Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kealpaan (culpa)


Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang
berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena
ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau kurang pendugaduga. Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalain itu. Hanya memorie
penjelasan ( memori van toelichting ) mengatakan bahwa kelalaian (culpa)
terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu di pandang
lebih ringan di banding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-suringa
mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga
di adakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan
kebutulan kata Hazewinkel-suringa di kenal pula di Negara-negara anglo-saxon
yang di sebut per infortunium the killing occurred accidently. Dalam memorie
jawaban pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan
dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuanya sedangkan siapa
karena

salahnya

(culpa)

melakukan

kejahatan

berarti

mempergunakan

kemampuanya yang ia harus mempergunakan.


Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang
dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan,
yang

sedemikian

membahayakan

keamanan

orang

atau

barang,

atau

mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak


dapat diperbaiki lagi, sehingga undang-undang juga bertindak terhadap larangan
penghati-hati, sikap sembrono (teledor), pendek kata schuld (kealpaan yang
menyebabkan keadaan tadi).(er zijn feiten, die de algemene vefligheid van onen
of goederen zozeer in gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel
bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de onvoorzichtigheid, de tigheid,

het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet
tekeer gaan).
Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan benar-benar dengan
kesengajaan dan dipihal lain dengan hal yang kebetulan (toevel atau
caous).kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada
kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan.
Van Hamel membagi culpa atas dua jenis :
a. Kurang melihat ke depan yang perlu.
b. Kurang hati-hati yang perlu.
Yang pertama terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau
sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi.Yang kedua misalnya
ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya (padahal ada).
Vos mengeritik pembagian Van Hamel mengenai culpa (schuld) ini dengan
mengatakan bahwa tidak ada batas yang tegas antara kedua bagian tersebut.
Ketidak hati-hatian itu sering timbul karena kurang melihat kedepan. Oleh karena
itu Vos membuat pembagian juga yaitu kalau Van Hamel membedakan dua jenis
culpa maka Vos membedakan dua unsur ( element) culpa itu. Yang pertama ialah
terdakwa dapat melihat ke depan yang akan terjadi. Yang kedua ketidak hatihatian ( tidak dapat di pertanggungjawabkan ) perbuatan yang di lakukan ( atau
pengabdian) atau dengan kata lain harus ada perbuatan yang tidak boleh atau
dengan tidak cara demikian di lakukan.
Mengenai kekurang hati-hatian Vos mengatakan ada beberapa perbuatan
yang dapat melihat kedepan akibat tetapi bukan culpa. Contoh dokter yang
melakukan operasi berbahaya di lakukan menurut keahlianya yang dapat melihat
kedepan adanya kemungkinan kematian, tetapi bukanlah culpa. Di sini perbuatan
tersebut masih dapat di pertanggungjawabkan. Jadi untuk di pandang sebagai
culpa, masih harus ada unsur kedua, yaitu pembuat berbuat sesuatu yang lain dari
pada yang seharusnya ia lakukan. Maksud Vos ialah masih ada unsur kedua, yaitu
kurang hati-hati.

Sering di pandang suatu bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan untuk di


ancam dengan pidana, cukup di cari sarana lain dari pada pidana. Di situ benarbanar pidana itu di pandang sebagai obat terakhir (ultimatum remedium).
Misalnya perbuatan karena salahnya menyebabkan rusaknya barang orang lain.
Dalam hal ini cukup dengan tuntutan perdata sesuai dengan pasal 1365 BW. Lain
halnya dalam yang bersift khusus, misalnya karena salahnya (culpa)
menyebabkan rusaknya bangunan kereta api, telegraf, telepon, atau lisrik.
Walaupun pada umumnya delik kelalaian (culpa) di pandang lebih ringan
dan oleh karena itu ancaman pidananya juga lebih ringan dari pada yang di
lakukan dengan sengaja, misalnya peristiwa tenggelamnya kapal tanpomas II yang
membawa korban ratusan orang di banding misalnya dengan pembunuhan dengan
sengaja yang korban hanya seorang saja. Untuk mengancam pidana berat bagi
perbuatan kelalain seperti yang tercantum di dalam pasal 359 KUHP, sebenarnya
untuk bertujuan prevensi umum, demikian menurut Muller.
Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk adanya kealpaan:
a. Hazenwinkel Suringa
Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden mengartikan schuld
(kealpaan) sebagai:
1. kekurangan penduga duga atau
2. kekurangan penghati-hati.
b. Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat:
1. tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
c. Simons
Pada umumnya schuld (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1. Tidak adanya penghati-hati, di samping
2. dapat diduganya akibat.
d. Pompe
Ada 3 macam yang masuk kealpaan (anachtzaamheid):

1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya akibat.


2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid)
3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de
mogelijkheid).
Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau dapat
mengetahuinyaitu

menyangkut

juga

kewajiban

untuk

menghindarkan

perbuatannya (untuk tidak melakukan perbuatan). Kealpaan orang tersebut harus


ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah mungkin
diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka
haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil
ukuran sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama
dengan si-pelaku itu.
a. Orang pada umunya ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling
cermat, paling hatihati, paling ahli dan sebagainya.
b. Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi
peristiwa. Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu
adalah

Hakim.

Undang-undang

mewajibkan

seseorang

untuk

melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya,


dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa di simpangan jalan,
apabila datangnya bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri harus
didahulukan. Apabila seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain
ini daripada apa yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu
mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain luka berat, maka ia dapat
dikatakan karena kealpaannya mengakibatkan orang lain (Pasal. 360 (1)
K.U.H.P).
Inti dari kealpaan, yaitu:
1. Ia tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana yang duharuskan oleh
hukum (recht)
Ini dapat terjadi karena 2 kemungkinan:

a. Pelaku yakin menurut pandangannya akibat itu tidak akan terjadi,


ternyata pandangan itu salah/keliru (kealpaan yang disadari/
bewuste culpa).
b. Pelaku sama sekali tidak mempunyai pemikiran bahwa akibat yang
dilarang itu dapat terjadi karena perbuatannya (kealpaan yang tidak
disadari/onbewuste culpa).
2. Ia tidak mengadakan penghati-hati. Pelaku tidak teliti dan mengadakan
usaha-usaha preventif yang mungkin saja dapat menjadi kenyataan
dalam:
a. Kondisi atau keadaan tertentu (menurut ukuran yang berlaku umum
dalam masyarakat).
b. Caranya melakukan perbuatan itu.
Mengenai ini MvT tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Perlu
adanya perumusan tentang kriterianya. Yang menjadi tolok ukur adalah
pikiran dan kemampuan seseorang sama dengan setiap orang yang
dalam kondisi dan kategori sama, pikiran, dan kemampuan rata-rata
orang.
3. Tidak ada alasan pemaaf disebabkan karena adanya fungsi batin yang
tidak normal pada waktu berbuat, disebabkan adanya tekanan dari luar
dirinya.
Dengan mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu bentuk kesalahan, maka
dikatakan pula sikap batin yang demikian itu, adalah berwarna. Artinya selalu
kita hubungkan dengan sikap batin terhadap perbuatan yang dipandang dari sudut
hukum yang keliru. Sama saja dengan kesengajaan, bahkan lebih dari itu, lebih
berwarna daripada kesengajaan, kalau masih

mungkin mengatakan dengan

sengaja berbuat baik atau dengan sengaja berbuat jahat, pada hemat saya tidak
mengatakan karena kealpaannya berbuat baik. Sebabnya tidak mungkin
menyatakan demikian ialah karena istilah kealpaan itu sendiri sudah terkandung
makna kekeliruan.
(Prof. Moeljatno, S.H., 2009: 216)

Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur


kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa (culpose delicten). Delik - delik itu dimuat
antara lain dalam :
a. Pasal 188 : Karena kealpaannya menimbulkan peletusan, kebakaran dst.
Isi pasal ini adalah sama dengan isi pasal 187, bedanya bahwa pasal ini
dilakukan tidak dengan sengaja (delik culpa), sedang pasal 187 dilakukan
dengan sengaja (delik dolus). Sudah barang tentu hukuman 2nya lebih
rendah dari pada pasal 187.
(R.SOESILO, 1986: 155)
b. Pasal 195 : Karena kealpaannya menimbulkan bahaya bagi lalu lintas
umum yang memakai kekuatan uap dan kekuatan mesin.
Pasal 195 adalah bentuk ,,delik culpa dari kejahatan dalam pasal 194.
(R.SOESILO, 1986: 159)
c. Pasal 197 : Karena kealpaannya tanda yang digunakan untuk keselamatan
kapal rusak, hilang, dan atau kesalahan pemasangan tanda.
Pasal ini mengatakan tentang ,,karena salahnya (kurang hati2, alpa) dan
merupakan ,,delik culpa, sedangkan pasal 196 memuat kejahatan yang
sama, akan tetapi dilakukan dengan ,,sengaja (delik dolus).
(R.SOESILO, 1986: 160)
d. Pasal 201 : Karena kealpaannya rumah (gedung) atau bangunan-bangunan
jadi rusak.
Perbuatan dalam pasal ini sama dengan perbuatan dalam pasal 200,
bedanya bahwa pasal 200 dilakukan dengan ,,sengaja (delik dolus),
sedang pasal 201 dilakukan ,,karena salahnya (delik culpa). Ancaman
hukuman dalam pasal 200 adalah lebih berat.
(R.SOESILO, 1986: 162)
e. Pasal 203 : Karena kealpaannya air menjadi berbahaya bagi jiwa atau
kesehatan seseorang.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang ,,karena
salahnya (kurang hati2 atau alpa), sehingga sumur dsb. itu teracun, bila
berakibat orang mati, ancaman hukumannya lebih berat.
(R.SOESILO, 1986: 163)
f. Pasal 231 (4) : Karena kealpaannya si penyimpan menyebabkan hilangnya
dan sebagainnya barang yang disita.
g. Pasal 359 : Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang.
Mati orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi
kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati2 atau

lalainya terdakwa (delik culpa), misalnya seorang sopir menjalankan


kendaraan mobil terlalu kencang, sehingga menubruk orang sampai mati,
atau seorang berburu melihat sosok hitam2 dalam tumbuh-tumbuhan,
dikira babi rusa terus ditembak mati, tetapi ternyata sosok yang dikira babi
itu adalah manusia, atau orang main 2 dengan senjata api, karena kurang
hati2 meletus dan mengenai orang lain sehinga mati dan sebagainya.
,,Karena salahnya = kurang hati2, lalai lupa, amat kurang perhatian.
(R.SOESILO, 1986: 248)
h. Pasal 360 : Karena kealpaannya menyebabkan orang luka berat dsb.
Karena salahnya (kurang hati2nya) menyebabkan orang luka ringan
(tidak ,,ziek, dan tidak terhalang pekerjaannya sehari-hari), tidak
dikenakan pasal ini.
(R.SOESILO, 1986: 249)
i. Pasal 409 : Karena kealpaannya menyebabkan alat-alat perlengkapan
hancur dsb.
,,Karena salahnya = tidak disengaja, tetapi kerusakan itu disebabkan
karena kurang hati2, alpa, kurang perhatian (culpa).
(R.SOESILO, 1986: 281)
Delik kelalaian itu dalam rumusan undang-undang ada dua macam, yaitu
delik kelalaian (culpa) yang menimbulkan akibat (culpose gevolgsmisdrijven) dan
yang tidak menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana ialah
perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri. Perbedaan antara keduanya sangat
mudah di pahami, yaitu bagi kelalaian (culpa) yang menimbulkan akibat itu maka
terciptalah delik kelalaian (culpa), sedangkan bagi yang tidak perlu menimbulkan
akibat, dengan kelalaian atau kekurang hati-hatian itu sendiri sudah di ancam
dengan pidana.
2.2 Bentuk Kealpaan
Pada dasarnya orang berfikir dan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos
kesadaran si pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat
dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu :
a. Kealpaan yang disadari (bewuste culpa)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta
akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya
tidak akan terjadi.

b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa).


Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari
kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat
menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa
berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat yang sangat berat.
Van Hattum mengatakan, bahwa kealpaan yang disadari itu adalah suatu
sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada
pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis. Hemat kami perbedaan tersebut
tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu
pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan
seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu,
bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
2.3 Contoh Kasus Kealpaan
Suryani Semangati Tumino Sambil Gendong Bayi
Selasa, 10 April 2012 08.27 WIB
KLATEN Tumino, seorang penjaga palang pintu Kereta Api ini harus duduk di
kursi pesakitan pengadilan Negeri (PN) Klaten. Ia didakwa lalai, meski sat KA
Prameks menabrak minibus pada Januari lalu, palang pintu sudah diturunkannya
dan sirine sudah dibunyikan.
Analisis Kasus
Kereta api merupakan sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik
berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang
akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta
api. Palang pintu lintasan, belum lagi petugas penjaga lintasan. Idealnya, untuk
satu lintasan KA, dibutuhkan empat penjaga. Dengan begitu, butuh delapan ribu
penjaga baru untuk menjaga dua ribu lintasan resmi yang belum terjaga. Kondisi
tersebut sangatlah sulit sebab delapan ribu tenaga tidaklah sedikit. Dengan

sedikitnya jumlah penjaga tersebut mengakibatkan hal-hal yag tidak diinginkan


seperti kecelakaan KA akibat kelalaian penjaganya.
Penjaga perlintasan tersebut didakwa Pasal 360 KUHP tentang kelalaian
yang menyebabkan orang mengalami luka-luka atau meninggal.
Pasal 360:
(1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau
hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.
(2) Barangsiapa

karena

kesalahannya

menyebabkan

orang

luka

sedemikian rupa sehingga orang itu menjari sakit sementara atau tidak
dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau
hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda
setinggi-tingginya Rp 4500,1. Isi pasal ini hampir sama dengan pasal 359, bedanya hanya bahwa
akibat dari pasal 359 adalah ,,mati orang, sedang akibat dalam pasal
360 adalah:
a. Luka berat (lihat pasal 90); atau
b. Luka yang menyebabkan jatuh sakit (ziek bukan pijn) atau
terhalang pekerjaan sehari-hari (lihat catatan pada pasal 352).
2.

Karena salahnya (kurang hati2nya) menyebabkan orang luka ringan


(tidak ,,ziek, dan tidak terhalang pekerjaannya sehari-hari), tidak
dikenakan pasal ini.
(R.SOESILO, 1986: 249)

Dengan menggunakan dasar tersebut, penjaga perlintasan Kereta Api


tersebut bisa dipidana akibat kelalaiannya dan menyebabkan korban luka-luka.

Anda mungkin juga menyukai