Anda di halaman 1dari 20

STRUKTUR KECEPATAN GELOMBANG GEMPA

DAN KOREKSI STASIUN SEISMOLOGI DI INDONESIA

Nanang T. Puspito
Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA - ITB
Abstrak
Penelitian ini telah berhasil mengembangkan model struktur kecepatan gelombang P dan
harga koreksi untuk stasiun-stasiun seismologi di wilayah Indonesia dan sekitarnya. Model
struktur kecepatan gelombang P dibangun untuk kedalaman sampai 700 km sedangkan
sebanyak 35 buah stasiun seismologi telah berhasil ditentukan harga-harga koreksinya.
Model struktur kecepatan gelombang P dan harga koreksi stasiun seismologi ditentukan
dengan melakukan inversi pada sekumpulan data waktu tempuh gelombang P. Metoda inversi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda inversi "kuadrat terkecil berbobot" yang
telah dikembangkan oleh Crosson1) dan Puspito7). Model struktur kecepatan gelombang P
dibagi menjadi 15 lapisan homogen dengan kecepatan model awal diadaptasi dari model
Jeffrey-Bullen6). Data yang digunakan adalah 13.115 waktu tempuh gelombang P yang
diperoleh dari 459 gempa yang terjadi pada periode tahun 1984 - 1993. Data gempa
diperoleh dari buletin International Seismological Center (ISC) London. Inversi dilakukan
sampai iterasi ke-10 dan solusi dianggap mencapai konvergen pada iterasi ke-6. Harga ratarata sisa waktu tempuh berkurang dari 0.40 detik pada awal iterasi menjadi 0.08 detik pada
akhir iterasi. Model struktur kecepatan gelombang P hasil inversi lebih cepat bila
dibandingkan dengan model Jeffrey-Bullen. Harga koreksi stasiun untuk stasiun-stasiun
seismologi di Sumatera dan Jawa menunjukkan harga koreksi negatif. Sedangkan di
kepulauan Filipina, Laut Banda, Australia Utara dan di Semenanjung Malaysia harga koreksi
stasiun adalah positif.
Abstract
We have determined the spherically-layered model for P-wave velocity structure and
station corrections for seismographic stations in the Indonesian region and its surrounding.
The P-wave velocity structure has been developed down to a depth of 700 km while the station
corrections have been determined for 35 seismographic stations located in the study region.
We inverted the P-wave travel-times data by using the so called "damped least-squares
inversion method"1,7). The modeling space is divided into 15 homogeneously layers with the
initial velocity model based on the modification from Jeffrey-Bullen6). We employed 13,115 Pwave travel-times data from 459 earthquakes occurring in the period of 1984 to 1988. The
data were taken from the bulletin of International Seismological Center (ISC) London. We
performed the inversion for 10 iterations. The solutions can be considered to have achieved
convergence after the 6-th iteration. The average travel-time residuals were reduced from
0.40 sec to 0.08 sec. The obtained velocity structure model faster than the initial model of
Jeffrey-Bullen. The obtained station corrections for seismographic stations in Sumatra and
Java show negative values. In the Philippine Islands, Banda Sea, Northern Australia, and
Malay Peninsula the obtained station corrections show positive values.

20

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996

21

1. PENDAHULUAN
Kegiatan rutin utama yang dilakukan pada stasiun-stasiun seismologi adalah
menentukan parameter gempa dari gempa-gempa yang terjadi. Ketelitian dalam penentuan
parameter gempa tersebut akan menentukan kualitas informasi yang akan disampaikan kepada
masyarakat. Oleh karenanya usaha-usaha untuk meningkatkan ketelitian penentuan parameter
gempa akan sangat membantu tugas para seismologists dalam memberikan informasi yang
lebih akurat kepada masyarakat.
Parameter gempa yang biasanya diinformasikan kepada masyarakat diantaranya
adalah: magnitudo (kekuatan gempa), origin time (waktu terjadinya gempa), episenter (lokasi
gempa), dan kedalaman pusat gempa. Tiga parameter terakhir, yaitu: origin time, episenter
dan kedalaman pusat gempa, biasanya disebut sebagai parameter hiposenter. Tingkat ketelitian
penentuan parameter hiposenter sangat bergantung pada kualitas model struktur kecepatan
gelombang gempa yang digunakan1,7,10). Dengan demikian peningkatan kualitas model
struktur kecepatan gelombang gempa akan dapat meningkatkan ketelitian parameter
hiposenter yang ditentukan.
Model struktur kecepatan gelombang gempa yang digunakan di Indonesia adalah
model Jeffrey-Bullen6). Model struktur kecepatan tersebut dibuat dengan asumsi model bola
bumi ideal. Model tersebut tentu saja tidak sesuai dengan kondisi wilayah kepulauan
Indonesia yang mempunyai konfigurasi tektonik dan struktur interior yang sangat
kompleks8,9). Oleh karena itu penggunaan model Jeffrey-Bullen dalam penentuan parameter
hiposenter gempa-gempa yang terjadi di Indonesia akan menimbulkan kesalahan. Penelitian
ini bertujuan untuk membuat model struktur kecepatan gelombang gempa yang lebih sesuai
dengan kondisi tektonik wilayah kepulauan Indonesia.
Dalam penelitian ini tingkat ketelitian penentuan parameter hiposenter, disamping
bergantung pada kualitas model struktur kecepatan gelombang gempa1,7,10), juga diasumsikan
bergantung pada faktor koreksi di masing-masing stasiun seismologi (atau tepatnya:
seismograf) yang mencatat getaran gempa tersebut. Penelitian ini juga bertujuan untuk:
menentukan faktor koreksi di seluruh stasiun seismologi yang ada di Indonesia. Model
struktur kecepatan gelombang gempa dan faktor koreksi stasiun seismologi dalam penelitian
ini akan ditentukan secara inversi dari data yang terjadi Indonesia. Metoda yang digunakan
merupakan pengembangan dari metoda "inversi kuadrat terkecil berbobot atau damped leastsquares method"1,7).
Daerah penelitian adalah wilayah kepulauan Indonesia dan sekitarnya yang terletak
pada 90 BT sampai 140 BT, dan 15 LS sampai 15 LU. Gambar 1 menunjukkan peta daerah
penelitian. Dalam daerah penelitian terdapat 35 buah stasiun seismologi yang harus ditentukan
harga koreksi stasiunnya. Gambar 2 menunjukkan peta lokasi stasiun seismologi yang ada di

22

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996

dalam daerah penelitian. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas
penentuan parameter hiposenter untuk gempa-gempa yang terjadi di wilayah Indonesia.
2. STRUKTUR KECEPATAN
Model struktur kecepatan gelombang gempa yang biasa dipergunakan dalam studi
seismologi adalah model Jeffrey-Bullen6) dan Herrin4). Kedua model ini adalah model 1dimensi struktur kecepatan gelombang gempa yang dihasilkan dari pengamatan sejumlah
gempa yang terjadi di seluruh dunia. Gambar 3 menunjukkan kedua model struktur kecepatan
untuk gelombang P pada bagian mantel atas yang terletak pada kedalaman dari 0 sampai 700
km. Kedua model tersebut disusun dengan asumsi bahwa interior bumi diseluruh bagian
mempunyai karakteristik yang sama atau homogen. Sedangkan besarnya kecepatan gelombang
gempa diasumsikan hanya merupakan fungsi dari kedalaman.
Pemakaian model struktur kecepatan Jeffrey-Bullen6) dan Herrin4) dalam perhitungan
parameter hiposenter untuk gempa-gempa lokal dapat menimbulkan kesalahan pada hasil
parameter yang ditentukan. Kesalahan ini disebabkan karena struktur kecepatan gelombang
gempa di tiap tempat pada kenyataannya berbeda dengan model Jeffrey-Bullen6) dan Herrin4)
yang berlaku umum. Dengan kata lain struktur interior bumi ditiap tempat berbeda-beda.
Dengan demikian tingkat ketelitian penentuan parameter hiposenter untuk gempa-gempa lokal
di suatu daerah dapat ditingkatkan kalau kita dapat membuat model struktur kecepatan
gelombang gempa yang lebih sesuai untuk daerah tersebut.
Model struktur kecepatan gelombang gempa dapat ditentukan dengan memanfaatkan
seperangkat data pengamatan gempa yang meliputi data waktu tiba (arrival time) atau waktu
tempuh (travel time) gelombang gempa yang terekam pada seismogram. Penentuan model
struktur kecepatan gelombang gempa semacam ini dikenal sebagai metoda inversi. Salah satu
metoda yang paling populer dalam metoda inversi ini adalah metoda inversi kuadrat terkecil
(least squares) yang dikembangkan oleh Crosson1,2). Metoda inversi ini telah dimodifikasi dan
diterapkan secara baik di Jepang oleh beberapa peneliti5,7,10). Pada metoda ini parameter
hiposenter dan parameter kecepatan gelombang gempa untuk bumi berlapis-lapis diestimasi
secara simultan dengan memanfaatkan data waktu tempuh gelombang gempa dari gempagempa lokal.
3. METODA INVERSI
Struktur kecepatan gelombang gempa model Jeffrey-Bullen dan Herrin (Gambar 2)
adalah model satu-dimensi yang dihasilkan dari pengamatan sejumlah gempa yang terjadi di
seluruh dunia. Kedua model tersebut disusun dengan asumsi bahwa interior bumi diseluruh
bagian mempunyai karakteristik sama. Beberapa peneliti, diantaranya Crosson1,7,10) telah
berhasil membuktikan bahwa pemakaian struktur kecepatan gelombang gempa model JeffreyBullen dan Herrin dalam penentuan parameter hiposenter untuk gempa-gempa lokal dapat

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996

23

menimbulkan kesalahan yang cukup besar. Kesalahan tersebut disebabkan karena struktur
kecepatan gelombang gempa di tiap tempat pada kenyataannya berbeda dengan struktur
kecepatan gelombang gempa model Jeffrey-Bullen dan Herrin yang berlaku umum untuk
struktur bumi ideal. Waktu tempuh, demikian juga halnya waktu tiba, suatu gelombang gempa
yang terekam dalam seismogram secara teoritis merupakan suatu fungsi dari parameter
hiposenter dan struktur kecepatan gelombang gempa dibawah permukaan bumi yang dilalui
oleh gelombang gempa tersebut2,7,10). Dengan demikian sekumpulan data waktu tiba
gelombang gempa dari sekumpulan data gempa yang terjadi di suatu daerah mengandung
informasi tentang parameter hiposenter dan struktur kecepatan gelombang gempa. Dengan
kata lain kita dapat menentukan parameter hiposenter dan struktur kecepatan gelombang
gempa dari sekumpulan data waktu tiba gelombang gempa dari data gempa yang diketahui.
Cara penentuan parameter hiposenter dan struktur kecepatan gelombang gempa semacam ini
dalam seismologi dikenal sebagai "metoda inversi".
Metoda inversi tersebut semakin banyak dimanfaatkan dalam studi-studi seismologi
seiring dengan telah berkembangnya jumlah dan kualitas stasiun-stasiun seismologi yang ada
di seluruh dunia. Perkembangan pemanfaatan metoda inversi ini terasa mencolok sejak
pertengahan tahun 1970-an. Beberapa metoda inversi telah berhasil dikembangkan untuk
"mengekstraksi" informasi tentang parameter gempa dan struktur kecepatan gelombang gempa
dari sekumpulan data waktu tiba gelombang gempa. Sejak itulah secara teoritis dan teknis
struktur kecepatan gelombang gempa di bawah permukaan bumi dapat ditentukan dengan
melakukan inversi pada sekumpulan data waktu tiba gelombang gempa yang terekam pada
seismogram.
Pengembangan metoda-metoda inversi tersebut diantaranya dipelopori oleh
Crosson1,2). Dia berhasil mengembangkan suatu metoda inversi kuadrat terkecil linier (leastsquares method) untuk mengestimasi secara simultan parameter hiposenter dan struktur
kecepatan gelombang gempa untuk model bumi berlapis horisontal dengan memanfaatkan
data waktu tiba gelombang gempa dari gempa-gempa lokal. Dalam waktu relatif singkat
metoda tersebut telah berhasil diterapkan oleh beberapa peneliti untuk menentukan struktur
kecepatan gelombang gempa di beberapa wilayah di dunia. Diantaranya adalah Crosson and
Koyanagi3) untuk wilayah kepulauan Hawai, dan Horie and Shibuya5) serta Sato10) untuk
wilayah kepulauan Jepang dan sekitarnya. Dengan melakukan modifikasi pada metoda yang
dikembangkan oleh Crosson1,2), Puspito7) berhasil mengembangkan suatu metoda inversi yang
disebut metoda inversi kuadrat terkecil berbobot (damped least-squares method). Metoda ini
telah berhasil diterapkan untukmenentukan model 1-dimensi struktur kecepatan gelombang P
dan S di wilayah Tohoku Jepang. Model struktur kecepatan yang dihasilkan telah berhasil
digunakan sebagai model awal dalam studi 3-dimensi struktur kecepatan gelombang gempa
di wilayah Tohoku Jepang.

24

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996

Berdasarkan pendekatan yang dipelopori oleh Crosson1,2), waktu tempuh yang


dibutuhkan oleh suatu gelombang gempa yang merambat dari suatu pusat gempa ke suatu
stasiun seismologi bergantung pada parameter hiposenter dan struktur kecepatan gelombang
gempa pada medium di bumi yang dilalui oleh gelombang tersebut. Waktu tempuh gelombang
gempa dipandang sebagai suatu fungsi tidak linier dari parameter hiposenter dan struktur
kecepatan gelombang gempa. Akan tetapi fungsi tidak linier tersebut dapat didekati sebagai
fungsi seolah linier (quasi-linear) dari sekumpulan sistem persamaan dengan menggunakan
ekspansi orde pertama.
Puspito7) mengasumsikan bahwa dalam sekumpulan data waktu tempuh gelombang
gempa hasil pengamatan sejumlah q gempa yang tercatat di sejumlah p stasiun seismologi,
waktu tempuh gelombang untuk gempa ke-j yang tercatat pada stasiun ke-i dapat ditulis
sebagai berikut:

Tij = Tij (X ij , X 2 j , X 3 j , X 4 j ,V1 ,...........,Vk )

(1)

i = 1, .............., p dan j = 1, ................., q


dimana X1j, X2j, dan X3j adalah koordinat lokasi hiposenter (lintang, bujur, dan kedalaman
pusat gempa), X4j adalah origin time, dan V1, ..........., Vk adalah kecepatan gelombang gempa
pada lapisan ke-1 sampai dengan lapisan ke-k.
Pada penelitian ini waktu tempuh diasumsikan tidak hanya bergantung pada parameter
hiposenter dan struktur kecepatan gelombang gempa saja, tetapi juga bergantung pada
karakteristik stasiun seismologi. Dalam hal ini karakteristik stasiun seismologi
direpresentasikan dengan "faktor koreksi" di tiap-tiap stasiun seismologi. Waktu tempuh
gelombang gempa dapat diasumsikan sebagai suatu fungsi quasi linear dari parameter
hiposenter, struktur kecepatan gelombang gempa, dan koreksi stasiun seismologi. Oleh
karenanya dalam sekumpulan data waktu tempuh gelombang gempa hasil pengamatan
sejumlah q gempa yang tercatat di sejumlah p stasiun seismologi, waktu tempuh gelombang
untuk gempa ke-j yang tercatat pada stasiun ke-i dapat ditulis sebagai berikut:
Tij = Tij (X 1 j , X 2 j , X 3 j , X 4 j ,V1 ,...........,Vk , Ci )

(2)

i = 1, .............., p dan j = 1, ................., q


dimana Ci adalah faktor koreksi stasiun seismologi ke-i dimana i = 1 sampai p. Suatu
perubahan kecil pada fungsi waktu tempuh gelombang gempa dapat dituliskan sebagai
berikut:
4
r
T

Tij = ij
X kj + ij
Vk + ij

X kj
Vkj
C ij C i
k =1
k =1
i =1
p

(3)

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996

25

dimana Tij = Tij Tij* , X kj = X kj X kj* , Vk = Vk Vk* , dan C i = C i C*i . Harga-harga X kj* , *k ,

dan C*i adalah titik-titik di dalam ruang hiposenter, model struktur kecepatan, dan faktor
koreksi stasiun seismograf dimana harga turunan parsial dari waktu tempuh gelombang gempa
dihitung.
Dalam prakteknya harga Tij merupakan harga residual waktu tempuh gelombang
gempa yang merupakan selisih antara waktu tempuh hasil pengamatan dengan waktu tempuh
hasil perhitungan berdasarkan model struktur kecepatan tertentu. Waktu tempuh teoritik dan
turunan parsialnya dihitung berdasarkan pada harga-harga awal solusi parameter (initial
value). Persamaan (3) tersebut diatas dapat dipandang sebagai sekumpulan pq (=n) persamaan
linear dengan 4q + r + p (=m) bilangan atau parameter tak diketahui (unknown parameter).
Dalam penelitian ini parameter tak diketahui tersebut merupakan harga koreksi terhadap harga
awal solusi parameter untuk mendapatkan solusi parameter yang sebenarnya. Parameterparameter tak diketahui tersebut merupakan parameter-parameter yang akan ditentukan dalam
proses inversi. Huruf p menyatakan jumlah stasiun seismologi yang faktor koreksinya akan
ditentukan, sedangkan huruf r menyatakan jumlah perlapisan pada model struktur kecepatan
yang digunakan dalam inversi.
Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Puspito7), persamaan (3) tersebut diatas
dapat dituliskan menjadi persamaan matrik sebagai berikut:
A X = t

(4)

dimana A adalah n x m matriks koefisien yang elemennya adalah turunan parsial dari waktu
tempuh terhadap parameter yang tak diketahui, X adalah m x 1 vektor solusi yang merupakan
koreksi terhadap parameter hiposenter, model struktur kecepatan dan faktor koreksi stasiun,
dan t adalah vektor residual dari waktu tempuh yang merupakan selisih antara hasil
pengamatan dengan hasil perhitungan teoritik. Persamaan (4) adalah suatu sistem persamaan
seolah linier (quasi linear) dimana harga A akan selalu berubah sebagai respon terhadap
perubahan harga X menjadi X*. Untuk mencapai tingkat konvergensi pada harga solusi yang
sebenarnya diperlukan beberapa kali iterasi.
Dalam perhitungan numerik bila jumlah data pengamatan lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah parameter yang tak diketahui yang akan dicari, sistem persamaan (4) akan
menjadi overdetermined. Artinya sistem persamaan (4) dapat dipecahkan. Kalau syarat
tersebut dapat dipenuhi maka kriteria kuadrat terkecil dapat diterapkan untuk menyelesaikan
solusi sistem persamaan (4). Metoda klasik kuadrat terkecil pada dasarnya adalah
meminimalkan persamaan berikut ini:
(A X - t)T (A X - t)

(5)

26

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996

dimana superskrip T menunjukkan "transpose". Dengan demikian penyelesaian sistem


persamaan (4) dengan metoda klasik kuadrat terkecil pada dasarnya dilakukan dengan
menyelesaikan suatu persamaan normal sebagai berikut:
ATA X = AT t

(6)

Harga estimasi atau perkiraan dari solusi menjadi:

X = Ht

(7)

H = (AT A)-1 AT

(8)

dimana

Matrik H dengan dimensi m x n dapat dipandang sebagai suatu operator "generalized inverse"
yang memungkinkan bahwa matrik ATA adalah sebuah matrik tidak singular. Matrik resolusi
R yang menghubungkan antara solusi sebenarnya (X) dengan solusi yang dihitung ( X )
adalah:
R=HA

(9)

dan

= R X

(10)

Persoalan iterasi pada dasarnya adalah upaya memperkecil harga t dalam sistem persamaan
(4). Hubungan antara data pengamatan (t) dengan data teoritik ( t ) dapat dinyatakan
sebagai berikut:

t = S t

(11)

S=AH

(12)

dimana
adalah matrik yang menghubungkan antara data pengamatan (t) dengan data teoritik ( t ) .
Matrik kovarian dapat dituliskan sebagai berikut:
C = 2t H H T

(13)

Harga varian pengamatan ( 2t ) dapat diestimasi secara hati-hati dengan melihat ketidakpastian
data waktu tiba. Estimasi dilakukan dengan melihat langsung pada data mentah yang masih
berupa rekaman gelombang pada kertas seismogram. Bila parameter yang tak diketahui
(unknown parameter) hasil perhitungan ( X ) mendekati harga solusi yang sebenarnya (X)
maka parameter hiposenter, model struktur kecepatan gelombang gempa, dan faktor koreksi
stasiun seismograf yang dihasilkan dapat dianggap "baik".
Metoda kuadrat terkecil klasik mempunyai keunggulan yakni merubah sistem
persamaan yang asli menjadi suatu sistem persamaan normal. Tetapi pada kenyataannya
kesulitan-kesulitan akan timbul karena pada dasarnya matrik ATA pada persamaan (6) adalah

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996

27

matrik "singular" atau mendekati "singular". Untuk mengatasi kesulitan ini, Puspito7)
menggunakan metoda kuadrat terkecil berbobot (damped least-squares) sebagai pengganti
metoda kuadrat terkecil yang klasik. Solusi sistem persamaan (4) ditentukan dengan
meminimalkan fungsi dibawah ini:
( A X t ) T ( A X t ) + 2 X T X

(14)

dimana 2 adalah koefisien pembobotan untuk mengkontrol "trade off" antara matrik resolusi
dengan varian. Peminimalan sistem persamaan (14) menghasilkan suatu sistem persamaan
normal yang termodifikasi sebagai berikut:
( AT A + 2 I ) X = AT t

(15)

yang pada dasarnya "serupa" dengan sistem persamaan (6). Matrik I adalah matrik identitas
(identity matrix). Dalam sistem persamaan yang baru (14), fungsi "generalized inverse"
berubah bentuk menjadi persamaan sebagai berikut:

H = ( AT A + 2 I ) 1 AT

(16)

Matrik resolusi R, matrik densitas informasi S, dan matrik kovarian C dapat ditentukan dengan
mengsubstitusikan sistem persamaan (16) kedalam sistem persamaan-persamaan (9), (12), dan
(13). Pemilihan harga fungsi pembobotan 2 adalah merupakan salah satu tahapan sangat
penting dalam mengkontrol resolusi dan varian dari solusi sistem persamaan yang akan
ditentukan. Beberapa kondisi yang muncul berkaitan dengan harga fungsi pembobotan
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Untuk kasus 2 = 0 metoda kuadrat terkecil berbobot akan
sama dengan metoda kuadrat terkecil klasik, dan (2) Bila harga 2 tidak sama dengan nol,
matrik resolusi R tidak akan lagi berupa matrik "identitas". Untuk mendapatkan resolusi yang
maksimum dalam perhitungan secara umum dipilih harga 2 sekecil mungkin.
4. DATA
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data waktu tempuh gelombang P
dari gempa-gempa lokal yang terjadi di wilayah Indonesia. Data gempa yang terdiri dari
origin time, lokasi episenter, kedalaman pusat gempa, magnitudo dan waktu tiba gelombang
gempa ditiap stasiun diperoleh dari buletin ISC (International Seismological Center) London.
Dalam penelitian ini data origin time, episenter dan kedalaman pusat gempa yang dilaporkan
oleh ISC dijadikan sebagai harga awal (initial value) dalam inversi penentuan parameter
hiposenter.
Data gempa dipilih untuk selang waktu pengamatan dari tahun 1984 sampai dengan
1993. Waktu tempuh gelombang P diperoleh dengan cara mengurangi origin time dengan
waktu tiba gelombang P di seismogram. Gempa-gempa lokal yang terjadi di wilayah
Indonesia tersebut tercatat di 35 stasiun seismologi yang ada didalam daerah penelitian.

28

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996

Sebagian dari stasiun seismograf itu milik Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta. Sebagian
yang lainnya milik negara-negara tetangga seperti Filipina, Australia, Singapura, Malaysia,
dan Thailand. Gambar 2 menunjukan peta distribusi stasiun seismologi yang ada di daerah
penelitian.
Data gempa yang digunakan dalam penelitian ini diseleksi berdasarkan kriteria sebagai
berikut. (1) Magnitudo gempa harus lebih besar dari lima dalam skala Richter, M > 5.0. Hal
ini dipilih karena berdasarkan pengalaman bahwa gempa dengan M > 5.0 akan cenderung
tercatat disebagian besar stasiun seismologi. (2) Waktu tiba gelombang P untuk tiap gempa
minimal tercatat di 25 stasiun. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data waktu tiba
sebanyak mungkin. Biasanya gempa-gempa yang tercatat disebanyak mungkin seismograf
mempunyai solusi parameter hiposenter yang baik. (3) Lokasi hiposenter diusahakan
terdistribusi secara merata. Hal ini dimaksudkan agar wilayah penelitian dapat "tersampling"
secara baik oleh perambatan gelombang gempa, sehingga diharapkan model struktur
kecepatan gelombang gempa yang akan ditentukan dapat mewakili secara baik seluruh daerah
penelitian. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh 459 data gempa dengan 13.115 data waktu
tiba gelombang P. Gambar 4 menunjukkan peta distribusi episenter gempa yang dipergunakan
dalam penelitian ini.
5. DISKUSI DAN KESIMPULAN
Dalam penelitian ini sebagai model awal struktur kecepatan dipilih sebuah model
struktur kecepatan yang merupakan hasil modifikasi dari model Jeffrey-Bullen. Gambar 5
menunjukan model awal struktur kecepatan yang digunakan dalam penelitian ini. Model awal
struktur kecepatan tersebut dibuat dengan asumsi model bumi berlapis-lapis horisontal sampai
kedalaman 700 km. Jumlah lapisan adalah 15 lapisan dengan tebal tiap adalah lapisan 50 km,
kecuali tiga lapisan pertama pada kedalaman 0 - 100 km dengan tebal masing-masing 34, 33,
dan 33 km. Harga kecepatan gelombang P ditiap lapisan merupakan harga rata-rata dari
kecepatan model Jeffrey-Bullen pada kedalaman tiap lapisan. Model struktur kecepatan hasil
modifikasi ini dijadikan sebagai model awal dalam inversi data waktu tempuh gelombang P
untuk menentukan model struktur kecepatan dan koreksi stasiun seismologi yang sesuai
dengan data gempa Indonesia. Tabel 1 menunjukan parameter model struktur kecepatan hasil
modifikasi tersebut.
Salah satu tahapan penting dalam inversi dengan metoda kuadrat terkecil berbobot
adalah dalam penentuan parameter damping. Harga parameter damping harus ditentukan
untuk masing-masing parameter hiposenter dan parameter kecepatan yang akan ditentukan
dalam inversi. Dalam penelitian ini harga parameter damping dipilih sebagai berikut: 0.030
untuk koordinat episenter, 3.0 km untuk kedalaman pusat gempa, 0.1 detik untuk origin time,
0.02 km/detik untuk kecepatan gelombang P, dan 0.05 detik untuk faktor koreksi stasiun

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996

29

seismologi. Pemilihan parameter damping didasarkan pada kriteria bahwa solusi model
struktur kecepatan yang akan ditentukan diharapkan tidak terlalu jauh berbeda dengan model
awal yang dipilih.
Dalam penelitian ini inversi dengan metoda kuadrat terkecil berbobot dilakukan
sampai iterasi ke-10. Justifikasi dari harga rata-rata sisa waktu tempuh (travel-time residual:
waktu tempuh pengamatan - waktu tempuh hasil perhitungan) menunjukkan bahwa solusi
mencapai konvergen mulai iterasi ke-6. Harga rata-rata sisa waktu tempuh berkurang dari 0.40
detik pada iterasi awal menjadi 0.10 detik pada iterasi ke-10. Gambar 6 menunjukkan kurva
penurunan harga rata-rata sisa waktu tempuh terhadap iterasi. Terlihat dari kurva tersebut
bahwa solusi dapat dianggap mencapai konvergen pada iterasi setelah ke-6.
Hasil inversi bahwa model struktur kecepatan yang dihasilkan secara sistematis lebih
cepat dibandingkan dengan model awal. Hanya pada lapisan ke-13 (kedalaman 550 - 600 km)
dan lapisan ke-14 (kedalaman 600 - 650 km) model struktur kecepatan hasil inversi lebih
lambat dibandingkan dengan model awal. Dilihat dari harga resolusinya, masing-masing
lapisan mempunyai resolusi yang cukup tinggi berkisar antara 0.362 - 0.798. Gambar 5
menunjukkan perbandingan antara model awal yang merupakan hasil modifikasi dari model
Jeffrey-Bullen dengan model struktur kecepatan hasil inversi. Tabel 1 menunjukkan parameter
model struktur kecepatan hasil inversi.
Lebih cepatnya model struktur kecepatan hasil inversi dibandingkan dengan model
awal menunjukkan bahwa parameter hiposenter yang ditentukan selama ini di Indonesia
berbeda dengan parameter hiposenter yang sebenarnya. Artinya penentuan parameter
hiposenter dengan menggunakan model struktur kecepatan Jeffrey-Bullen akan menimbulkan
kesalahan. Kedalaman pusat gempa yang ditentukan berdasarkan model struktur kecepatan
Jeffrey-Bullen akan lebih dangkal dibandingkan lokasi pusat gempa yang sebenarnya.
Dalam penelitian ini sebanyak 35 buah stasiun seismologi telah berhasil ditentukan
faktor koreksinya. Harga faktor koreksi berkisar antara - 0.45 detik sampai + 0.38 detik. Tabel
2 menunjukkan daftar harga faktor koreksi di 35 stasiun seismologi. Gambar 7 menunjukkan
peta distribusi dari harga faktor koreksi stasiun seismograf. Dari Gambar 7 dapat diperoleh
gambaran bahwa distribusi harga faktor koreksi stasiun seismologi di Indonesia menunjukkan
pola yang sistematis. Stasiun-stasiun seismologi di pulau Sumatera dan Jawa mempunyai
harga-harga koreksi negatip. Pada stasiun-stasiun tersebut harga pembacaan waktu tiba
(arrival time) gelombang P yang terekam pada seismograf harus dikurangi sebesar harga
faktor koreksi. Sedangkan di kepulauan Filipina, Laut Banda, Australia Utara, dan di
Semenanjung Malaya faktor koreksi stasiun seismologi menunjukkan harga positip. Pada
stasiun-stasiun ini harga pembacaan waktu tiba harus ditambah sebesar harga faktor koreksi.
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:

30

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996

1. Metoda inversi kuadrat terkecil berbobot cukup berhasil diterapkan pada data-data gempa
di Indonesia untuk menentukan secara simultan: struktur kecepatan, parameter hiposenter,
dan faktor koreksi stasiun.
2. Model struktur kecepatan hasil inversi secara sistematis lebih cepat dibandingkan dengan
model awalnya yang merupakan modifikasi dari model Jeffrey-Bullen. Konsekuensinya,
penentuan pusat gempa dengan menggunakan model Jeffrey-Bullen akan lebih dangkal
dibandingkan lokasi pusat gempa yang sebenarnya.
3. Harga faktor koreksi negatip mendominasi stasiun-stasiun seismologi di pulau Sumatera
dan Jawa. Sedangkan harga faktor koreksi positip mendominasi stasiun-stasiun seismologi
di kepulauan Filipina, Laut Banda, Australia Utara, dan di Semenanjung Malaya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Crosson, R.S., "Crustal structure modeling of earthquake data: 1. Simultaneous least
squares estimation of hypocenter and velocity parameters", Journal Geophysical
Research, 81, 4381-4399, 1976a.
2. Crosson, R.S., "Crustal structure modeling of earthquake data: 2. Velocity structure of the
Puget Sound region, Washington", Journal Geophysical Research, 81, 3047-3054, 1976b.
3. Crosson, R.S. and R.Y. Koyanagi, "Seismic velocity structure below the island of Hawaii
from earthquake data", Journal Geophysical Research, 84, 2331-2342, 1979.
4. Herrin, E., "Seismological Tables for P Phases", Bulletin of Seismological Society of
America, 58, 1193-1241, 1968.
5. Horie, A. and K. Shibuya, "P-wave velocity structure down to 150 km in Kanto district",
Zisin, 32, 125-140, 1979 (in Japanese)
6. Jeffrey, H and KE Bullen, "Seismological Tables", British Association for the
Advancement of Science, London, 1956.
7. Puspito, N.T., "Three-dimensional seismic velocity structure beneath the northern part of
the Tohoku district, Honshu, Japan", Master Thesis, Hirosaki University, 1990.
8. Puspito, N.T., Y. Yamanaka, T. Miyatake, K. Shimazaki, and K. Hirahara, "Threedimensional P-wave velocity structure beneath the Indonesian region", Tectonophysics,
220: 175-192, 1993.
9. Puspito, N.T., "Mantle structure and seismotectonics of the Sunda and Banda arcs",
Tectonophysics, 251: 215-228, 1995.
10. Sato, T., "Velocity structure of the crust beneath the northeastern part of Honshu, Japan as
derived from local earthquake data", Journal Physics of the Earth, 27, 239-253, 1979.

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996

31

Tabel 1. Parameter struktur kecepatan Jeffrey-Bullen

Nomor
Lapisa
n

Kedalama
n
(km)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

0 - 34
34 - 67
67 - 100
100 - 150
150 - 200
200 - 250
250 - 300
300 - 350
350 - 400
400 - 450
450 - 500
500 - 550
550 - 600
600 - 650
650 - 700

Kecepatan awal Kecepatan akhir Kesalahan


(km/dt)
(km/dt)
(km/dt)
6.03
7.82
7.93
8.00
8.21
8.34
8.52
8.69
8.84
9.07
9.50
9.86
10.14
10.41
10.62

6.04
7.90
8.00
8.17
8.28
8.43
8.59
8.79
8.88
9.12
9.57
9.97
10.14
10.34
10.86

0.16
0.18
0.23
0.20
0.12
0.23
0.18
0.28
0.25
0.27
0.23
0.29
0.29
0.27
0.30

Resolusi

0.42
0.56
0.60
0.68
0.72
0.82
0.84
0.80.
0.78
0.72
0.64
0.56
0.46
0.44
0.40

32

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996

Tabel 2. Koreksi stasiun seismologi


Stasiun
AAI
BKB
BSI
CCP
CGP
DAR
DAV
DJA
DNP
IPM
KGM
KKM
KUG
KUP
LEM
LGP
MAP
MED
MKS
MNI
MPP
MTN
NHA
PBA
PGP
PLP
PPH
PPI
PPR
PSI
QCP
SNG
TNG
TRT
TSI

Bujur (BT)
128.16
116.83
95.31
123.90
124.66
130.81
125.57
106.83
115.21
101.05
103.31
116.21
123.58
123.66
107.61
123.73
123.98
98.68
119.63
124.83
126.01
131.13
109.21
92.71
120.95
124.97
126.18
100.38
118.70
98.92
121.07
100.62
106.50
112.63
98.56

Lintang
3.70 LS
1.28 LS
5.50 LU
10.33 LU
8.46 LU
12.40 LS
7.08 LU
6.18 LS
8.65 LS
4.60 LU
2.01 LU
6.04 LU
10.16 LS
10.18 LS
6.83 LS
13.13 LU
10.32 LU
3.55 LU
5.06 LS
1.45 LU
7.89 LU
12.84 LS
12.21 LU
11.66 LU
13.50 LU
11.16 LU
7.85 LU
0.45 LS
9.81 LU
2.69 LU
14.63 LU
7.17 LU
6.18 LS
7.70 LS
3.50 LU

Loreksi (det)
+ 0.35
+ 0.08
+ 0.10
+ 0.16
+ 0.23
+ 0.07
+ 0.38
- 0.42
- 0.06
- 0.05
+ 0.43
- 0.10
+ 0.32
+ 0.26
- 0.15
+ 0.16
+ 0.24
- 0.45
- 0.20
- 0.15
+ 020
+ 0.05
+ 0.10
+ 0.07
+ 0.12
+ 0.19
+ 0.23
- 0.15
+ 0.15
- 0.13
- 0.25
+ 0.30
- 0.37
- 0.32
- 0.12

Gambar 1. Peta Tektonik Indonesia. Tanda panah menunjukkan arah pergerakan lempeng relatif
terhadap lempeng Eurasia. Segitiga menunjukkan lokasi gunung api. Simplikasi peta tektonik
kepulauan Indonesia dan Sekitarnya8).

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996


33

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996


34

Gambar 2. Lokasi Stasiun Seismologi. Ada sejumlah 35 buah stasiun seismologi yang digunakan dalam
penelitian ini. Sebagian dari stasiun seismologi tersebut adalah milik negara-negara tetangga.

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996

35

Gambar 3. Model Struktur Kecepatan. Dua model idel struktur kecepatan gelombang P
untuk mantel bagian atas berdasarkan Jeffrey-Bullen (1956) dan Herin (1968).
Model-model tersebut dibuat dengan asumsi bumi ideal dan berlaku secara
global.

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996


36

Gambar 4. Data Episenter Gempa. Ada sejumlah 459 buah gempa dengan magnitudo M > 5.0
yang digunakan dalam penelitian ini. Data diperoleh dari ISC London untuk periode pengamatan
dari tahun 1984 sampai tahun 1993. Sejumlah 13.115 buah travel time berhasil diseleksi dari data
gempa tersebut.

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996

37

Gambar 5. Model Kecepatan Untuk Inversi. Model awal yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan hasil modifikasi dari model Jeffrey-Bullen.

38

JMS Vol. 1. No. 2, Oktober 1996

Gambar 6. Kurva Penurunan Sisa Waktu Tempuh. Solusi dapat dianggap konvergen
setelah iterasi ke-6.

Gambar 7. Koreksi Stasiun Seismologi. Tanda lingkaran menunjukkan harga koreksi positif,
sedangkan tanda segi tiga menunjukkan harga koreksi negatif.

JMS Vol. 1. No.2, Oktober 1996


39

Anda mungkin juga menyukai