Anda di halaman 1dari 4

DOKTER ISTIMEWA

Oleh I Wayan Artika


[Cerita ini mengisahkan usaha tiada henti delapan tahun lebih pasangan suami-istri dan
hidup dalam teror sosial serta guningan karena belum memiliki anak. Namun lebih dari
pada itu, ini adalah pandangan dan harapan sorang pasien kepada dokter, yang mungkin
tidak pernah sampai ke atas meja praktik atau sengaja diabaikan.]
Hidup di tengah adat Bali seolah tanpa persoalan karena pulau ini senantiasa menebar
pesona alam dan budaya ke seentaro dunia. Di balik itu, sebenarnya ada berbagai persoalan tata
adat dan mitologis yang sering menimpa orang Bali sendiri. Namun demikian, semuanya
diterima dan dijalani dengan pasrah kepada kekuatan bersama atau kepada kekuatan para dewa
dan leluhur.
Saya menikah hampir delapan tahun silam dan tiada juga istri saya hamil. Selama tahuntahun itu saya dan istri menerima teror, ejekan, tuntutan sosial dari siapa saja: berupa berbagai
pertanyaan terbuka, di depan umum dimana saja itu, pada intinya mempersoalkan mengapa kami
belum juga memiliki anak. Saya sering tidak menanggapi atau sebisa mungkin mengalihkan
topik komunikasi dan dengan mencoba sabar dan mafhum. Begitulah tuntutan, harapan, dan
teror sosial orang Bali kepada pasangan seperti kami yang sampai saat itu belum dianugrahi
putra. Mereka tidak memahami kesedihan kami ketika menerima pertanyaan-pertanyaan itu.
Mereka pasti tidak tahu apa persoalan kami dan apa usaha yang telah kami lakukan. Singkat
cerita: kontrol sosial atau teror perasaan itu amat menyakitkan.
Kami tinggal di Singaraja, ibukota kabupaten Buleleng (Bali Utara). Di kota ini saya
bekerja sebagai dosen di Universitas Pendidikan Ganesha dan istri saya guru SD di Kalibukbuk
(di pusat pariwisata pantai Lovina). Sejak saya merasa ada masalah dalam pernikahan kami
karena hingga batas penantian awal belum juga muncul tanda-tanda kehamilan, kami memulai
mendatangi praktik dokter kandungan di kota ini. Selama tiga tahun lebih berpindah dari satu
dokter ke dokter lainnya tanpa hasil yang berarti. Saya sampai hafal dengan pola-pola kerja
seorang dokter kandungan (kecuali seorang Dokter Istimewa yang akan saya singgung pada
bagian akhir kisah ini).
Dokter kandungan di kota ini umumnya menerima kami dengan keramahan standar dan
jika bisa secepat mungkin melayani konsultasi kami dan memang hanya memakan waktu 4-8
menit. Selama itu sudah cukup baginya untuk: bertanya, Sudah berapa lama menikah?, Kapan
1

menstruasi?, sambil mengambil buku resep yang selalu siap di atas meja praktiknya, lalu
menunjukkan kalender-duduk untuk melingkari hari-hari masa subur dan hari-hari baik
kumpul, dan pada akhirnya menuliskan pil penyubur untuk istri dan terkadang vitamin untuk
saya di atas buku resep lalu dengan penuh hormat ia menggiring kami mengambil obat itu di
apotek kompleks praktiknya.
Pengalaman itu membuka mata saya: dokter kandungan tidak pernah menyelami
permasalahan pasien, tidak merasakan kegelisahan atau kekhawatiran kami, tidak menangkap
pula rasa malu dan rasa tertekan kami di tengah-tengah hidup. Walaupun kami datang sudah
sampai tujuh kali rutin setiap bulan, namun seorang dokter kandungan sama sekali tidak
mengenal kami sedikit lebih jauh dan jika ia menyapa kami dengan menyebut nama istri (maka
saya tak boleh gr), itu semata karena ia membacanya di buku kecil yang kami dapat ketika kali
pertama mengunjunginya. Pada akhirnya kami selalu mengambil keputusan: pindah dokter dan
siklus yang sama pun berulang (kecuali ketika kami berjumpa seorang Dokter Istimewa yang
akan saya singgung pada bagian akhirkisah ini). Saya simpulkan: sampai kapanpun kami datang
dokter-dokter itu menerima dengan baik, tanpa menyarankan kami mengunjungi dokter lain,
misalnya.
Petualangan baru kami siapkan. Pada tahun 2008 kami ke Denpasar (ibu kota provinsi
Bali) dan memilih seorang dokter berdasarkan promosi teman. Sampai pada tiga kali
kunjungan, saya menjumpai pola kerja yang sama seperti dokter di Singaraja. Selanjutnya kami
melewati babak baru: istri saya harus difoto bagian dalam organ reproduksinya dan
mengunjungi laboratorium untuk memastikan apakah ada virus di rahimnya. Saya ditangani oleh
dokter spesialis kesuburan. Saya memeriksa sperma untuk memastikan kualitasnya. Ketika
keadaan kami aman dokter menyarankan (bukankah saran dokter berarti suruhan bagi pasien?)
mengikuti teknik ensiminasi atau dalam dunia perternakan: kawin suntik. Sekali mencoba gagal.
Dokter mengatakan masih ada jalan: program bayi tabung. Jujur saya tidak pernah
membayangkan akan menikmati teknologi kesehatan yang mahal dan melelahkan ini. Tapi itulah
kenyataannya. Kami mendapat penjelasan singkat, proses, waktu, risiko, dan peluang hamil.
Kami bertekad untuk mengikuti program ini. Saya membaca perilaku istri, yang selalu muncul
setiap membeli jasa dokter: terlalu percaya. Saya menerima hal ini sebagai optimisme. Suasana
ruang konsultasi tim dokter program bayi tabung ini membius saya, terutama lewat sederet foto
bayi mungil yang dibingkai indah: seolah itulah salah satu anak saya.

Setelah segala proses program ini kami lewati secara ketat dan pada pertengahan bulan
berikutnya kami memperoleh hasil negatif, saya baru sadar mungkin foto-foto itu belum tentu
bayi-bayi yang lahir dari program bayi tabung. Foto-foto itu sengaja dipasang untuk
membangkitkan rasa percaya tinggi saya kepada tim dokter dan membangun rasa optimis
sebagaimana hal itu terjadi pada istri saya (walaupun tanpa foto bayi). Saya sedikit heran, ketika
kembali ke ruang itu untuk menerima berkas-berkas medis (yang mungkin berguna untuk
petualangan selanjutnya): sederetan foto bayi mungil itu, termasuk dua foto bayi kembar dua
dan satu foto bayi kembar tiga, tidak ada lagi. Ah, saya lebih yakin lagi, jika foto-foto itu adalah
foto bayi yang tidak jelas, apakah melalui kehamilan alamiah atau bayi tabung. Saya salah
membaca foto-foto itu dengan imajinasi hebat dan sekaligus menjadi lebih sadar jika imajinasi
tidak hanya milik seniman tetapi juga jangan pandang remeh teknik dokter mengajak pasiennya
berimajinasi. Saya korban teknik itu karena pernah sukses berimajinasi menjadi ayah (bayi
dalam foto di ruang praktik beraroma mawar segar).
Tahun berikutnya adalah Surabaya, dimana tempat ini semakin populer karena seorang
artis ternama sukses menjalani program bayi tabung. Prosedur yang kami alami hampir sama.
Bedanya, di Surabaya proses pengambilan telor yang siap panen dari indung telor dan
penanaman embrio ke dalam rahim berlangsung cepat dan istriku tidak menjadi kelinci
percobaan para dokter yang sedang mengambil program spesialis. Kami meninggalkan
Surabaya dengan rasa hampa dan gagal. Kami menghibur diri dengan jalan-jalan ke Delta Plaza
sambil menunggu senja ketika Travel Bali Prima menjemput kami.
Saya tidak peduli dengan perasaan saya karena saya lebih memikirkan segala perasaan
tertekan istri saya. Karena itu, saya hampir lupa jika saya masih punya rasa sedih atau rasa
tertekan itu. Setelah kembali di Singaraja, kami sama sekali belum memiliki rencana apa-apa.
Hari-hari berikutnya saya membantu meyakinkan istri saya agar bebas dari perasaan tertekan dan
selama hari-hari itu terbersit kembali rencana lama: adopsi. Hal ini tidak mudah kecuali karena
faktor keberuntungan. Belum lagi hambatan tata adat bagi anak adopsi karena sistem pertalian
genetis sangat ketat. Hubungan antarmanusia di dalam sistem itu ditera lewat kesamaan darah
dan bukan atas dasar kemanusiaan.
Maret 2012 istriku tidak mendapat menstruasi sebagaimana biasanya. Saya sebaiknya
tidak berharap. Diam-diam sitri saya mengetes air seninya pada pagi hari dengan alat tes
kehamilan yang dibeli di warung: hasilnya positif. Seminggu lagi dites: sama hasilnya positif dan

kami mulai membicarakannya dengan sedikit serius. Jujur saya takut ke dokter. Saya bimbang:
kalau ke dokter dan ternyata tidak hamil?; kalau ke dokter jika benar hamil tentu memperoleh
penangan yang baik. Pilihanku akhirnya ke dokter. Karena menurut saya kata-kata perawat
sangat tidak sopan ketika saya menelpon untuk memperoleh nomor antri, akhirnya kami mencari
dokter lain.
Senja itu, indah sekali dan di ranjang praktiknya, istri saya menangis. Dokter ini bertanya
dengan tulus, tanpa tergesa-gesa sama sekali karena takut percakapan kami menyita lebih banyak
waktunya, Mengapa menangis Bu?. Istri saya bercerita delapan tahun lebih penantian dan
petualangan dan dokter itu menyimaknya dengan perasaan empati yang mendalam. Saya dapat
merasakan hal itu dari nada bicara dan keramahannya. Akhirnya, itulah Dokter Istimewa yang
saya maksud dalam kisah ini. Sabtu, 3 November 2012, pukul 09.15 wita, hujan turun tidak
terlalu deras namun cukup melarutkan debu dedaunan pohon jalan-jalan kota Singaraja, tangis
anakku menembus pintu dan jendela ruang operasi.

Anda mungkin juga menyukai