Anda di halaman 1dari 3

MORATORIUM PENDIDIKAN

Oleh I Wayan Artika, Dosen Undiksha Singaraja


Mungkin sudah waktunya pendidikan kita menempuh jalan moratorium. Untuk sementara
hentikan segala bentuk pengajaran formal yang menyasar ranah kognitif siswa, instanisasi
belajar, dan evaluasi-evaluasi kuantitatif. Pendidikan harus dimurnikan dengan cara kembali
kepada pengasahan rasa, nilai, dan budi.
Pendidikan formal atau pendidikan negara sejak kemerdekaan adalah adopsi yang salah
dari tradisi pendidikan Barat, yang lebih mengasah kognisi/logika ketimbang rasa dan nilai.
Adopsi yang keliru itu sudah berjalan setengah abad yang selama itu pendidikan nilai, rasa, dan
budi hanya bunga bibir. Sekolah dan guru berlomba-lomba menggiring siswanya menekuni
sains/matematika dan menyepelekan sastra, agama, kesenian. Akhirnya sains dan matematika
tanpa fondasi rasa, nilai, dan budi menguasai iklim belajar formal dan mengintervensi kegiatan
belajar di keluarga. Sains dan matematika diterima sebagai kebenaran mutlak.
Sejak dua dekade terakhir amat terasa dampak pendidikan yang menampik pengasahan
rasa, nilai, dan budi. Negara ini dihuni oleh warga negara yang hidupnya tidak berpijak pada
basis nilai, rasa, dan budi mulia. Di kalangan elit negara/kekuasaan, kita melihat para politisi dan
birokrat pembual yang hanya piawai bersilat lidah di gedung parlemen dalam sorot kamera
televisi atas nama peraturan perundang-undangan dan demokrasi, demi keuntungan pribadi.
Mereka adalah produk pendidikan yang mengejar nilai-nilai unggul sain dan matematika minus
olah rasa, nilai, dan budi, apalagi nurani. Di kalangan orang tua yang juga dulu dididik dengan
cara yang timpang telah meneruskan pola pendidikan yang timpang itu pula kepada anak-anak
mereka. Mereka tidak menerima anaknya mempelajari sastra atau gemar membaca buku
petualangan. Mereka ingin anak-anaknya mempelajari ilmu yang berkaitan dengan sains dan
matematika. Berkomunikasi dari hati ke hati di keluarga antara anak dan orang tua tidak berjalan
dengan baik. Hubungan-hubungan keluarga tidak dipertalikan oleh rasa dan nilai tetapi oleh
tanggung jawab matematis dan ekonomis. Pendidikan yang salah ternyata telah meracuni
manusia dan melahirkan masyarakat hitam, menuju masyarakat gelap, yang telah diramalkan
akan mengaramkan sebuah negara. Mengenai keadaan atau kenyataan ini, banyak pakar
Indonesia telah mengemukakannya dengan ungkapan bahwa negara Indonesia telah gagal tatapi
para elit birokrasi/politisi tidak peduli.

Begitulah, pendidikan yang timpang ini memakan korbannya pada setiap anggkatan.
Anak-anak yang bersih dan murni itu yang berangkat ke sekolah dengan semangat fajar meneguk
racun-racun hitam pendidikan sejak prasekolah hingga sekolah menengah, yang disajikan di atas
cawan-cawan pada meja belajar di sekolah oleh guru-guru mereka. Pengajaran dilakukan hanya
demi sukses menjawab soal-soal pilihan ganda ketika ujian dan bukan untuk berlatih secara
intens menjawab soal-soal pada ujian kehidupan nyata. Kualitas pendidikan digeneralisasi
secara nasional melalui ujian nasional. Untuk itu sekolah berlomba-lomba ingin mencapai
kualitas terbaik dengan menempuh berbagai cara: guru tidak perlu mengajar tetapi harus
menjalankan program berlatih menjawab soal-soal ujian. Maka: kegiatan belajar siswa di sekolah
praktis hanya mengikuti berbagai proyek try out tanpa berlatih dan membaca buku sumber.
Siswa melupakan hidupnya sendiri dan sekolah adalah mesin pengeram yang salah. Setelah
tamat sekolah menengah atas, mereka menetas dan sebelah badannya lumpuh atau lumpuh sama
sekali: tanpa wawasan kehidupan tetapi mereka memperoleh nilai tinggi untuk lima mata
pelajaran utama.
Untuk itu, moratorium pendidikan yang mengunggulkan ranah kognitif dimana pelajaran
sains/matematika yang diutamakan dengan menyepelekan pelajaran pengasahan rasa, nilai, dan
budi harus dipilih sebagai langkah mendasar dalam menata ulang sistem pendidikan. Untuk hal
ini, negara harus menghentikan intervensi politiknya di dalam dunia pendidikan. Intervensi
negara yang salah dan berlebihan terbukti telah menghancurkan pendidikan dan menamatkan
anak-anak bangsa yang diracuni. Negara harus menyadari bahwa, dalam wilayah seluas
Indonesia diplomasi-diplomasi politik untuk menguasai insan-insan pendidikan di sekolahsekolah di seluruh Indonesia adalah omong kosong. Serahkan tanggung jawab dan kebijakan
pengajaran kepada daerah-daerah sesuai dengan basis masyarakatnya dan orientasi daerah
kepada masa depan. Muatan lokal juga suatu bunga bibir dalam dunia pendidikan kita. Karena
pelajaran ini sama sekali tidak bertuah pada akhirnya karena tidak memiliki energi politik bahkan
dilemahkan posisinya secara politik.
Karena itu: setengah abad ke depan pendidikan Indonesia adalah dalam kerangka dasar
mengembalikan bangsa ini kepada rasa, nilai, dan budi sebagai basis moral dan mental
masyarakat yang direnggut oleh sikap kita yang salah kaprah terhadap modernisasi dan
pendidikan Barat karena kekuatan imperialis-kolonialis Barat. Untuk itu, guru-guru Indonesia
harus melakukan retret: melihat diri ke dalam, hening, dan merasa bodoh sehingga harus

membaca dan belajar lagi dari titik nol. Guru harus menghentikan segala keangkuhan dan
kesombongannya. Guru harus melakukan perubahan secara radikal dengan mempertanyakan
bahwa selama ini dirinya keliru: hanya bisa menyuruh tetapi dirinya sendiri tidak berbuat apaapa; marah ketika siswanya terlambat tetapi dirinya boleh terlambat bahkan tidak mengajar
karena berbagai alasan; meminta siswanya membaca buku tetapi dirinya sama sekali tidak tahu
buku dengan alasan sibuk, dll. Pada intinya guru harus berhenti menjadi guru dan menggurui.
Mereka tetap mengajar di sekolah dengan gaji dan tunjangan utuh dari negara tetapi
mereka mulai sadar atas kerendahhatian bahwa mereka dan para siswa sama-sama insan belajar
untuk mengetahui sesutu atau untuk melakukan sesuatu. Hubungan guru dan siswa dilandasi oleh
pelajaran bersama dalam pengolahan rasa dan nilai. Sasaran pendidikan seperti ini adalah hati
nurani dan budi manusia. Ini adalah pendidikan awal untuk membangun fondasi humanisasi dan
peradaban. Tujuan pendidikan ini adalah untuk mencapai rasa saling dihargai, kepuasan hidup
dan rasa bahagia. Jika menurut guru siswa telah mencapai perasaan tersebut, ya berarti
pendidikan telah berjalan dengan baik dan siswa telah mengecap manfaat pendidikan itu karena
mereka dapat menangkap makna suatu proses belajar, yang tentu saja tidak perlu ujian nasional.

Anda mungkin juga menyukai