TOPIK 2
Kelompok 1:
1. Syafrina Dewi I. H.
020710184
021011013
021011014
020911167
021011015
4. Stephanie Clara L.
021011001
021011018
5. Annisa Putri
021011003
021011019
6. Moh. Khafid
021011005
021011020
7. Fahmi Rexandy
021011007
021011021
021011008
021011022
9. Susilawati
021011009
021011023
021011010
021011024
021011011
021011012
KATA PENGANTAR
Puji syukur tim penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah
memberikan
rahmat-Nya
kepada
kami
semua
sehingga
mampu
menyelesaikan tugas Problem Base Learning Paper Topik 2 Ilmu Bedah Mulut
yang membahas tentang perluasan infeksi odontogen per kontinuatium, per
hematogen dan per limfogen sebagaimana mestinya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang tim
penyusun hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis untuk
menyelesaikan makalah ini, diantaranya :
1. A. Harijadi, drg., MS., Sp.BM selaku pembimbing tutor kelompok A Ilmu
Bedah Mulut II Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga
2. Dosen Ilmu Bedah Mulut II, yang telah memberikan materi sehingga
memberikan pemahaman kepada penulis
3. Teman teman Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga angkatan
2010, serta
4. Berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai, Amin.
Surabaya, 08 April 2013
Kelompok 1
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
Daftar Gambar
Bab I Pendahuluan
1.1 Kata Pengantar
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
Pengertian Karies
2.1.2
Klasifikasi Karies
2.1.3
2.1.4
Karies Profunda
2.1.5
2.2.1
Pengertian
2.2.2
Etiologi
2.2.3
Patofisiologi
2.2.4
11
2.2.5
12
2.2.6
13
2.2.7
15
16
19
iii
21
2.4.2
23
2.4.3
27
28
Definisi
31
2.5.2
Klasifikasi Sinusitis
31
2.5.3
Etiologi
32
2.5.4
Patofisiologi
33
2.5.5
Gambaran Radiologi
34
Gejala
36
36
38
39
41
Bab IV Pembahasan
4.1 Pembahasan Skenario 3
42
46
50
Bab V Penutup
5.1 Kesimpulan
54
5.2 Saran
54
Daftar Pustaka
vi
iv
DAFTAR GAMBAR
18
19
20
Gambar 2.7 Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen
(A) Abses intraalveolar (B) Abses superiosteal
21
Gambar 2.8 Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen
(A) Abses submukosa (B) Abses subkutan.
22
22
22
23
26
27
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Infeksi odontogen adalah salah satu bentuk infeksi yang berasal dari struktur
dento-alveolar. Apabila terjadi infeksi pada area tubuh, akan memicu proses
keradangan pada area tersebut. Infeksi odontogenik adalah infeksi yang
disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam
plak, dalam sulkus gingival, dan mukosa mulut. Etiologi tersering adalah bakteri kokus
aerob gram positif, kokus anaerob gram positif,dan batang anaerob gram negatif.
Pada infeksi odontogen, terdapat beberapa pola penyebaran, yang melewati
beberapa jalur yakni pulpo periapikal, periodontal (margin gingiva) dan
perikorona. Dari ketiga jalur tersebut, jika infeksi tidak diobati maka infeksi dapat
menyebar ke bagian lain di sekitarnya berdasarkan pola penyebarannya.
Perluasan dari suatu infeksi tergantung pada patogenitas dan virulensi
mikroorganisme terkait, sistem imun dari host, variasi anatomi host, dan
lingkungan yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme di dalam jaringan
tubuh host. Konsep perluasan infeksi tersebut juga berlaku pada konsep perluasan
dan penyebaran infeksi odontogen. Infeksi odontogen dapat menyebar melalui
tiga cara, yaitu per kontinuatum, per limfogen, dan hematogen. Secara per
kontinuatum, infeksi odontogen dapat menyebar ke dalam tulang maupun ke luar
dari tulang. Penyebaran per limfogen dapat terjadi karena sistem pembuluh limfe
kepala dan leher dapat memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi dari gigi dan
jaringan lunak sekitarnya. Hal ini terjadi karena bakteri patogen dapat berjalan
menuju kelenjar limfe melalui pembuluh limfe yang menghubungkan rangkaian
kelenjar dari rongga mulut ke organ atau jaringan lain dengan rute penyebaran
yang barvariasi tergantung dari gigi yang terlibat. Sistem pembuluh darah kepala
dan leher dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari gigi dan jaringan mulut
yang terlibat karena bakteri patogen dapat menyebar melalui vena dan
menyebabkan penyebaran infeksi pada rongga mulut ke jaringan atau organ lain.
Hal ini dapat terjadi melalui bakteremia dan trombus yang terinfeksi.
1
1.2
Tujuan
1. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang pola perluasan, penyebaran,
patofisiologi, dan lokasi infeksi odontogen.
2. Mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang penatalaksanaan kasus-kasus
infeksi odontogen dan penyebarannya.
1.3
Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami tentang tentang pola perluasan, penyebaran,
patofisiologi, dan lokasi infeksi odontogen.
2. Mahasiswa telah siap dan tahu cara penanganan bilamana di klinik menghadapi
kasus-kasus infeksi odontogen dan penyebarannya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Karies
b. Karies Media: karies sudah mengenai dentin, tetapi belum melebihi setengah
dentin.
c. Karies Profunda: karies sudah mengenai lebih dari setengah dentin dan
kadang-kadang sudah mengenai pulpa.
Masih dijumpai lapisan tipis yang membatasi karies dengan pulpa dan telah
terjadi radang pulpa.
c. Karies profunda stadium III
Pulpa telah terbuka, dijumpai bermacam-macam radang pulpa.
2.1.5 Penjalaran Karies Profunda
Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah dentin melalui
prismata dan lewat perluasan lubang fokus tapi belum sampai kavitasi. Kavitasi
baru muncul apabila dentin terlibat dalam proses tersebut. Namun kadang-kadang
begitu banyak mineral hilang dari inti lesi sehingga permukaan mudah rusak
secara mekanis, yang menghasilkan kavitas yang makroskopis dapat dilihat. Bila
lesi mencapai dentin, pulpa langsung akan terlibat proses, lewat cabang-cabang
odontoblas di dalam kanal-kanal dentin. Lewat email yang menjadi porus,
mungkin melalui suatu kavitas, produk-produk bakterial mencapai dentin yang
lebih miskin mineral dan kaya putih telur daripada email (Schuurs, 1992).
Menurut Schuurs (1992) berbagai keadaan menambah perluasan proses di
dalam dentin: (1) kanal-kanal dentin karena anastomosisnya dengan mudah
memberikan jalan bagi perluasan ke arah lebarnya, lewat batas dentin-email. (2)
juga terdapat perluasan ke arah dalamnya, suatu proses yang pada batas tertentu
dikompensasi oleh pembentukan dentin sklerotik, terlihat sebagai daerah
transparan. Juga perluasan ke arah lebar, sehingga bagian-bagian besar email utuh
menjadi rusak, menurut perkiraan dibatasi oleh sklerotisasi kanal-kanal dentin.
Secara histologis, pada karies tulang gigi yang tidak begitu dalam, dapat
dibedakan dari luar ke dalam lima daerah : (1) lapisan dentin lunak yang
strukturnya tidak dapat dikenal lagi. Didalam lapisan ini terdapat flora campuran
yang mengeluarkan enzim hidrolitik yang akan merusak komponen organik
dentin. (2) lapisan infeksi, dimana akan dijumpai bakteri-bakteri di dalam tubuli,
tubuli melebar dan saling menyatu. Selain itu terlihat juga celah-celah yang
mengikuti jalannya garis-garis pertumbuhan owen. (3) lapisan demineralisasi,
suatu daerah sempit, dimana dentin peritubular diserang. (4) lapisan transparan,
terdiri atas tulang dentin sklerotik, kemungkinan membentuk rintangan terhadap
sklerosis.
Mikroorganisme
menembus
saluran-sluran
dimana
sebelumnya terdapat jaringan ikat dan dengan demikian pada lapisan lebih dalam
dapat mengurus proses perluasan ke arah lebar (Schuurs, 1992).
Proses terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya plak di permukaan gigi,
sukrosa (gula) dari sisa makanan dan bakteri berproses menempel pada waktu
tertentu yang berubah menjadi asam laktat yang akan menurunkan pH mulut
menjadi kritis (5,5) yang akan menyebabkan demineralisasi email berlanjut
menjadi karies gigi (Suryawati, 2010).
Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah dentin melalui
lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan lubang). Kavitasi baru
timbul bila dentin terlibat dalam proses tersebut. Namun kadang-kadang begitu
banyak mineral hilang dari inti lesi sehingga permukaan mudah rusak secara
mekanis, yang menghasilkan kavitasi yang makroskopis dapat dilihat. Pada karies
dentin yang baru mulai yang terlihat hanya lapisan keempat (lapisan transparan,
terdiri atas tulang dentin sklerotik, kemungkinan membentuk rintangan terhadap
mikroorganisme dan enzimnya) dan lapisan kelima (lapisan opak/ tidak tembus
penglihatan, di dalam tubuli terdapat lemak yang mungkin merupakan gejala
degenerasi cabang-cabang odontoblas). Baru setelah terjadi kavitasi, bakteri akan
menembus tulang gigi. Pada proses karies yang amat dalam, tidak terdapat
lapisan-lapisan tiga (lapisan demineralisasi, suatu daerah sempit, dimana dentin
partibular diserang), lapisan empat dan lapisan lima (Suryawati, 2010).
2.2
Infeksi Odontogenik
2.2.1 Pengertian
Infeksi adalah invasi tubuh patogen atau mikroorganisme yang mampu
menyebabkan sakit. Infeksi juga dapat diartikan sebagai peristiwa masuk dan
penggandaan mikroorganisme di dalam tubuh penjamu. Infeksi bisa bersifat akut
atau kronis dan bersifat subyektif. Infeksi odontogenik adalah salah satu infeksi
yang paling umum dari rongga mulut. Infeksi odontogen merupakan perubahan
jaringan yang berasal dari gigi yang disebabkan karena aktivitas bakteri dan
pertahanan lokal dari host serta mekanisme serupa yang bekerja secara sistemik
(Topazian, 2002).
Lokasi infeksi yang spesifik tergantung pada 2 faktor utama, yaitu
(Topazian, 2002; Miloro, 2004):
1. Ketebalan tulang pada apex gigi
Ketika infeksi mencapai tulang, infeksi akan memasuki jaringan lunak
melalui bagian tulang yang palig tipis (Topazian, 2002).
2. Hubungan pada tempat perforasi dari tulang ke perlekatan otot pada
maxila dan mandibular.
Infeksi
dari
kebanyakan
gigi
pada
maxilla
melalui
lempeng
infeksi odontogen secara inisial dihasilkan dari pembentukan plak gigi (Topazian
2002; Cilmiaty, 2009).
Sekali bakteri patologik ditentukan, mereka dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi lokal dan menyebar/meluas seperti terjadinya bacterial endokarditis,
infeksi ortopedik, infeksi pulmoner, infeksi sinus kavernosus, septicaemia,
sinusitis, infeksi mediastinal dan abses otak. Infeksi odontogen biasanya
disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari setengah kasus infeksi odontogen
yang ditemukan (sekitar 60%) disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme
penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur
adalah alpha- hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus,
Eubacterium, B acteroides (Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium.
Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan infeksi odontogen (hanya sekitar 5%).
Bila
infeksi
odontogen
disebabkan
bakteri
aerob,
biasanya
organisme
tidak baik, di sini terjadi penjalaran hebat yang apabila tidak cepat ditolong akan
menyebabkan kematian). Adapun yang termasuk penjalaran tidak berat adalah
serous periostitis, abses sub periosteal, abses sub mukosa, abses sub gingiva, dan
abses sub palatal, sedangkan yang termasuk penjalaran yang berat antara lain
abses perimandibular, osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut. Gigi yang
nekrosis juga merupakan fokal infeksi penyakit ke organ lain, misalnya ke otak
menjadi meningitis, ke kulit menjadi dermatitis, ke mata menjadi konjungtivitis
dan uveitis, ke sinus maxilla menjadi sinusitis maxillaris, ke jantung menjadi
endokarditis dan perikarditis, ke ginjal menjadi nefritis, ke persendian menjadi
arthritis (Topazian, 2002; Cilmiaty, 2009).
Infeksi odontogenik merupakan suatu proses infeksi yang primer atau
sekunder yang terjadi pada jaringan periodontal, perikoronal, karena traumatik
atau infeksi pasca bedah. Tipikal infeksi odontogenik adalah berasal dari karies
gigi yang merupakan suatu proses dekalsifikasi email. Suatu perbandingan
demineralisasi dan remineralisasi struktur gig terjadi pada perkembangan lesi
karies. Demineralisasi yang paling baik pada gigi terjadi pada saat aktivasi bakteri
yang tinggi dan dengan pH yang rendah. Remineralisasi yang paling baik terjadi
pada pH lebih tinggi dari 5,5 dan pada saliva terdapat konsentrasi kalsium dan
fosfat yang tinggi (Topazian, 2002; Cilmiaty, 2009).
Sekali email larut, infeksi karies dapat langsung melewati bagian dentin
yang mikroporus dan langsung masuk ke dalam pulpa. Di dalam pulpa, infeksi
dapat berkembang melalui suatu saluran langsung menuju apeks gigi dan dapat
menggali menuju ruang medulla pada maksila atau mandibula. Infeksi tersebut
kemudian dapat melobangi plat kortikal dan merusak jaringan superficial dari
rongga mulut atau membuat saluran yang sangat dalam pada daerah fasial.
Serotipe dari streptococcus mutans (cricetus, rattus, ferus, sobrinus) merupakan
bakteri yang utama dapat menyebabkan penyakit dalam rongga mulut. Tetapi
meskipun lactobacilli bukan penyebab utama penyakit, mereka merupakan suatu
agen yang progresif pada karies gigi, karena mereka mempunyai kapasitas
produksi asam yang baik.
10
Oportunistik
b. Kronik
g. Spasium masseter
b. Spasium bukal
h. Spasium pterigomandibular
c. Spasium infratemporal
i. Spasium temporal
d. Spasium submental
e. Spasium sublingual
k. Spasium retrofaringeal
f.
l. Spasium prevertebral
Spasium submandibula
11
Pada umumnya infeksi gigi termasuk karies gigi, infeksi dentoalveolar (infeksi
pulpa dan abses periapikal), gingivitis (termasuk NUG), periodontitis (termasuk
pericoronitis
dan
peri-implantitis),
Deep
Facial
Space
Infections
dan
osteomyelitis. Nekrosis pulpa karena karies yang dalam, akan memberikan jalan
bagi bakteri untuk memasuki jaringan periapikal. Ketika jaringan ini telah
diinokulasi oleh bakteri lalu terjadi infeksi aktif, maka infeksi menyebar ke
berbagai arah, terutama yang paling sedikit memiliki pertahanan. Infeksi
menyebar melalui tulang cancellous hingga lempeng cortical. Jika lempeng
cortical tipis, infeksi akan mengikis tulang dan memasuki jaringan lunak. Jika
tidak dirawat, infeksi gigi dapat menyebar dan memperbesar infeksi polimikrobial
pada tempat lain termasuk pada sinus, ruang sublingual, palatum, system saraf
pusat, perikardium dan paru-paru (Topazian, 2002; Cilmiaty, 2009).
2.2.5 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejalan infeksi odontgenik yaitu:
1. Adanya respon Inflamasi
Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada
keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan
perbaikan jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan dapat
disimpulkan dalam beberapa tanda :
a.
b.
Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan nutrisi
dan berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.
c.
d.
e.
f.
12
13
jumlah dari mikroorganisme yang dapat menginfeksi host dan juga berkaitan
dengan jumlah faktor-faktor yang bersifat virulen.
2. Pertahanan Tubuh Lokal
Pertahanan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier anatomi,
berupa kulit dan mukosa yang utuh, menahan masuknya bakteri ke jaringan di
bawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini dengan cara insisi poket
periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan membuka jalan
masuk bakteri ke jaringan di bawahnya. Gigi-gigi dan mukosa yang sehat
merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi. Adanya karies dan saku
periodontal memberikan jalan masuk untuk invasi bakteri serta memberikan
lingkungan yang mendukung perkembangbiakan jumlah bakteri. Mekanisme
pertahanan lokal yang kedua adalah populasi bakteri normal di dalam mulut,
bakteri ini biasanya hidup normal di dalam tubuh host dan tidak menyebabkan
penyakit. Jika kehadiran bateri tersebut berkurang akibat penggunaan
antibiotik, organisme lainnya dapat menggantikannya dan bekerjasama dengan
bakteri penyebab infeksi mengakibatkan infeksi yang lebih berat.
3. Pertahanan Humoral
Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan tubuh
lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua komponen
utamanya adalah imunoglobulin dan komplemen. Imunoglobulin adalah
antibodi yang melawan bakteri yang menginvasi dan diikuti proses fagositosis
aktif dari leukosit. Imunoglobulin diproduksi oleh sel plasma yang merupakan
perkembangan dari limfosit B.Terdapat lima tipe imunoglobulin, 75 % terdiri
dari Ig G merupakan pertahanan tubuh terhadap bakteri gram positif. Ig A
sejumlah 12 % merupakan imunoglobulin pada kelenjar ludah karena dapat
ditemukan pada membran mukosa. Ig M merupakan 7 % dari imunoglobulin
yang merupakan pertahanan terhadap bakteri gram negatif. Ig E terutama
berperan pada reaksi hipersensitivitas. Fungsi dari Ig D sampai saat ini belum
diketahui. Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral lainnya,
merupakan sekelompok serum yang di produksi di hepar dan harus di aktifkan
untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen yang penting adalah yang
pertama dalam proses pengenalan bakteri, peran kedua adalah proses
14
15
dapat
secara langsung
menimbulkan
kerusakan
b.
c.
3. Perikorona
Infeksi jaringan lunak sekitar mahkota gigi yang sedang erupsi.
(Topazian,2002)
2.3
16
yang awalnya bersumber dari kerusakan jariangan keras gigi atau jaringan
penyangga gigi yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal
rongga mulut yang berubah menjadi patogen (Pedersen, 1996). Penyebaran
infeksi odontogen ke dalam jaringan lunak dapat berupa abses. Secara harfiah,
abses merupakan suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses
supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses yang
sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses yang berasal dari regio periapikal.
Daerah supurasi terutama tersusun dari suatu area sentral berupa polimorfonuklear
leukosit yang hancur dikelilingi oleh leukosist hidup dan kadang-kadang terdapat
limfosit. Abses juga merupakan tahap akhir dari suatu infeksi jaringan yang
dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi (Pedersen, 1996).
Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal,
sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2)
jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket; dan
(3) jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah
operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh
sempuna. Dan yang paling sering terjadi adalah melalui jalur periapikal (Cilmiaty,
2009). Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya
karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa (Gambar 1), kemudian akan
berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis
pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat.
Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang
pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa
mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar
progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang
nekrosis tersebut (Cilmiaty, 2009).
17
Gambar 2.4 Ilustrasi keadaan gigi yang mengalami infeksi dapat menyebabkan abses odontogen.
(A) Gigi normal, (B) gigi mengalami karies, (C) gigi nekrosis yang mengalami infeksi
menyebabkan abses. (Douglas & Douglas, 2003)
Gambar 2.5 Ilustrasi penyebaran infeksi odontogen (dentoalveolar abcess) tergantung pada
posisi apeks gigi penyebab. (A) Akar bukal : arah penyebaran ke bukal. (B) Akar palatal : arah
penyebarannya ke palatal. (Fragiskos, 2007)
19
Gambar 2.6 Ilustrasi penyebaran infeksi odontogen (dentoalveolar abcess) tergantung pada
posisi apeks gigi penyebab. (A) Penyebaran pus kea rah sinus maksilaris (B) Penyebaran pus pada
rahang bawah tergantung pada posisi perlekatan otot mylohyoid. ( Fragiskos, 2007)
Pada fase selular, tergantung pada rute dan tempat inokulasi dari pus, abses
dentoalveolar akut mungkin memiliki berbagai gambaran klinis, seperti: (1)
intraalveolar, (2) subperiosteal, (3) submukosa, (4), subkutan, dan (5) fascia
migratory cervicofacial (Gambar 4 dan 5). Pada tahap awal fase selular ditandai
dengan akumulasi pus dalam tulang alveolar yang disebut sebgai abses
intraalveolar. Pus kemudian menyebar keluar setelah terjadi perforasi tulang
menyebar ke ruang subperiosteal. Periode ini dinamakan abses subperiosteal,
dimana pus dalam jumlah terbatas terakumulasi di antara tulang dan periosteal.
20
Gambar 2.7 Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen (A) Abses
intraalveolar (B) Abses superiosteal. ( Fragiskos, 2007)
Gambar 2.8 Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen (A) Abses
submukosa (B) Abses subkutan. (Fragiskos, 2007)
21
2. Abses subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak
mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra
oral, warna kulit sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita
merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir.
Pada rahang bawah bila berasal dari gigi premolar atau molar
pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi
masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.
3. Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses
subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa
setelah periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan
pembengkakan bertambah besar. Gejala lain yaitu masih terdapat
pembengkakan
ekstra
oral
kadang-kadang
disertai
demam.lipatan
22
mukobukal terangkat, pada palpasi lunak dan fluktuasi podotip. Bila abses
berasal darigigi insisivus atas maka sulkus nasolabial mendatar, terangatnya
sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata bawah.
Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada palpasi.
Gambar 2.11 : a. Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi didaerah bukal.
b. Tampakan klinis Abses Submukosa
23
2. Level II
3. Level III
4. Level IV
5. Level V
6. Level VI
7. Level VII
24
permukaan kulit, sistem saraf pusat, bagian dalam dari saraf perifer,endomisium
otot, dan tulang. Limfe mirip dengan plasma tetapi dengan kadar protein
yanglebih kecil. Kelenjar limfe menambahkan limfosit pada limfe sehingga
jumlah sel itu sangat besar di dalam saluran limfe. (Scribd, 2012)
Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat imun (antibodi) untuk
melindungi tubuh dari mikroorganisme. Kelenjar limfe dapat meradang (bengkak,
merah dan sakit), proses ini disebut lymphadenitis. Sedangkan adanya infeksi
pada pembuluh limfe disebut lymphangitis. (Scribd, 2012)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada rongga mulut
kaya dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan
mudah menjalar ke kelenjar limfe regional (Bazemore A dan Smucker DR, 2002).
Sistem limfatik yang terdapat pada kepala dan leher memungkinkan penyebaran
infeksi yang berasal dari gigi dan jaringan mulut di sekitarnya menuju jaringan
atau organ lainnya. Hal ini disebabkan karena bakteri patogen dapat berjalan
melalui pembuluh limfe yang terdapat di sekitar rongga mulut dan saling
berhubungan satu sama lain dengan kelenjar getah bening lainnya yang terdapat
pada jaringan atau organ lain. Oleh karena itu bakteri patogen dapat menyebar
dari primary node yang berada di dekat infeksi ke secondary node yang berada
jauh dari tempat infeksi. Pola penyebaran infeksi odontogen melalui kelenjar
getah bening bervariasi tergantung gigi yang terlibat. (Fehrenbach et al, 1997).
Bakteri patogen yang terdapat pada gigi insisif rahang bawah menyebar
melalui submental nodes yang melayani gigi insisif rahang bawah dan jaringan
disekitarnya, kemudian melewati submandibular nodes yang melayani seluruh
gigi dalam rongga mulut dan jaringan di sekitarnya, kecuali gigi insisif rahang
atas dan molar ketiga rahang atas. Atau juga dapat langsung menuju deep cervical
nodes. Bakteri patogen yang berasal dari gigi-gigi yang dilayani oleh
submandibular nodes akan terbawa oleh aliran limfatik menuju superior deep
cervical nodes, superior deep cervical nodes merupakan kelenjar primer yang
melayani molar ketiga rahang atas dan jaringan disekitarnya. Setelah dari superior
deep cervical nodes bakteri patogen dapat terbawa dahulu menuju inferior deep
cervical nodes ataupun langsung menuju vena jugularis, hal ini disebabkan karena
superior deep cervical nodes beranastomosis dengan vena jugularis. Setelah
25
masuk pada sistem pembuluh darah maka bakteri patogen dapat menyebar ke
seluruh jaringan dan organ (Fehrenbach et al, 1997).
Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah dari kedua sisi
melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan
pada rahang atas. Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai
berikut: Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi
penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau
leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya
(Ferrer R, 1998).
Kelenjar
getah
bening
yang
terlibat
dalam
infeksi
mengalami
26
Gambar 2.13 Lymph nodes head and neck (Alford, Bobby R. 2003)
27
dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin
meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya
organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah (Flyn, 2001). Vena-vena
yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke pleksus vena pterigoid
yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena faringeal dan vena
maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan dan edema
menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak
berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah,
memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala
atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap
infeksi tersebut. Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis
internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan
(Daud, 2001). Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang mampu
bertahan dapat menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat faktorfaktor predisposisi tertentu. Contoh perluasan infeksi odontogen melalui aliran
darah misalnya kearah jantung yaitu, sub bacterial endokarditis (SBE).
Penyakit Infeksi yang Berhubungan dengan Pola Perluasan per Hematogen
terdiri dari Subakut Bacterial Endokarditis (SBE),
2.4.3.1 Penyakit Infeksi yang Berhubungan dengan Pola Perluasan per
Hematogen
1. Subakut Bacterial Endokarditis (SBE)
Endokarditis Bakterial adalah penyakit infeksi oleh organisme pada
permukaan endokardial atau jaringan endothelial jantung, termasuk katup
jantung (baik yang alami atau prostetik), endokardium muralis, korda
tendinae atau defek septum (Talib 2001, Keith 2000, Gerardo 2003). Nama
lain dari endokarditis infektif adalah endokarditis bakterial (Soparman 1987,
Mokhtar Moendiyah 1998) . Lesi yang khas pada endokarditis infektif
adalah vegetasi yang terdiri dari trombosit, fibrin, mikroorganisme dan selsel radang (Mokhtar Moendiyah 1998). Endokarditis infektif biasanya
terjadi pada jantung yang telah mengalami kerusakan. Penyakit jantung
yang mendahului endokarditis, bisa berupa penyakit jantung bawaan
maupun penyakit jantung yang didapat. Dahulu diduga infeksi pada
28
penyakit
paru
obstruktif
kronik,
penyakit
ginjal,
lupus
29
sub-akut.
Mikroorganisme
lain
yang
dapat
menyebabkan
30
Staphylococcus lain, bakteri gram negative aerob dan anaerob, jamur, virus,
ragi dan kandida (Keith 2000, Gerardo 2003).
Sering pasien tidak mengetahui dengan jelas sejak kapan penyakitnya
timbul. Pada beberapa pasien, manifestasi penyakit menjadi jelas sesudah
pencabutan gigi, infeksi saluran nafas atau tindakan lain. Gejala umum yang
sering ditemukan adalah demam yang berlangsung terus menerus, remitten
ataupun intermitten, atau sama sekali tidak teratur. Umumnya puncak
demam 38-40 oC dan terjadi pada sore atau malam hari. Sering diikuti
menggigil dan kemudian berkeringat banyak. Dapat terjadi anemia yang
bersifat progresif dan dapat pula ditemui pembesaran hati dan limpa. Gejala
emboli dan vascular berupa ptekie biasanya timbul pada mukosa tenggorok,
mata dan juga pada semua bagian kulit. Bagian tengah ptekie biasanya lebih
pucat, dan bisa terjadi di retina yang disebut Roths spot. Emboli yang
timbul sub-ungual jari tangan dan kaki yang berbentuk linier disebut
Splinter hemorrhages. Lesi yang spesifik adalah Oslers nodes yaitu
penonjolan kulit berwarna merah jambu atau merah, yang terdapat di bagian
dalam jari, otot tenar dan hipotenar, bersifat nyeri. Emboli yang besar dapat
tersangkut di otak sehingga bisa menimbulkan hemiplegi, atau gangguan
saraf sentral lain atau gangguan psikiatri. Bila tersangkut di arteri koroner
dapat menyebabkan infark miokard akut, dan jika di paru paru dapat
terjadi abses paru. Tanda-tanda kelainan jantung penting untuk menentukan
adanya kelainan katup atau kelainan bawaan karena sebagian besar
endokarditis sub-akut didahului oleh penyakit jantung.
2.5. Sinus Maksilaris
2.5.1 Definisi
Sinusitis adalah inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih dari sinus
paranasal. Sinus merupakan suatu rongga/ruangan berisi udara dengan dinding
yang terdiri dari membrane mukosa (Charlene, 2000).
Sinusitis adalah radang sinus paranasal, bila terjadi pada beberapa sinus,
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruhnya disebut pansinusitis
(Mansyoer, 2000).
31
maksilaris, sinus
frontalis, sinus
ethmoidalis, sinus
sphenoidalis
32
influenza
virus,
parainfluenza
virus
dan
adenovirus
Haemophilus
influenzae,
Branhamella
catarralis,
bakteri anaerob,
33
terbagi menjadi dua, yaitu sinusitis maksilaris akut dan sinusitis maksilaris kronis
(Peterson, 1993).
Sinusitis maksilaris akut sering terjadi setelah alergi atau infeksi virus pada
saluran pernafasan bagian atas. Adanya alergi hidung yang kronis, benda asing,
dan defiasi septi nasi yang dianggap sebagai predisposisi yang paling umum.
Pasien yang terserang umunya mengeluh demam, lemas, sakit kepala, rasa
bengkak pada wajah, sakit pada gigi posterior atas. Perubahan posisi dapat
mengurangi atau menambah rasa tidak enak. Dari pemeriksaan sering terlihat
adanya sekresi muko purulen di dalam hidung dan nasofaring. Terdapat nyeri
palpasi dan tekan pada sinus serta gigi yang berkaitan dengannya.Sinusistis kronis
berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Gambaran patologis sinusitis
kromis adalah kompleks dan irrevesibel, mukosa umumnya menebal, membentuk
lipatan-lipatan
atau
pseudopolip.
Epitel
permukaan
tampak
mengalami
34
Adapun gambaran radiologi sinusitis yang dapat dinilai proyeksi waters antara
lain :
1. Penebalan mukosa
2. Air fluid level atau timbunan cairan dalam sinus (kadang-kadang)
3. Perselubungan homogen atau tidak homogen
4. Penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik)
Pada sinusitis, mula-mula tampak penebalan dinding sinus, dan yang paling
sering adalah sinus maksilaris, tetapi pada sinusitis kronik tampak juga gambaran
penebalan dinding sinus yang disebabkan karena timbulnya fibrosis dan jaringan
parut yang menebal. (Ekadayu,1997; Lee 2003; Brown,2008). Pada sinusitis
maksilaris kronis mukosa tersebut dapat menjadi sangat hiperplastik, ke titik di
mana hampir mengisi seluruh sinus. Hiperplasi daerah dinding medial atau lateral
dari sinus dapat menyebabkan berkontribusinya tampilan radiografis atau nampak
"berawan" pada gambaran radiografi yaitu nampak buram pada sinus di sebuah
film periapikal atau panorama; gambaran radiografi yang tampak berawan
mungkin berarti pada daerah posterior dan anterior mukosa membran
mengangalami hiperplastik. Gambaran radiografi ini mungkin nampak berubah
pada sinusitis kronis, alergi sinusitis, atau granuloma sinusitis. Perubahan
gambaran difuse pada jaringan lunak dan berdekatan dengan sinus terlihat dengan
CT. Namun, dokter harus menyadari bahwa hampir semua lesi dari sinus - kista
atau tumor (antara malignan dan jinak) akan menyebabkan munculnya gambaran
radiopak di dalam atau encroaches pada ruang udara yang luas radiolusen ketika
sehat (Adams, 1997).
Gambaran radiografi lainnya yang merupakan tanda dari inflamasi yaitu
adanya cairan di rongga pada tingkat sinus maksilaris. Ketika garis dekarmasi
diantara rongga sinus dan di dasar antral adalah lurus dan horisontal, diagnosis
dari retensi cairan di sinus harus dipertimbangkan. Cairan yang paling umum
ditemukan di sinus maksilaris adalah produk darah akibat tauma atau operasi atau
nanah yang terakumulasi di sinusitis akut. Adanya cairan di sinus dapat
dibuktikan dengan mengambil radiografi tambahan dengan kepala pasien pada
posis miring. Jika terdapat cairan, maka cairan tersebut akan mengikuti gravitasi
dan menemukan tingkat baru dalam sinus. Perbandingan antara dua film harus
35
mungkin akan
membutuhkan waktu beberapa menit untuk berada pada tingkat yang baru,
sehingga waktu yang adekuat harus dipertimbangkan sebelum membuat film yang
berikutnya. Perhatian juga harus dilakukan pada hasil panorama film karena
bayangan dorsum lidah mungkin akan nampak hingga ke atas sinus, dan
menciptakan ilusi seperti cairan (Adams, 1997).
2.6 Valvular Heart Disease
Valvular Heart Disease adalah suatu proses penyakit yang melibatkan satu
atau lebih katup jantung (aorta dan mitral katup di sebelah kiri juga paru dan
katup trikuspid di sebelah kanan, Atau penyakit jantung yang disebabkan oleh
stenosis pada katup jantung dan terhambat atau aliran darah yang disebabkan oleh
degenerasi dan regurgitasi darah. Masalah valvulasi bisa jadi merupakan bawaan
(dari lahir) atau diperoleh (karena penyebab lainnya di kemudian hari). Terapi
mungkin dapat dilakukan dengan obat-obatan tetapi sering (tergantung pada
keparahan) melibatkan perbaikan atau penggantian katup (pemasangan katup
jantung buatan). Pada situasi tertentu yang mana dibutuhkan tindakan tambahan
yang harus dilakukan pada sirkulasi yaitu seperti pada kehamilan. (Bonow, 2006)
Tingkat keparahan valvular heart desease bervariasi, pada kasus ringan
mungkin tidak ada gejala, sedangkan pada kasus lanjut, penyakit ini dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif dan komplikasi lain. Pengobatan tergantung
pada sejauh mana penyakit. (Bonow, 2006)
2.6.1 Gejala
Gejala penyakit katup ini dapat terjadi tiba-tiba, tergantung pada seberapa
cepat penyakit ini berkembang. Jika kemajuan lambat, berarti jantung dapat
menyesuaikan dan pasien mungkin tidak menyadari timbulnya gejala apapun.
Selain itu, tingkat keparahan gejala tidak selalu berkorelasi dengan tingkat
keparahan penyakit katup. Artinya, pasien bisa tidak memiliki gejala sama sekali,
tapi memiliki penyakit katup parah. Sebaliknya, gejala yang parah bisa timbul dari
kebocoran katup kecil. Banyak gejala yang mirip dengan yang berhubungan
dengan gagal jantung kongestif, seperti sesak napas dan mengi setelah pengerahan
tenaga fisik yang terbatas dan pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki, tangan
atau perut (edema). Gejala lain termasuk:
36
37
Nekrosis Pulpa
Infeksi Periapikal
Per Limfogen
Per Kontinuatum
Pemeriksaan Klinis :
Submandibular
Lympnode
Gejala :
Kelenjar Limfe
submandibularis kiri
teraba padat dan nyeri
tekan
Periodontitis Apikalis
Akut
Pemeriksaan Ro :
Abses Periapikal
LIMFADENITIS AKUT
SUBMANDIBULAR KIRI
TERAPI
Kerusakan Tulang
Tidak Parah
PSA
Kerusakan Tulang
Parah
Ekstraksi Gigi
Gambaran Radiolusen
pada periapikal gigi 36
Gejala :
Abses SubPeriosteal
Medikasi : Antibiotik
dan Analgesik
Pemeriksaan Perkusi
dan Druk Nyeri
Pemakaian Antibiotik
yang tidak teratur
Terjadi pembengkakan
pada Vestibulum Oris
38
Riwayat dental:
Gigi mulai berlubang sejak
2 tahun yang lalu, lubang
makin lama makin
membesar. Ada riwayat
bau busuk keluar dari
lubang hidung sisi kanan
sejak 3 bulan yang lalu
Wanita 50 tahun
Pemeriksaan klinis:
Gigi 16 karies profunda
perforasi, dan gigi 18 sisa akar
Pemeriksaan Ro:
Foto panoramik, periapikal,
proyeksi waters
Nekrosis pulpa
Abses periapikal
Per Kontinuatum
Penetrasi abses ke dalam
cavum sinus maksilaris
Disfungsi silia
Gangguan
drainase sinus
Retensi sekret
sinus
Terapi
39
SINUSITIS MAKSILARIS/
SINUSITIS DENTOGEN
Terapi
Mengatasi
masalah pada gigi
Ekstraksi
Konservatif
Operatif
Terapi antibiotik
Surgery:
tindakan bedah sinus
40
Pasien Laki-laki
58thn
Pemeriksaan intraoral
Diagnosis Kardiologi
Penyakit jantung
Valvular Heart
Disease
Fokal Infeksi
Diberi
antibiotik
profilaksis
Indikasi Perawatan
Pencabutan
Resiko
Port de entry
bakteri RM
Resiko
endokarditis
Bakterimia
Eliminasi Fokal
Infeksi Odontigen
Penempelan Mikroorganisme
Endokardium
Kolonisasi
Trombositosis
41
BAB IV
PEMBAHASAN
Penderita wanita 25 tahun datang dengan keluhan bengkak pada pipi kiri
sejak 3 hari yang lalu. Sejak 1 tahun sebelumnya terdapat gigi berlubang dan
ditambal pada geraham kiri bawah. Gigi tersebut sejak 2 minggu yang lalu terasa
sakit bila digunakan untuk mengunyah.
Pada pemeriksaan klinis secara ekstra oral, didapatkan pembengkakan
pada pipi kiri berbatas tidak jelas, berwarna agak kemerahan, palpasi terasa agak
padat serta terdapat nyeri tekan. Sedangkan pada pemeriksaan intra oral terdapat
kemerahan pada vestibulum oris regio 35, 36, dan 37 dan tidak terdapat
pembengkakan jaringan lunak. Pada pemeriksaan perkusi dan druk timbul rasa
nyeri pada gigi 36 dengan tumpatan mahkota kelas 1.
Penderita diberi resep obat antibiotik dan analgesik oleh dokter gigi, tetapi
penderita tidak meminum obat tersebut secara teratur. Tiga hari kemudian
penderita datang kembali untuk melakukan kontrol. Pada pemeriksaan tampak
pembengkakan lebih besar pada pipi dan teraba lebih padat. Pada pemeriksaan
intra oral tampak pembengkakan pada vestibulum oris dan terdapat fluktuasi.
Pada pemeriksaan radiologi dengan foto panoramik didapatkan gambaran
radiolusen pada periapikal gigi 36.
Dari hasil pemeriksaan terdapat tumpatan kelas 1 pada mahkota gigi 36
yang
menimbulkan
nyeri
saat
mengunyah.
Karies
merupakan
proses
demineralisasi yaitu pelarutan mineral oleh karena pelepasan asam dari fermentasi
gula (substrat) oleh bakteri oral (terutama disebabkan oleh S.mutans) di mana
proses demineralisasi terjadi pada saat aktivasi bakteri yang tinggi dan dalam
keadaan pH yang rendah. Nyeri pada gigi setelah penumpatan dapat terjadi akibat
adanya karies sekunder. Karies sekunder adalah karies yang menyebar di dalam
atau di bawah tepi restorasi yang disebabkan oleh akumulasi debris akibat tidak
sempurnanya preparasi kavitas sehingga terdapat celah mikro yang menjadi jalan
penetrasi bakteri. Kerusakan yang disebabkan bakteri akan mengenai dentin
42
hingga mencapai pulpa. Karies akan berlanjut menjadi karies profunda perforasi
di mana atap pulpa terbuka. Apabila sistem pertahanan tubuh lemah, maka akan
terjadi keradangan pulpa akibat adanya jejas berupa kuman dan produknya
(toksin) yang dapat menimbulkan iritasi pada jaringan pulpa yang disebut pulpitis.
Pulpitis reversibel memiliki kemampuan untuk kembali pada keadaan non
inflamasi setelah stimulus dihilangkan. Sedangkan jika dibiarkan dapat
berkembang menjadi pulpitis ireversibel.
Pulpa yang terkurung pada dinding yang kaku, tidak memiliki sirkulasi
darah kolateral, venul dan limfatiknya kolaps akibat tekanan jaringan yang
meningkat dalam pulpa akan menyebabkan pulpitis ireversibel berkembang
menjadi nekrosis pulpa. Gigi yang nekrosis tersebut menyebabkan bakteri bisa
menembus masuk ke dalam ruang pulpa hingga mencapai apeks gigi. Foramen
pulpa yang sempit pada akar gigi merupakan sebuah reservoir bakteri di mana
menjadi jalan bakteri menginvasi jaringan periodontal dan tulang. Bila infeksi
meluas melewati apeks gigi, maka akan terjadi infeksi pada jaringan periapikal.
Selain itu, foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang
terinfeksi. Infeksi pulpa dapat menyebabkan infeksi gigi serius yang dapat
menyebar di luar soket gigi.
Infeksi odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuatum),
pembuluh darah (hematogen) dan pembuluh limfe (limfogen). Yang paling sering
terjadi adalah penjalaran secara perkontinuiatum karena adanya celah atau ruang
di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.
Pada kasus ini, penyebaran infeksi periapikal terjadi secara per limfogen
dan per kontinuatum. Pada penyebaran infeksi odontogen per limfogen, bakteri
dan antigen masuk ke dalam aliran pembuluh getah bening (regional) menuju ke
submandibular lymph node sehingga menyebabkan produksi limfosit dan sel
darah putih meningkat serta menginfiltrasi neutrofil ke lymph node. Hal ini
menyebabkan terjadinya limfadenitis akut kelenjar submandibula kiri. Hasil
diagnosa ini didukung oleh teraba padatnya kelenjar limfe submandibularis kiri
dan nyeri pada saat dilakukan penekanan.
Penyebaran per kontinuatum menyebabkan terjadinya periodontitis
apikalis akut yaitu suatu penyakit yang merupakan penyebaran pertama dari
43
44
periosteum.
Rasa
sakit
mendadak
berkurang,
sedangkan
pembengkakan bertambah besar dan pada palpasi terasa fluktuasi. Gejala lain
yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-kadang disertai demam.
Perawatan yang akan dilakukan pada kasus ini antara lain adalah insisi dan
drainase pus. Tanda-tanda vital pasien meliputi tekanan darah, denyut nadi,
respirasi, berat badan, riwayat penyakit, dan ada atau tidaknya riwayat alergi obat
perlu diperiksa sebelum melakukan insisi dan drainase. Setelah didapatkan tanda
vital baik, maka dapat dilakukan insisi dan drainase. Insisi dimulai dengan
pemberian antiseptik pada vestibulum oris regio 36 dan 37, lalu dilakukan
anastesi. Setelah bibir bawah pasien kebas (anastesi telah berjalan) maka insisi
dapat dilakukan. Selanjutnya, dilakukan tindakan drainase atau pengeluaran pus
yaitu mengeluarkan/drain rongga abses lalu dilakukan penutupan bekas insisi
dengan suturing pada daerah tersebut. Perawatan lanjutan adalah dengan
melakukan tindakan ekstraksi gigi 36 karena berdasarkan pemeriksaan didapatkan
kerusakan gigi tersebut telah mengenai jaringan periodontal dan infeksi telah
meluas hingga merusak tulang. Pencabutan gigi dilakukan menghilangkan fokal
infeksi.
Limfadenopati atau hyperplasia limfoid adalah pembesaran kelenjar limfe
sebagai respons terhadap proliferasi limfosit T atau limfosit B yang terjadi setelah
infeksi suatu mikroorganisme. Pemberian antibiotik dilakukan jika terdapat tandatanda penyebaran infeksi seperti selulitis, limfadenopati akut, limfangitis, atau
demam. diketahui pada pasien mengalami pembesaran kelenjar limfe sehingga
antibiotik perlu diresepkan.
45
Masuknya agen
bakteri ke dalam ruang pulpa akan menyebabkan keradangan pada pulpa atau
pulpitis. Pulpitis dapat terjadi karena adanya jejas berupa kuman beserta
produknya yaitu toksin. Respon imun tubuh tidak dapat mengkompensasi
virulensi maka terjadi respon pertahanan berupa inflamasi. Jika virulensi
berlanjut akan menjadi nekrosis pulpa.
Nekrosis pulpa adalah mekanisme yang disebabkan oleh karena
vaskularisasi pada ruang pulpa mengalami vasokonstriksi sesaat, dan
kemudian mengalami vasodilatasi. Pada saat nekrosis pulpa terjadi
peningkatan tekanan cairan plasma terhadap dinding pulpa yang berupa
jaringan keras yang dilanjutkan eksudasi yang menyebabkan edema
intrapulpa. Edema ini meyebabkan penyempitan/kongesti pembuluh darah
dikarenakan respon peningkatan tekanan terhadap jaringan keras pulpa dan
menyebabkan iskemia pembuluh darah yang terlibat.
Setelah nekrosis pulpa, reaksi inflamasi dari jaringan pulpa akan berlanjut
ke jaringan periapikal. Jaringan pulpa yang mengandung bakteri serta
toksinnya akan keluar melalui foramen apikal maupun foramen lateral yang
merupakan penghubung pulpa dan jaringan peridonsium. Bakteri serta
46
toksinnya dan mediator inflamasi dalam pulpa yang terinflamasi dapat keluar
dengan mudah melalui foramen apikal. Peradangan yang meluas ke jaringan
periapikal menyebabkan respon inflamasi lokal sehingga akan mengakibatkan
kerusakan tulang dan resorpsi akar.
Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, akan menimbulkan
respon keradangan pada jaringan yang terinfeksi tersebut, kemudian terjadi
proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa
suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan
membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk
mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi
tersebut yang menyebabkan rasa sakit dapat berupa periodontitis apikalis akut
maupun abses alveolar.
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh
infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan
abses
ini
yaitu
Staphylococcus
Staphylococcusaureus dalam
disebut koagulase yang
proses
fungsinya
aureus dan
ini
Streptococcus
memiliki
untuk
enzim
mutans.
aktif
mendeposisi
yang
fibrin.
penyebaran
dan hyaluronidase.
infeksi
gigi
yaitu streptokinase,
streptodornase
jembatan antar sel. Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi
membran abses saja yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi
juga ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya
juga adalah S.aureus.
Jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi, tidak
kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari leukosit
yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik,
dan bakteri dalam jumlah besar.
Pada kasus ini, infeksi odontogen yang terjadi adalah dengan pola
perluasan perkontinuatum, yaitu penyebaran peradangan melalui kontinuitas
jaringan dan spasia jaringan. Pus yang telah terbentuk di tulang cancellous
dapat tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi jaringan paling
47
buruk. Bentuk anatomis dari hubungan periapikal gigi dan sinus maksilaris
secara fisiologis sangat bervariasi. Pada kasus ini diketahui bahwa puncak
apeks gigi posterior terletak dekat dasar antrum, oleh karena itu inflamasi
yang terjadi dapat menyebar ke sinus maksilaris.
Infeksi gigi yang kronis seperti yang dialami penderita ini dapat
menimbulkan jaringan granulasi di dalam mukosa sinus maksilaris, hal ini
akan menghambat gerakan silia ke arah ostium dan berarti menghalangi
drainase sinus. Gangguan drainase ini akan mengakibatkan sinus mudah
mengalami infeksi. Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas
terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies
profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pulpa terbuka
maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga
membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput
periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama
sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan
mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar
membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi.
Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (udem) dan
eksudasi, yang mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini
menyebabkan gangguan ventilasi dan drainase, resorbsi oksigen yang ada di
rongga sinus, kemudian terjadi hipoksia (oksigen menurun, pH menurun,
tekanan negatif), selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat, sekresi
kelenjar meningkat kemudian transudasi, peningkatan eksudasi serous,
penurunan fungsi silia, akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus ataupun
pertumbuhan kuman.
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan
lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi
mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan
terjadi hipoksia dan retensilendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.
48
Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya
timbul bau busuk dari hidung
Pada umumnya, prinsip terapi pada kasus ini ada tiga macam, yaitu
mengatasi masalah gigi yang terjadi pada gigi yang bersangkutan, yaitu
dengan cara drainase. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah irigasi
dengan larutan Na hipoklorit 5%. Hal ini dapat meringankan nyeri yang
diderita oleh pasien.
Perawatan konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau
irigasi sebagai pereda nyeri. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi
pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik
pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin, yang biasanya
diberikan antara 10 hingga 14 hari. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan Amoksisilin-Klavulanat
atau jenis Cephalosporin generasi kedua. Terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian
rongga hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Yang harus diingat
adalah, penggunaan antibiotika hanya untuk sinusitis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, tidak untuk sinusitis yang disebabkan oleh infeksi virus atau
alergi. Selain antibiotika, obat golongan dekongestan juga digunakan untuk
mengurangi gejala penyumbatan. Obat golongan analgetik-antipiretik juga
digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan demam.
Selanjutnya dilakukan pula perawatan operatif sebagai perawatan lanjutan
dalam menangani masalah infeksi yang meluas hingga daerah sinus maxillaris.
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan
sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali
ventilasi sinus dan klirens mukosiliar. Prinsip BSEF ialah membuka dan
membersihkan kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus
lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan
untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini
dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus maksila
dengan hidung sehingga memulihkan drainase.
49
Perlu diingat bahwa perawatan saluran akar pada kasus sinusitis dentogen
sering mengalami kegagalan. Oleh karena itu, tindakan yang sebaiknya
dilakukan oleh dokter gigi adalah melakukan pencabutan pada gigi 16 yang
telah mengalami nekrosis pulpa tersebut. Sedangkan untuk perawatan rongga
sinus pada pasien, dokter gigi harus merujuknya (bekerja sama) dengan dokter
spesialis THT.
50
katup dan tetralogi Fallot. Penderita dengan ventricular septal defect (VSD)
yang mengalami endokarditis umumnya terjadi pada daerah yang berlawanan
dengan arah shunt. Bila tidak ada kelainan organik pada jantung maka sebagai
faktor predisposisi endokarditis infektif adalah akibat pemakaian obat
immunosupresif atau sitostatik, hemodialisis atau dialisis peritoneal, sirosis
hati, diabetes mellitus, penyakit paru obstruktif menahun, penyakit ginjal, dan
penyalahgunaan narkotik intravena.
Tidak disebutkan secara jelas penyakit jantung jenis apa yang diderita oleh
laki-laki tersebut. Tapi penulis berpendapat bahwa penderita kelainan jantung
yang mungkin mengalami endokarditis adalah penderita dengan kelainan
katup jantung atau valvular heart disease. Karena kuman yang menyebabkan
infeksi cenderung menempel dan berkembang biak di katup jantung yang
rusak atau pada prostetik yang dipasang.
Selain itu pasien yang akan menjalani pembedahan jantung juga beresiko
mengalami endokarditis setelah pembedahan dilakukan. Pada orang yang
normal tanpa kelainan jantung, memiliki sistem pertahanan tubuh terhadap
bakteri yaitu melalui enzim-enzim yang terdapat dalam saliva, namun pada
pasien yang baru menjalani pembedahan jantung, sistem kekebalan tubuhnya
menurun dan keadaan jantungnya masih lemah. Dengan menurunnya sistem
kekebalan tubuh, bakteri akan masuk ke dalam aliran darah. Insidensi ini
dikenal sebagai endokarditis setelah pembedahan. Sering pasien yang akan
menjalani pembedahan jantung dikonsultasikan ke dokter gigi terlebih dahulu
untuk dievaluasi keadaan rongga mulutnya, apakah cukup baik untuk
menjalani pembedahan tersebut, atau sebaliknya. Kesehatan rongga mulut
yang maksimal harus didapatkan pada pasien yang akan menjalani
pembedahan kardiovaskular.
Sesuai keterangan penderita memiliki gigi sisa akar. Gigi sisa akar ini
dapat menjadi port de entre bakteri. Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan
stroma jaringan lunak di sekitarnya merupakan area yang kaya dengan suplai
darah. Hal ini meningkatkan kemungkinan masuknya bakteri dan toksin dari
daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Bakteri masuk melalui port de
51
entre tersebut lalu bakteri menempel pada sel epitel. Setelah bakteri menetap
pada tempat infeksi pertama, bakteri akan berkembang biak dan menyebar
langsung melalui jaringan atau lewat sistem getah bening menuju aliran darah.
Pada proses infeksi dan inflamasi akan semakin meningkatkan aliran darah
yang menyebabkan semakin banyaknya bakteri dan toksin masuk ke dalam
pembuluh darah. Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya
mengalir ke pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus
dengan pleksus vena faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena
emisaria. Karena perubahan tekanan dari infeksi tersebut menyebabkan
penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup,
maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah, yaitu penyebaran
infeksi langsung di dalam mulut ke kepala atau faring dan material septik
(infektif) mengalir melalui vena jugularis internal dan eksternal dan kemudian
ke jantung. Bakteremia dapat bersifat sementara atau menetap.
Bakteremia tersebut dapat menyebabkan endokarditis infektif yaitu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroba pada endokardium jantung
atau pada endotel pembuluh darah besar. Pada awal penyebab penyakit ini
adalah menempelnya mikrotrombi steril pada endokardium yang rusak,
sehingga menjadi nodus primer untuk adhesi bakteri. Endokard yang rusak
dan tidak rata mudah terinfeksi oleh mikroorganisme, menimbulkan vegetasi
koloni bakteri yang terdiri dari trombosit dan fibrin. Vaskularisasi jaringan
granular tersebut biasanya tidak baik, sehingga memudahkan mikroorganisme
berkembang biak dan akibatnya akan menambah kerusakan katup dan
endokard. Faktor hemodinamik (stress mekanik) dan proses imunologis
berperan penting dalam kerusakan endokardium tersebut. Kuman yang sangat
patogen dapat menyebabkan robeknya katup sehingga terjadi kebocoran.
Infeksi dengan mudahnya meluas ke jaringan sekitarnya menimbulkan abses
miokard atau aneurisma mikotik. Bila infeksi mengenai korda tendinae maka
dapat terjadi rupture, mengakibatkan terjadinya kebocoran katup.
Endokarditis
infektif
sub-akut
paling
banyak
disebabkan
oleh
52
penicillin
dan
streptomisin.
Sedangkan
untuk
mencegah
Heart
Association
(AHA)
merekomendasikan
pemberian
53
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Infeksi odontogen meluas melewati beberapa jalur yakni perikorona,
periodontal (margin gingiva) dan pulpa-periapikal. Dari ketiga jalur tersebut,
jika infeksi tidak diobati maka infeksi dapat menyebar ke bagian lain di
sekitarnya melalui tiga cara, yaitu per kontinuatum menyebar ke dalam tulang
maupun ke luar dari tulang., per limfogen menyebar ke pembuluh limfe dan
jaringan lunak sekitarnya serta per hematogen menyebar melalui pembuluh
darah. Perluasan dari suatu infeksi tergantung pada patogenitas dan virulensi
mikroorganisme terkait, sistem imun dari host, variasi anatomi hubungan
tulang, gigi dan jaringan lunak sekitarnya, dan lingkungan yang mendukung
pertumbuhan mikroorganisme di dalam jaringan tubuh host.
5.2 Saran
Tindakan perawatan untuk mencegah semakin meluasnya infeksi
dipertimbangkan sesuai dengan pola penyebaran, proses patologis dan sumber
infeksi. Untuk mendapatkan prognosis yang baik, dokter gigi harus
mempunyai diagnosis yang tepat sehingga perawatan yang diberikan baik
berupa tindakan bedah maupun non-bedah, pemberian antibiotik memberikan
hasil yang baik.
54
DAFTAR PUSTAKA
Al Hutami Aziz, Astri. 2012. Hubungan Abses dengan Demam sebagai Gejala Infeksi
Odontogenik: skripsi. Makassar: Universitas Hasanudin.
Alec Vahanian et al, (2012) Guidelines on the management of valvular heart disease
(version, 2012). European Heart Journal. 33, 24512496
Alford, Bobby R. 2003. Core Curriculum Syllabus: Review of Anatomy. Texas: BCM.
Arias, Kathleen Meehan. 2003. Investigasi dan pengendalian Wabah di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: EGC. hal 301
Bazemore A, Smucker DR. Lymphadenopathy and Malignancy. Am Fam Physician
2002;66:2103-10. Diambil dari http://www.aafp.org/afp/20021201/2103.html. Diakses
1 April 2013.
Bhatia K, Jones NS. Septic cavernous sinus thrombosis secondary to sinusitis: are
anticoagulants indicated? A review of the literature. J Laryngol Otol. Sep
2002;116(9):667-76.
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.Cilmiaty, Risya AR.
2009. Infeksi Odontogen. Available at http://cilmiaty.blogspot.com/2009/04/infeksiodontogen-by-risya-cilmiaty-ar.html. Accessed at Januari 27, 2011.
Bonow RO, Carabello BA, Kanu C, et al. (2006). "ACC/AHA 2006 guidelines for the
management of patients with valvular heart disease: a report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (writing
committee to revise the 1998 Guidelines for the Management of Patients With
Valvular Heart Disease): developed in collaboration with the Society of
Cardiovascular Anesthesiologists: endorsed by the Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions and the Society of Thoracic Surgeons". Circulation
114 (5): e84231.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC :
Jakarta.Daliemunthe Hamzah, Saidina. 1995. Pengantar Perawatan KlinisPeriodonsia.
USU pres., Medan
Canhao P, Ferro JM, Lindgren AG. Causes and predictors of death in cerebral venous
thrombosis. Stroke. Aug 2005;36(8):1720-5.
Cannon ML, Antonio BL, McCloskey JJ, et al. Cavernous sinus thrombosis complicating
sinusitis. Pediatr Crit Care Med. Jan 2004;5(1):86-8.
Coutinho J, de Bruijn SF, Deveber G, Stam J. Anticoagulation for cerebral venous sinus
thrombosis.Cochrane Database Syst Rev. Aug 10 2011
DEPKES. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. EGC : Jakarta.Eversole L. Roy . 2013. Mechanisms of Infection and
Host Defense.
Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
vi
viii