung Bawaan
pada Bayi dan Anak. Jakarta : Forum Ilmiah Kardiologi Anak. h. 1-17
6. Riliantono, L. I. 1996. Kardiologi Anak : Tuntutan dan Perkembangannya.
Dalam : Putra ST, Roebiono PS, Advani N. Dasar-dasar Diagnosis dan
Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan pada Anak. Jakarta : Forum Ilmiah
Kardiologi Anak Indonesia. h. 10-21
7. Latief , dkk. 2005. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 2. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
8. Allen HD, Franklin WH, Fontana ME. 1995. Congenital Heart Disease:
Untreated and Operated. Dalam: Emmanoulides GC, Riemenschneider
TA, Allen HD, Gutgesell HP, penyunting. Moss and Adams heart disease
in infants, children, and adolescents. Edisi ke-5. Baltimore: Williams &
Wilkins; h. 657-64.
9. Sastroasmoro S, Nurhamzah W, Madiyono B, Oesman IN, Putra ST. 1993.
Association between maternal hormone exposure and the development of
congenital heart disease of the truncal type A. A case-control study.
Paediatric Indonesia; 33:291-300.
10. Arief dan Kristiyanasari, Weni. 2009. Neonatus dan Asuhan Keperawatan
Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
11. American Heart Association. 2010. Congenital Heart Disease.
http://www.americanheart.org. Diakses 25 Oktober 2014
12. Binotto MA, Guilherme L, Tanaka AC. 2002. Paediatr Cardiol. 11:12-25
16